Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan pasien merupakan suatu sistem yang membuat asuhan

pasien di rumah sakit menjadi lebih aman (Kemenkes, 2017). Kesalahan yang

terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi

mengakibatkan cedera pada pasien, bisa berupa Adverse Event (Kejadian

Tidak Diharapkan/KTD). Laporan dari Institut of Mediciene (IOM) pada

tahun 2000 mengatakan bahwa di rumah sakit New York ditemukan 3,7 %

KTD dan 13,6% diantaranya meninggal. Lebih lanjut, angka kematian

akibat KTD pada pasien rawat inap di Amerika Serikat berjumlah 33,6 juta

per tahun berkisar antara 44.000 jiwa sampai 98.000 jiwa.

Laporan insiden keselamatan pasien dari KKP-RS mengenai KTD di

Indonesia (2012) menemukan bahwa terjadi peningkatan kasus KTD dari

46,2% pada tahun 2007 menjadi 63%. Dampak KTD ini diantaranya adalah

memperpanjang masa rawat, meningkatkan cidera, kematian, perilaku saling

menyalahkan, konflik antara petugas dan pasien, tuntutan dan proses hukum,

dapat menurunkan citra dari sebuah rumah sakit, serta dapat

mengindikasikan bahwa mutu pelayanan di rumah sakit masih kurang baik

(AHRQ, 2013).

Kasus tersebut yang mendorong pemerintah Indonesia untuk lebih

memberikan perhatian khususnya terhadap masalah keselamatan pasien di

1
2

rumah sakit. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri

Kesehatan (PMK) No. 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien, yang

bertujuan untuk membuat asuhan pasien di rumah sakit menjadi lebih aman,

dengan mewajibkan pelayanan kesehatan menerapkan enam sasaran

keselamatan pasien yaitu ketepatan identifikasi pasien, peningkatan

komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai,

kepastian tepat-lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi, pengurangi risiko

infeksi terkait pelayanan kesehatan dan pengurangan risiko pasien jatuh

(Kementrian Kesehatan, 2017).

Dalam mencapai sasaran keselamatan pasien tersebut langkah

pertama yang dilakukan adalah dengan cara membangun budaya

keselamatan pasien, sebagaimana yang tercantum dalam tujuh langkah

menuju keselamatan pasien (Kemenkes, 2017). Budaya keselamatan pasien

adalah nilai, keyakinan, perilaku yang dianut oleh individu dalam suatu

organisasi mengenai keselamatan yang memprioritaskan dan mendukung

peningkatan keselamatan (The Join Commission, 2017).

Budaya keselamatan pasien merupakan hal yang mendasar didalam

pelaksanaan keselamatan pasien di Rumah Sakit. Hal tersebut karena

berfokus pada budaya keselamatan akan menghasilkan penerapan

keselamatan pasien yang lebih baik dibandingkan hanya berfokus pada

program keselamatan pasien saja (El-Jardali, 2018). Budaya keselamatan


3

pasien juga merupakan salah satu standar penilaian akreditasi dalam

SNARS edisi 1 tahun 2017.

Pentingnya budaya keselamatan pasien telah ditekankan dalam

sebuah laporan Institute of Medicine (IOM) “to err is human” yang

menjelaskan bahwa organisasi pelayanan kesehatan perlu mengembangkan

budaya keselamatan pasien agar nantinya berfokus dalam meningkatkan

reliabilitas dan keamanan pasien (IOM, 2000). Hal ini senada dengan

penelitian Nieva & Sorra (2013) menekankan bahwa keselamatan pasien

yang buruk merupakan faktor risiko penting yang bisa mengancam

keselamatan pasien. Hasil penelitian Wang, et al (2014) juga menegaskan

bahwa peningkatan budaya keselamatan pasien secara signifikan terkait

dengan penurunan dalam terjadinya resiko yang merugikan dalam

perawatan pasien di Rumah Sakit.

Survei terhadap 2.287 perawat di 22 rumah sakit di Amerika

menunjukkan buruknya budaya keselamatan pasien berdampak pada

peningkatan luka jarum suntik dan kejadian nyaris cidera (near miss) antara

perawat rumah sakit (Foundation, 2011). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa setiap penurunan 10 % dalam budaya keselamatan unit perawatan

intensif (ICU) maka lama perawatan pasien (LOS) meningkat 15 % (Pham.

JC et al, 2016). Penelitian terhadap 179 rumah sakit di Amerika Serikat

menyatakan bahwa rumah sakit dengan skor budaya keselamatan pasien lebih
4

positif memiliki tingkat lebih rendah dalam komplikasi atau adverse (Duarte

et al, 2017).

Berbagai penelitian di Indonesia melaporkan terkait masih

kurangnya penerapan budaya keselamatan pasien, diantaranya penelitian

Puji Lestari, dkk (2013) di RSUP Sudirohusodo melaporkan 62,2 % perawat

masih memiliki budaya keselamatan yang rendah dalam menjaga patient

safety. Demikian juga penelitian Nivalinda, dkk (2013) di salah satu Rumah

Sakit di Semarang, di dapatkan penerapan budaya keselamatan kurang baik

sebesar 51,4 %. Organisasi yang tidak memiliki budaya keselamatan pasien

juga dapat menimbulkan akibat berupa kesalahan laten, gangguan psikologi

maupun physiologi pada staf, penurunan produktivitas dan dapat

menimbulkan konflik interpersonal (Kirk et al, 2016).

Penelitian Lancaster et al, (2015), mengatakan coordination oleh

dokter, perawat dan profesional lainnya yang baik dapat meningkatkan

kerjasama tim dan keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien di rumah

sakit dapat dilihat dari sikap dan persepsi Professional Pemberi Asuhan

(PPA) di rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang aman untuk pasien

dan petugas.

Untuk menganalisis budaya keselamatan pasien digunakan kuesioner

Hospital Survey on Patient Safety culture (HSOPSC) yang diadopsi dari

Agency of Healthcare Research and Quality (2016). Kuisioner ini


5

menilai 12 elemen, yaitu harapan dan tindakan supervisor/manajer dalam

mempromosikan keselamatan pasien, dukungan manajemen, peningkatan

pembelajaran yang berkelanjutan, keterbukaan komunikasi, umpan balik

terhadap error, respon tidak menyalahkan, staf yang adekuat, persepsi staf

secara keseluruhan terhapa keselamatan pasien, kerjasama tim dalam unit,

kerjasama tim antar unit, penyerahan dan pemindahan pasien dan frekuensi

pelaporan kejadian.

Menurut Cahyono S (2015) budaya keselamatan pasien yang positif

terdiri dari beberapa dimensi, yaitu memiliki dimensi budaya keterbukaan,

budaya keadilan, budaya pelaporan, budaya belajar dan budaya informasi.

Budaya terbuka dan adil akan memotivasi staf membuat pelaporan mengenai

kejadian yang terjadi dan menjadikan insiden sebagai informasi yang dapat

digunakan sebagai pembelajaran dalam upaya meningkatkan patient safety.

Upaya rumah sakit untuk menjamin keselamatan bagi pasien tidak

terlepas dari peran seluruh sumber daya manusia di rumah sakit dalam

menyelenggarakan pelayanan. Anderson & Kodate (2015) menyatakan bahwa

komitmen pemimpin akan keselamatan merupakan hal pertama yang harus

diperhatikan dalam menerapkan budaya keselamatan pasien. Sejalan dengan

hasil penelitian Mulyati & Herdiana (2016) di RS Pemerintah Kabupaten

Kuningan menunjukan persepsi terhadap manajemen menjadi faktor


6

determinan dengan nilai p 0.000 < α 0.05, unsur pimpinan memiliki pengaruh

yang signifikan dalam menciptakan budaya keselamatan pasien.

Hal ini di perkuat oleh PMK No. 11 tahun 2017 yang mengatakan

bahwa membangun budaya keselamatan pasien tergantung pada komitmen

kepemimpinan yang kuat dan kemampuan pimpinan organisasi

mendengarkan pendapat seluruh anggota. (Kementrian Kesehatan, 2017).

Komponen kepemimpinan efektif dengan job description yang jelas,

memberikan kontribusi dalam menanamkan budaya yang mendukung usaha

staf, dan tidak bersifat menghukum sangat dibutuhkan dalam menciptakan

budaya keselamatan pasien yang kuat dan menurunkan angka kejadian tidak

diharapkan (Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2015).

Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi orang lain untuk

melakukan sesuatu guna mencapai tujuan (Potter & Perry, 2010). Agar

fungsi kepemimpinan mencapai potensi yang optimal, seorang pemimpin

harus mempunyai kemampuan kepemimpinan yang terintegrasi dengan

kemampuan melaksanakan fungsi manajemen. Kemampuan malaksanakan

fungsi manajemen diperlukan jika individu ingin menjadi pemimpin yang

efektif (Marquis, B. L., & Huston, 2015).

Menurut Kemenkes RI (2015) setiap pimpinan unit kerja wajib

memimpin gerakan patient safety. Kepala Ruangan sebagai pimpinan unit

ruang rawat atau lower manager, memegang peran penting terhadap proses
7

implementasi keselamatan pasien (Wagner et al, 2013). Hal tersebut karena

kepala ruangan bertanggung jawab terhadap setiap proses pelayanan yang

saling berkolaborasi dan berinteraksi secara langsung dengan pasien dan

Profesinal Pemberi Asuhan lain di unitnya, dimana pelayanan kesehatan

yang diberikan kepada pasien atau yang biasa disebut dengan asuhan

keperawatan berlangsung selama 24 jam.

Kepala Ruangan diharapkan menjalankan seluruh fungsi manajemen

sehingga lingkungan dan kondisi kerja akan mendukung pelayanan dalam

mencapai keselamatan bagi pasien (Gillies (1996). Manajemen keperawatan

merupakan rangkaian fungsi dan aktivitas yang secara simultan saling

berhubungan dalam menyelesaikan pekerjaan melalui anggota staf

keperawatan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan

keperawatan yang berkualitas (Gillies, 1996; Marquis & Huston, 2015 ).

Penelitian Ernawati (2015) mengatakan ada hubungan bermakna

fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan budaya keselamatan

pasien oleh profesional pemberi asuhan (PPA) di ruangan rawat inap Rumah

Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Dari hasil penelitian Anwar &

Yuswardi, (2016) juga diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara

fungsi manajemen kepala ruangan pada perencanaan, pengorganisasian,

pengaturan staf, dan pengendalian dengan penerapan budaya keselamatan

pasien.
8

Adapun fungsi manajemen menurut Marquis, B. L., & Huston (2015)

meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan

dan pengendalian. Dimana dalam setiap proses manajemen tersebut

diintegrasikan dengan tugas, kewenangan, tanggung jawab/ kriteria pemimpin

yang menudukung atau berkomitmen terhadap program keselamatan pasien

dimulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi sebagaimana yang termuat

dalam permenkes no 11 tahun 2017 tentang keselamatan pasien (Kementrian

Kesehatan, 2017).

Hasil survey dan wawancara pada bulan Agustus 2019 dengan Tim

Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Daerah Pasaman Barat

Komite Mutu dan Keselamatan Pasien (KMKP) di RSUD Pasaman Barat

telah dibentuk pada tanggal 15 Agustus 2017 sesuai dengan Surat Keputusan

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Sumatra Barat Nomor 446084/SK-

DIR/VII-2017. Kebijakan, pedoman dan Standar Operasional Prosedur

tentang keselamatan pasien sudah ada. Hal ini menunjukkan bahwa Pimpinan

dan Manajemen RSUD Pasaman Barat sudah menjadikan program

keselamatan pasien sebagai prioritas pelayanan.

