STATUS EPILEPTIKUS
Oleh:
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Y
Usia : 47 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Puyuh No. 21C
Tanggal masuk RS : 27 Juli 2019
Tanggal periksa : 27 Juli 2019
Riwayat pengobatan:
Pasien rutin kontrol di Poli Saraf RSUD SSMA untuk mengambil obat anti epilepsi
Pasien rutin minum obat anti epilepsi
Riwayat keluarga:
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat DM tipe 2 (-)
Riwayat penyakit dengan gejala yang sama (-)
Kepala:
Kalvarium : normocephali, deformitas (-)
Wajah : tampak simetris
Mata : Kelopak mata tampak berkedip-kedip, konjungtiva
anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor 3 mm/3
mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung +/+, mata cekung -/-
Hidung : rinore -/-, deviasi septum (-), deformitas (-)
Mulut : simetris, bibir tampak basah, mukosa oral basah
Telinga : otore -/-, deformitas -/-
Leher:
JVP : 5+2 cmH2O
A. Karotis : Teraba pulsasi teratur, kuat, penuh
Kel. tiroid : Tidak teraba adanya pembesaran
Trakea : Terletak di tengah
Kelenjar/benjolan : Tidak ada
Toraks:
Paru
I : gerak dada simetris, tidak ada penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
tidak ada jejas
P : gerakan kedua dada simetris
P : sonor pada kedua lapang paru
A : vesikuler (+/+), rhonki (- /-), wheezing (-/-)
Jantung
I : iktus kordis tidak terlihat
P : iktus kordis tidak teraba
P : kesan kardiomegali (-)
A : BJ I & II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
I : datar, distensi abdomen (-)
A : bising usus (+) normal 10 kali / menit
P : timpani di seluruh region abdomen
P : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
V. Pemeriksaan Penunjang
Interpretasi:
Sinus rhythm
HR: ±100 bpm
Hemoglobin 12,0 12 – 16
Hematokrit 34,9 37 – 47
MCV 100.3 79 – 99
MCH 34.6 27 – 31
MCHC 34.5 33 – 37
Trombosit 166.000 150.000 – 450.000
Diff Count
Basofil 0,1 0–1
Eosinofil 0.9 0–5
Limfosit 32.1 25 – 40
Monosit 7.6 2 – 14
GDS 79 70 – 150
Elektrolit
Natrium 139 135 – 147
Kalium 3.8 3.5 – 5
Kalsium ion 1.14 1.00 – 1.15
Interpretasi:
Cor besar dalam batas normal
Tak tampak kelainan radiologik pada pulmo
VI. Saran
Tidak ada
VII. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad malam
IX. Follow-up
S: kejang ulangan (-) S: kejang (-) S: kejang (+) tadi malam sekitar 5 menit, hanya
pada tangan kiri
O: Kes: CM O: Kes: CM, ku lemah O: Kes: CM, ku lemah
TD: 107/72 TD: 114/70 TD: 100/70
HR: 79 HR: 80
RR: 20 RR: 20
T: 36.7 T: 36.5
SpO2: 99% SpO2: 100%
A: A: A:
Status epileptikus – perbaikan Status epileptikus – perbaikan Status epileptikus – perbaikan
Riwayat epilepsi Riwayat epilepsi Riwayat epilepsi
P: P: P:
IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm IVFD RL 20 tpm
Drip fenitoin pertahankan 12 jam, rencana ganti: Inj Lansoprazole 1 x 30 mg IV Inj Lansoprazole 1 x 30 mg IV
Fenitoin 2 x 100 mg po Drip fenitoin STOP, ganti: Fenitoin 2 x 200 mg po
Depakote ER 1 x 1000 mg po Fenitoin 2 x 200 mg po Depakote ER 1 x 1000 mg po
Inj Ranitidine 2 x 50 mg IV Depakote ER 1 x 1000 mg po Thiamine 2 x 1 tab po
Thiamine 2 x 1 tab po Thiamine 2 x 1 tab po Asam folat 1 x 1 mg po
Pindah bangsal saraf biasa
31/7/2019 – Ranap Saraf Biasa
S: kejang (-)
A:
Status epileptikus – perbaikan
Riwayat epilepsi
P:
BLPL, obat pulang:
Phenitoin 2 x 200 mg po
Depakote ER 1 x 1000 mg po
Asam folat 1 x 1 mg po
PEMBAHASAN
DEFINISI
Sindroma coroner akut (ACS) merupakan suatu spektrum gejala klinis yang
mencakup STEMI, NSTEMI, dan angina tidak stabil. Kondisi ini hampir selalu
berhubungan dengan terjadinya ruptur plak atherosclerosis yang menyebabkan
thrombosis parsial atau komplit sehingga mengganggu perfusi darah ke otot jantung
(miokardium).
