Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci dan petunjuk yang diwahyukan
Allah swt kepada Nabi Muhammad saw bagi seluruh manusia. Tujuan utama
diturunkannya al-Qur’an yakni untuk menjadi pedoman manusia dalam
menata kehidupan mereka supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Kitab suci ini menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam
bidang ilmu-ilmu ke-Islaman, tetapi juga merupakan inspirator serta sebagai
salah satu kunci untuk membuka wawasan akal umat Islam dalam memahami
kehidupan, baik itu untuk berhubungan kepada Tuhannya, maupun hubungan
kepada umat manusia itu sendiri. Al-Qur’an sebagai sumber utama Hukum
Islam merupakan kalam Tuhan yang menjadi pedoman utama, namun
pemahaman akan Al-Qur’an itu sendiri dalam bentuk kitab-kitab tafsir
berjumlah sangat banyak, sehingga pada akhirnya masyarakat memiliki
pemahaman yang beragam. Setidaknya ada sekitar 350-500 ayat yang terkait
dengan persoalan hukum dalam Islam. Sumber utama yang kedua dalam
Hukum Islam adalah Sunnah, yang merupakan pelengkap dari Al-Qur’an
yang terus-menerus muncul selama Nabi Muhammad SAW hidup. Sumber
kedua ini pun tidak lepas dari adanya multi penafsiran terkait dengan derajat
kesahihan hadis menurut kelompok Sunni maupun Syi’ah yang cenderung
dipengaruhi oleh berbagai persoalan di luar hadis itu sendiri, seperti politik
dan lainnya, yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap perumusan
Hukum Islam.
Apabila manusia menemukan masalah-masalah yang belum secara
jelas terdapat hukumnya dalam nash Al-qur’an dan Sunnah, maka manusia
diberi kebebasan oleh Allah swt untuk menggunakan akal fikirannya (Ijtihad)
dalam memecahkan masalah tersebut. Artinya manusia mempunyai
kebebasan untuk menentukan hukum terhadap masalah yang dihadapinya
tersebut. Kebebasan yang diberikan oleh Allah tersebut tetap harus

1
memperhatikan petunjuk, pedoman yang terdapat dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi, karena itu merupakan sumber hukum Islam yang utama.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada materi ini sebagai berikut :
1. Apa fungsi al-Qur’an dalam kebudayaan?
2. Bagaimana As- Sunnah sebagai penguat kebudayaan?
3. Apa fungsi ijtihad dalam kontekstualisasi al-Qur’an dan As-
Sunnah?
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat dari materi ini sebagai berikut :
1. Mengetahui Fungsi al-Qur’an dalam kebudayaan.
2. Mengetahui As-Sunnah sebagai penguat kebudayaan.
3. Mengetahui fungsi ijtihad dalam kontekstualisasi al-Qur’an dan
As-Sunnah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an Sebagai Kebudayaan Islam di Indonesia


Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan kepada
manusia. Tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah sebagai kitab
petunjuk yang meliputi bidang akidah, syariah dan akhlak. Akan tetapi di
luar ketiga petunjuk tersebut, al-Qur’an telah memberikan motivasi dan
inspirasi kepada umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan sehingga
melahirkan jenis budaya tertentu. Dialog intelektual yang dilakukan secara
kreatif oleh umat Islam terhadap al-Qur’an ternyata telah menghasilkan
lahirnya generasi umat yang dipenuhi dinamika dan kreativitas. Sejarah
telah membuktikan keunggulan budaya umat Islam pada masa klasik yang
disebabkan dialog kreatif mereka terhadap al-Qur’an. Sebaliknya ketika al-
Qur’an ditinggalkan, kelumpuhan dan kebekuan segera menyerang dan
menjangakiti tubuh umat Islam.
Sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, mengatakan
bahwa Al-Qur’an yang dimiliki umat Islam sekarang ini adalah Al-Qur’an
yang dahulunya telah mempersatukan suku-suku, menghimpun yang
berserakan, mempertemukan hati, menciptakan umat, mengokohkan sendi-
sendi peradaban, dan telah membawa umat Islam mencapai puncak
kemajuannya seperti pada Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
َ ‫يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوأُ ْنثَ ٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع‬
ِ ‫ارفُوا ۚ إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا‬
‫أَ ْتقَا ُك ْم ۚ إِ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم َخبِي ٌر‬
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dorongan dan petunjuk Al-Qur’an pada masa klasik untuk
beberapa abad menjadi umat yang kreatif, dinamik, terbuka, dan punya

