Anda di halaman 1dari 28

Perspektif Muslim Thailand Tentang Nasionalisme

Etnis dan Agama: Studi Persepsi Mahasiswa Pattani di


Yogyakarta

Thai Muslim Perspective on Ethnic and Religious


Nationalism: Perception Study of Pattani Students in
Yogyakarta

Fatiyah
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Jl. Marsda Adisucipto Yogyakarta
Email: noya2aim@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini hendak mendeskripsikan dan


menganalisis pemahaman dan maksud dari nasionalisme yang
dianut dan dihayati Muslim Pattani. Adapun secara rinci tujuan
penelitian ini berikut: (1) Mendiskripsikan dan menganalisis
pandangan mahasiswa Patani mengenai kebijakan-kebijakan
Pemerintah Thailand terhadap Muslim Patani yang menyangkut
agama, budaya, ekonomi, dan pendidikan. (2) Mendiskripsikan
dan menganalisis konsep nasionalisme mahasiswa Patani sebagai
bagian dari Warga Negara Thailand? Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta
dengan subjek mahasiswa Patani. Metode pengumpulan data
menggunakan wawancara mendalam, observasi, dan
dokumentasi. Analisa data diawali dari (1) reduksi data, (2)
penyajian data, dan (3) pengambilan kesimpulan. Keabsahan data
menggunakan teknik triangulasi yaitu dengan pemeriksaan dan
memanfaatkan penggunaan derajat kepercayaan, keteralihan,
ketergantungan, dan kepastian. Hasil penelitian: (1) Kebijakan
integrasi dan asimilasi masyarakat Patani kedalam budaya Thai
berdasar budaya Buddha mendapat pertentangan keras dari
masyarakat Patani. Nilai-nilai Islam menempati peranan penting
untuk menjadi nilai-nilai utama dari identitas orang Patani. (2)
Melayu-Muslim sebagai identitas nasional masyarakat Patani di
Thailand Selatan merupakan bentuk perlawanan terhadap
pemerintah Thailand. Identitas Patani dapat dilihat dari struktur
sosialnya, yang mana identitas bersifat permanen; bahasa,
kebiasaan (tradisi dan adat-istiadat), dan keyakinan agama
menjadi identitas baku yang asli masih dipertahankan oleh
kelompok Muslim di Patani.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 27


Kata kunci: identitas, nasionalisme, ideologi, perlawanan.

Abstrak: The goals of this research are to describe and to analyze


the understanding and the meaning of nationalism embraced and
internalized by Patani Muslim. In detail, it describes and analyzes
(1) the viewpoint of Patani collegers about Thailand Government
policies toward Patani Muslim regarding their religion, culture,
economy, and education; (2) the nationalism concept of Patani
collegers as the part of Thailand citizens. The research uses
qualitative approach. It was held in Yogyakarta with Patani
collegers as subjects. The collection data method uses deep
interview, observation, and documentation. Data analysis is carried
from (1) data reduction, (2) data display, and (3) conclusion
drawing. Data verification uses triangulation technique for
examination and ensure the degree of credibility, bias, reliability,
and validity. The research results are: (1) The integration and
assimilation of Patani people into Thai culture based on Buddhist
inflict stiff opposition from Patani people. Islamic values have long
been playing as the main values as Patani people identity.; (2)
Muslim-Malay as a national identity of Patani people is a form of
resistance against Thailand government. The Patani identity can be
seen from its social structure, which is naturally permanent, as
language, custom, and religious belief which become a genuine
standard identity that are still preserved by Muslim community in
Patani.
Keywords: identity, nasionalism, ideology, resistance

A. Pendahuluan
Jenkins dan Sofos mengatakan bahwa “nation” adalah suatu
konstruksi sosial, sementara “nasionalisme” adalah suatu proyek politik,
sehingga jika seseorang mau menganalisanya tidak bisa hanya mengacu
pada bayang-bayang sosial-ekonomi dan perubahan budaya, melainkan
juga harus melihat konjungtur politik dan kepemimpinan yang selalu
berubah dan tidak terprediksi.1
Smith2 mengemukakan bahwa nasionalisme adalah suatu
gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi,
kesatuan, dan identitas suatu populasi, yang sejumlah populasinya
bertekad membentuk suatu bangsa yang aktual. Nasionalisme melahirkan
bangsa, sementara demokrasi melahirkan negara dan pemerintahan, maka

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 28


nasionalisme bersama demokrasi melahirkan negara bangsa. Demokrasi
bukan hanya sebagai alat tetapi, namun merupakan tujuan dari negara
bangsa itu sendiri, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur material-
spiritual bagi seluruh warga bangsa.
Namun, bagi sebagian permasalahan nasionalisme akan menjadi
berbeda jika didiskusikan pada suatu negara yang menghegemoni
penduduknya sendiri. Nasionalisme akan mendapat tanggapan yang
berbeda sekiranya penduduk yang merasa diperlakukan kurang adil dan
setara dengan penduduk lainnya. Sebagai contoh adalah Muslim Patani
yang mendiami wilayah Thailand Selatan. Sebagai bagian dari daerah
Thailand, Patani selalu mengalami konflik yang berkepanjangan. Hal ini
dapat dirunut dari sejarah masuknya Patani ke dalam wilayah Thailand
sekarang. Di mana, penggabungan wilayah Patani ke dalam Pemerintahan
Thailand tidak membawa kesejahteraan bagi penduduk Patani.
Thailand merupakan Negara dengan penduduk mayoritas etnis
Thai. Namun, berbeda halnya dengan kawasan Thailand Selatan yang
terbagi menjadi 4 provinsi, yaitu Yala, Narathiwat, Pattani dan Songkhla.
Tiga dari keempat provinsi tersebut yaitu Yala, Narathiwat dan Patani
masyarakatnya didominasi oleh etnis Muslim Melayu. Masyarakat etnis
Muslim Melayu yang hidup dan berdomisili di kawasan Thailand Selatan
ini mencapai 80% dari total penduduk yang ada disana. Keadaan ini
membuat kehidupan sosial etnis Muslim Melayu di Thailand Selatan
berbeda dengan wilayah lain. Perbedaan tersebut mencakup perbedaan
bahasa, tulisan, dan tata cara kehidupan yang berbeda dengan etnis lain
pada umumnya.3
Berbagai perbedaan antara bangsa Thai dan Muslim Melayu
menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang terjadi mulai dari
anggapan dari etnis Muslim Melayu yang dulunya merupakan warga
Kerajaan Patani bahwa pemerintahan Siam yang sekarang Thailand
cenderung menyudutkan mereka, hingga tidak diakuinya kekuasaan

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 29


Thailand atas wilayah Kerajaan Patani. Isu-isu tersebut kemudian semakin
meluas dan menimbulkan aksi protes yang berujung pada aksi kekerasan
dan gerakan etnonasionalisme yang dilakukan oleh etnis Muslim Melayu.
Berbagai pergolakan terus saja terjadi di Patani. Protes terus
dilancarkan Muslim Patani pada pemerintah Bangkok.Bahkan, pergolakan
perlawanan Muslim Patani terus dilanggengkan oleh masyarakat Muslim
Patani yang studi di luar negeri. Sebagai contoh adalah mahasiswa Patani
yang mengambil studi di Yogyakarta.Berbagai bentuk perlawanan mereka
dituang dalam skrisi, tesis, dan disertasi yang secara umum mengambil
tema-tema perlawanan terhadap pemerintah Thailand. Di samping itu,
para mahasiswa juga lebih banyak mengangkat tokoh-tokoh perlawanan
Patani terhadap pemerintah Kerajaan Siam sebagai sumber eksistensi
mereka.
Disamping pemikiran dengan tema pelawanan terhadap
pemerintah Thailand, pada umumnya mahasiswa Patani tersebut juga
lebih memilih disebut sebagai Muslim Patani, dari pada Muslim Thailand.
Bahkan, mereka pun sering mendapat intimidasi dari Pemerintah
Thailand ketika pulang ke Patani dengan bebagai kecurigaan yang tidak
mendasar.
Melihat kondisi tersebut, maka peneliti mencoba menelaah dan
mencari benang merah nilai-nilai nasionalisme mahasiswa Patani
tersebut. Karena, secara yuridis, Patani merupakan bagian dari nation
Thailand, sehingga nasionalisme sebagai bangsa tentunya menjadi modal
dasar bagi suatu negara.
Penelitian ini akan mengkaji perspektif mahasiswa muslim
Patani-Thailand di Yogyakarta. Rumusan masalah dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan mahasiswa Patani mengenai kebijakan-
kebijakan Pemerintah Thailand terhadap Muslim Patani yang
menyangkut agama, budaya, ekonomi, dan pendidikan?

