Anda di halaman 1dari 22

CASE REPORT

STATUS EPILEPTIKUS

Oleh:

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PERIODE 3 OKTOBER 2018 – 3 OKTOBER 2019
RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Y
Usia : 47 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Puyuh No. 21C
Tanggal masuk RS : 27 Juli 2019
Tanggal periksa : 27 Juli 2019

II. Anamnesis (dilakukan secara autoanamnesis)


Keluhan utama : Tidak bangun saat dibangunkan untuk ibadah subuh
Keluhan tambahan : Kelopak mata terus berkedip

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang dibawa oleh keluarga dengan keluhan utama tidak dapat dibangunkan
untuk melaksanakan ibadah subuh. Pasien tampak terkulai lemas dengan kelopak mata
terus mengedip dan tidak merespon sama sekali saat dipanggil namanya. Menurut
pengakuan suami pasien, sebelum tidur malam pasien dalam kondisi baik-baik saja.
Saat tiba di IGD, pasien tampak lemas, tidak responsif saat dipanggil namanya dan
diberikan rangsang nyeri, dengan kelopak mata terus berkedip. Kondisi ini telah
berlangsung kurang lebih satu jam sejak pertama kali ditemukan oleh keluarga di kamar
pasien.
Pasien sudah pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien memiliki riwayat
epilepsi dan rutin mengonsumsi obat anti epilepsi. Pasien selalu rutin dan tidak pernah
putus mengonsumsi obat anti epilepsi hingga saat kejadian. Keluhan lain seperti demam,
mual, muntah, gangguan BAB maupun BAK dalam beberapa hari ke belakang disangkal
oleh keluarga pasien.

Riwayat penyakit dahulu:


 Riwayat gejala serupa (+), terakhir 5 bulan lalu
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat diabetes mellitus tipe 2 (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat lemah satu sisi (-)

Riwayat pengobatan:
 Pasien rutin kontrol di Poli Saraf RSUD SSMA untuk mengambil obat anti epilepsi
 Pasien rutin minum obat anti epilepsi

Riwayat keluarga:
 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat DM tipe 2 (-)
 Riwayat penyakit dengan gejala yang sama (-)

Riwayat pribadi / kebiasaan:


Riwayat merokok (-)
Riwayat penggunaan obat terlarang (-)
Riwayat konsumsi alkohol (-)

III. Pemeriksaan Umum


Keadaan / kesan umum : Tampak lemah
Kesadaran / GCS : E1M1V1
Kooperatif : Tidak responsif
Kelainan kongenital : Tidak ada
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 102 kali/menit (teratur, kuat, penuh)
Pernapasan : 18 kali/menit (teratur)
Suhu aksila : 36,8 oC
SpO2 : 99%

Kepala:
Kalvarium : normocephali, deformitas (-)
Wajah : tampak simetris
Mata : Kelopak mata tampak berkedip-kedip, konjungtiva
anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor 3 mm/3
mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+, mata cekung -/-
Hidung : rinore -/-, deviasi septum (-), deformitas (-)
Mulut : simetris, bibir tampak basah, mukosa oral basah
Telinga : otore -/-, deformitas -/-

Leher:
JVP : 5+2 cmH2O
A. Karotis : Teraba pulsasi teratur, kuat, penuh
Kel. tiroid : Tidak teraba adanya pembesaran
Trakea : Terletak di tengah
Kelenjar/benjolan : Tidak ada

Toraks:
Paru
I : gerak dada simetris, tidak ada penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
tidak ada jejas
P : gerakan kedua dada simetris
P : sonor pada kedua lapang paru
A : vesikuler (+/+), rhonki (- /-), wheezing (-/-)

Jantung
I : iktus kordis tidak terlihat
P : iktus kordis tidak teraba
P : kesan kardiomegali (-)
A : BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
I : datar, distensi abdomen (-)
A : bising usus (+) normal 10 kali / menit
P : timpani di seluruh region abdomen
P : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)