Namun pelaksanaan program Keselamatan Pasien di RSUD Pasaman

Barat belum optimal. Ini ditandai dari hasil penilaian akreditasi program

khusus untuk program Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) oleh KARS tahun

2017 yang pencapaiannya masih di bawah 60 %, sehingga program SKP


9

merupakan salah satu penyebab remedial akreditasi RSUD Pasaman Barat.

Pelaksanaan program SKP meningkat pada saat akan dilakukan reakreditasi

Desember 2018, diperoleh hasil skor 80%. Namun setelah itu pencapaian

standar kembali menurun terlihat dari temuan dalam audit internal dengan

hasil 65%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan standar operasional

prosedur tentang keselamatan pasien belum jadi budaya keselamatan di

Rumah Sakit (KKPRS-RSUD Pasaman Barat).

Angka kejadian infeksi nosokomial yang ditemukan di Rumah Sakit

Umum Daerah Pasaman Barat mengindikasikan masih tingginya insiden

keselamatan berupa kejadian tidak diharapkan (KTD) yang mengancam

keselamatan pasien. Data surveilans tim pencegahan dan pengendalian infeksi

(PPI) RSUD Pasaman Barat menunjukkan tahun 2018 didapat angka

phelebitis 5,7 % dari 13207 jumlah pemasangan infus dan angka infeksi

daerah operasi 3,5 % dari 1904 operasi. Data yang didapat sejak Januari –

Agustus 2019 ditemukan peningkatan angka kejadian flebitis sebanyak 5,9

% dari 12134 jumlah pemasangan infus dan kejadian infeksi daerah operasi

sebanyak 3,9 % dari 2260 operasi (PPIRS RSUD Pasaman Barat, 2019).

Sedangkan standart angka kejadian infeksi nosokomial adalah ≤ 1,5%

(Kemenkes, 2008).

Survey yang dilakukan peneliti terhadap 15 orang Propesional

Pemberi Asuhan di Ruang Rawat Inap RSUD Pasaman Barat didapatkan hasil
10

dari 15 orang, 50 % pernah melakukan kesalahan (insiden) dan jarang sekali

melaporkan. Alasan tidak melaporkan insiden keselamatan pasien yaitu

petugas yang melakukan kesalahan takut disalahkan, perawat kurang

memahami manfaat dari pelaporan tersebut, tidak tahu cara melaporkan dan

tidak adanya evaluasi dari atasan.

Hasil observasi peneliti di Ruang Rawat RSUD Pasaman Barat

terhadap budaya keselamatan pasien di dapatkan masih banyak insiden

keselamatan seperti Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Potensial cedera dan

KTD yang terjadi tetapi tidak di laporkan seperti kesalahan dalam pemberian

gelang identitas pasien, kesalahan komunikasi saat handover dan penerimaan

pesan via telpon, kesalahan dalam pemberian obat, tidak dilakukan penandaan

daerah operasi, kepatuhan terhadap prosedur pengurangan resiko infeksi

melalui Hand Hygiene yang masih dibawah standart dan masih kurang nya

evaluasi terhadap pengurangan resiko pasien jatuh.

Menurut informasi dari 5 kepala ruangan juga didapatkan bahwa, di

masing-masing ruangan ditemukan lebih kurang 3 dari 100 orang pasien

pernah mengalami kesalahan dalam identifikasi pasien, 5 dari 100 orang

pasien terjadi kesalahan pemberian obat dan ada 2 kejadian pasien jatuh.

Kejadian tersebut di dalam tabel Matrik Grading Risiko suatu insiden

termasuk kedalam kategori “sering” (beberapa kali/tahun) terjadi dan wajib

segera di tindak lanjuti (KKPRS, 2015). Dari semua kejadian tersebut, sudah
11

ada dilakukan investigasi sederhana, tetapi belum pernah dilakukan Root

Cause Analysis (RCA) atau analisis lebih lanjut dari kasus satu persatu.

Hasil wawancara dengan Tim Komite Keselamatan Pasien Rumah

Sakit didapatkan bahwa angka insiden keselamatan tersebut kemungkinan

bisa bertambah karena IKP di RSUD Pasaman Barat masih belum dilaporkan

sesuai ketentuan. Kebanyakan insiden tidak dilaporkan, tidak dicatat, bahkan

luput dari perhatian petugas kesehatan karena belum adanya pencatatan

secara khusus, yang dilaporkan hanya insiden yang ditemukan secara

kebetulan saja.

Pengambilan data awal di RSUD Pasaman Barat pada tanggal 2

September 2019 di dapatkan informasi dari hasil wawancara peneliti

menanyai tentang penilaian mereka mengenai pelaksanaan fungsi manajerial

oleh kepala ruangan kepada 10 orang profesional pemberi asuhan (PPA) di 5

ruang rawat inap didapatkan dari 3 orang perawat mengatakan tidak tahu

tentang perencanaan tahunan dan bulanan kepala ruangan terkait pelayanan

dan asuhan keperawatan yang berfokus pada sasaran keselamatan pasien,

orang perawat mengatakan pembagian tenaga tidak sesuai dengan kebutuhan

pasien sehingga perawat sering merasa lelah, pembagian tugas tidak sesuai

dengan kompetensi yang dimiliki, penerapan yang dilakukan dalam

pemberian asuhan keperawatan hanya berorientasi pada rutinitas saja.

perawat mengatakan kepala ruangan kurang memberikan arahan maupun


12

solusi terhadap masalah pasien, masih rendah penghargaan kepada perawat.

orang ahli gizi mengatakan bahwa perawat belum mendapatkan sosialisasi

tentang sasaran keselamatan pasien, pelatihan sasaran keselamatan pasien

juga jarang dilakukan sehingga pelaksanaan sasaran keselamatan pasien

belum optimal.

Berdasarkan latar belakang, fenomena dan studi pendahuluan, maka

peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Analisis hubungan fungsi

manajemen kepala ruangan dengan penerapan budaya keselamatan pasien

oleh profesional pemberi asuhan (PPA) di RSUD Pasaman Barat’’.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana gambaran fungsi perencanaan kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien

2. Bagaimana gambaran fungsi pengorganisasian kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien

3. Bagaimana gambaran fungsi pengaturan kepala ruangan dalam penerapan

budaya keselamatan pasien

4. Bagaimana gambaran fungsi pengawasan kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien


13

5. Bagaimana gambaran fungsi pengendalian kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien

6. Bagaimana gambaran penerapan budaya keselamatan pasien

7. Apakah ada hubungan perencanaan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

8. Apakah ada hubungan pengorganisasian dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

9. Apakah ada hubungan pengaturan staf dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

10. Apakah ada hubungan pengarahan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

11. Apakah ada hubungan pengendalian dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

12. Apakah ada fungsi manajemen yang paling dominan berhubungan

dengan penerapan budaya keselamatan pasien

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan fungsi manajemen kepala ruangan dengan

penerapan budaya keselamatan pasien di RSUD Pasaman Barat


14

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran fungsi perencanaan kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien

b. Mengetahui gambaran fungsi pengorganisasian kepala ruangan

dalam penerapan budaya keselamatan pasien

c. Mengetahui gambaran fungsi pengaturan kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien

d. Mengetahui gambaran fungsi pengawasan kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien

e. Mengetahui gambaran fungsi pengendalian kepala ruangan dalam

penerapan budaya keselamatan pasien

f. Mengetahui gambaran penerapan budaya keselamatan pasien

g. Mengetahui hubungan fungsi manajemen kepala ruang dengan

penerapan budaya keselamatan pasien

h. Mengetahui hubungan perencanaan dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

i. Mengetahui hubungan pengorganisasian dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

j. Mengetahui hubungan pengaturan staf dengan penerapan budaya

keselamatan pasien
15

k. Mengetahui hubungan pengarahan dengan penerapan budaya

keselamatan

l. Mengetahui hubungan pengendalian dengan penerapan budaya

keselamatan pasien

m. Mengetahui fungsi manajemen yang paling dominan berhubungan

dengan penerapan budaya keselamatan pasien.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Perawat

Melalui penelitian ini diharapkan terjadinya peningkatan penerapan

budaya keselamatan pasien dalam melaksanakan asuhan keperawatan

kepada pasien di rumah sakit.

2. Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan, ilmu

pengetahuan dan sebagai referensi tambahan mengenai fungsi manajerial

kepala ruangan dalam meningkatkan penerapan budaya keselamatan

pasien.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini di harapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan,

pertimbangan dan sumbangan pemikiran sehingga penelitiaan

selanjutnya dapat melakukan penelitin yang lebih baik dari sebelumnya.


16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Patient Safety

1. Defenisi Patient Safety

Menurut Duarte, Euzébia, & Santos (2017) bahwa

keselamatan pasien merupakan tindakan untuk mengurangi risiko

kerusakan yang tidak diinginkan terkait dengan perawatan kesehatan,

sehingga tingkat kejadian karena kesalahan perawatan medis dapat di

cegah. Sedangkan menurut Susam Ozsayin & Turkan Ozbayir (2016)

mendefinisikan keselamatan pasien sebagai pencegahan bahaya yang

bisa terjadi pada pasien. Dengan demikian, keselamatan pasien

meminimalkan kemungkinan kesalahan dan memaksimalkan

kemungkinan pencegahan berdasarkan batasan yang telah di tentukan.

Keselamatan pasien adalah bebas dari cidera fisik dan

psikologis yang menjamin keselamatan pasien, melalui penetapan

sistem operasional, meminimalisasi terjadinya kesalahan, mengurangi

rasa tidak aman pasien dalam system perawatan kesehatan dan

meningkatkan pelayanan optimal (KKPRS, 2015 &WHO, 2017).

Batasan tentang keselamatan pasien di rumah sakit

dikeluarkan oleh Permenkes RI (2017) & KKP-RS (2012) yaitu

16
17

sebagai suatu sistem agar asuhan yang diberikan pada pasien lebih

aman. Hal ini mencakup assesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan

hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis

insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta

implementasi solusi untuk meminimilkan timbulnya risiko dan

mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil.

2. Tujuan Patient Safety

Masalah keselamatan pasien di rumah sakit merupakan

masalah yang perlu ditangani dengan segera. Kegiatan program

keselamatan pasien di rumah sakit terdiri dari: standar keselamatan

pasien, tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit,

sembilan solusi keselamatan pasien di rumah sakit, dan sasaran

keselamatan rumah sakit (Kementerian Kesehatan RI, 2017).

Berdasarkan dari tujuan dan upaya dalam menjamin keselamatan

pasien dapat ditarik benang merah yaitu keselamatan pasien bertujuan

untuk meningkatkan akuntabilitas dan mutu pelayanan rumah sakit

dengan menjamin asuhan yang diberikan kepada masyarakat terbebas

dari kesalahan dan medical error.