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 30


2. Bagaimana konsep nasionalisme mahasiswa Patani sebagai bagian
dari warga Negara Thailand?
Mahasiswa Patani yang studi di Yogyakarta terbilang cukup
banyak dengan penyebaran hampir diseluruh PT yang berbasis agama
Islam seperti: UIN Sunan Kalijaga, UMY, UAD, UCY dan UII, serta PT negeri
umum, seperti UGM dan UNY. Perlu dijelaskan juga bahwa yang dimaksud
dengan Patani dalam studi ini adalah daerah yang meliputi wilayah
Thailand Selatan yang mayoritas merupakan Muslim Melayu. Jadi,
walaupun mereka berasal dari luar Patani, namun dalam penelitian ini
dimasukkan sebagai penduduk Patani.

B. Politik Integrasi dan Asimilasi Sebagai “Proyek Siamisasi” dan


“Proyek” Integrasi
Salah satu kebijakan popular sebagai “proyek ambisius” yang
dilakukan pemerintah Thailand terhadap etnis Patani salah satunya adalah
politik integrasi. Politik integrasi yang dilakukan pemerintah Thailand
terhadap masyarakat Patani-Muslim harus dilihat secara komprehensif dari
latar belakang sejarah terbentuknya nasionalisme dan modernisasi Thai
pada permulaan abad ke-20.4 Proses memasukan provinsi-provinsi paling
selatan ke dalam kerajaan Thai, merupakan proses yang lambat dan sulit.
Situasi pada akhir abad 18 ketika kekuasaan kolonial semakin besar di Asia
Tenggara, Siam dihadapkan pada suatu kesadaran kebangsaan akan
keharusan yang mendesak mengkonsolidasikan kekuasaan dan menyatukan
satuan-satuan politik yang terpencar untuk menghadapi bahaya
kolonialisme.5
Mengenai historis dilakukannya politik integrasi tersebut ditanggapi
oleh mahasiswa Patani sebagai berikut. 6
Dapat dirunut dari sejarahnya bahwa gagasan integrasi ini digulirkan
oleh Raja Chulalongkorn melalui implementasi penandatanganan
perjanjian Inggris-Siam pada tahun 1909. Politik integrasi ini
dimaksudkan sebagai langkah preventif untuk menghadang semakin
meluasnya politik ekspansi kolonial di Semenanjung Malaya dan

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 31


Perancis di Indochina. Selain itu, kebijakan integrasi ini berkaitan erat
dengan usaha-usaha untuk meningkatkan nasionalisme Thai karena
sebelumnya Kerajaan Siam merupakan sekumpulan kerajaan yang
persatuannya sangat rapuh.”

Berkaitan dengan program asimilasi untuk membentuk identitas


nasional bangsa Thailand, bahwa nasionalisme yang dimaksud adalah
nasionalisme didasarkan atas kesetiaan terhadap kerajaan Siam, suku
bangsa Thai, dan agama Buddha. National heritage dari orang Thai adalah
satu bahasa (bahasa Thai), satu agama (Buddha), dan memiliki hubungan
dengan kerajaan (Chakkri monarkhi).7 Nasionalisme Thai ini ditujukan
untuk menyatukan seluruh bangsa-bangsa yang berada di bawah Kerajaan
Siam termasuk kelompok-kelompok minoritas non-Thai seperti Monks,
Cina, dan Melayu Patani.
Menurut kami, kebijakan yang diambil oleh pendiri Negara
Thailand tersebut tidak sejalan dengan kami sebagai etnis Melayu-Muslim.
kami dipaksa untuk hidup dengan kebudayaan Thai yang merupakan etnis
mayoritas berdirinya Negara Thailand. Tentunya itu bertentangan dengan
realitas kami sebagai bangsa. Karena secara historis kami merupakan
suatu kerajaan Islam, maka dengan adanya politik asimilasi ini jelas tidak
masuk akal.8
Sebagaimana pernyataan narasumber di atas, bahwa secara
nyata kebijakan integrasi Siam ditanggapi dengan sikap tidak simpatik
oleh masyarakat Patani. Bahkan kebijakan tersebut berdampak luar biasa
yaitu kacaunya tatanan sosial kelompok-kelompok minoritas terutama
etnis Melayu Patani. Bahkan pemerintah Thailand menjadikan pejabat
etnis Thai dalam mengatur birokrasi masyarakat Patani. Hasilnya adalah
pembangunan di wilayah Patani menjadi tertinggal.
Atas kondisi tersebut nampaknya tidaklah mengherankan jika
masyarakat Patani kemudian hanya menjadi penonton pasif dari
banyaknya lowongan kerja yang sebenarnya tersedia seiring dengan
pembentukan sistem adminsitrasi dan infrastruktur baru di Selatan.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 32


Secara sosial, politik, dan ekonomui masyarakat berada dalam posisi yang
tidak diuntungkan. Di tanah kelahirannya sendiri mereka harus
mengalami diskriminasi, tekanan, dan kesewenang-wenangan yang
bertubi-tubi dari pemerintah Thai.
Menurut Yuniarto berkaitan dengan politik integrasi terhadap
wilayah di Thailand Selatan, bahwa permasalahan anti Siam dan
perlawanan dari penduduk Patani disebabkan adanya kontradiksi antara
reformasi politik di bawah sistem kerajaan Thailand dengan nilai-nilai
atau identitas politik bangsa Melayu Patani. Kontradiksi meliputi dua hal
sebagai berikut. Pertama, kontradiksi yang mencakup pada tingkat
kelembagaan, inkorporasi elit politik Muslim dalam praktek politik
perwakilan dan ekspansi administrasi nasional termasuk keterlibatan
Muslim dalam proses pengambilan kebijakan. Kedua, kontradiksi yang
meliputi pembangunan komunitas politik ala kerajaan dan praktek
praktek politik pada perang kerajaan yang belum selesai (incomplete) di
bawah konsep negara bangsa.9
Kebijakan integrasi baik sosial maupun politik dalam konteks
proses pembangunan partisipasi politik masyarakat dalam ruang publik
telah bergeser ke arah kebijakan operasi militer. Kebijakan militeristik
diduga memberikan isyarat adanya sekelompok elit politik di Bangkok
dan Patani yang tidak menginginkan Patani dalam keadaan damai. Hal itu
dilakukan sebagai bagian dari usaha-usaha untuk menutupi kepentingan
dan bisnis ilegal yang telah berlangsung cukup lama di perbatasan selatan.