Genitalia eksterna : tidak diperiksa


Ekstremitas : CRT<2 detik, akral sejuk, edema -/-/-/-, turgor kulit baik,
refleks patologis (-), rigiditas (-), spastisitas (-), kekuatan
motorik sulit dinilai saat ini namun kesan hemiparese (-)
Kolumna vertebra : alignment vertebra baik
III. Resume
Wanita, 47 tahun, datang dibawa keluarganya ke IGD dengan keluhan utama tidak
dapat dibangunkan untuk menjalankan ibadah subuh. Kelopak mata pasien tampak terus
berkedip, pasien tidak responsif. Pasien pernah memiliki riwayat serupa 5 bulan lalu.
Pasien terdiagnosis epilepsi dan rutin kontrol di Poli Saraf RSUD SSMA untuk
mengambil obat anti epilepsi. Keluhan lain disangkal keluarga.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Keadaan / kesan umum : Tampak lemah
Kesadaran / GCS : E1M1V1
Kooperatif : Tidak responsif
Kelainan kongenital : Tidak ada
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 102 kali/menit (teratur, kuat, penuh)
Pernafasan : 18 kali/menit (teratur)
Suhu aksila : 36,8 oC
SpO2 : 99%
Mata : kelopak mata tampak terus mengedip, konjungtiva
anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor 3 mm/3
mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+, mata cekung -/-
Mulut : simetris, bibir tampak basah, mukosa oral basah
Abdomen
I : cembung, distensi abdomen (-)
A : bising usus (+) normal 10 kali / menit
P : timpani di seluruh region abdomen
P : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
Ekstremitas : CRT<2 detik, akral sejuk, edema -/-/-/-, turgor kulit
baik, refleks patologis (-), rigiditas (-), spastisitas (-),
kekuatan motorik sulit dinilai saat ini namun kesan
hemiparese (-)

IV. Diagnosis Banding


Diagnosis Banding :
 Penurunan kesadaran ec status epileptikus
 Penurunan kesadaran ec hipoglikemia
 Penurunan kesadaran ec gangguan elektrolit

V. Pemeriksaan Penunjang

Interpretasi:
 Sinus rhythm
 HR: ±100 bpm

Laboratorium tanggal 27 Juli 2019:

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 12,0 12 – 16
Hematokrit 34,9 37 – 47

Leukosit 5.11 4.5 – 11


Eritrosit 3.48 4.2 – 5.4

MCV 100.3 79 – 99

MCH 34.6 27 – 31
MCHC 34.5 33 – 37
Trombosit 166.000 150.000 – 450.000

Diff Count
Basofil 0,1 0–1
Eosinofil 0.9 0–5

Neutrofil Segmen 59.3 40 – 75

Limfosit 32.1 25 – 40

Monosit 7.6 2 – 14

GDS 79 70 – 150
Elektrolit
Natrium 139 135 – 147
Kalium 3.8 3.5 – 5
Kalsium ion 1.14 1.00 – 1.15

Interpretasi:
 Cor besar dalam batas normal
 Tak tampak kelainan radiologik pada pulmo

VI. Diagnosis Kerja


Penurunan kesadaran ec status epileptikus

VII. Tatalaksana IGD


1. O2 3 lpm via nasal canule
2. Inj Lansoprazole 30 mg IV
3. Inj Diazepam 10 mg IV bolus pelan  sambil evaluasi kejang, stop bila
kejang sudah berhenti
4. Periksa lab: darah rutin, GDS, elektrolit
5. Konsul Sp. S:
a. Rawat SCC
b. Drip fenitoin 6 ampul (600 mg) dalam 50 cc NS  dijalankan 3 cc/jam
menggunakan syringe pump
c. Inj Ranitidine 50 mg / 12 jam IV
d. Thiamine 2 x 1 tab po

VI. Saran
Tidak ada

VII. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
IX. Follow-up

28/7/2019 – SCC 29/7/2019 – SCC 30/7/2019 – Ranap Saraf Biasa

S: kejang ulangan (-) S: kejang (-) S: kejang (+) tadi malam sekitar 5 menit, hanya
pada tangan kiri
O: Kes: CM O: Kes: CM, ku lemah O: Kes: CM, ku lemah
TD: 107/72 TD: 114/70 TD: 100/70
HR: 79 HR: 80
RR: 20 RR: 20
T: 36.7 T: 36.5
SpO2: 99% SpO2: 100%

A: A: A:
Status epileptikus – perbaikan Status epileptikus – perbaikan Status epileptikus – perbaikan
Riwayat epilepsi Riwayat epilepsi Riwayat epilepsi

P: P: P:
IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm
Drip fenitoin pertahankan 12 jam, rencana ganti: Inj Lansoprazole 1 x 30 mg IV Inj Lansoprazole 1 x 30 mg IV
Fenitoin 2 x 100 mg po Drip fenitoin STOP, ganti: Fenitoin 2 x 200 mg po
Depakote ER 1 x 1000 mg po Fenitoin 2 x 200 mg po Depakote ER 1 x 1000 mg po
Inj Ranitidine 2 x 50 mg IV Depakote ER 1 x 1000 mg po Thiamine 2 x 1 tab po
Thiamine 2 x 1 tab po Thiamine 2 x 1 tab po Asam folat 1 x 1 mg po
Pindah bangsal saraf biasa
31/7/2019 – Ranap Saraf Biasa

S: kejang (-)