18

Sembilan langkah keselamatan pasien menurut The Joint

Commission (2015) yaitu :

a. Meningkatkan keakuratan identifikasi pasien dengan menggunakan

dua identitas pasien untuk mengidentifikasi serta mengeliminasi

kesalahan transfusi.

b. Meningkatkan komunikasi di antara pemberi pelayanan kesehatan

dengan menggunakan prosedur komunikasi, secara teratur

melaporkan informasi yang bersifat kritis, memperbaiki pola serah

terima pasien.

c. Meningkatkan keselamatan penggunaan pengobatan dengan cara

pemberian label pada obat, mengurangi bahaya dari penggunaan

antikoagulan.

d. Mengurangi risiko yang berhubungan dengan infeksi dengan

mencuci tangan yang benar, mencegah resistensi penggunaan obat

infeksi, menjaga central line penyebaran infeksi melalui darah.

e. Menggunakan pengobatan selama perawatan secara akurat dan

lengkap, mengkomunikasikan pengobatan kepada petugas

selanjutnya, membuat daftar pengobatan pasien, mengupayakan

pasien mendapatkan pengobatan seminimal mungkin.

f. Mengurangi risiko bahaya akibat jatuh.

g. Mencegah terjadinya luka tekan.


19

h. Organisasi mengidentifiksi risiko keselamatan di seluruh populasi pasien .

i. Protokol umum untuk mencegah kesalahan tempat, salah prosedur

dan orang pada saat tindakan operasi.

Segala upaya dilakukan untuk menjamin asuhan yang

diberikan terbebas dari kesalahan dan cedera yang dapat merugikan

pasien dan keluarganya. Rekomendasi dari Institute Of Medicine

berupa empat rangkaian pendekatan dalam mencapai keselamatan

pasien:

a. Meningkatkan kemampuan leadership, penelitian, protocol untuk

meningkatkan pengetahuan dasar tentang safety.

b. Identifikasi dan belajar dari kesalahan yang terjadi dengan

mengembangkan sistem pencatatan dan pelaporan pada setiap

kejadian yang ada.

c. Meningkatkan standar kerja dan standar harapan untuk

meningkatkan keselamatan melalui pembelajaran dari kesalahan.

d. Mengimplementasikan sistem keselamatan pada organisasi untuk

menjamin praktik yang aman pada setiap tingkatan pelayanan

(Kementerian Kesehatan RI, 2017).

3. Sasaran Patient Safety

Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat untuk

diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi


20

Akreditasi Rumah Sakit. Maksud dari sasaran keselamatan pasien

adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien.

Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan

kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis

bukti dan keahlian atas permasalahan ini.

Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal

sebagai berikut :

a. Ketepatan identifikasi pasien

b. Peningkatan komunikasi yang efektif

c. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai

d. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi,

e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan dan

f. Pengurangan risiko pasien jatuh

(Kementerian Kesehatan RI, 2017; KARS, 2015).

4. Peran Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Keselamatan Pasien

Berdasarkan Permenkes No. 11 tahun 2017 Standar peran

kepemimpinan dalam meningkatkan Keselamatan Pasien

merupakan kegiatan pimpinan fasilitas pelayanan

kesehatan dalam kegiatan sebagai berikut :


21

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program

keselamatan pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui

penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien“.

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk

identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau

mengurangi insiden.

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan

koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan

keputusan tentang keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk

mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja fasilitas

pelayanan kesehatan serta meningkatkan keselamatan pasien.

e. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam

meningkatkan kinerja fasilitas pelayanan kesehatan dan

keselamatan pasien.

Kriteria standar peran kepemimpinan dalam

meningkatkan Keselamatan Pasien meliput:

a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola

Keselamatan Pasien;
22

b. Tersedia kegiatan atau program proaktif untuk

identifikasi risiko keselamatan dan program

meminimalkan Insiden;

c. Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa

semua komponen dari fasilitas pelayanan kesehatan

terintegrasi dan berpartisipasi dalam Keselamatan

Pasien;

d. Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap Insiden,

termasuk asuhan kepada pasien yang terkena

musibah, membatasi risiko, dan penyampaian

informasi yang benar dan jelas untuk keperluan

analisis;

e. Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal

berkaitan dengan Insiden termasuk penyediaan

informasi yang benar dan jelas tentang analisis akar

masalah Kejadian Nyaris Cedera (KNC), KTD, dan

kejadian sentinel pada saat Keselamatan Pasien

mulai dilaksanakan;

f. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis

Insiden, atau kegiatan proaktif untuk memperkecil

risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf


23

dalam kaitan dengan kejadian

sentinel;

g. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara

sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di

dalam fasilitas pelayanan kesehatan dengan

pendekatan antar disiplin;

h. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang

dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja

fasilitas pelayanan kesehatan dan perbaikan

Keselamatan Pasien, termasuk evaluasi berkala

terhadap kecukupan sumber daya tersebut; dan

i. Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan

informasi menggunakan kriteria objektif untuk

mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja fasilitas

pelayanan kesehatan dan Keselamatan

Pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan

implementasinya erdapat tim antar disiplin untuk mengelola

program keselamatan pasien.

5. Langkah Menuju Patient Safety Rumah Sakit

Mengacu pada sasaran keselamatan pasien, maka rumah

sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
24

memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data,

menganalisis secara intensif KTD, dan melakukan perubahan untuk

meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien. Adapun tujuh langkah

keselamatan pasien rumah sakit antara lain (Kementerian Kesehatan

RI, 2017) :

a. Membangun budaya keselamatan pasien,

Dengan budaya adil dan terbuka ini pasien, staf dan Fasilitan

Kesehatan akan memperoleh banyak manfaat.

Kegiatan yang dilaksanakan

Untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan :

1) Pastikan ada kebijakan yang menyatakan apa yang harus

dilakukan oleh staf apabila terjadi insiden, bagaimana

dilakukan investigasi dan dukungan apa yang harus diberikan

kepada pasien, keluarga, dan staf.

2) Pastikan dalam kebijakan tersebut ada kejelasan tentang

peran individu dan akuntabilitasnya bila terjadi insiden.

3) Lakukan survei budaya keselamatan untuk menilai budaya

pelaporan dan pembelajaran di Fasilitas pelayanan Kesehatan

anda.

Untuk tingkat Unit/Pelaksana :


25

1) Pastikan teman anda merasa mampu berbicara tentang

pendapatnya dan membuat laporan apabila terjadi insiden.

2) Tunjukkan kepada tim anda tindakan-tindakan yang sudah

dilakukan oleh Fasilitas pelayanan Kesehatan menindak

lanjuti laporan-laporan tersebut secara adil guna

pembelajaran dan pengambilan keputusan yang tepat.

b. Memimpinan dan memberi dukunan terhadap staf

Membangun budaya keselamatan sangat tergantung kepada

kepemimpinan yang kuat dan kemapuan organisasi

mendengarkan pendapat seluruh anggota.

Kegiatan yang dilaksanakan :

Untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan :

1) Pastikan ada anggota eksekutif yang bertanggung jawab

tentang keselamatan pasien. Anggota eksekutif di rumah sakit

merupakan jajaran direksi rumah sakit yang meliputi kepala

atau direktur rumah sakit dan pimpinan unsur-unsur yang ada

dalam struktur organisasi rumah sakit, sedangkan untuk

fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama merupakan

jajaran pimpinan organisasi jenis fasilitas pelayanan

kesehatan tingkat pertama.

2) Tunjuk penggerak/champion keselamatan pasien di tiap unit.


26

3) Tempatkan keselamatan pasien dalam agenda pertemuan-

pertemuan pada tingkat manajemen dan unit.

4) Masukkan keselamatan pasien ke dalam program-program

pelatihan bagi staf dan pastikan ada pengukuran terhadap

efektifitas pelatihanpelatihan tersebut.

Untuk tingkat Unit/Pelaksana :

1) Calonkan penggerak/champion untuk keselamatan pasien.

2) Jelaskan pentingnya keselamatan pasien kepada anggota unit

3) Tumbuhkan etos kerja dilingkungan tim/unit anda sehingga

staf merasa dihargai dan merasa mampu berbicara apabila

mereka berpendapat bahwa insiden bisa terjadi.

c. Integrasi aktivitas manajemen risiko

Bangun sistem dan proses untuk mengelola risiko dan

mengindentifikasi kemungkinan terjadinya kesalahan. Sistem

manajemen risiko akan membantu Fasilitas pelayanan Kesehatan

mengelola insiden secara efektif dan mencegah kejadian berulang

kembali.

Kegiatan yang dilaksanakan :

Untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan :

1) Pelajari kembali struktur dan proses untuk pengelolaan risiko

klinis dan non klinis, dan pastikan hal ini sudah terintegrasi
27

dengan keselamatan pasien dan staf komplain dan risiko

keuangan serta lingkungan.

2) Kembangkan indikor-indikator kinerja untuk sistem

manajemen risiko anda sehingga dapat di monitor oleh

pimpinan.

3) Gunakan informasi-informasi yang diperoleh dari sistem

pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk perbaikan

pelayanan pasien secara pro-aktif.

Untuk tingkat Unit :

1) Giatkan forum-forum diskusi tentang isu-isu manajemen risiko

dan keselamatan pasien, berikan feedback kepada manajemen.

2) Lakukan asesmen risiko pasien secara individual sebelum

dilakukan tindakan

3) Lakukan proses asesmen risiko secara reguler untuk tiap jenis

risiko dan lakukan tindaka-tindakan yang tepat untuk

meminimalisasinya.

2) Pastikan asesmen risiko yang ada di unit anda masuk ke dalam

proses asesmen risiko di tingkat organisasi dan risk register.

d. Bangun sistem pelaporan

Sistem pelaporan sangat vital di dalam pengumpulan informasi

sebagai dasar analisa dan penyampaikan rekomendasi. Pastikan


28

staf anda mudah untuk melaporkan insiden secara internal (lokal)

maupun eksternal (nasional).

Kegiatan yang dilaksanakan :

Untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan:

Bangun dan implementasikan sistem pelaporan yang menjelaskan

bagaimana dan cara Fasilitas pelayanan Kesehatan melaporkan

insiden secara nasional ke Komite Nasional Keselamatan Pasien

(KNKP).

Untuk tingkat Unit/Pelaksana :

Dorong kolega anda untuk secara aktif melaporkan insiden-

insiden keselamatan pasien baik yang sudah terjadi maupun yang

sudah di cegah tetapi bisa berdampak penting unutk

pembelajaran. Panduan secara detail tentang sistem pelaporan

insiden keselamatan pasien akan di susun oleh Komite Nasional

Keselamatan Pasien (KNKP).

e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien

Peran aktif pasien dalam proses asuhannya harus diperkenalkan

dan di dorong. Pasien memainkan peranan kunci dalam

membantu penegakan diagnosa yang akurat, dalam memutuskan

tindakan pengobatan yang tepat, dalam memilih fasilitas yang

aman dan berpengalaman, dan dalam mengidentifikasi Kejadian


29

Tidak Diharapkan (KTD) serta mengambil tindakan yang tepat.

Kembangkan cara-cara berkomunikasi cara terbuka dan

mendengarkan pasien.

Kegiatan yang dilaksanakan :

Untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan :

1) Kembangkan kebijakan yang mencakup komunikasi terbuka

dengan pasien dan keluarganya tentang insiden yang terjadi

2) Pastikan pasien dan keluarganya mendapatkan informasi

apabila terjadi insiden dan pasien mengalami cidera sebagai

akibatnya.

