Melalui mereka,
Allah jaga agama ini sepeninggal Nabi Muhammad ﷺ. Allah tunjukkan kaum muslimin
jalan yang benar dengan usaha para ulama dalam menyebarkan ilmu, sehingga mereka mampu
meraih ridha Allah dengan niat dan tuntunan yang benar. Bahkan bukan sekadar ilmu yang mereka
sebarkan, melainkan juga pribadi yang layak untuk diikuti, baik dari segi ibadah, akhlak, dan adab.
Segala puji bagi Allah yang menjadikan para ulama adalah pewaris para Nabi. Allah jadikan di setiap
generasi para ulama yang membimbing manusia dari kesesatan menuju petunjuk, dari kegelapan
menuju cahaya. Mereka bersabar atas gangguan dan cobaan dalam berdakwah. Mereka memiliki
tangan yang dermawan dalam menyebarkan ilmu agama dan menyempaikan risalah nabi. Mereka
lakukan semua itu karena mengharap ridha Allah dan surga-Nya yang tinggi. Maka wajib bagi setiap
muslim mencintai dan wala’ kepada kaum muslimin (setelah wala’ kepada Allah dan rasul-Nya),
khususnya kepada para ulama yang Allah jadikan mereka seperti kedudukan bintang yang dijadikan
petunjuk saat kegelapan malam di darat maupun lautan.
فإذا انطمست النجوم, يهتدى بها في الظلمات البر والبحر,إن مثل العلماء في األرض كمثل النجوم في السماء
)أوشك أن تضل الهداة (رواه أحمد ضعفه األلباني
“Permisalan ulama di muka bumi seperti bintang yang ada di langit. Bintang dapat memberi petunjuk
pada orang yang berada di gelap malam di daratan maupun di lautan. Jika bintang tak muncul,
manusia tak mendapatkan petunjuk.” (HR. Ahmad, didha’ifkan oleh Al-Albani)
Lalu bagaimana keadaan sebagian manusia, bahkan kebanyakannya dari penuntut ilmu, yang kurang
penghormatannya terhadap ulama, kurangnya adab mereka baik dengan perkataan atau perbuatan
serta tidak adanya sikap inshaf atau adil. Seperti ketika menghadapi pendapat yang berbeda dari
ijtihad ulama maka mereka memandangnya sebelah mata dan meremehkannya, seolah-olah
kebenaran sudah pasti di sisi mereka.
Seseorang tidak lah tercela untuk belajar dengan metodologi madzhab, atau seseorang namun
tercela ketika ta’ashshub atau taqlid buta pada madzhab atau person ulama tertentu. Begitu juga
seseorang yang tidak iltizam dengan madzhab, dia akan tercela ketika tidak bisa memaklumi
perbedaan pendapat yang ada.
يتعمد مخالفة رسول الله ﷺ-وليعلم أنه ليس أحد من األئمة –المقبول عند األمة قبوال عاما
في شيء من سنتة دقيق والجليل فإنهم متفقون اتفاقا يقينا على وجوب اتباع الرسول وعلى أن كل أحد من
الناس يؤخذ من قول ويترك إال رسول الله
Dan hendaknya diketahui bahwa tidak ada satu pun dari para imam (yang keimamanya diterima oleh
umat secara umum) sengaja menyelisihi rasulullah ﷺdi satu perkara pun dari
sunnah beliau, baik yang kecil (atau rinci) maupun yang besar. Sesungguhnya mereka sepakat
secara yakin akan wajibnya mengikuti rasul ﷺdan meyakini bahwa setiap orang
dapat diambil atau ditinggalkan perkataannya kecuali rasulullah ﷺ.
UDZUR KEPADA ULAMA JIKA PENDAPATNYA MENYELISIHI HADITS YANG SHAHIH
لكن إذا وجد لواحد منهم قول قد جاء حديث صحيح بخالفه فال بد له من عذر في تركه
“Akan tetapi, jika dijumpai pada salah satu dari mereka (yakni para ahli ilmu pent) suatu perkataan yang
menyelisihi hadits yang shahih, maka harus lah diberi udzur terhadap penyelisihannya (yakni diberi
udzur karena menyelisihi hadits shahih tersebut pent).”