O: Kes: CM, ku sedang


TD: 100/70
HR: 60
RR: 16
T: 36.6

A:
Status epileptikus – perbaikan
Riwayat epilepsi

P:
BLPL, obat pulang:
Phenitoin 2 x 200 mg po
Depakote ER 1 x 1000 mg po
Asam folat 1 x 1 mg po
PEMBAHASAN

DEFINISI

Sindroma coroner akut (ACS) merupakan suatu spektrum gejala klinis yang
mencakup STEMI, NSTEMI, dan angina tidak stabil. Kondisi ini hampir selalu
berhubungan dengan terjadinya ruptur plak atherosclerosis yang menyebabkan
thrombosis parsial atau komplit sehingga mengganggu perfusi darah ke otot jantung
(miokardium).

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid.

Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus,
yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi
dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten).

Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor


glikoprotein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai
afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)
seperti faktor von willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul
multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan,
menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi
trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat
trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

Diagnosis STEMI dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, EKG, dan


pengukuran enzim-enzim jantung (cardiac marker).

TANDA DAN GEJALA

Nyeri dada angina (angina chest pain) merupakan gejala khas yang timbul
yang merupakan respon akibat iskemia miokard. Nyeri dada angina digambarkan
sebagai nyeri dada dengan karakter seperti tertekan/tertindih, diperas/dipelintir,
terbakar, atau seperti ditusuk dan diperberat dengan aktivitas atau hal yang
meningkatkan kebutuhan oksigen. Keluhan nyeri ini dapat menjalar ke area leher,
bahu, punggung, rahang, dan lengan kiri. Lokasi tersering terjadinya nyeri yaitu pada
substernal, retrosternal, atau prekordial. Nyeri seringkali membaik dengan istirahat
atau nitrat. Keluhan lain yang dapat dialami adalah munculnya keringat dingin,
cemas, lemah, sesak napas, mual, hingga muntah.

Pada kasus didapatkan pasien mengeluhkan nyeri ulu hati dan nyeri dada yang
tidak menjalar ke leher dan lengan. Dikatakan pada beberapa jurnal dan laporan kasus
bahwa salah satu gejala yang tidak terlalu khas pada STEMI inferior adalah nyeri
pada daerah abdomen, rasa mual, dan muntah.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik pasien dengan sindroma coroner akut biasanya tidak
ada penemuan yang spesifik. Beberapa variasi temuan yang mungkin dialami adalah:

 Hipotensi: angka kejadian sebesar 40% pada kasus STEMI inferior,


menandakan disfungsi ventrikel akibat iskemik miokardium (terutama
ventrikel kanan)
 Hipertensi: merupakan factor yang dapat mencetuskan angina, atau
merupakan akibat dari angina (peningkatan aktivitas simpatik)
 Diaforesis
 Edema paru: akibat gagal jantung kiri
 Bradikardia: angka kejadian sebesar 20% pada kasus STEMI inferior
(sebagai akibat dari AV block derajat 2 hingga 3)

Pada kasus, berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan TD 70/50 mmHg, dan


laju nadi 52 kali/menit. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal. Pada EKG
pasien dicurigai mengalami STEMI inferior, maka hasil pemeriksaan fisik pada
pasien sejalan dengan teori.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan EKG merupakan pemeriksaan paling awal yang dapat dilakukan


pada pasien dengan kecurigaan mengalami sindrom koroner akut. Pemeriksaan EKG
harus segera dilakukan dalam rentang waktu 10 menit sejak pasien tiba di IGD.
Interpretasi EKG dapat menentukan diagnosis tatalaksana yang akan diberikan
selanjutnya.
 STEMI  bila memenuhi 2 dari 4 kriteria EKG berikut
- > 2,0 mm ST-elevasi pada pria, di lead V2-V3
- > 1,5 mm ST-elevasi pada wanita, di lead V2-V3
- > 1 mm ST-elevasi di lead lainnya
- LBBB onset baru (gambaran LBBB selalu dianggap baru kecuali
terbukti sebaliknya)
 NSTEMI dan UAP :
- Gelombang R menghilang secara gradual
- Gelombang Q patologis
- Depresi segmen ST
- Gelombang T-terbalik

Lokalisasi infark berdasarkan lokasi letak perubahan EKG:


No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
dan I dan aVL
4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di
I dan aVL
5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
dan aVF
7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, V1-V3
8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

Pada kasus, berdasarkan EKG, tampak elevasi segmen ST di lead II, III, dan
aVF. Terdapat juga ST depresi resiprokal di lead aVL, V2-3-4. Penemuan ini sesuai
dengan diagnosis STEMI inferior.