C. “Proyek” Asimilasi Budaya


Ali Sodikin dalam tulisannya yang mengkaji masalah budaya
Patani yang berhadapan dengan budaya Siam sulit dipertemukan. Patani
berintikan Melayu-Muslim berhadapan dengan budaya Siam-Buddha.
Dalam kajiannya tersebut melihat kedua budaya tersebut sulit
dipertemukan.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 33


Secara historis, pergulatan politik, budaya, dan hukum di
wilayah ini sangat dinamis. Pada awalnya Pattani adalah Kesultanan Islam
yang independen, namun pada awal abad 19 dianeksasi oleh Kerajaan
Siam. Ketika Siam bermetamorfosa menjadi Thailand yang monarkhi
konstituional (tahun 1932), maka Pattani menjadi provinsi di bawah
kekuasaan negara Thailand. Ketika menjadi provinsi inilah terjadi
dinamika sosio-kultural dalam kebudayaan masyarakat. Kebudayaan lokal
mereka, yang terbentuk melalui akulturasi antara Islam dengan budaya
Melayu, berakulturasi dengan kebudayaan baru, yaitu budaya Thai. Antara
kedua budaya ini terdapat perbedaan fundamental yang sulit
diintegrasikan. Maka muncullah perlawanan di kalangan masyarakat
Pattani terhadap setiap upaya integrasi maupun asimilasi yang dilakukan
oleh pemerintah Thailand.10
Yuniarto dalam kajiannya mengenai budaya antara masyarakat
Patani dengan Thailand yang selalu berbenturan disebabkan karena
adanya stigma negatif dari masing-masing kelompok/etnis. Etnis Thai
menganggap etnis Melayu Muslim sebagai orang kolot, sebagaimana
kutipan berikut.
Persoalan budaya muncul dari indentifikasi stereotip dan stigma
masyarakat Patani oleh pemerintahan Thai yang telah berlangsung
cukup lama. Thai Buddhist menyebut Patani dengan Khaek yang
secara harafiah berarti ‘tamu’ atau ‘pendatang’ di Thailand. Secara
umum istilah Khaek juga dipakai untuk mengidentifikasikan
orang-orang dengan warna kulit sawo matang khususnya yang
berasal dari Asia Selatan seperti: India, Pakistan, dan Timur
Tengah, termasuk mereka yang beragama Islam, yang di antaranya
adalah Melayu Muslim. Dalam pandangan Thai-Budhist, Khaek
merujuk pada istilah yang berbau etnosentrik, dan stereotipik.
Khaek juga berkonotasi sebagai orang yang malas, jorok, egois,
miskin, tak bisa dipercaya, berpikiran picik, kejam, tidak bisa
diajak kerjasama, bodoh, tidak ramah, dan fanatik. Intinya istilah
ini mengandung pelecehan makna/konotasi (deragatory meaning).
Bedasarkan simbol-simbol agama dan budaya (bahasa, adat
berpakaian) inilah mereka dikelompokkan sebagai alien cultural
group.11

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 34


Masyarakat Patani menyebut etnis Thai sebagai orang kafir.
Sebaliknya Melayu Muslim mengidentifikasikan orang Thai-Buddhist
sebagai orang kafir, penyembah patung. Mereka diibaratkan sebagai
jahiliyah modern, yang menjadikan budak bak “Lata dan Uza”, yang
menurut hukum Islam wajib diperangi lantaran sifatnya yang zalim
terhadap (sewenang-wenang, menindas, dan memerangi) Melayu. Tidak
seperti hubungan antara Thai dengan Cina, hubungan Thai dengan Melayu
Patani, yang melibatkan pula hubungan antara Pemerintah Thai dan
rakyat Melayu Patani, penuh diwarnai dengan konflik ideologis, budaya,
bahkan bentrok fisik. Di pihak Melayu Muslim Patani sendiri
mengidentifikasikan hubungan pemerintah Thai dengan Patani sebagai
hubungan antara mereka yang menindas (penjajah) dan yang ditindas
(dijajah). Pernyataan ini didukung kuat oleh realitas sejarah. Patani
sebelum diintegrasikan ke dalam Thailand adalah kerajaan Melayu Islam
yang otonom dan berdaulat penuh. Disini pada akhirnya Melayu Patani
menganggap dirinya (menyadari identitasnya) sebagai outgroup di dalam
wilayah kelahirannya sendiri. 12
Vatikiotis dalam kajiannya mengidentifikasi bahwa perbedaan
etnis, budaya, dan identitas menjadi sesuatu yang sulit dicapai titik temu
di Thailand Selatan. Agama (Islam) merupakan motor penggerak untuk
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Thailand.13 Hal ini sesuai
pernyataan narasumber berikut:
Bagi kami persoalan budaya dan politik asimilasi oleh pemerintah
Thailand jelas tidak bisa kami terima. Karena sangat nyata
perbedaan kami. Kami adalah etnis Melayu-Muslim. Buadaya kami
berbeda dengan etnis Thai. Apalagi pemerintah Thailand
memberlakukan budaya tunggal sebagai budaya resmi negara.
System pendidikan Islam kami dihapus, bahasa Melayu dilarang,
kami harus menggunakan bahasa Thai. Kebijakan semacam ini
sangat merugikan kami. Bahkan dapat menghilangkan budaya
kami ini.14

Kajian dari para peneliti di atas serta kutipan wawancara dengan


mahasiswa Patani di atas mencerminkan suatu pandangan terhadap

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 35


perbedaan budaya. Disamping itu, kajian dan petikan wawancara di atas
menggambarkan bagaimana belum adanya titik temu serta sikap saling
memahami antara masyarakat Patani (Melayu-Muslim) dengan
pemerintah Thailand (Thai-Buddha) menyikapi perbedaan mendasar
tersebut.
Sejalan dengan pendapat narasumber di atas, Sateemae, Abdel-
Monem and Sateemae mengemukakan bahwa perbedaan utama etnis
Melayu Patani dengan Etnis Siam disamping perbedaan-perbedaan agama,
tradisi, budaya adalah pengaruh dari politik asimilasi pemerintah
Thailand.15
Program Thaifikasi ini diperkuat pula dengan pelarangan
penggunaan bahasa Melayu dan nasionalisasi budaya masyarakat Thai
melalui bahasa dan adat istiadat. Kebijakan kultural yang menyangkut
pemakaian bahasa dan adat istiadat Thai ditujukan guna mempromosikan
nasionalisme Thai sambil mengikis identitas (agama dan budaya) Melayu
Patani.
Kami sangat menentang program asimilasi dari pemerintah
Thailand. Sangat jelas kiranya bahwa tidak ada politik akomodasi
kebudayaan terhadap minorotas. Tidak ada perhatian pemrintah
terhadap kebudayaan Melayu sebagai bagian dari kebudayaan
nasional. Kelangsungan tradisi dan adat-istiadat orang-orang
Melayu seharusnya tidak dilarang oleh pemerintah.16

Pernyataan narasumber di atas beralasan, karena dalam


perjalanannya, politik asimilasi justru mengarahkan perubahan mendasar
terhadap identitas masyarakat Patani Muslim. Salah satu bentuk asimilasi
itu adalah perubahan nama-nama Muslim dengan nama-nama Thai. Hal ini
seperti yang pernah terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru terhadap
etnis China yang harus merubah nama China ke dalam nama-nama
Indonesia.
Perlu ibu ketahui jika kami menolak mengubah nama, maka
konsekuensinya antara lain adalah sodara-sodara kami yang bekerja di
kantor pemerintah tidak akan dipromosikan untuk mencapai karir yang