Seorang alim yang belum sampainya hadits maka dia tidak dibebani untuk mengetahui
kandungan dan konsekuensi hukum di dalamnya. Jika belum sampai hadits kepadanya
maka ia akan berdalil dengan dalil lain, baik dari zhahir kandungan ayat, atau hadits yang
lain, atau qiyas atau istishhab, yang bisa jadi mencocoki dalil yang tidak ia ketahui
tersebut dan bisa jadi menyelisihi . Diantara contoh tidak sampainya hadits kepada
seorang ‘alim:
Contohnya dalam hadits muttaqun ‘alaih dari ‘Aisyah, disebutkan bahwa istri Rifa’ah
ditalak oleh Rifa’ah. Kemudian ia dinikahi oleh Abdurrahman ibn Zabir. Karena ada
suatu hal, ia pun ingin berpisah dengan Abdurrahman ibn Zabir dan ingin kembali lagi
ke Rifa’ah, akan tetapi Nabi ﷺmelarangnya kecuali setelah ia
dikumpuli oleh Abdurrahman ibn Zabir. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa para ulama
selain Sa’id ibn Musayyib sepakat dipersyaratkannya jima’ sebelum bisa menikah
kembali ke (mantan) suami yang pertama. Sa’id ibn Musayyib tidak mensyaratkan
adanya jima’ berdasarkan keumuman kandungan ayat ٗ جا غَي ْ َره
ً ْح َزو
َ ِ حتّٰى تَنْك
َ dan boleh
jadi hadits tersebut belum sampai kepadanya.
Contoh lainnya: Imam Az-Zuhri pernah berpendapat akan halalnya hewan buas yang
bertaring dan burung yang bercakar sebab belum sampainya hadits tentang itu saat
beliau masih di Hijaz dan berpegang dengan ayat ما
ً ح َّر
َ م َّ َ ِي ا ِل
ُ ي َ مٓا اُوْح
َ ي ِ َ ل ٓاَّل ا
ْ ِجد ُ ف ْ ُق.
Tatkala beliau mendengarkan hadits tersebut di Syam, beliau meralat pendapatnya
sesuai kandungan hadits tersebut. Begitu juga Ibnu Abbas yang tidak
mengharamkan keledai (yang jinak) berdasarkan zhahir ayat tersebut.
Namun hadits ini belum sampai kepada Zaid ibn Tsabit. Zaid pernah berpendapat
bahwa wanita haidh harus melaksanakan thawaf wada’ berdasarkan keumuman
hadits riwayat Muslim
ن أحد حتى يكون آخر عهده بالبيت
ّ ال ينفر
Jangan lah seorang pun pergi sampai akhir amalannya adalah di ka’bah (thawaf
wada’)
Setelah Zaid mengetahui dari Ibnu Abbas bahwa wanita haidh boleh meninggalkan
Mekkah tanpa thawaf wada’, Zaid pun membenarkan Ibnu Abbas dan berpendapat
sesuai pendapatnya. Ibnu Umar juga pernah mewajibkan wanita haidh, kemudian
beliau ruju’ seperti halnya Zaid.
Contohnya: Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, dari ‘Utsman ibn ‘Affan bahwa
Rasulullah ﷺbersabda
ال ينكح المحرم وال ينكح واليخطب
Orang muhrim tidak menikah dan tidak dinikahkan dan tidak melamar.
Namun Anas ibn Malik membolehkan nikahnya orang yang muhrim karena qiyas
dengan jual beli. Boleh jadi belum sampai hadits tersebut kepada Anas.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Nafi’ pernah melihat Ibnu Umar sholat menghadap
(bersutrah) untanya dan Ibnu Umar berkata bahwa beliau pernah melihat Nabi
ﷺberbuat demikian. Ini adalah pendapatnya Ibnu Umar, Anas,
Malik, al-Auza’i, Ahmad, Hasan, dan selainnya. Namun Imam Syafi’i tidak
membolehkan hal ini dan boleh jadi belum sampai kepada beliau hadits tersebut.
Inilah sebab atau ‘udzur yang biasanya dijumpai dari perkataan para salaf yang
menyelesihi sebagian hadits-hadits, sebab tak seorang dari umat ini dapat menguasai
seluruh hadits Nabi ﷺ.
Terkadang Nabi ﷺmenyampaikan perkataan atau memutuskan
perkara atau berbuat sesuatu lalu didengar atau dilihat beberapa shahabat yang hadir
saat itu, kemudian mereka menyampaikan hadits tersebut hingga generasi selanjutnya
sesuai yang Allah kehendaki. Di kesempatan lain sebagian shahabat lain (yang
sebelumnya tidak hadir di kesempatan sebelumnya) melihat atau mendengar Nabi
ﷺbersabda, kemudian mereka menyampaikan hadits kepada orang
lain. Sehingga bisa jadi sebagian shahabat memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh
selainnya dan bisa jadi tidak memiliki ilmu yang dimiliki oleh selainnya.