3) Berikan dukungan kepada staf, lakukan pelatihan-pelatihan

dan dorongan agar mereka mampu melaksanakan keterbukaan

kepada pasien dan keluarganya .

Untuk tingkat Unit/Pelaksana :

1) Pastikan anggota tim menghargai dan mendukung keterlibatan

pasien dan keluargannya secara aktif waktu terjadi insiden.

2) Prioritaskan kebutuhan untuk memberikan informasi kepada

pasien dan keluarganya waktu terjadi insiden, dan berikan

informasi yang jelas, akurat dan tepat waktu


30

3) Pastikan pasien dan keluarganya menerima pernyataan ”maaf”

atau rasa keprihatinan kita dan lakukan dengan cara terhormat

dan simpatik.

f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien

Jika terjadi insiden keselamatan pasien, isu yang penting bukan

siapa yang harus disalahkan tetapi bagaimana dan mengapa

insiden itu terjadi. Salah satu hal yang terpenting yang harus kita

pertanyakan adalah apa yang sesungguhnya terjadi dengan sistem

kita ini. Dorong staf untuk menggunakan analisa akar masalah

guna pembelajaran tentang bagaimana dan mengapa terjadi

insiden.

Kegiatan yang dilaksanakan :

Untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan :

1) Yakinkan staf yang sudah terlatih melakukan investigasi

insiden secara tepat sehingga bisa mengidentifikasi akar

masalahnya.

2) Kembangkan kebijakan yang mencakup kriteria kapan

fasilitas pelayanan kesehatan harus melakukan Root Cause

Analysis (RCA).

Untuk tingkat Unit/Pelaksana :


31

1) Lakukan pembelajaran di dalam lingkup unit anda dari

analisa insiden keselamatan pasien.

2) Identifikasi unit lain yang kemungkinan terkena dampak dan

berbagilah proses pembelajaran anda secara luas.

g. Implementasi solusi untuk mencegah kerugian

Salah satu kekurangan Fasilitas pelayanan Kesehatan di masa lalu

adalah ketidakmampuan dalam mengenali bahwa penyebab

kegagalan yang terjadi di satu Fasilitas pelayanan Kesehatan bisa

menjadi cara untuk mencegah risiko terjadinya kegagalan di

Fasilitas pelayanan Kesehatan yang lain.

Kegiatan yang dilaksanakan :

Untuk tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan :

1) Gunakan informasi yang berasal dari sistem pelaporan

insiden, asesmen risiko, investigasi insiden, audit dan analisa

untuk menetapkan solusi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

Hal ini mencakup redesigning system dan proses,

penyelarasan pelatihan staf dan praktek klinik.

2) Lakukan asesmen tentang risiko-risiko untuk setiap

perubahan yang direncanakan.

3) Monitor dampak dari perubahan-perubahan tersebut


32

4) Implementasikan solusi-solusi yang sudah dikembangkan

eksternal.

Untuk tingkat Unit/Pelaksana :

1) Libatkan tim anda dalam pengambangan cara-cara agar

asuhan pasien lebih baik dan lebih aman.

2) Kaji ulang perubahan-perubahan yang sudah dibuat dengan

tim anda untuk memastikan keberlanjutannya

3) Pastikan tim anda menerima feedback pada setiap followup

dalam pelaporan insiden

Untuk sistem yang sangat komplek seperti Fasilitas

pelayanan Kesehatan untuk mencapai hal-hal diatas dibutuhkan

perubahan budaya dan komitmen yang tinggi bagi seluruh staf

dalam waktu yang cukup lama.

B. Budaya Keselamatan Pasien

1. Defenisi Budaya Keselamatan Pasien

Budaya keselamatan pasien adalah produk dari nilai, sikap,

persepsi, kompetensi, dan pola prilaku dari individu dalam sebuah

organisasi (pelayanan kesehatan) yang menentukan komitmen, gaya,

kemahiran dalam manajemen keselamatan pasien. Organisasi

(pelayanan kesehatan) yang memiliki budaya keselamatan pasien yang

cendrung positif dapat dilihat dari komunikasi saling percaya (mutual


33

trust) antar komponen, dengan persepsi yang sama tentang pentingnya

keselamatan, dan dengan keyakinan akan besarnya manfaat tindakan

pencegahan (Rockville, 2018).

Budaya keselamatan pasien adalah kepercayaan, sikap, nilai

sebuah organisasi kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan

kesehatan berdasarkan struktur, praktek, peraturan dan kontrol

keselamatan pasien (WHO, 2017).

2. Dimensi Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Cahyono S (2015) organinisasi kesehatan memiliki

budaya keselamatan pasien yang positif, jika memiliki dimensi budaya

sebagai berikut :

a. Budaya keterbukaan (open culture)

Budaya ini mengambarkan semua staf rumah sakit merasa

nyaman berdiskusi tentang insiden yang terjadi ataupun topic

tentang keselamatan pasien dengan teman satu tim ataupun dengan

manajernya. Staf merasa yakin bahwa focus utama adalah

keterbukaan sebagai media pembelajaran dan bukan untuk mencari

kesalahan ataupun menghukum. Komunikasi terbuka dapat juga


34

diwujudkan pada saat serah terima pasien, briefing staff maupun

morning report.

b. Budaya keadilan (just culture)

Hal tersebut membawa atmosfer “trust” sehingga anggota

bersedia dan memiliki motivasi untuk memberikan data dan

informasi serta melibatkan pasien dan keluarganya secara adil

dalam setiap pengambilan keputusan tindakan yang akan diberikan.

Staf dan pasien diperlakukan secara adil saat terjadi insiden dan

tidak berfokus untuk mencari kesalahan individu tetapi lebih

mepelajari secara system yang mengakibatkan terjadinya

kesalahan. Lingkungan terbuka dan adil akan membantu staf

membuat pelaporan mengenai kejadian yang terjadi dan

menjadikan insiden sebagai pelajaran dalam upaya meningkatkan

keselamatan pasien.

c. Budaya pelaporan (reporting culture)

Budaya dimana staff siap untuk melaporkan insiden atau

near miss, sehingga dapat dinilai jenis error dan dapat diketahui

kesalahan yang biasa dilakukan oleh staf serta dapat diambil

tindakan sebagai bahan pembelajaran organisasi. Organisasi belajar

dari pengalaman sebelumnya dan mempunyai kemampuan untuk


35

mengidentifikasi factor risiko terjadinya insiden sehingga dapat

mengurangi atau mencegah insiden yang akan terjadi.

d. Budaya belajar (learning culture)

Setiap lini dari organisasi baik sharp end (yang bersentuhan

langsung dengan pelayanan) maupun blunt end (manajemen)

menggunakan insiden yang terjadi sebagai proses belajar.

Organisasi berkomitmen untuk mempelajari insiden yang terjadi

sebagai proses belajar dan mengkomunikasikan kepada staff serta

senantiasa mengingatkan staff.

e. Budaya informasi (informed culture)

Organisasi mampu belajar dari pengalaman masa lalu

sehingga memmiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan

menghindari insiden yang akan terjadi karena telah belajar dan

terinformasi dengan jelas dari insiden yang sudah pernah terjadi,

misalnya pelaporan kejadian dan investigasi.

3. Faktor-Faktor yang dapat mempengaruhi Budaya Keselamatan Pasien

Menurut Geller (1994) dalam Vierendeels (2018) tentang

Integrative Conceptual Framework for Safety Culture, menyebutkan

bahwa ada tiga kelompok Faktor yang dapat mempengaruhi budaya

keselamatan pasien, yaitu sebagai berikut:


36

a. Faktor Personal yaitu cendrung dari orang/manusia yang bekerja

dalam suatu organisasi rumah sakit. Faktor ini terdiri dari:

pengetahuan, sikap, motivasi, kompetensi, dan kepribadian.

b. Faktor perilaku organisasi yaitu kondisi kerja yang diukur dari

segi organisasi pelayanan kesehatan secara umum. Faktor

perilaku organisasi yaitu: kepemimpinan, kewaspadaan situasi,

komunikasi, kerja tim, stress, kelelahan, dan pengambilan

keputusan.

c. Faktor lingkungan merupakan pendukung proses pelayanan dalam

organisasi kesehatan, yang terdiri dari: perlengkapan, peralatan,

mesin, kebersihan, tehnik, standar prosedur operasional.

Konsep tentang pelaksanaan budaya keselamatan di sebuah

rumah sakit membutuhkan sebuah kerangka pikir yang komprehensif

terhadap elemen – elemen yang terlibat di dalamnya. Sammer ( 2010 )

melalui reviewnya menjelaskan bahwa terdapat tujuh subkultur yang

terlibat dalam ruang lingkup budaya keselamatan pasien. Kerangka

tersebut yaitu :

a. Kepemimpinan

Pemimpin mengakui lingkungan kesehatan adalah

lingkungan berisiko tinggi dan berusaha untuk menyelaraskan visi

/ misi, kompetensi staf, dan sumber daya fiskal dan manusia.


37

Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi orang lain

untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan (Potter & Perry,

2010). Agar fungsi pemimpin mencapai potensi yang optimal,

konsep kepemimpinan harus teintegrasi dalam fase proses

manajemen. Integrasi kemampuan kepemimpinan adalah

kemampuan melaksanakan fungsi manajemen diperlukan jika

individu ingin menjadi pemimpin yang efektif (Marquis, B. L., &

Huston, 2015).

Komponen kepemimpinan efektif dengan job description

yang jelas, memberikan kontribusi dalam menanamkan budaya

yang mendukung usaha staf, dan tidak bersifat menghukum

sangat dibutuhkan dalam menciptakan budaya keselamatan pasien

yang kuat dan menurunkan angka kejadian tidak diharapkan

(Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit, 2015). Hal ini sejalan

dengan Permenkes No. 11 Tahun 2017 mengatakan bahwa

membangun budaya keselamatan pasien tergantung pada

kepemimpinan yang kuat dan kepemimpinan organisasi

mendengarkan pendapat seluruh anggota (Kementrian Kesehatan,

2017).

Kepemimpinan rumah sakit dalam SNARS ed 1

kepemipinan yang efektif ditentukan oleh sinergi yang positif


38

antara pemilik rumah sakit, direktur, para pimpinan di rumah

sakit dan kepala unit kerja, unit pelayanan. Direktur rumah sakit

secara kolaboratif mengoperasionalkan rumah sakit oleh para

pemimpin, kepala unit kerja bersam unit pelayanan untuk

mencapai visi misi yang ditetapkan dalam memiliki tanggung

jawab mengelola manajemen peningkatan mutu dan keselamatan

pasien (KARS, 2016)

b. Kerja sama tim

Yaitu semangat kolegialitas, kolaborasi dan kerjasama ada di

antara eksekutif, staf dan praktisi independen dengan hubungan

yang berdasar keterbukaan , rasa aman , hormat dan fleksibel

c. Evidence based 

Memberikan kepastian bahwa pemberian layanan pada pasien

berdasar pada bukti ilmiah. Standarisasi yang dilakukan akan

mengurangi variasi sehingga reliabilitas tinggi dapat dicapai

d. Komunikasi

Merupakan penjaminan bahwa seluruh staf mempunyai hak dan

kewajiban untuk berbicara tentang segala sesuatu tentang

kepentingan pasien
39

e. Pembelajaran terhadap kesalahan yang dilakukan dengan

dilanjutkan dengan mencari peluang perbaikan. Hal ini berlaku

bagi seluruh staf termasuk diantaranya adalah staf medic.

f. Keadilan

Setiap kesalahan diartikan sebagai kesalahan sistem dan bukan

pada kesalahan individu

g. Berfokus pada Pasien

Pelayanan berpusat pada pasien memberikan kesempatan pada

pasien bukan hanya aktif dalam pengobatan dirinya namun juga

berperan sebagai penghubung antara rumah sakit dan masyarakat.