3
rasa percaya diri yang tingggi. diri dan suatu peradaban yang khas Islam
yang kosmopolitan. Apabila yang dimaksudkan dengan budaya atau
kebudayaan adalah totalitas kegiatan intelektual yang dilakukan oleh
individu atau masyarakat dengan semua implikasinya, maka al-Qur’an
merupakan sumber kebudayaan yang sangat kaya. Al-Qur’an, seperti telah
dibuktikan dalam lintasan sejarah umat Islam, berperan sebagai poros atau
sumber utama kehidupan kaum muslimin. Al-Qur’an dalam kehidupan
umat Islam telah berfungsi sebagai sumber petunjuk, sumber inspirasi, dan
sumber semangat seperti yang dijelaskan pada Q.S. Al-A’raf ayat 52 :
َ‫ب فَص َّْلنَاهُ َعلَ ٰى ِع ْل ٍم هُدًى َو َرحْ َمةً لِقَوْ ٍم ي ُْؤ ِمنُون‬
ٍ ‫َولَقَ ْد ِج ْئنَاهُ ْم بِ ِكتَا‬

Artinya : “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al


Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar
pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman”. Ketika umat Islam, baik secara perseorangan maupun
kelompok, melakukan dialog intelektual dengan Al-Qur’an, maka akan
menghasilkan buah yang sangat lezat dan nikmat untuk dirasakan. Umat
Islam akan merasakan dan sekaligus menikmati manfaat yang luar biasa
dari petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalamnya. Menurut Quraish
Shihab, apabila seseorang mencoba untuk mempelajari sejarah Al-Qur’an,
maka tujuan yang utama dari diturunkannya Al-Qur’an adalah sebagai
kitab petunjuk, seraya mengutip ayat 185 dari surat al-Baqarah yang
artinya”Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-
penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda antara yang hak dan
yang bathil”. (QS al-Baqarah (2):185) . Pertama, Al-Qur’an memuat
akidah dan kepercayaan yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan
Allah. Kedua, Al-Qur’an memuat syariah dan hukum-hukum dengan jalan
menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam
hubungannya dengan Allah dan sesamanya. Ketiga, Al-Qur’an memuat
petunjuk mengenai akhlak dengan jalan menerangkan norma-norma
keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam
kehidupannya secara individual atau kolektif.

4
Sebagai suatu norma aturan maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam
konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus telah menjadi budaya
masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya lokal yang ada di masyarakat,
tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya lokal tersebut terus
dikembangkan dan kemudian melahirkan “akulturasi budaya” antara
budaya lokal dan Islam. Secara fisik akulturasi budaya yang bersifat
material dapat dilihat misalnya bentuk masjid Agung Banten yang beratap
tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar
menunjukkan ciri-ciri arsitektur lokal. Sementara esensi Islam terletak
pada “ruh” fungsi masjidnya.
B. As-sunnah Sebagai Penguat Pengembangan Budaya Islam di
Indonesia
Perkataan sunnah dalam istilah sunnatullah yang berarti hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah mengenai alam semesta, yang di dalam dunia
ilmu pengetahuan disebut natural law (hukum alam). Perkataan sunnah
dalam istilah sunnatur rasul yakni perkataan, perbuatan dan sikap diam
Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah yang menjadi sumber hukum
Islam kedua setelah al-Qur’an. Perkataan sunnah dalam ungkapan ahlus
sunnah wal jam’ah yaitu golongan ummat Islam yang berpegang kepada
sunnah Nabi Muhammad saw. Sunnah berarti beramal ibadah sesuai
dengan contoh yang diberikan Nabi Muhammad saw. Kedudukannya
sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an disebabkan karena sebagai juru
tafsir, dan pedoman pelaksanaan yang otentik terhadap al-Qur’an.
Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ketentuan yang masih dalam
garis besar atau membatasi keumuman, atau menyusuli apa yang disebut
oleh al-Qur’an. Yahya bin Abi Katsir menyatakan: “sunnah itu
menjelaskan makna Al-Qur’an dan tidak sebaliknya”. (Sunan Ad-
Darimi:1/118). Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan
bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan
kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali