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI
terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular,
dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid.
Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin rich red trombus,
yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi
trombolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi
dan melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten).
Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang
rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi
trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang
terlibat kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat
trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh
oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital,
spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.
Nyeri dada angina (angina chest pain) merupakan gejala khas yang timbul
yang merupakan respon akibat iskemia miokard. Nyeri dada angina digambarkan
sebagai nyeri dada dengan karakter seperti tertekan/tertindih, diperas/dipelintir,
terbakar, atau seperti ditusuk dan diperberat dengan aktivitas atau hal yang
meningkatkan kebutuhan oksigen. Keluhan nyeri ini dapat menjalar ke area leher,
bahu, punggung, rahang, dan lengan kiri. Lokasi tersering terjadinya nyeri yaitu pada
substernal, retrosternal, atau prekordial. Nyeri seringkali membaik dengan istirahat
atau nitrat. Keluhan lain yang dapat dialami adalah munculnya keringat dingin,
cemas, lemah, sesak napas, mual, hingga muntah.
Pada kasus didapatkan pasien mengeluhkan nyeri ulu hati dan nyeri dada yang
tidak menjalar ke leher dan lengan. Dikatakan pada beberapa jurnal dan laporan kasus
bahwa salah satu gejala yang tidak terlalu khas pada STEMI inferior adalah nyeri
pada daerah abdomen, rasa mual, dan muntah.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan sindroma coroner akut biasanya tidak
ada penemuan yang spesifik. Beberapa variasi temuan yang mungkin dialami adalah:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus, berdasarkan EKG, tampak elevasi segmen ST di lead II, III, dan
aVF. Terdapat juga ST depresi resiprokal di lead aVL, V2-3-4. Penemuan ini sesuai
dengan diagnosis STEMI inferior.
Selain EKG, pemeriksaan cardiac marker juga dapat dilakukan pada kasus-
kasus curiga ACS. Kerusakan miokardium dikenali keberadaannya antara lain dengan
menggunakan test enzim jantung, seperti: keratin-kinase (CK), keratin kinase MB
(CK-MB), cardiac specific troponin (cTn) I/T, Laktat dehidrogenase (LDH), dan
Myoglobin. Peningkatan nilai enzim CKMB atau cTn T/I >2x nilai batas atas normal
menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard). Pemeriksaan enzim jantung
sebaiknya dilakukan secara serial.
Pada kasus, pemeriksaan kadar troponin I di IGD memberikan hasil negatif.
Sedangkan, pemeriksaan troponin I ulang keesokan hari nya (~24 jam setelah onset
awal) menunjukkan hasil positif.
TATALAKSANA
Prinsip utama penatalaksanaan ACS adalah stabilisasi kondisi pasien,
mengatasi nyeri, dan memberikan terapi antitrombotik untuk mencegah kerusakan
otot jantung lebih jauh. Berikut ini penatalaksanaan awal pada pasien dengan
kecurigaan ACS:
Oksigen: oksigen wajib diberikan apabila saturasi oksigen < 90%
Nitrat: pemberian nitrat sublingual bertujuan untuk dilatasi pembuluh darah
agar mengurangi gejala nyeri. Pemberian nitrat dapat diulang hingga 3 kali,
dengan rentang waktu 3-5 menit. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien
dengan tekanan darah sistolik < 90 mmHg, kecurigaan infark ventrikel kanan,
dan riwayat penggunaan PDE-5 inhibitor dalam 24 jam terakhir.
Morfin: morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg apabila nyeri dada tidak
membaik dengan pemberian nitrat, atau pada kondisi di mana nitrat tidak
dapat diberikan pada pasien.
Aspirin: aspirin merupakan antitrombotik dengan onset kerja yang cepat.
Dapat diberikan dengan dosis 162-325 mg secara per oral.
Clopidogrel: diberikan bersamaan dengan aspirin dengan dosis 300-600 mg
per oral. Saat ini penggunaan Clopidogrel sudah banyak digantikan dengan
penggunaan Ticagrelor dengan dosis 180 mg.
Beta blocker: jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, dapat
diberikan beta blocker intravena. Regimen yang biasa diberikan adalah
metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi
jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR <
0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit
setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50
mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.