4. Karakteristik Positive Dari Budaya Keselamatan Pasien

a. Komunikasi dibentuk dari keterbukaan dan saling percaya

b. Alur informasi dan prosesing yang baik

c. Persepsi yang sama terhadap pentingnya keselamatan

d. Disadari bahwa kesalahan tidak bisa sepenuhnya dihindari

e. Identifikasi ancaman laten terhadap keselamatan secara proaktif -

Pembelajaran organisasi

f. Memiliki pemimpin yang komit dan eksekutif yang bertanggung

jawab.

g. Pendekatan untuk tidak menyalahkan dan tidak memberikan

hukuman pada insiden yang dilaporkan.


40

5. Strategi Penerapan Budaya Keselamatan Pasien:

a. Strategy 1

1) Lakukan safe practices

2) Rancang sistem pekerjaan yang memudahkan orang lain untuk

melakukan tindakan medik secara benar

3) Mengurangi ketergantungan pada ingatan

4) Membuat protokol dan checklist e.

5) Menyederhanakan tahapan-tahapan

b. Edukasi

1) Kenali dampak akibat kelelahan dan kinerja

2) Pendidikan dan pelatihan patient safety

3) Melatih kerjasama antar tim

4) Meminimalkan variasi sumber pedoman klinis yang mungkin

membingungkan

c. Akuntabilitas

1) Melaporkan kejadian error

2) Meminta maaf

3) Melakukan remedial care

4) Melakukan root cause analysis

5) Memperbaiki sistem atau mengatasi masalahnya

6. Alat Ukur Budaya Keselamatan Pasien


41

Survey budaya keselamatan pasien dapat dilakukan

berdasarkan elemen yang mendasari. Agency for Healtcare Research

and Quality (AHRQ) mengeluarkan kuesioner Hospital Survey on

Patient Safety Culture, yang menilai budaya keselamatan pasien

berdasarkan 12 dimensi dalam 42 pertanyaan. Ratusan rumah sakit di

United States dan rumah sakit di berbagai Negara telahmenggunakan

survey ini. Institusi pelayan kesehatan dapat menggunakan survey ini

untuk berbagai tujuan, yaitu seperti :

a. Meningkatkan kesadaran staf tentang keselamatan pasien,

b. Mengetahui bagainaman status budaya keselamatan pasien saat itu,

c. Mengetahui perubahan budaya keselamatan pasien dari waktu ke

waktu,

d. Menganalisa pengaruh budaya terhadapa tindakan keselmatan

pasien,

e. Membandingkan aspek internal dan external terhadap budaya

keselamtan pasien.

Elemen-elemen yang digunakan untuk mengukur budaya keselamatan

pasien AHRQ (2016)

a. Kerjasama Tim Dalam Unit

Tim kerja dapat diartikan sebagai teamwork (Polis et al,

2015). Tim kerja merupakan sekumpulan individu dengan keahlian


42

yang spesifik yang bekerja sama dan saling berinteraksi untuk

mencapai tujuan yang sama yang membutuhkan komitmen

bersama, saling percaya dan saling menghormati.

Tim kerja yang baik juga sangat didukung oleh pola

komunikasi yang efektif, kesamaan persepsi terhadap tujuan tim,

serta kesamaan norma dan nilai-nilai yang di anut organisasi.

Dalam dunia kesehatan, tim kerja dan kerja sama tim bergantung

pada seberapa banyak perbedaan profesi dalam pengaturan kerja.

Menurut Singer SJ et al. (2016) terdapat 3 faktor utama yang

mempengaruhi tim kerja yaitu; 1) pemimpin/ketua tim

(pengetahuan, keterampilan, sikap, gaya kepemimpinan dan

personality), 2) anggota tim (pengetahuan, keterampilan, sikap

personality), 3) struktur tim (jumlah/ukuran tim, norma-norma

yang berlaku, status, dan keterpaduan). Ketiga faktor tersebut akan

menciptakan dinamika kerja yang kondusif atau tidak kondusif

yang merupakan hasil keterbangunan dari komunikasi, koordinasi,

kerja sama, managemen konflik dan pengambilan keputusan dalam

tim.

b. Kepemimpinan

Konvensi Nasional Mutu rumah sakit dalam membangun

budaya keselamatan pasien di rumah sakit ada dua model


43

kepemimpinan sekaligus yang dibutuhkan yakni kepemimpinan

transaksional dan transformasional. Kepemimpinan transaksional

dapat digunakan untuk mendorong staf melakukan pelaporan

kejadian insiden dan kepemimpinan transformasional dipakai

untuk proses belajar dari kejadian dan merancang kembali program

untuk keselamatan pasien.

Upaya rumah sakit untuk menjamin keselamatan bagi

pasien tidak terlepas dari peran seluruh sumber daya manusia di

rumah sakit dalam menyelenggarakan pelayanan. Anderson &

Kodate (2015) menyatakan bahwa komitmen pemimpin akan

keselamatan merupakan hal pertama yang harus diperhatikan

dalam menerapkan budaya keselamatan pasien.

c. Pembelajaran organisasi

Organizational Learning atau perbaikan yang berkelanjutan

dilakukan tim inti untuk menentukan strategi pembudayaan nilai-

nilai keselamatan pasien. Tim tersebut secara berkala bertemu

untuk menganalisis RCA (Root Cause Analysis) serta mencari akar

masalah dari setiap insiden keselamatan pasien. Tim tersebut juga

menentukan pola sosialisasi serta mengevaluasi program yang

telah dilaksanakan melalui riset- riset aplikatif. Melalui upaya

perbaikan yang berkelanjutan akan diperoleh pengetahuan yang


44

tersirat maupun tersurat untuk menangani persoalan kejadian

insiden keselamatan pasien.

d. Dukungan manajemen terhadap upaya keselamatan pasien

Diartikan sejauh mana manajemen RS menyediakan budaya

kerja yang mempromosikan keselamatan pasien dan berpedoman

bahwa keselamatan pasien adalah prioritas utama.

e. Persepsi keseluruhan tentang keselamatan pasien

Diartikan persepsi dari seluruh staf berkaitan dengan

keselamatan pasien, termasuk pemahaman tentang prosedur dan

sistem yang baik untuk mencegah kesalahan.

f. Umpan balik dan komunikasi tentang kesalahan

Diartikan sebagai sejauh mana staf diberitahu tentang

kesalahan yang dilakukan, menerima umpan balik masukan dari

staf dan mendiskusikan upaya untuk mencegah kesalahan tidak

terulang kembali.

g. Komunikasi Terbuka

Perawat berperan dalam siklus komunikasi dalam

keselamatan pasien. Agency for Healthcare Research and Quality

(AHRQ) melakukan survey rumah sakit di Amerika tentang


45

pelaksanaan budaya keselamatan pasien pada komunikasi terbuka

sebesar 62%.

h. Pelaporan Kejadian

Pelaporan kejadian merupakan suatu sistem yang penting

dalam membantu mengidentifikasi masalah keselamatan pasien dan

dalam menyediakan data pada organisasi dan sistem pembelajaran

Perawat berperan dalam melaporkan kejadian kesalahan.

i. Kerjasama antar unit

Diartikan sejauh mana setiap unit dalam RS saling

bekerjasama dan berkoordinasi antar unit dengan tujuan yang sama

yaitu memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien.

j. Staffing

Menurut Douglas dkk (1976) dalam Beginta (2012), staffing

didefinisikan sebagai proses menegaskan pekerja yang ahli untuk

mengisi struktur organisasi melalui seleksi dan pengembangan

personil. Dengan adanya staffing diharapkan terpenuhinya jumlah

dan keterampilan yang dimiliki perawat sesuai dengan kebutuhan

yang ada di tiap unit yang dibutuhkan. Jumlah perawat di rumah

sakit mempengaruhi kualitas pelayanan yang diterima pasien di

rumah sakit. Karena staf yang memadai merupakan suatu hal

mendasar untuk perawatan yang berkualitas.


46

Terbukti dengan banyaknya perawat setara dengan

keselamatan pasien yang lebih baik. Aiken dkk (2012)

menyebutkan bahwa terdapat hubungan langsung antara staffing

perawat dan dampaknya terhadap keselamatan pasien, hasil, dan

kepuasan perawat profesional di rumah sakit.

k. Handsoff dan transisi

Perpindahan pasien dari satu lingkungan ke lingkungan

yang lain dapat berupa perpindahan pasien dari IGD ke unit dalam

rangka mendapatkan pengobatan. Dalam perpindahan tersebut

dapat terjadi suatu kesalahan sehingga membahayakan pasien

seperti jatuhnya pasien dan kesalahan informasi ketika terjadi

pertukaran informasi mengenai pasien. Kesalahan informasi

mengenai pasien tersebut juga dapat terjadi ketika berlangsungnya

pergantian shift antar perawat.

l. Respon Tidak Menghukum Ketika Terjadi Kesalahan

Kesalahan medis sangat jarang disebabkan oleh faktor

kesalahan manusia secara tunggal, namun lebih banyak disebabkan

karena kesalahan sistem di rumah sakit yang mengakibatkan rantai-

rantai dalam sistem terputus.

C. Fungsi Manajemen Kepala Ruangan


47

Menurut Robbins & P. Stephen (2015) menyebutkan bahwa fungsi

manajemen adalah perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, dan

pengawasan. Senada dengan yang dikemukakan oleh Marquis, B. L., &

Huston (2015) menyatakan fungsi kepala ruang sebagai first line manager

meliputi fungsi manajerial yaitu fungsi perencanaan, pengorganisasian,

pengaturan staf, pengarahan, dan pengendalian. Fungsi manajemen ini

cocok untuk digunakan dalam dunia keperawatan baik dalam penelitian

maupun dalam praktik. Dimana dalam setiap proses manajemen tersebut

diintegrasikan dengan tugas, kewenangan, tanggung jawab/ kriteria

pemimpin yang menudukung atau berkomitmen terhadap program

keselamatan pasien dimulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi

sebagaimana yang termuat dalam permenkes no 11 tahun 2017 tentang

keselamatan pasien (Kementrian Kesehatan, 2017).

Kepala ruangan adalah pimpinan perawat di unit kerja bidang

perawatan di rumah sakit. Menurut Kemenkes RI (2015) setiap pimpinan

unit kerja wajib memimpin gerakan patient safety. Sebagai lower manager

yang berada digaris depan, kepala ruangan bertanggungjawab atas

sekelompok orang yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan, oleh

karena itu kepala ruangan memegang peran penting terhadap proses

implementasi keselamatan pasien (Wagner et al, 2013). Hal tersebut

karena kepala ruangan bertanggung jawab terhadap perawat sebagai


48

komponen tenaga terbanyak dan yang paling sering berinteraksi dengan

pasien daripada tenaga lainnya yang ada di rumah sakit, dimana pelayanan

kesehatan yang diberikan kepada pasien atau yang biasa disebut dengan

asuhan keperawatan berlangsung selama 24 jam.