5
membingungkan ketika kita harus meletakan agama dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Koentjaraningrat mengartikan kebudayaan sebagai
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya. Ia juga menyatakan
bahwa terdapat unsur-unsur universal yang terdapat dalam semua
kebudayaan yaitu sistem religi. Pandangan di atas, menyatakan bahwa
agama merupakan bagian dari kebudayaan. Menurut Amer Al-Roubai,
Islam bukanlah hasil dari produk budaya akan tetapi Islam justru
membangun sebuah budaya, sebuah peradaban yang berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah nabi dan kebudayaan tersebut dinamakan peradaban
Islam.
Islam mempunyai dua aspek, yakni segi agama dan segi
kebudayaan. Ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam. Dalam
pandangan ilmiah, antara keduanya dapat dibedakan tetapi dalam
pandangan Islam sendiri tak mungkin dipisahkan. Antara yang kedua dan
yang pertama membentuk integrasi sehingga sering sukar mendudukkan
suatu perkara, apakah agama atau kebudayaan. Misalnya nikah, talak,
rujuk, dan waris dipandang dari kacamata kebudayaan, perkara-perkara itu
masuk kebudayaan. Tetapi ketentuan-ketentuannya berasal dari Tuhan.
Dalam hubungan manusia dengan Tuhan, manusia menaati perintah dan
larangan-Nya. Namun hubungan manusia dengan manusia, ia masuk
katagori kebudayaan.
C. Ijtihad sebagai mekanisme Kontekstualisasi Quran dan As-
Sunnah
Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh,
rajin, giat sedangkan makna ja-ha-da artinya adalah mencurahkan segala
kemampuan jadi dengan demikian Ijtihad adalah berusaha atau berupaya
yang bersungguh-sungguh. Di kalangan ulama perkataan ini diartiakan
sebagai usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum dalam
mencari tahu tentang hukum-hukum syari’at. Kata ijtihad (ar-ijtihad)
berakar dari kata al-Juhd yang berarti al-taqhah (daya,kemampuan,

6
kekuasaan) atau dari kata al-Jahd yang berarti al masyaqqah (kesulitan,
kesukaran). Dari ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna
“badal al wus” wal mahud” (pengerahan daya kemampuan), atau
pengerahan segala daya kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-
aktivitas yang sukar dan berat.
Dasar hukum dari Ijtihad diantaranya adalah dalam Al-Qur’an Surat
An-Nisak ayat 105 yang berbunyi :
‫ِين َخصِ يمًا‬ َ ‫اس ِب َما أَ َر‬
َ ‫اك هَّللا ُ ۚ َواَل َت ُكنْ ل ِْل َخا ِئن‬ ِ ‫اب ِب ْال َح ِّق لِ َتحْ ُك َم َبي َْن ال َّن‬ َ ‫إِ َّنا أَ ْن َز ْل َنا إِلَ ْي‬
َ ‫ك ْال ِك َت‬