Selain EKG, pemeriksaan cardiac marker juga dapat dilakukan pada kasus-
kasus curiga ACS. Kerusakan miokardium dikenali keberadaannya antara lain dengan
menggunakan test enzim jantung, seperti: keratin-kinase (CK), keratin kinase MB
(CK-MB), cardiac specific troponin (cTn) I/T, Laktat dehidrogenase (LDH), dan
Myoglobin. Peningkatan nilai enzim CKMB atau cTn T/I >2x nilai batas atas normal
menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard). Pemeriksaan enzim jantung
sebaiknya dilakukan secara serial.
Pada kasus, pemeriksaan kadar troponin I di IGD memberikan hasil negatif.
Sedangkan, pemeriksaan troponin I ulang keesokan hari nya (~24 jam setelah onset
awal) menunjukkan hasil positif.
TATALAKSANA
Prinsip utama penatalaksanaan ACS adalah stabilisasi kondisi pasien,
mengatasi nyeri, dan memberikan terapi antitrombotik untuk mencegah kerusakan
otot jantung lebih jauh. Berikut ini penatalaksanaan awal pada pasien dengan
kecurigaan ACS:
 Oksigen: oksigen wajib diberikan apabila saturasi oksigen < 90%
 Nitrat: pemberian nitrat sublingual bertujuan untuk dilatasi pembuluh darah
agar mengurangi gejala nyeri. Pemberian nitrat dapat diulang hingga 3 kali,
dengan rentang waktu 3-5 menit. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien
dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg, kecurigaan infark ventrikel kanan,
dan riwayat penggunaan PDE-5 inhibitor dalam 24 jam terakhir.
 Morfin: morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg apabila nyeri dada tidak
membaik dengan pemberian nitrat, atau pada kondisi di mana nitrat tidak
dapat diberikan pada pasien.
 Aspirin: aspirin merupakan antitrombotik dengan onset kerja yang cepat.
Dapat diberikan dengan dosis 162-325 mg secara per oral.
 Clopidogrel: diberikan bersamaan dengan aspirin dengan dosis 300-600 mg
per oral. Saat ini penggunaan Clopidogrel sudah banyak digantikan dengan
penggunaan Ticagrelor dengan dosis 180 mg.
 Beta blocker: jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, dapat
diberikan beta blocker intravena. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR <
0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50
mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.

Terapi Reperfusi pada Pasien STEMI


Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI
berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna. Sasaran
terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat
dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit. Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2
jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan
menurunkan angka kematian. Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko
perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan
fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka
semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas
kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI
primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat
dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih
baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien <
75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurangkurangnya 2
atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya
terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit.
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah
merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase
(TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi
plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
Aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan dengan skala
kualitatif sederhana dengan angiografi, disebut thrombolysis in myocardial infarction
(TIMI) grading system :
1) Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2) Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vaskular distal.
3) Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke arah distal
tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan aliran arteri normal.
4) Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan
aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3 karena perfusi penuh pada
arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri, dan menurunkan
laju mortalitas, selain itu, waktu merupakan faktor yang menentukan dalam reperfusi,
fungsi ventrikel kiri, dan prognosis penderita. Keuntungan ini lebih nyata bila
streptokinase diberikan dalam 6 jam pertama setelah timbulnya gejala, dengan anjuran
pemberian streptokinase sedini mungkin untuk mendapatkan hasil yang semaksimal
mungkin.
Indikasi terapi fibrinolitik :
Kelas I :
1) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik harus dilakukan pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan elevasi ST > 0,1 mV pada minimal 2
sandapan prekordial atau 2 sandapan ekstremitas
2) Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolitik diberikan pada pasien STEMI
dengan onset gejala < 12 jam dan LBBB baru atau diduga baru
Kelas II a:
1) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien
STEMI dengan onset gejala < 12 jam dan EKG 12 sandapan konsisten dengan
infark miokard posterior.
2) Jika tidak ada kontraindikasi, dipertimbangkan terapi fibrinolitik pada pasien
STEMI dengan onset mulai dari < 12 jam sampai 24 jam yang mengalami gejala
iskemi yang terus berlanjut dan elevasi ST 0,1 mV pada sekurang-kurangnya 2
sandapan prekordial yang berdampingan atau minimal 2 sandapan ekstremitas.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan
elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik
tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien paska CABG
datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.
Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase: merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat
mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang
rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase): Global Use of Strategies to
Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas
30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK.
Namun, tPA harganya lebih mahal dibanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase): INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus
lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase): Keuntungannya mencakup memperbaiki spesisfisitas
fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator inhibitor (PAI-1).
Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju
TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.

Anda mungkin juga menyukai