Kepala Ruangan diharapkan menjalankan seluruh fungsi

manajemen sehingga lingkungan dan kondisi kerja akan mendukung

pelayanan keperawatan dalam mencapai keselamatan bagi pasien (Gillies

(1996). Manajemen keperawatan merupakan rangkaian fungsi dan

aktivitas yang secara simultan saling berhubungan dalam menyelesaikan

pekerjaan melalui anggota staf keperawatan untuk meningkatkan

efektifitas dan efisiensi pelayanan keperawatan yang berkualitas (Gillies,

1996; Marquis & Huston, 2015 ).

Penelitian Ernawati (2015) mengatakan ada hubungan bermakna

fungsi manajemen kepala ruang dengan penerapan budaya keselamatan

pasien oleh profesional pemberi asuhan (PPA) di ruangan rawat inap

Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. Dari hasil penelitian Anwar

& Yuswardi, (2016) juga diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara

fungsi manajemen kepala ruangan pada perencanaan, pengorganisasian,

pengaturan staf, dan pengendalian dengan penerapan budaya keselamatan

pasien.
49

Firth-Cozens, (2002) dalam Wagner et al (2013) menyatakan

bahwa kepala ruang memiliki peran yang kritis dalam mendukung budaya

keselamatan dan kepemimpinan efektif telah menunjukkan arti penting

dalam menciptakan lingkungan yang positif bagi patient safety. Fungsi

manajerial kepala ruang meliputi lima fungsi yaitu:

1. Perencanaan

Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan

penentuan secara matang hal- hal yang akan dikerjakan di masa

mendatang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Perencanaan dapat juga diartikan sebagai suatu rencana kegiatan

tentang apa yang harus dilakukan, bagaimana kegiatan itu

dilaksanakan, dimana kegiatan itu dilakukan. Perencanaan yang

matang akan memberi petunjuk dan mempermudah dalam

melaksanakan suatu kegiatan dan merupakan pola pikir yang dapat

menentukan keberhasilan suatu kegiatan dan titik tolak dari kegiatan

pelaksanaan kegiatan selanjutnya. Hierarki dalam perencanaan terdiri

dari perumusan visi, misi, filosofi, peraturan, kebijakan, dan prosedur

(Marquis, B. L., & Huston, 2015).

Leos (2015) mengatakan bahwa untuk meningkatkan

keselamatan pasien pada perawat onkologi dengan menciptakan

perencanaan lingkungan perawatan yang aman yaitu dengan


50

meningkatkan penyediaan cuci tangan untuk mencegah infeksi jamur.

Pendapat lain Leos (2015) mengatakan bahwa kesenjangan yang dapat

menyebabkan kesalahan tanpa disadari sebagai akibat dari keputusan

yang dibuat dalam perencanaan yang kurang optimal.

Menurut Kemenkes RI (2017), perencanaan dan

pengukuran kinerja merupakan kegiatan yang dapat

memperbaiki patient safety di fasilitas pelayanan Kesehatan

melalui tujuh langkah menuju keselamatan pasien yang

tertuang dalam Peraturan Mentri Kesehatan No. 11

tahun 2017 tentang patient safety. Perencanaan pemimpin

keperawatan dalam patient safety (Wibowo, 2016) adalah menyusun

‘Deklarasi/Pernyataan’ awal gerakan keselamatan pasien atau

‘pencanangan’ tentang tekad untuk memulai aktivitas keselamatan

pasien. Isi pernyataan mengandung elemen: pernyataan bahwa patient

safety sangat penting dan menjadi prioritas; komitmen tentang

tanggung jawab eksekutif dalam patient safety; aplikasikan

pengetahuan dan keterampilan yang mutakhir; berlakukan pelaporan

yang jujur (blameless reporting).

Perencanaan dalam budaya keselamatan oleh seorang

pemimpin keperawatan meliputi pengembangan visi ke depan untuk

memberikan pedoman kegiatan saat ini dan juga strategi untuk


51

mencapai visi tersebut (Nurmalia & Nivalinda, 2016). Perencanaan

dalam patient safety diantaranya dengan pelatihan dan pendidikan

tentang patient safety dan perencanaan sumber daya yang ada (SDM

dan fasilitas) (Nurmalia & Nivalinda, 2016).

2. Pengorganisasian

Pengorganisasian adalah pengelompokan aktivitas untuk

mencapai tujuan, penugasan suatu kelompok tenaga keperawatan,

menentukan cara dari pengkoordinasian aktivitas yang tepat, baik

vertikal maupun horizontal, yang bertanggungjawab untuk mencapai

tujuan organisasi oleh Marquis, B. L., & Huston (2015).

Pengorganisasian dalam pelayanan keperawatan merupakan

proses pengelompokan kegiatan terhadap tugas, wewenang, tanggung

jawab dan koordinasi kegiatan baik vertikal maupun horizontal yang

dilakukan oleh tenaga keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan (Kemenkes RI, 2016) Fungsi ini mencakup penetapan

tugas-tugas yang harus dilakukan, siapa yang harus melakukan, seperti

apa tugas-tugas dikelompokkan, siapa yang melaporkan ke siapa, dan

di mana serta kapan keputusan harus diambil oleh seorang perawat.

Fungsi penggorganisasian dalam patient safety diantaranya

adalah menunjuk petugas penanggung jawab sebagai “penggerak”

dalam tim / unit perawatan untuk memimpin Gerakan Keselamatan


52

Pasien, menjelaskan kepada anggota tim tanggung jawabnya,

relevansi dan pentingnya serta manfaat menjalankan gerakan

Keselamatan Pasien bagi petugas dab pasien (Kemenkes, 2017).

3. Pengaturan Staf

Pengaturan staf (staffing) merupakan fase ketiga dari proses

manajemen. Menurut Marquis, B. L., & Huston (2015) manajer

merekrut, memilih, memberikan orientasi dan meningkatkan

perkembangan individu untuk mencapai tujuan organisasi. Kepala

ruang menjalankan fungsi ini antara lain dengan merencanakan

kebutuhan staf perawat, menyusun jadwal dinas, memberikan

orientasi bagi staf baru mengenai kebijakan, aturan maupun standar

keselamatan yang harus ditaati dalam bekerja.

4. Pengarahan

Pengarahan yaitu penerapan perencanaan dalam bentuk

tindakan dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah

ditetapkan sebelumnya. Istilah lain yang digunakan sebagai padanan

pengarahan adalah pengkoordinasian, pengaktifan, dan pada akhirnya

akan bermuara pada melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan

sebelumnya.

Pengarahan menguraikan pekerjaan dalam tugas- tugas yang

mampu dikelola dengan memaksimalkan pelaksanaan pekerjaan oleh


53

staf melalui upaya- upaya menciptakan iklim motivasi, mengelola

waktu secara efisien: mendemonstrasikan keterampilan komunikasi

yang terbaik; mengelola konflik dan memfasilitasi kolaborasi;

melaksanakan sistem pendelegasian dan supervisi; serta negosiasi

(Marquis, B. L., & Huston, 2015)

Seorang manajer dalam organisasi berperan menciptakan

budaya kerja yang aman dan suasana pendidikan berkelanjutan agar

selalu bekerja dengan keilmuan yang kokoh dan mutakhir,

menumbuhkan rasa percaya diri anggota yang tinggi, dengan

memberikan reward and punishment yang jelas dan tegas,

menerjemahkan standar operasional prosedur yang mudah dibaca dan

dimengerti agar memudahkan pekerjaan yang akan dilakukan staf,

jelaskan prosedur keadaan gawat/force major baik terhadap pasien

maupun situasi gawat lainnya, memberikan pengarahan yang sifatnya

jelas, singkat dan tepat, menggunakan manajemen control yang baik

untuk mengkaji kualitas layanan secara teratur dan rutin (Mugianti,

2016).

Fungsi pengarahan manajer dalam budaya keselamatan pasien

meliputi komunikasi, pemberian motivasi, melakukan supervisi.

Komunikasi merupakan bagian penting dalam keberhasilan penerapan

budaya keselamatan pasien (Nurmalia & Nivalinda, 2016). Dalam


54

penerapan fungsi pengarahan seorang manajer harus memastikan staf

mampu untuk berbicara mengenai kepedulian terhadap patient safety ,

memotivasi staf untuk berani dan aktif melaporkan bilamana ada

insiden dan insiden yang telah dicehah tetapi tetap terjadi juga,

memotifasi staf untuk menghargai dan mendukung keterlibatan pasien

dan keluarga jika terjadi insiden dengan menunjukkan empati dan

segera memberikan informasi yang jelas dan benar secara tepat,

mendiskusikan isu-isu Keselamatan Pasien guna memberikan umpan

balik kepada manajemen yang terkait, memastikan laporan dibuar

secara terbuka, adil dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan

tindakan/solusi yang tepat dari identifikasi dan hasil analisis insiden

unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak berulang,

(Kemenkes, 2017). Lakukan supervisi dan forum-forum diskusi secara

berkala pada area yang berbeda di rumah sakit terkait pada masalah

keselamatan.

Jika terjadi insiden keselamatan pasien, isu yang penting bukan

siapa yang harus disalahkan tetapi bagaimana dan mengapa insiden itu

terjadi. Salah satu hal yang terpenting yang harus di pertanyakan

adalah apa yang sesungguhnya terjadi dengan sistem. Dorong staf

untuk menggunakan analisa akar masalah guna pembelajaran tentang

bagaimana dan mengapa terjadi insiden. Hal ini meningkatkan


55

kepedulian akan masalah- masalah keselamatan pasien:

memperlihatkan bahwa keselamatan menjadi prioritas utama bagi

manajer senior; membantu membangun budaya adil dan terbuka

dengan menghargai pelaporan (Nurmalia & Nivalinda, 2016).

5. Pengendalian

Pengendalian manajemen adalah proses untuk memastikan

bahwa aktivitas sebenarnya sesuai dengan aktivitas yang direncanakan

dan berfungsi untuk menjamin kualitas serta pengevaluasian

penampilan kinerja (Wibowo, 2016). Langkah- langkah yang harus

dilakukan dalam pengendalian/pengontrolan meliputi menetapkan

standar dan menetapkan metode mengukur prestasi kerja; melakukan

pengukuran prestasi kerja ; menetapkan apakah prestasi kerja sesuai

dengan standar; mengambil tindakan korektif.

Pengendalian dalam budaya keselamatan pasien adalah

dengan memberikan umpan balik kepada staf, audit pelaporan

terhadap kejadian kesalahan, pengambilan tindakan

korektif/perbaikan baik sebelum atau sesudah terjadi kesalahan

(Nurmalia & Nivalinda, 2016). Dalam penerapan tujuh langkah

menujukeselamatan pasien juga disebut kan bahwa

pemimpin/manajer unit bertugas memastikan ada penilaian risiko

pada individu pasien dalam proses asesmen risiko rumah sakit


56

Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan

akseptabilitas setiap risiko, dan mengambil langkah langkah yang

tepat untuk memperkecil risiko tersebut dan memastikan penilaian

risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen

dan pencatatan risiko rumah sakit, libatkan staf dalam

mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien

menjadi lebih baik dan lebih aman, telaah kembali perubahan-

perubahan yang dibuat tim dan pastikan pelaksanaannya, dan juga

pastikan staf menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut

tentang insiden yang dilaporkan (Kemenkes RI, 2017).