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 36


lebih tinggi. Saya kasih contoh saja nama-nama Siam “Surin Pitsuwan”,
satu-satunya orang Melayu yang pernah diangkat sebagai Menteri Luar
Negeri Thailand, nama lama (aslinya) adalah “Abdul Halim bin ‘Isma’il”.17
Tidak hanya sebatas nama, model berbusanapun tidak lepas dari
program asimilasi pemerintah.
Kami juga harus menggunakan model-model atau trend yang
digunakan pemerintah Thailand. Kami dipaksa untuk mengenakan
“baju modern” model Barat. Mereka dilarang mengenakan sarung,
memakai songkok (kopiah), sandal, dan mengunyah sirih. Bagi
laki-laki harus menggunakan topi, celana panjang, dan sepatu.
Kaum Muslimah yang mengenakan baju kurung dan kerudung
sering mengalami pelecehan oleh polisi setempat. Mungkin ini
kayak yang terjadi di negara-negara Eropa sekarang akibat adanya
ketakutan terhadap kaum Muslim.18

Bagi kelompok Muslim berpakaian adalah ekspresi keagamaan


dan model pakaian adalah manifestasi sikap dan perilaku beragama.
Namun dari sekian kebijakan, yang dianggap fatal dan merusak
kepercayaan Muslim adalah kewajiban kaum Muslim Patani untuk
menghormati patung Buddha yang berada di lingkungan sekolah lantaran
Budisme sudah diproklamirkan sebagai agama negara, sudah sepantasnya
bila masyarakat Patani menghargai agama ini dengan cara menghormati
patung simbol Buddha.
Yang jelas-jelas tidak bisa kami terima adalah bentuk-bentuk
kewajiban kami harus menghormat terhadap patung Buddha. Jelas ini
suatu bentuk pemaksaan dan tindakan intoleransi dari negara.19
Dilihat dari berbagai macam permasalahan Muslim Patani,
nampaknya permasalahan mendasar tidak semata-mata permasalahan
sikap anti Siam namun karena tidak adanya keadilan masyarakat baik
dalam kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, maupun sosial politik.
Ketidakadilan sosial politik meliputi kuatnya sentralisasi politik
pemerintah pusat dan tidak adanya otonomi bagi masyarakat.
Ketidakdilan sosial budaya membuat tercerabutnya budaya dan bahasa

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 37


Melayu dari orang-orang Melayu. Mereka diasimilasikan secara paksa oleh
pemerintah agar menjadi Thai Muslim yang berkebudayaan Thai.
Gerakan perlawanan yang muncul dipahami sebagai salah satu
upaya mempertahankan identitas nilai keagamaan dan etnisitas mereka
dengan menuntut dihentikannya sikap diskriminatif kerajaan Thai. Pihak
kerajaan Thailand dalam hal gerakan separatis sebenarnya bukan tidak
mempedulikan, pemerintah tetap berusaha memberikan konsesikonsesi
secara nyata kepada gerakan “Separatis” Melayu-karena upaya
pemberontakan separatis tidak kunjung mereda. Pihak pemerintah antara
lain telah membuat kebijakan mengembangkan toleransi dalam
pluralisme beragama, perbaikan pendidikan, dan pemberian paket
pembangunan sosial ekonomi di provinsi-provinsi selatan, disertai
kebijakan rekruitmen terhadap kaum Muslim di sektor administrasi.
Namun demikian Pemerintah Thailand tidak memiliki kecenderungan
membuka ruang otonomi sebagai solusi bagi separatisme berdasarkan
etnik ini tetapi menggunakan konsesi-konsesi tersebut sebagai instrumen
untuk menjaga agar situasi tetap stabil.

D. Respons Terhadap Kebijakan Pemerintahan Thailand dan Respons


Mahasiswa Pattani di Indonesia
1. Respons Atas “Proyek Siamisasi”
Bagi kami gerakan-gerakan yang dilakukan masyarakat
Patani di negara kami, dan kami di sini pada dasarnya untuk
mempertegas identitas nasionalisme kami. Jika suatu identitas telah
diinjak-injak dan diganti dengan identitas yang bukan buadaya kami,
maka perlawanan fisik dan diplomasi menjadi salah satu cara. Namun,
yang lebih bergema adalah perlawanan fisik. Maka tidak
mengherankan kami di cap sebagai “separatis”. 20
Petikan wawancara dengan mahasiswa Patani di atas
mencerminkan bagaimana arah perjuangan mereka. Perjuangan
mereka adalah mempertahankan identitas sebagai suatu bangsa
dengan budaya Melayu-Muslim sebagai identitas nasional. Jika suatu

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 38


identitas suatu etnis dihapus oleh kekuasaan yang lebih tinggi, maka
jalan utama adalah melakukan perlawanan, baik secara fisik maupun
diplomasi.
Respons berupa gerakan-gerakan “separatis” yang terjadi di
Patani merupakan suatu upaya mempertegas identitas nasionalisme
masyarakatnya. Gerakan-gerakan yang dilakukan baik secara fisik
maupun diplomasi. Perlawanan tersebut kiranya dapat dimaknai
sebagai upaya mempertegas identitas kultural dan agama Patani yang
semakin tercabik-cabik oleh program asimilasi paksa pemerintah
Thailand.
Masyarakat Patani, menurut kami sekarang ini telah berada
dalam negara yang sama sekali berbeda tujuannya. Perbedaan tujuan
secara jelas menyangkut ideologi politik. Namun faktanya adalah
bahwa kami telah diperlakukan dengan cara dan kebijakan yang sama,
dengan tujuan untuk menghapuskan perbedaan identitas kami sebagai
bagian etnis Melayu Muslim dengan cara hidup mereka. Pemerintah
Thailand telah memposisikan kami sebagai minoritas etno-nasionalis
dengan tidak adil.21
Petikan wawancara di atas dengan jelas menggambarkan
ketidak sukaan dan ketidaknyamanan masyarakat Patani yang
mayoritas beretnis Melayu-Muslim terhadap kebijakan-kebijakan yang
diberlakukan pemerintah Thailand. Kebijakan-kebijakan yang menurut
mereka tidak memperhatikan perbedaan-perbedaan sebagai dasar
kebijakan.
Permasalahan dalam kasus Patani tersebut di atas menurut
Anderson hampir dialami oleh negara-negara yang baru saja
mendapatkan kemerdekaannya, yaitu negara post-kolonial
menggunakan pendekatan negara dengan fungsi-fungsinya dalam
menghadapi masyarakatnya sendiri. Karena itu, pemerintah
menggunakan aparat negara dan kebijakan-kebijakannya untuk

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 39


mengamankan kepentingan negara dan mengabaikan kepentingan
sebagai sebuah bangsa. Birokrasi dan yang lebih penting lagi adalah
militer memainkan peranan yang sangat penting dalam mengamankan
kepentingan negara tersebut. 22
Pemerintah Thailand belum mampu membuat kebijakan
yang menguntungkan masyarakat Patani. Pemerintah Thailand
memandang konflik yang terjadi hanya atas dasar perbedaan politik
saja, pemerintah Thailand tidak melihat perbedaan yang mendasar
seperti etnis, agama sebagai sumber dalam membuat kebijakan yang
adil. Hal ini sebagaimana petikan wawancara berikut:
Dengan konflik Siam-Patani yang terjadi berabad-abad lalu,
salah satu faktor permasalahan yang tidak bisa dipungkiri adalah
konflik dan kekerasan, tidak hanya disebabkan oleh perbedaan
kepentingan politik, melainkan juga memiliki akar yang dalam. Hal itu
meliputi perbedaan kultural termasuk di dalamnya agama, bahasa, dan
klaim historis atas tanah atau kawasan. Dari akar-akar itu rakyat di
Patani memiliki legitimasi untuk mengklaim bahwa tanah atau daerah
mereka tidak menjadi bagian integral dari pusat pemerintahan negara
Thailand dengan tuntutan merdeka. Namun, di sisi lain, di dalam
komunitas Muslim itu sendiri juga muncul kelompok-kelompok dan
individu yang satu sama lain berbeda pandangan dan memiliki agenda
masing-masing.23
Pada konteks ini, jelaslah bahwa pemerintah Thailand
menggunakan pendekatan negara tanpa mempertimbangkan
kepentingan bangsa. Adalah Anderson yang memberikan alat analisis
untuk mengkaji negara-negara post-kolonial yang cenderung
menggunakan kepentingan negara untuk menyatukan negara bangsa
mereka sebagai satu identitas yang sama. Namun di sisi lain, negara-
negara bangsa ini mengabaikan kepentingan sebagai bangsa. Hasil dari
kebijakan-kebijakan ini adalah adanya konflik berdasarkan identitas