Perhatikan lah para al-khulafa’ ar-rasyidin yang mereka adalah para shahabat yang
paling mulia dan berilmu, khususnya Abu Bakar ash-Shiddiq yang senantiasa
membersamai Rasulullah meskipun saat safar. Meskipun begitu, saat Abu Bakr ditanya
ikhwal warisan untuk seorang nenek, dia menjawab, “Tidak ada sedikitpun bagian
untukmu di kitabullah, dan aku tidak mengetahui bagianmu di sunnah rasulullah
ﷺ, tapi aku akan bertanya kepada kepada orang-orang.” Kemudian
Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad ibn Maslamah bersaksi bahwa Nabi
ﷺmemberikan seperenam bagi nenek1.
Begitu juga ‘Umar, shahabat paling mulia setelah Abu Bakr, terluput darinya beberapa
hadits Nabi sehingga dia memutuskan perkara yang menyelisihinya.
Umar tidak mengetahui hadits bahwa meminta izin maksimal tiga kali saat Abu
Musa mendatangi rumahnya. Kemudian Abu Musa mengkhabarkan kepada
‘Umar hadits Nabi ﷺlalu meminta kesaksian kepada Anshar
dan Abu Sa’id al-Khudry memberi kesaksian2.
‘Umar tidak mengetahui bahwa wanita mendapat warisan dari hak diyat untuk
suami, bahkan menurutnya diyat hanya untuk ‘aqilah, hingga adh-Dhahhak ibn
Sufyan menulis kepada beliau bahwa Rasulullah ﷺmemberi
warisan kepada istrinya Asyyam adh-Dhibaabi dari diyat suaminya3.
Terluput dari Umar hukum majusi dalam jizyah hingga Abdurrahman ibn ‘Auf
mengkhabarkan sabda Nabi memerintahkan untuk mewajibkan jizyah atas
mereka4.
Tatkala ‘Umar tiba di Sargh (tempat di perbatasan Syam dan Hijaz) sampai
kepadanya berita wabah Tha’un di Syam, lalu ia pun berunding dengan para
muhajirin, hingga datang Abdurrahman ibn ‘Auf memberitahu hadits tentang
Tha’un6.
Umar pernah bertanya kepada Ibnu Abbas tentang seseorang yang ragu jumlah
raka’at dalam shalat hingga kemudian Abdurrahman ibn ‘Auf datang
membawakan hadits tentang kasus tersebut7.
Umar melarang untuk memberi nama seperti nama Nabi hingga kemudian ia
diberitahu Thalhah lalu Umar pun membolehkannya.
Hukum tayammum bagi junub (sebagai ganti dari mandi) samar atas ‘Umar
sehingga dia berpendapat untuk tidak shalat meski sebulan hingga bisa mandi.
Umar pernah bertanya tentang hadits ketika angin sedang berhembus kemudian
Abu Hurairah menyempaikan hadits tersebut
Umar pernah memerintah mengusap khuf tanpa tawqiit (batas waktu) sedangkan
belum sampai hadits kepadanya bahwa itu hanya berlaku 3 hari untuk musafir dan
sehari bagi muqim dan hadits tentang ini diriwayatkan beberapa shahabat denagn
sanad shahih.
Ini adalah beberapa kasus yang ‘Umar tidak mengetahui hadits tentangnya hingga ia
diberi tahu oleh shahabat lain yang di bawahnya secara keilmuan atau keutamaan.
Begitu juga ‘Utsman belum sampai kepadanya hadits bahwa wanita yang ditinggal
mati suaminya menjalani masa ‘iddah di rumah mendiang 8 hingga kemudian
diberitahu oleh Furai’ah ibn Malik hadits tentang itu.
Ketika ihram, Utsman pernah menerima hasil buruan dan hendak memakannya
(karena ia menganggapnya tidak masalah), kemudian didatangkan ‘Ali dan
mengkabarkan bahwa Rasulullah menolak hadiah hewan buruan ketika sedang
ihram yang mana buruan tersebut memang ditujukan orang muhrim 9.
Begitu juga dengan ‘Ali yang pernah berkata, “Aku adalah seorang yang dulu jika telah
mendengar hadits dari Nabi ﷺAllah memberiku manfaat dengan
manfaat yang Dia kehendaki, jika menceritakanku (hadits) dari para sahabatnya
ﷺaku pun memintanya sumpah, jika dia bersumpah maka
kubenarkan....10.”
Ali dan Ibnu Abbas serta shahabat yang lain berfatwa bahwa wanita yang ditinggal
mati suami jika tengah hamil maka dia mengambil masa iddah yang paling lama
(yaitu antara melahirkan atau 4 bulan 10 hari), sedangkan belum sampai kepada
mereka hadits Nabi ﷺbahwa massa iddahnya sampai
melahirkan11 (meski belum sampai 4 bulan 10 hari).
Ali, Zaid, Ibnu Umar dan selainnya pernah berfatwa bahwa wanita mufawwidhah
tidak mendapatkan mahar, yaitu yang ditinggal mati suaminya namun belum
ditentukan maharnya dan belum dikumpuli. Sedangkan belum sampai pada
mereka hadits Barwa’ bintu Wasyiq12 yang mana wanita tersebut berhak mendapat
mahar wanita sepertinya.