D. Kerangka Teori
Penerapan Budaya Keselamatan
Pasien :
Faktor-Faktor yang mempengaruhi
1. Kerja Sama Tim Dalam Unit
Budaya Keselamatan Pasien : 2. Harapan dan tindakan
1. Faktor Personal supervisor/manajer dalam
2. Faktor perilaku organisasi promosi keselamatan
- Kepemimpinan 3. Pembelajaran Organisasi dan
- Kewaspadaan situasi perbaikan berkelanjutan
- Komunikas 4. Dukungan Manajemen untuk
Keselamatan Pasien
- Kerja tim
5. Persepsi tentang Keselamatan
- Stress Pasien
- Kelelahan 6. Umpan Balik Terhadap
- Kepemimpinan tim Kesalahan
- Pengambilan keputusan 7. Keterbukaan Komunikasi
3. Faktor lingkungan 8. Frekuensi Kejadian Dilaporkan
9. Kerja Sama Tim Antar Unit
10. Staffing
Geller (1994) dalam Vierendeels 11. Handoff & Transisi
(2018) 12. Respon Nonpunitif terhadap
Kesalahan

(AHRQ, 2016)
57

Fungsi Manajemen
Keperawatan :
1. Perencanaan
2. Pengorganisasian
3. Pengaturan staf
4. Pengarahan
5. Pengendalian
(Marquis, B. L., & Huston,
2015)

Gambar 2.2: Kerangka teori

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS PENELITIAN

DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen


58

Fungsi Manajemen Keperawatan

Perencanaan

Pengorganisasian
Penerapan Budaya
Pengaturan Staf Keselamatan Pasien

Pengarahan

Pengendalian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

B. Hipotesis Penelitian

Adapun Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Terdapat hubungan perencanaan kepala ruangan dengan penerapan

budaya keselamatan pasien di RSUD Pasaman Barat 2019

2. Terdapat hubungan pengorganisasian kepala ruangan dengan penerapan

budaya keselamatan pasien di RSUD Pasaman Barat 2019


46
3. Terdapat hubungan pengaturan kepala ruangan dengan penerapan

budaya keselamatan pasien di RSUD Pasaman Barat 2019

4. Terdapat hubungan pengarahan kepala ruangan dengan penerapan

budaya keselamatan pasien di RSUD Pasaman Barat 2019


59

5. Terdapat hubungan pengendalian kepala ruangan dengan penerapan

budaya keselamatan pasien di RSUD Pasaman Barat 2019

6. Terdapat fungsi manjerial kepala ruangan yang paling dominan

berhubungan dengan penerapan budaya keselamatan pasien di RSUD

Pasaman Barat tahun 2019

C. Defenisi Operasional

Adapun definisi operasional pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel

dibawah ini :

Tabel 3.1
Definisi Operasional

Cara
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Variabel Independen
A. Fungsi Adalah Persepsi Angket Kuesioner a. Baik: jika Ordinal
60

Perencanaan profesional pemberi yang jumlah skor


Kepala asuhan (PPA) yang dikemban ≥ 75%
Ruangan bekerja di ruangan rawat gkan dari b. Kurang baik:
inap RSUD Pasaman Marquis, jika jumlah
Barat tentang & Huston, skor < 75%
kemampuan kepala (2015) (Depkes,
ruangan melaksanakan 2009)
fungsi perencanaan
keperawatan dalam
penerapan budaya
keselamatan pasien
B. Fungsi Adalah Persepsi Angket Kuesioner a. Baik: jika Ordinal
Pengorganisa profesional pemberi yang jumlah skor
sian Kepala asuhan (PPA) yang dikemban ≥ 75%
Ruangan bekerja di ruangan rawat g Marquis, b. Kurang baik:
inap RSUD Pasaman & Huston, jika jumlah
Barat tentang (2015)& skor < 75%
kemampuan kepala Depkes (Depkes,
ruangan melaksanakan (2001) 2009)
fungsi pengorganisasian
keperawatan dalam
penerapan budaya
keselamatan pasien.
D. Fungsi Adalah Persepsi profesional Angket Kuesioner a. Baik: jika Ordinal
Pengaturan pemberi asuhan (PPA) yang jumlah skor
Kepala yang bekerja di ruangan dikemban ≥ 75%
Ruangan rawat inap RSUD Pasaman gkan dari b. Kurang baik:
Barat tentang kemampuan
Marquis, jika jumlah
kepala ruangan
& Huston, skor < 75%
melaksanakan fungsi
pengaturan keperawatan (2015) (Depkes,
dalam penerapan budaya 2009)
keselamatan pasien
E. Fungsi Adalah Persepsi Angket Kuesioner a. Baik: jika Ordinal
Pengarahan profesional pemberi yang jumlah skor
Kepala asuhan (PPA) yang dikemban ≥ 75%
61

Ruangan bekerja di ruangan rawat gkan dari b. Kurang baik:


inap RSUD Pasaman Marquis, jika jumlah
Barat tentang & Huston, skor < 75%
kemampuan kepala (2015) (Depkes,
ruangan melaksanakan 2009)
fungsi pengarahan
keperawatan dalam
penerapan budaya
keselamatan pasien.
F. Fungsi Adalah Persepsi Angket Kuesioner a. Baik: jika Ordinal
Pengenda profesional pemberi yang jumlah skor
lian asuhan (PPA) yang dikemban ≥ 75%
Kepala bekerja di ruangan rawat gkan dari b. Kurang baik:
Ruangan inap RSUD Pasaman Marquis, jika jumlah
Barat tentang & Huston, skor < 75%
kemampuan kepala (2015) (Depkes,
ruangan melaksanakan 2009)
fungsi pengendalian
keperawatan dalam
penerapan budaya
keselamatan pasien
Variabel Dependen
Penerapan Adalah Perilaku Angket Kuesioner a. Baik: jika Ordinal
Budaya profesional pemberi yang jumlah skor
Keselamatan asuhan (PPA) (ketua dikemban ≥ 75%
Pasien tim dan profesional gkan dari b. Kurang baik:
pemberi asuhan (PPA) ) AHRQ jika jumlah
yang bekerja di ruang (2016) skor < 75%
rawat inap RSUD c. (Depkes,
Pasaman Barat yang 2009)
berlandaskan
keterbukaan, keadilan,
pelaporan belajar dan
informasi belajar
62

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan pendekatan

crosssectional yaitu pengukuran variabel independen dan dependen dalam

waktu bersamaan yang bertujuan untuk menganalisis fungsi manajerial

kepala ruangan yang dilihat dari pelaksanaan fungsi perencanaan,

pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan pengendalian, terhadap

penerapan budaya keselamatan pasien di ruang rawat RSUD Pasaman

Barat.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi penelitian ini adalah seluruh profesional pemberi

asuhan (PPA) yang bekerja di ruang rawat RSUD Pasaman Barat

sejumlah 113 profesional pemberi asuhan (PPA) .

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian perawat yang

bertugas di Ruang Rawat RSUD Pasaman Barat. Teknik sampling

yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

teknik Probability Sampling dengan teknik yang digunakan adalah

Proportional Random Sampling. Jumlah sampel dalam penelitian ini

40
63

ditentukan dengan menggunakan rumus Lameshaw, et al, 1990 dalam

(Hidayat, 2009) seperti dibawah ini:

Keterangan:
Z21-α/2 = skor z kepercayaan 95% (1,96)
p = proporsi sampel (0,5)
N = jumlah populasi
d2 = derajat ketepatan yang digunakan 95% (0,05)

(1,96)2 (0,5) (1-0,5) (113)

Jumlah Sampel (n) =


(0,05)2 (113-1) + (1,96)2 (0,5) (1-0,5)

(3,84) (0,5) (0,5) (113)

Jumlah Sampel (n) =


(0,0025) (112) + (3,84) (0,5) (0,5)

(3,84) (0,25) (113)


64

Jumlah Sampel (n) =


(0,0025) (112) + (3,84) (0,25)

108.48
Jumlah Sampel (n) =
0,28 + 0,96

Jumlah Sampel (n) = 87.48

Jumlah Sampel (n) = 87

Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 87 orang perawat

yang bertugas di RSUD Pasaman Barat.

Untuk menentukan tiap ruangan berapa jumlah perawat yang

dijadikan sampel di hitung dengan menggunakan rumus Proportional

Sampling (Umar, 2007), sebagai berikut :

ni = Ni x n
N

Keterangan :

ni = Besarnya sampel pada tiap strata.

Ni = Besarnya populasi per strata.

n = Besarnya sampel yang diinginkan.

N = Jumlah populasi
65

Penentuan jumlah sampel berdasarkan jumlah ruang rawat inap

dan jumlah profesional pemberi asuhan (PPA) dapat dilihat dalam

tabel 4.1 dibawah ini :

Tabel 4.1
Jumlah Sampel Pada Masing-Masing Area

Jumlah Jumlah
No Ruangan Rumus
Perawat Sampel

1 Ruang Interne 12 =12/113 x 87 9

2 Ruang Anak 7 = 7/113 x 87 5

3 Ruang Bedah 11 =11/113 x 87 9

4 Ruang Paru/Neuro 12 =12/113 x 87 9

5 Ruang VIP 9 = 9/113 x 87 7

6 Ruang ICU 12 =12/113 x 87 9

7 Ruang Kelas 8 = 8/113x 87 6

8 Ruang IGD 13 =13/113 x 87 10

9 Ruang Poliklinik 21 =21/113 x 87 15

10 OK 8 =8/ 113 x 87 6

Jumlah 113 87
66

Untuk menjamin tersedianya sampel penelitian digunakanlah kriteria

sampel yaitu:

a. Kriteria inklusi :

Perawat yang bersedia menjadi responden dengan menandatangani

inform concent

b. Kriteri eksklusi :

Perawat yang sedang cuti, sakit dan tugas belajar

C. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Ruang Rawat Rumah Sakit Umum Daerah

Pasaman Barat.

D. Waktu Penelitian

Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Desember

2019 sampai dengan Januari 2020

E. Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapatkan izin atau persetujuan

dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas

Andalas, izin menggunakan lahan penelitian dari rumah sakit dan

persetujuan mengisi kuesioner dari responden. Dengan memperhatikan

aspek-aspek etika penelitian yang meliputi :


67

1. Informed consent

Sebelum dilakukan pengambilan data, responden diminta untuk

menandatangani lembaran persetujuan bersedia menjadi responden

setelah responden mendapat penjelasan tentang tujuan dan prosedur

pelaksanaan penelitian sebagai bentuk bahwa penelitian ini tidak

berdampak bahaya dan mengancam kenyamanan responden.

2. Anonymity

Pada lembaran kuesioner tidak dicantumkan nama responden dan data

pribadi lain agar kerahasian responden terjaga. Hal itu merupakan

upaya dalam memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan

responden yang terlibat dalam penelitian ini. Nama dan data pribadi lain

diganti dengan kode nomor pada lembaran kuesioner.

3. Confidentiality

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memberikan jaminan terhadap

kerahasiaan hasil penelitian dan masalah-masalah lain. Menyimpan data

dengan baik semata-mata untuk kepentingan penelitian ini.

F. Alat Pengumpulan Data

1. Data Primer.
68

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

teknik penyebaran kuesioner menggunakan pertanyaan tertulis. di

rumah sakit.