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 40


etnis yang dianut oleh masing-masing kelompok seperti perlawanan-
perlawanan yang terjadi di Patani ini. 24
Pemerintah Thailand menurut kami sangat pro kelompok
Buddha, mereka juga mempersenjatai orang-orang Buddha. Militer
merepresentasikan kelompok Buddha. Jika kami lihat konflik 2004
silam, dimana kekerasan massif terjadi di Patani, militer dengan jelas
menindas dan melakukan kekerasan. 25
Sebagaimana Sabina Stein bahwa hubungan orang-orang
Buddha dengan minoritas secara umum baik. Namun, pemerintah
Thailand memaksakan identitas Buddha sebagai identitas nasional
tanpa melihat perbedaan-perbedaan dan keragaman minoritas etnis
Melayu Muslim atau masyarakat Patani. Disamping itu, kekerasan-
kekerasan yang dialami masyarakat patani disebabkan oleh kekerasan
militer. Militer telah berbuat melebihi batas kewajaran dengan cara-
cara kekerasan.26
Pendekatan yang menggunakan pendekatan negara
dilakukan oleh penguasa Thailand dengan menggantikan penguasa
kesultanan menjadi penguasa Buddha yang beretniskan Thai telah
memicu pendekatan yang represif dari penguasa Buddha di Thailand
sehingga memunculkan kelompok-kelompok oposisi. Pendekatan-
pendekatan militer disatu sisisi dengan simbol Buddha serta semakin
kuatnya sentiment anti pemerintah oleh masyarakat Patani dengan
simbol Melayu Muslim menimbulkan berbagai ketegangan. 27
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah Thailand
tersebut, terutama yang berkaitan dengan pendidikan menjadikan
sentiment masyarakat Patani semakin kuat. Kebijakan tersebut secara
jelas menggambarkan sebagai bentuk “Siamisasi”.
Menurut kami sebagai kebijakan tersebut telah kebablasan.
Bagi kami kebijakan tersebut tentu secara langsung menohok ponoh
yang juga bergerak sebagai institusi pendidikan dasar yang

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 41


bernuansakan agama Islam dan Melayu. Selain juga berimplikasikan
atas keberlangsungan kekuatan ekonomi atas ponoh yang juga
bergerak untuk memajukan secara sosial ekonomi para guru agama
lokal.
Kami sebagai generasi Patani merespon kebijakan-kebijakan
dengan berbagai gerakan intelektual, menyebarluaskan kejadian-
kejadian yang dialamami penduduk Patani dalam berbagai tema karya
ilmiah, melakukan diskusi-diskusi tentang identitas nasional kami
sebagai Melayu Muslim.28
Respons tersebut dilakukan oleh para guru yang secara
efektif memobilisasi masyarakat untuk menentang kebijakan
reformasi pendidikan tersebut yang memaksakan ajaran Buddha pada
komunitas minoritas Muslim Patani dan dengan tujuan akhir membuat
orang Muslim Patani menjadi orang Thailand dengan mengharuskan
bahasa Thai dan agama Buddha.29
Respons terhadap kebijakan-kebijakan tersebut dilakukan
dengan berbagai protes. Sebagaimana penelitian Soebandi
menggambarkan sebagai berikut:
Protes dilakukan dengan sangat masif di daerah selatan
Thailand ini dengan menolak untuk datang dan bersekolah di sekolah
negara yang telah disediakan dan bahkan diwajibkan oleh penguasa
Negara Thailand. Pemerintah pusat Thailand secara terus menerus
menekan orang-orang Patani dan bahkan dengan cara-cara militer.30
Dewasa ini, pemerintah Bangkok tetap menjalankan politik
asimilasi terhadap penduduk Patani. Hal ini sebagaimana penelitian
Soebandi yang menggambarkan sebagai berikut:
Pada kondisi kekinian, pemerintah pusat Thailand tetap
memberlakukan kebijakan asimilasi dengan mengintegrasikan Patani
ke dalam Negara Thailand dengan cara memaksakan kehendak untuk
merubah identias mereka sebagai orang Muslim dan Melayu. Strategi

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 42


berikutnya adalah dengan cara melakukan demonisasi atas gerakan
patani dengan cara mengambil keuntungan atas isu global yang
berkembang setelah kejadian serangan terorisme di Amerika serikat
pada 11 Sepetember 2001 dan dengan cepat pula mereka membuat
label baru pada gerakan Patani yaitu sebagai kelompok teroris Islam.31
Kebijakan integrasi dan proyek pembangunan kebangsaan
yang yang dijalankan oleh pemerintah kerajaan Thailand dalam
kenyataannya berdampak dengan semakin menguatnya arah
pengkategorisasian masyarakat mayoritas-minoritas dalam kehidupan
masyarakat Thailand-Patani. Aksi kekerasan sebagai dampak dari
kebijakan tersebut, merupakan implikasi dari kebijakan nasionalis
yang merekonstruksi identitas Thai yang monolitik yang gagal
diterapkan. Kegagalan ini disebabkan karena identitas Muslim Patani
dibangun di atas simbol-simbol atau atribut seperti: pengalaman
sejarah tentang kebesaran Kerajaan Melayu Patani di masa lalu, bahasa
Melayu, agama Islam, dan kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat lokal
menjadi faktor-faktor yang mengiringi pergulatan mencapai identitas
kemelayuan Muslim Patani. Identitas Patani yang terdiri dari faktor
sejarah dan penaklukan oleh kerajaan Siam, masalah kepentingan
ekonomi, persoalan migrasi internal, dan kegagalan mengakomodasi
perbedaan identitas, mendorong masyarakat Melayu Muslim Patani
untuk melakukan perlawanan (memberontak) terhadapn upaya
pemerintah Thailand dalam mempersatukan wilayah mereka. 32
Berdasarkan kajian-kajian penelitian yang melihat
berkembangnya pergolakan di Patani ini, dilatarbelakangi paling tidak
merujuk empat hal.
1. Sejarah dan penaklukan oleh Siam. Penaklukan Patani oleh kerajaan
Siam yang kemudian diikuti dengan penerapan tata pemerintahan
baru ini menjadi titik awal munculnya gerakan perlawanan.
Masyarakat Patani yang menyimpan kenangan sebagai kerajaan

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 43


masyhur dan menjadi pusat perdagangan yang paling ramai,
menginginkan kondisi seperti dulu dan benturan kepentingan yang
saling bertolak belakang inilah yang menyebabkan munculnya
gerakan separatis pula.
2. Kepentingan ekonomi. Sumber daya alam di daerah Patani (Thailand
Selatan) kaya akansebagai sumber minyak, namun penduduk berada
pada garis kemiskinan. Masyarakat Patani tidak memiliki akses
memperoleh penghidupan layak. Posisi ekonomi penduduk Patani
hanyalah sebagai pelengkap daripada sebagai stakeholder.
3. Migrasi internal. Adanya program migrasi penduduk untuk
pemerataan penduduk dari wilayah utara ke selatan (Patani). Namun
hak-hak warga Patani tersisihkan, karena program tersebut hanya
mengakomodir hak-hak masyarakat selatan sebagai pendatang.
4. Kegagalan mengakomodasi perbedaan identitas. Pada dasarnya
persoalan perbedaan agama secara umum menjadi tidak begitu
signifikan untuk menjelaskan munculnya perlawanan Patani.
Perlawanan disebabkan oleh penerapan kebijakan Negara Thailand
yang menyangkut penerapan kebijakan nasionalisme Thailand, di
mana berusaha menerapkan konsep ultra chauvinistic yang
menempatkan budaya Thai lebih tinggi dibandingkan dengan budaya
lain.33