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab


dengan benar, agar kamu menetapkan di antaranya manusia dengan jalan
yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu”. Ayat ini menunjukkan
ketetapan Ijtihad dengan jalan Qiyas menurut Wahbah Az Zuhaily. Dasar
Hukum yang lain terdapat dalam Hadis Nabi ketika Nabi mengutus Muaz
Bin jabbal menjadi hakim di Yaman dengan pertanyaan Nabi yang artinya
“Bagiamana Muaz menetapkan hukum apabila dihadapkan kepada muaz
suatu masalah, maka muaz menjawab dengan Al-Qur’an, lalu Rasul
kembali bertanya Jika tidak ditemukan, maka muaz menjawab dengan
Sunnah Rasullullah, kemudian Nabi bertanya lagi jika juga tidak
ditemukan, maka muaz menjawab muaz akan berijtihad dengan
pemikirannya...”. (HR Abu daud dan at-Tirmizi).
Dari Ayat dan Hadis tersebut dapat dilihat bahwa Islam
membolehkan adanya Ijtihad dan sudah seharusnya orang yang diberi
pemahaman oleh Allah untuk berusaha dengan sungguh menemukan
hukum terhadap masalah yang ada yang belum diatur secara rinci dalam
kedua sumber hukum tersebut. Kebutuhan Ijitihad ini terus berkembang,
Hal ini dkarenakan setelah Rasul wafat persoalan yang dihadapi kaum
muslimin semakin bertambah dari zaman ke zaman sementara Qur’an dan
Sunnah tidak bertambah. Ketika wilayah kekuasaan Islam semakin luas, ke
Persia, Syam, Mesir, Afrika Utara bahkan sampai ke Spanyol, Turki dan
India, permasalahan yang dihadapi ulama semakin komplek maka Ijtihad
semakin berperan dalam mengistimbathkan hukum. Sumber Hukum Islam

7
di masa Nabi hanya 2 yaitu Qur’an dan Sunnah, Jika muncul satu kasus,
Rasul menunggu wahyu diturunkan, Jika tidak turun, maka beliau
berijtihad. Hasil Ijtihad disebut dengan hadist (Sunnah). Hasil Ijtihad Nabi
juga disebut Wahyu ( QS An-Najmu: ayat 4). Pada masa nabi seringkali
para sahabat dilatih berijtihad dalam berbagai kasus, seperti pada kasus
Shalat di bani Quraizah (kasus ini diakui nabi (taqrir), kasus tawanan
perang (turun ayat setelah nabi berijtihad), dan kasus tayamum Ibnu
Mas’ud dan Umar Bin Khattab yang dibenarkan oleh nabi.
Ijtihad dapat dilakukan dengan ra’yu. Ijtihad dengan ra’yu
(pemikiran) telah diizinkan Rasulullah saw yang memberi izin kepada
Mu’az untuk berijtihad pada saat diutus ke Yaman. Umar Bin Khattab
dikenal sering berijtihad dengan menggunakan ra’yu apabila tidak
ditemukan ketentuan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada mazhab Imam
Syafi’i cara penggunaan ra’yu disimatiskan sehingga kerangka acuan yang
jelas, seperti dikenal dengan metode Qiyas. Qiyas dijadikan sebagai alat
penggalian hukum yang shahih. Para thabi’in juga melakukan hal yang
sama sehingga muncul ahli ra’yu dan ahli hadist. Ahli ra’yu lebih banyak
menggunakan ra’yu (rasio) dibanding dengan ahli hadist dengan
mengistimbathkan hukum.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diturunkan
kepada manusia. Tujuan utama diturunkannya al-Qur’an adalah
sebagai kitab petunjuk yang meliputi bidang akidah, syariah dan
akhlak. Akan tetapi di luar ketiga petunjuk tersebut, al-Qur’an
telah memberikan motivasi dan inspirasi kepada umat Islam dalam
berbagai bidang kehidupan sehingga melahirkan jenis budaya
tertentu. Sunnah dalam istilah sunnatur rasul yakni perkataan,
perbuatan dan sikap diam Nabi Muhammad saw sebagai
Rasulullah yang menjadi sumber hukum Islam kedua setelah al-
Qur’an. Sunnah menafsirkan dan menjelaskan ketentuan yang
masih dalam garis besar atau membatasi keumuman, atau
menyusuli apa yang disebut oleh al-Qur’an. Ijtihad adalah berusaha
atau berupaya yang bersungguh-sungguh. Ijtihad adalah berusaha
atau berupaya yang bersungguh-sungguh. Ijtihad dilakukan untuk
menemukan solusi hukum atas suatu masalah yang dalilnya belum
ada di dalam al-Qur’an dan hadist.
B. Saran
Makalah ini telah disusun dengan sebaik-baiknya. Jikalaumasih
banyak kekurangan dan kesalahan dalam penjelasan maupun
penulisan, kami mengharapkan kritik yang membangun dari
pembaca. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Anda mungkin juga menyukai