Instrumen yang di gunakan adalah :

a. Kuesioner A

Kuesioner A berisi data karakteristik responden (usia, jenis

kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, dan pelatihan patient

safety yang pernah diikuti).

b. Kuesioner B

Kuisioner B merupakan kuisioner fungsi manajemen kepala

ruangan berdasarkan Marquis & Huston (2015) meliputi

perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan dan

pengendalian. Kuisioner ini dikembangkan oleh peneliti

berdasarkan Marquis & Huston (2015) dan Kepmenkes ( 2017 )

tentang Keselamatan Paien yang didukung oleh kepustakaan.

Pernyataan-pernyataan fungsi manajerial kepala ruangan

mempunyai lima skala alternative dengan skor sebagai berikut:

selalu (SL) diberi skor 5, sering (SR) diberi skor 4, kadang-kadang

(K) diberi skor 3, jarang (J) diberi skor 2, dan tidak pernah (TP)

diberi skor 1. Kemudian dikategorikan baik jika skor ≥ 75% dan

kurang baik jika < 75%.


69

c. Kuesioner C

Peneliti menggunakan kuesioner C tentang penerapan budaya

keselamatan pasien yang dikeluarkan oleh AHRQ pada Hospital

Survey on Patient Safety Culture (HSPSC). Kuesioner tersebut

telah digunakan oleh rumah sakit-rumah sakit di Amerika untuk

mengukur budaya keselamatan pasien di rumah sakit. Kuesioner

yang digunakan peneliti ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia dan telah digunakan pada penelitian sebelumnya. Dalam

kuesioner tersebut terdapat 42 pertanyaan yang mencakup 12

dimensi budaya keselamatan pasien.

1) Kerja sama tim dalam unit terdiri dari 4 (empat) pernyataan,

(nomor 1-4).

2) Manajer / kepala ruangan terdiri dari 4 (empat) pernyataan,

(nomor 5-8).

3) Pembelajaran organisasi — peningkatan berkesinambungan dari

3 (tiga) pernyataan, (nomor 9-11).

4) Dukungan manajemen untuk keselamatan pasien terdiri dari 3

(tiga) pernyataan, (nomor 12-14).

5) Persepsi tentang keselamatan pasien dari 4 (empat) pernyataan,

(nomor 15-18).

6) Umpan balik & komunikasi tentang kesalahan terdiri dari 3

(tiga) pernyataan, (nomor 19-21).


70

7) Keterbukaan Komunikasi terdiri dari 3 (tiga) pernyataan, nomor

(22-24).

8) Frekuensi kejadian dilaporkan terdiri dari 3 (tiga) pernyataan,

(nomor 25-27).

9) Kerja sama tim antar unit terdiri dari 4 (empat) pernyataan,

(nomor 28-31).

10) Staffing terdiri dari 4 (empat) pernyataan, (nomor 32-35).

11) Handoff & Transisi terdiri dari 4 (empat) pernyataan, (nomor

36-39).

12) Respon Nonpunitif terhadap Kesalahan terdiri dari 3 (tiga)

pernyataan, (nomor 40-42).

Sistem penilaiannya ditetapkan melalui 5 (lima) pilihan jawaban

yaitu: selalu (SL) diberi skor 5, sering (SR) diberi skor 4, kadang-

kadang (K) diberi skor 3, jarang (J) diberi skor 2, dan tidak pernah

(TP) diberi skor 1. Kemudian dikategorikan baik jika skor ≥ 75%

dan kurang baik jika < 75%.

2. Data Sekunder.

Pengumpulan data sekunder diperoleh dari buku arsip atau profil rumah

sakit, jadwal dinas perawat, jurnal online, media baca dan studi

kepustakaan. Data tersebut mencakup jumlah perawat, gambaran umum


71

rumah sakit, fungsi manajemen kepala ruang serta peran dan fungsi

profesional pemberi asuhan (PPA)

G. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji Validitas dan relibialitas dalam penelitian ini rencananya akan

dilakukan di RSUD Lubuk Sikaping, Uji coba ini dilakukan dengan cara:

1. Uji Validitas

Uji Validitas dilakukan untuk menngetahui sejauh mana ketepatan

suatu alat ukur dalam pengukuran suatu data ( dalam hal ini adalah

kuisioner ). Untuk melakukan uji validitas ini menggunakan system

komputerisasi.  Teknik pengujian yang digunakan peneliti untuk uji

validitas adalah menggunakan korelasi Bivariate Pearson (Produk

Momen Pearson). Analisis ini dengan cara mengkorelasikan masing-

masing skor item dengan skor total. Skor total adalah penjumlahan

dari keseluruhan item. Item-item pertanyaan yang berkorelasi

signifikan dengan skor total menunjukkan item-item tersebut mampu

memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin diungkap

Valid. Jika r hitung ≥ r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka

instrumen atau item-item pertanyaan berkorelasi signifikan terhadap

skor total (dinyatakan valid) (Sugiono, 2011)

2. Uji Reliabilitas

Untuk mengetahui reliabilitas instrument ini dilakukan perhitungan

dengan menggunakan rumus uji Cronbach Alpha. Kriteria


72

pengujian: Jika r > r tabel, berarti item pernyataan valid, Jika r ≤ r

tabel, berarti item pernyataan adalah tidak valid (Dahlan, 2011).

H. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan

dalam tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Sebelum melakukan penelitian, tahapan persiapan yang dilakukan

oleh peneliti adalah sebagai berikut :

a. Peneliti mengajukan surat pengajuan permohonan pengambilan

data awal ke RSUD Pasaman Barat (Surat dikeluarkan oleh

Program Studi S2 Keperawatan Fakultas Keperawatan

Universitas Andalas Padang).

b. Peneliti menyampaikan surat pengambilan data yang dikeluarkan

Program Studi S2 Keperawatan Fakultas Keperawatan

Universitas Andalas ke RSUD Pasaman Barat

c. Peneliti melakukan studi dokumentasi dan wawancara pada

pihak-pihak yang terkait dengan penelitian untuk mempertajam

masalah.

d. Peneliti melakukan studi pendahuluan pada profesional pemberi

asuhan (PPA) yang bekerja di RSUD Pasaman Barat


73

e. Peneliti melakukan studi kepustakaan mengenai hal-hal yang

akan diteliti sesuai dengan masalah yang ditemui

f. Menyusun laporan penelitian (melalui proses bimbingan)

g. Seminar proposal (Kolokium) dan perbaikan proposal

berdasarkan saran dan masukan dari pembimbing dan penguji

proposal.

2. Tahap Pra Pelaksanaan

Tahap Pra pelaksanaan izin penelitian adalah sebagai berikut :

a. Peneliti mengurus izin penelitian dari Fakultas Keperawatan ke

RSUD Pasaman Barat

b. Peneliti memasukkan surat ke RSUD Pasaman Barat terkait

rekomendasi atau izin penelitian.

c. Peneliti memasukkan permohonan izin uji validitas di RSUD

Lubuk Sikaping. Setelah mendapatkan surat pengantar peneliti

mengumpulan data uji validitas.

d. Setelah dilakukan uji validitas dan setelah uji validitas selesai

diolah dan izin penelitian dari RSUD Pasaman Barat untuk

menemui responden.

3. Pelaksanaan

a. Peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan maksud dan tujuan

kepada Kepala Ruangan dan Profesional pemberi asuhan (PPA)


74

b. Peneliti meminta kesediaan responden dari Kepala Ruangan dan

perawatan pelaksana

c. Sebelum melakukan penelitian Kepala Ruangan dan Profesional

pemberi asuhan (PPA) mengisi lembar Informed Consent yang

menyatakan bersedia terlibat dalam penelitian.

d. Peneliti menjelaskan proses pengisian kuesioner penelitian dan

petunjuk pengisian kuesioner penelitian

e. Peneliti menganjurkan responden untuk mengisi kuesioner yang

telah diberikan dengan menjawab secara jujur pada lembar

kuesioner yang tersedia

f. Selama proses pengisian kuesioner, peneliti mendampingi

responden dalam mengisi jawaban kuesioner yang telah

disediakan

g. Peneliti melakukan pengecekan kelengkapan jawab pada masing-

masing responden

h. Alokasi waktu dalam proses tahap pelaksanaan ± 1 jam

i. Responden yang berdinas shift sore, pengambilan data dilakukan

setelah operan dinas sore, sedangkan responden yang berdinas

shift malam, pengambilan data dilakukan pada saat shift tersebut

berdinas pagi.

4. Tahap Akhir
75

Setelah penelitian selesai dilakukan maka selanjutnya peneliti

melakukan pengolahan data untuk penyusunan laporan dan penyajian

hasil penelitian. Tahapan pengolahan data penelitian adalah sebagai

berikut :

a. Pemeriksaan data (editing)

Kegiatan ini dilakukan untuk memeriksa ulang kelengkapan

kuesioner/data yang masuk. Editing meliputi kegiatan

memastikan bahwa setiap pernyataan dalam kuesioner terisi

semua, jelas atau terbaca, konsistensi jawaban, relevansi jawaban

dengan pernyataannya yang secara keseluruhan berkaitan dengan

kemungkinan kesalahan.

b. Pengkodean data (coding)

Pengkodean data merupakan proses penyusunan secara sistematis

data mentah (data dalam kuesioner) kedalam bentuk yang mudah

dibaca oleh komputer.

c. Memasukkan data (data entry/processing)

Memproses data untuk dianalisis, pemrosesan data dilakukan

dengan cara memasukkan data dari masing-masing responden

kedalam program atau software di komputer.

d. Pembersihan data (cleaning)

Pembersihan data dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh

data yang sudah dimasukkan telah sesuai dengan yang

sebenarnya. Kegiatan pengecekan kembali data yang sudah


76

dimasukkan dilakukan untuk mengetahui kemungkinan

kesalahan-kesalahan kode maupun ketidaklengkapan data

(Arikunto, 2009).

I. Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji :

1. Analisis Univariat

Variabel independen dan dependen dianalisis secara deskriptif untuk

mendapatkan gambaran tentang distribusi frekuensi dari variabel fungsi

manajerial kepala ruang dan penerapan budaya keselamatan pasien

serta karakteristik profesional pemberi asuhan (PPA) yang meliputi

usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja dan pelatihan

patient safety yang pernah diikuti.

2. Analisis Bivariat

Untuk mencari hubungan antara variabel fungsi manajemen kepala

ruang dengan penerapan budaya keselamatan pasien digunakan uji Chi

Square. Uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan fungsi

manajemen kepala ruang yang terdiri dari perencanaan,

pengorganisasian, pengaturan staf, pengarahan, dan pengendalian

dengan penerapan budaya keselamatan pasien. Proses entry data

(memasukkan data) kedalam tabel secara keseluruhan dan analisa data


77

menggunakan sistem komputerisasi untuk mendapatkan hasil yaitu ada

atau tidak hubungan dua variabel secara signifikan.

3. Analisis Multivariat

Untuk melihat pengaruh bersama-sama factor yang paling

dominan berhubungan antara variable independen dengan variable

dependen secara bersama-sama, maka dilakukan uji statistik dengan

analisis multivariat. Adapun uji statistik yang digunakan adalah Uji

Binary Logistik. (Hastono, 2011)

Anda mungkin juga menyukai