2. Identitas Etnis dan AgamaSebagai Nasionalisme


Secara teoritis politik identitas merupakan sesuatu yang bersifat
hidup atau ada dalam setiap etnis, dimana keberadaannya bersifat laten
dan potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai
kekuatan politik yang dominan (Buchari, 2014: 19).34 Sebagai suatu
bangsa, masyarakat Patani berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan. Mereka selalu dihadapkan pada konflik-konflik

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 44


berkepanjangan. Mereka menjadi warga kelas dua dalam suatu negara. Hal
ini juga ditegaskan oleh narasumber sebagai berikut.
Bagi kami, etnis Melayu Muslim Patani menjadi sangat tidak
beruntung. Identitas kami sangat jelas sebagai etnis Melayu-Muslim. Akar
sejarah kami juga jelas sebagai bangsa Melayu-Muslim. Namun pada
akhirnya kami harus dihadapkan dengan keadaan sebagai bagian dari
bangsa berdaulat bernama Thailand. Tentu saja kondisi ini tidak
menguntungkan kami. Kebijakan pemerintah Bangkok jelas pro etnis
mayoritas dan pro Buddha.35
Melihat konflik antara masyarakat Patani dengan pemerintah
Thailand yang terus berlangsung sampai saat ini bersumber pada identitas
masyarakat sebagai suku bangsa. Persoalan etnis, kepercayaan, dan
kebudauyaan serta historitas menjadi permasalahan serius yang
membentuk identitas suatu suku bangsa.
Menurut Castells, politik identitas merupakan partisipasi
indivisual pada kehidupan social yang lebih ditentukan oleh budaya dan
psikologis seseorang. Identitas merupakan proses konstruksi dasar dari
budaya dan psikokultural dari individu yang member arti dan tujuan
hidup dari individu tersebut, karena proses terbentuknya identitas
terbentuk dari proses dialog internal dan interaksi sosial. 36
Secara sosiologis, identitas didefinisikan sebagai pengalaman
manusia melalui sejarah secara geografis, ingatan kolektif, imajinasi
personal, instrumen kekuasaaan, dan wahyu religius. Identitas
menciptakan pengertian melalui pengalaman-pengalaman kolektif. Pada
konteks ini, Castells berpendapat ada bermacam-macam atribut budaya
dari identitas sehingga mendorong orang membuat prioritas atas atribut
budaya di sekitar mereka. Ketika orang membuat prioritas berbeda,
mereka cenderung untuk berkonflik satu sama lainnya. 37
Identitas sebagai suatu penanda suatu masyarakat adalah
adanya identitas sosial mencegah orang dari ancaman konflik

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 45


interpersonal dengan menyediakan perlindungan bagi sebuah kelompok
dengan ruang yang sama. Dengan adanya identitas ini mereka akan saling
melindungi satu sama lain. Mereka akan memperkuat kesamaan sebagai
suatu bangsa.38
Pembentukan identitas merupakan hasil dari identifikasi yang
melibatkan proses sosialisasi, nilai bersama, kepercayaan, harapan,
norma, dan sebagainya. Identitas adalah sebuah struktur dengan interelasi
kompleks diantara sub-identitas yang berbeda-beda. Ada empat
komponen yang mencirikan identitas sistemik, yaitu: (1) sebagai bagian
dari kelas atau tipe yang mendefinisikan kerutinitasan dari fungsi dan
perkembangannya; (2) sebagai sebuah sistem yang mempunyai
karakteristik khusus; (3) sebagai seperangkat sub-sistem yang
berpengaruh kepada fungsi-fungsinya; dan (4) dengan interaksi
eksternalnya dalam proses mengembangkan dan menyelesaikan konflik
sosial.39
Hubungan antara identitas dan konflik yang utamanya terjadi
karena adanya prasangka antar kelompok. Prasangka diukur dengan
menggunakan skala yang terstandarisasi yang berisikan pernyataan
mengenai atribut kelompok, perasaan terhadap kelompok, dan dukungan
terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi mereka. Dalam
konteks ini, stereotipe merupakan bagian dari prasangka yang digunakan
untuk menciptakan anggapan terhadap kelompok luar yang biasanya
sebagai musuh. Oleh karena itu, prasangka merupakan atribut negatif,
antipati berdasarkan kesalahan, dan kekakuan dari generalisasi. 40 Teori
dari Korestelina tersebut sejalan dengan pernyataan kaum muda Patani di
Yogyakarta sebagai berikut:
Kami mengidentifikasi diri sebagai bangsa Melayu-Muslim,
bukan Thai-Muslim. Kami memiliki budaya, bahasa, adat tersendiri. Kami
memiliki sistem pendidikan sendiri.41

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 46


Identitas dapat menciptakan konflik dalam keadaan adanya
prasangka antar kelompok dari satu kelompok terhadap kelompok
lainnya. Prasangka dapat dengan sangat mudah muncul karena kurangnya
informasi, komitmen yang dapat dipercaya, dan dilema keamanan dengan
kelompok-kelompok lain.
Buchari mengemukakan bahwa identitas dominan ada dalam
bentuk identitas kolektif yang dimobilisasi dan mempunyai ideologi.
Dimana institusi dominan dapat dan seringkali mengkonstruksi
identitas.42 Sebagai institusi dominan, pemerintah Thailand juga
menggunakan identitas untuk memperluas dominasi mereka dalam
berhadapan dengan masyarakat Patani. Sodikin mengemukakan bahwa
pemerintah yang berbasiskan etnis Thai yang beragama Buddha membuat
slogan-slogan nasional bangsa Thai-Buddha.43 Meminjam Teori Buchari
serta penelitian Ali Sodikin tersebut, orang Patani diidentifikasikan
sebagai pemberontak oleh pemerintah Thailand dengan tujuan untuk
memperluas dominasi kekuasaan atas nama satu negara-bangsa Thailand.
Gagasan negara-bangsa Thailand-Budda menjustifikasi kebijakan
pemerintah pusat melalui militer sebagai aparat negara untuk
menghilangkan identitas bangsa Patani sebagai Melayu-Muslim.
Konstruksi identitas ini menunjukkan bahwa identitas bangsa
selalu berkaitan dalam konteks hubungan kekuasaan. Konstruksi identitas
tersebut terdapat tiga bentuk:
1. Identitas legitimasi (Legitimizing identity). Identitas yang dibentuk
oleh institusi-institusi masyarakat dominan dengan tujuan untuk
memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka dalam menghadapi
aktor-aktor sosial lainnya. Identitas merupakan bentuk perlawanan
yang dapat menyokong rencana, melalui perjalanan sejarah, menjadi
identitas dominan dalam institusi masyarakat, sehingga terbentuklah
legitimizing identity untuk merasionalisasi dominasi mereka.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 47


2. Identitas resisten (resistance identity). Identitas kolektif untuk
melawan penindasan. Sejarah, geografi, dan biologi merupakan
landasan fundamental dari perlawanan. Dalam kajian ini Masyarakat
Patani menggunakan nasionalisme etnis untuk menginternalisasi
nilai-nilai dalam masyarakat Patani. Bagi orang Patani, batasan
perlawanan menjadi penting, yaitu melalui sejarah dan geografi yang
berbeda dengan sebagian besar wilayah geografis dan sejarah mereka.
Karena itu, politik perbedaan ini digunakan oleh pemerintah Thailand
untuk memberikan label identitas orang Patani yang sangat berbeda
dari identitas nasional Thailand sehingga muncul klaim bahwa
pembetukan label ini merupakan bentuk penyingkiran orang Patani
dari identitas nasional Thailand.
3. Identitas proyek (Project identity). Ketika aktor-aktor sosial, atas
dasar materi kultural yang manapun itu tersedia bagi mereka,
membangun identitas baru yang mendefinisikan ulang posisi mereka
dalam masyarakat dan dengan melakukan itu, mereka mencari
perubahan struktur sosial secara keseluruhan”.44
Identitas seringkali menjadi alat yang ampuh untuk pembenaran
ideologi ketidaksetaraan politik. Identitas hampir menjadi sesuatu yang
bersifat universal dan yang memperlihatkan popularitas, memperlihatkan
normalitas, dan penerimaan umum adalah isi yang berhubungan erat
dengan kekuatan ideologi. Ia berargumen bahwa identitas nasional yang
menggunakan ideologi tertentu tersebut seringkali dilembagakan oleh
struktur negara modern yang kuat, cenderung untuk memperkuat
pandangan kelompok dominan atas realitas sosial dan bentuk-bentuk
diskriminatif dari dominasi.45
Identitas merupakan ukuran normatif yang mentotalkan
keberagaman ‘diri’ dan ‘subjektifitas’ dan kewarganegaraan normatif dari
identitas manapun dengan legitimasi sejarah yang merupakan dampak
ideologis identitas utuh dan tidak terbagi dari rejim. Identitas pemerintah

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 48


Thailand adalah nation, religion and king.46 Identitas Melayu Muslim
adalah sebagai bagian dari etnis Melayu-Muslim. Pada kasus Patani ini
pemerintah Thailand mengabaikan heterogenitas masyarakat.
Persoalan identitas akhirnya menjadi suatu pembeda yang pada
gilirannya merupakan pilihan yang harus ditentukan oleh para
pendukungnya. Identitas tertentu pada suatu komunitas berimplikasi
pada dianutnya suatu ideologi tertentu yang mempunyai konsekuensi
politik.
Kami merupakan orang Muslim etnis Melayu dan lebih sering
berbicara bahasa Melayu daripada bahasa Thai. Secara fisik kami
berbeda dengan etnis Thai. Kami sebagai etnis Melayu yang
beragama Islam. Islam merupakan agama nenek moyang kami
yang harus kami taati. Sehingga konsekuensinya adalah Islam
menjadi ideologi masyarakat kami. 47

Selain masalah identitas yang meiluputi etnis dan agama,


persoalan mendasar dari bergolaknya kawasan Thailand Selatan adalah
ketika pemerintah berusaha melakukan penghancuran kekuatan struktur
lokal dengan alasan kebijakan asimilasi. Kebijakan tersebut dianggap oleh
komunitas lokal membahayakan dan mengancam Islam dan budaya
Melayu. Hal ini sebagaimana kutipan wawancara berikut.
Menurut kami, salah satu sumber resistensi terhadap pemerintah
Thailand adalah penghapusan ponoh, institusi ini merupakan
institusi yang sangat penting yang mempertahankan identitas
Muslim Melayu. Ketika penguasa Thai mengganti elit tradisional
dengan orang Buddha beretniskan Thai, tok guru menjadi
pemimpin komunitas secara faktual, penjaga keyakinan,
pengangkat identitas Melayu.48

Menegaskan bentuk nasionalisme masyarakat Patani, bahwa


nasionalisme Patani adalah asimilasi religius Islam-Melayu yang
membentuk ethno-religius-nationalism. Pada masa berikutnya, budaya
bentukan inilah yang menjadi alasan masyarakat Muslim Patani untuk
terus mempertahankan diri dari serbuan budaya luar, termasuk budaya
Siam yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah Thailand. Karakter asli

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 49


dari Muslim Pattani tidaklah bersifat radikal, melainkan karakter toleransi
terhadap perbedaan adat istiadat maupun tradisi lain. Akan tetapi,
karakter tersebut dapat berubah menjadi militan ketika ada ancaman
terhadap eksistensi kebudayaannya. Argumentasi inilah yang menjadi
landasan munculnya resistensi yang berujung pada terjadinya konflik
antara Muslim Melayu dengan pemerintah Thailand.49
Maka dengan jelas bahwa masyarakat Patani, dalam hal ini kaum
muda yang ada di perantaun mengidentifikasi diri mereka sebagai orang
Melayu-Muslim. Mereka menolak akan sebutan sebagai Thailand-Muslim.
Dengan identitas tersebut semakin mengukuhkan bahwa mereka adalah
bangsa yang berbeda dengan etnis mayoritas bangsa Thailand dengan
agama Buddha sebagai agama resmi dan utama.

E. Penutup
Identitas nasional yang dibentuk dari persamaan-persamaan
etnis, budaya, agama, kepercayaan, dan adat istiadat dapat memunculkan
kekuatan politik jika dimobilisasi. (1) Kebijakan integrasi dan asimilasi
masyarakat Patani ke dalam budaya Thai berdasar budaya Buddha
mendapat pertentangan keras dari masyarakat Patani. Nilai-nilai Islam
menempati peranan penting dan utama dari identitas orang Patani. Secara
historis nilai-nilai Islam dapat berasimilasi dengan budaya tradisional
pada periode sebelum masuknya Islam. Kemunculan gerakan-gerakan
perlawanan Patani yang bersifat menentang merupakan perlawanan yang
disebabkan oleh tidak sinkronnya nasionalisme trinitas Thailand. (2)
Gerakan Patani menjadi percampuran budaya dan kemudian menciptakan
tampilan unik dari identitas kelompok ini. Keunikan identitas mereka
dapat dilihat dari struktur sosialnya. Identitas yang bersifat permanen;
bahasa, kebiasaan (tradisi dan adat-istiadat), dan keyakinan agama masih
merupakan identitas baku yang asli masih dipertahankan oleh kelompok
Muslim di Patani. Faktor etnisitas dan solidaritas keagamaan telah

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 50


membedakan rakyat Patani dari bagian utama penduduk Thailand
sehingga memicu tumbuhnya kelompok “pejuang” yang muncul sebagai
perlawanan budaya atas diskriminasi dari etnisitas mayoritas penduduk
Thailand.

Catatan:
1Miftahudin, Makna Nasionalisme, (Jakarta: FISIP UI, 2009), hlm. 282.
2Smith, A.D., Nationalist Movement, (London: The Macmillan Press, 1979), hlm. 1.
3Malik Ibrahim, “Seputar Gerakan Islam di Thailand Suatu Upaya Melihat Faktor

Internal dan Eksternal”, Sosio-Religia, Vol. 10, No.1, Februari 2012, hlm. 134.
4John T. Sidel, “The fate of nationalism in the new states: Southeast Asia in

comparative historical perspective”, Comparative studies in society and history, 54 (01), pp.
114-144, 2012. DOI: 10.1017/S0010417511000612, hlm. 130.
5Jay Lamey, “Peace in Patani?The Prospect of a Settlement in Southern Thailand.

Stability”, International Journal of Security & Development, 2(2): 33, pp. 1-17, 2012. DOI:
http://dx.doi.org/10.5334/sta.bt., hlm. 2.
6Wawancara dengan ketua Ikatan Persaudaraan Mahasiswa Islam Thailand di

Indonesia (IPMITI) di Yogyakarta, tanggal 20 September 2016.


7Ruiz, Lester Edwin J., “Nationalisms in Southeast Asia: An Essay on the Cartography

of Struggle”, Asian Christian Review, Vol.1, No.1 (Spring 2007), hlm. 81.
8Wawancara dengan ketua Persatuan Mahasiswa Islam Patani di Indonesia (PMIPTI)

tanggal 12 Oktober 2016.


9Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand: Asimilasi, Perlawanan Budaya

dan Akar Gerakan Separatisme”, Masyarakat dan Budaya, Volume 7 No.1 Tahun 2005, hlm.
107.
10Ali Soqikin, “Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik dan Dinamikanya), Ibda’”,

Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016, hlm. 32.


11Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand…”, hlm. 105.
12Ibid.
13Michael Vatikiotis, “Faith and Fear: How Religion Complicates Conflict Resolution

in Southeast Asia”, Papper, (Oslo: OsloForum06, tt), hlm. 42.


14Wawancara dengan ketua SANTAI cabang Yogyakarta tanggal 12 Oktober 2016
15Suhaimee Sateemae, Tarik Abdel-Monem, Mahsoom Sateemae,“Religiosity and

Social Problems among Muslim Adolescents in Southern Thailand” Journal of Muslim Mental
Health, ISSN 1556–4908, Volume 9, Issue 2, 2015, hlm. 5.
16Wawancara dengan ketua mahasiswa Patani di Yogyakarta, 10 Oktober 2016.
17Ibid.
18Ibid. (Wawancara dengan ketua mahasiswa Patani di Yogyakarta, 5 November

2016)
19Ibid.
20Ibid. (Wawancara dengan ketua mahasiswa Patani di Yogyakarta, 10 Oktober

2016)
21Ibid.
22Benedict Anderson, Imagined Communities, Revised and Expanded Edition,

(London: Verso, 1991), hlm. 45.


23Wawancara dengan ketua mahasiswa Patani di Yogyakarta tanggal 11 September

2016.
24Thomas Hylland Eriksen, ”Ethnicity versus Nationalism”, Journal of Peace Research,

vol. 28, No. 3, 1991, hlm. 170.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 51


25Wawancara dengan ketua mahasiswa Patani di Yogyakarta, 10 Oktober 2016)
26Sabina Stein, “Interreligious Tension in South and Southeast Asia”, CSS Analyses in
Security Policy. No. 148, February 2014, hlm. 148.
27Jay Lamey, “Peace in Patani? …”, hlm. 2.
28Wawancara dengan ketua mahasiswa Patani di Yogyakarta tanggal 11 September

2016.
29Harish, SP, Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand Discord,

(Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies, 2006), hlm. 3.


30Khairu Roojiqien Sobandi, “Separatisme di Asia Tenggara: Antara Penguasa dan

Gerakan Nasionalis Kelompok Minoritas”, Jurnal Kajian Wilayah, Vol. 2, No. 1, 2011, hlm. 48.
31Ibid, hlm. 11.
32Paulus Rudolf Yuniarto, “Minoritas Muslim Thailand…”, hlm. 94.
33Ibid, hlm. 110-111.
34Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, (Jakarta: YOI, 2014),

hlm, 19.
35Wawancara dengan ketua mahasiswa Patani di Yogyakarta tanggal 10 November

2016.
36Manuel Castells, The Power of Identity, (Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd.,

2010), hlm. 6-7.


37Ibid.
38Yudi Latif, Dalam Politik Identitas, Agama, Etnis, (Salatiga: Percik, 2009), hlm. 57.
39Khairu Roojiqien Sobandi, “Separatisme di Asia Tenggara …”, hlm. 34.
40Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju…, hlm. 20.
41Wawancara dengan mahasiswa Patani di Yogyakarta tanggal 8 Oktober 2016.
42Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis Menuju…, hlm. 20.
43Ali Soqikin, “Budaya Muslim Pattani” , hlm. 38.
44Manuel Castells, The Power of Identity, hlm. 8.; Sri Astuti Buchari, Kebangkitan Etnis

Menuju, hlm. 23.


45David McCrone and Richard Kiely, “Nationalism and Citizenship”, Sociology, Vol.

34, No. 1, pp. 19–34 (2013), hlm. 23.


46Chumphot Nurakkate, ”The Conflict in Southern Thailand”, (Australian: Centre for

Defence and Strategic Studies, Defence College, March 2012), hlm. 6.


47Wawancara dengan mahasiswa Patani tanggal 12 November 2016.
48Ibid.
49Ali Soqikin, “Budaya Muslim Pattani” , hlm. 34.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 52


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Benedict, Imagined Communities, Revised and Expanded Edition,


(London: Verso, 1991).
Buchari, Sri Astuti, Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, (Jakarta: YOI,
2014).
Castells, M., The Power of Identity, (Oxford, UK: Blackwell Publishing Ltd.,
2010).
Eriksen, Thomas Hylland, ”Ethnicity versus Nationalism”, Journal of Peace
Research, vol. 28, no. 3, 1991, pp. 263-278.
Harish, SP, Changing Conflict Identities: The case of the Southern Thailand
Discord, (Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies, 2006).
Ibrahim, Malik. 2012.“Seputar Gerakan Islam di Thailand Suatu Upaya
Melihat Faktor Internal dan Eksternal”, Sosio-Religia, Vol. 10, No.1,
Februari 2012.
Lamey, Jay, “Peace in Patani?The Prospect of a Settlement in Southern
Thailand. Stability”, International Journal of Security & Development,
2(2): 33, pp. 1-17, DOI: http://dx.doi.org/10.5334/sta.bt.
McCrone, David and Richard Kiely, “Nationalism and Citizenship”, Sociology,
Vol. 34, No. 1, pp. 19–34 (2013).
Miftahudin, Makna Nasionalisme,(Jakarta: FISIP UI, 2009).
Nurakkate, Chumphot, ”The Conflict in Southern Thailand”, (Australian:
Centre for Defence and Strategic Studies, Defence College, March
2012).
Ruiz, Lester Edwin J., “Nationalisms in Southeast Asia: An Essay on the
Cartography of Struggle”, Asian Christian Review, Vol.1, No.1 (Spring
2007).
Sidel, John T., “The fate of nationalism in the new states: Southeast Asia in
comparative historical perspective”, Comparative studies in society and
history, 54 (01), pp. 114-144, 2012. DOI:
10.1017/S0010417511000612.
Smith, A.D., Nationalist Movement, (London: The Macmillan Press, 1979).
Sobandi, Khairu Roojiqien, “Separatisme di Asia Tenggara: Antara Penguasa
dan Gerakan Nasionalis Kelompok Minoritas”, Jurnal Kajian Wilayah,
Vol. 2, No. 1, 2011.
Soqikin, Ali, “Budaya Muslim Pattani (Integrasi, Konflik dan Dinamikanya),
Ibda’”, Vol. 14, No. 1, Januari - Juni 2016.
Stein, Sabina. “Interreligious Tension in South and Southeast Asia”, CSS
Analyses in Security Policy. No. 148, February 2014.
Sateemae, Suhaimee, Tarik Abdel-Monem, Mahsoom Sateemae,“Religiosity
and Social Problems among Muslim Adolescents in Southern
Thailand” Journal of Muslim Mental Health, ISSN 1556–4908, Volume
9, Issue 2, 2015.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 53


Vatikiotis, Michael, “Faith and Fear: How Religion Complicates Conflict
Resolution in Southeast Asia”, Papper, (Oslo: OsloForum06, tt).
Yuniarto, Paulus Rudolf, “Minoritas Muslim Thailand: Asimilasi, Perlawanan
Budaya dan Akar Gerakan Separatisme”, Masyarakat dan Budaya,
Volume 7 No.1 Tahun 2005.

Kontekstualita, Vol. 32, No. 2, 2016 54

Anda mungkin juga menyukai