8
HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I dan Ahmad
9
HR. Ahmad dan al-Bazzar
10
HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad
11
HR. Bukhari dan Muslim
12
Diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan
Ibnu Mas’ud pernah ditanya perihal perempuan mufawwidhah lalu berpikir sebulan
kemudian menjawab berdasarkan ijtihadnya hingga dikabarkan kepadanya hadits
Barwa’ bintu Wasyiq13 yang ternyata mencocoki pendapatnya.
Ibnu Abbas pernah terluput darinya hukum makan daging keledai (jinak) sampai
disebutkan kepadanya bahwa Nabi ﷺmengharamkannya di hari
Khaibar.
Persolan seperti ini sangatlah luas dan banyak sehingga tidak mungkin disebutkan disini,
apalagi nukilan pendapat dari selain al-khulafa’ ar-rasyidin. Mereka adalah orang yang
paling mulia, berilmu dan bertaqwa. Adapun generasi setelah mereka maka levelnya di
bawah mereka, sehingga terluputnya sunnah nabi ﷺpada generasi
setelahnya lebih memungkinkan. Oleh karena jika ada yang meyakini bahwa seluruh
hadits Nabi ﷺdiketahui masing-masing imam sungguh dia salah
besar. Maksimal keadaan orang yang berilmu adalah mengetahui mayoritas hadis, tidak
semuanya.
Imam Syafi’i pernah berkata
ما من أحد إال وتذهب عليه سنة لرسول هللا وتعزب عنه
Tidak ada seorang pun melainkan (pasti) ada sunnah rasulullah ﷺyang terluput
darinya.
Tidak boleh ada yang mengklaim terbatasnya hadits-hadits nabi pada kitab-kitab
tertentu. Kalaupun memang terbatas di kitab-kitab hadits, maka belum tentu seorang
alim bisa mengetahui seluruh ilmu yang terdapat di dalamnya, belum tentu bisa menarik
kesimpulan hukum dari seluruh hadits yang ada sebanyak apapun kitab yang ia punya.
Bahkan generasi sebelum adanya pembukuan diwan-diwan, mereka adalah manusia
yang paling mengetahui sunnah Nabi ﷺdan tersimpan di dada-dada
mereka yang boleh jadi lebih banyak daripada hadits yang terdapat di kitab-kitab yang
ada. Bisa jadi ada hadits shahih di sisi mereka namun sampai kepada kita melalui perawi
majhul atau sanadnya munqathi’ sehingga sanad yang sampai kita menjadi dha’if , atau
bisa jadi hadits tersebut tidak sampai kepada kita. Meskipun begitu kita tidak bisa
mengklaim ada seorang yang menghafal seluruh hadits Nabi ﷺ,
sehingga jika pendapat seorang alim menyelisihi hadits shahih maka haruslah diberi
‘udzur.
1.2. Hadits tersebut telah sampai kepadanya namun belum jelas keshahihan hadits tersebut
menurutnya
Hal ini boleh jadi karena perawi (dalam sanad yang ia ketahui) tersebut majhul
menurutnya, atau tertuduh dusta, atau buruk hafalannya, atau boleh jadi hadis tersebut
terputus sanadnya, atau lafal hadits yang ia riwayatkan tidak mundhabith (tidak
mengetahui harakat yang benar dari perbedaan cara baca yang bisa memengaruhi
kandungan hukum). Padahal hadis tersebut telah diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah
dan tersambung sanadnya, dan perawi majhul menurutnya tersebut adalah tsiqah
menurut ulama lain serta dhabth atau harakat hadits sudah dijelaskan oleh ulama lain.
Boleh jadi hadits tersebar namun sampai pada seorang ‘alim melalui jalan-jalan yang
lemah sehingga ia tidak berhujjah dengannya, dan boleh jadi hadits yang sama sampai
ke ulama lain dengan jalan yang shahih sehingga ia berhujjah dengannya. Oleh karena
itu dijumpai banyak perkataan para imam yang menggantungkan pendapatnya dengan
mengatakan, “Jika hadits tersebut shahih maka itu adalah hujjah.”
13
Diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan
Misalkan hadits tentang tawqit (pembatasan waktu) mengusap khuff yang awalnya belum
jelas keshahihan menurut Imam Syafi’i dan tidak berhujjah dengannya, hingga kemudian
nampak keshahihan hadits tersebut menurutnya dan beliau berhujjah dengannya. Contoh
sangkaan alim akan terputusnya sanad adalah sangkaan Ibnu Hazm bahwa hadits
tentang kaum yang akan menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat musik adalah hadits
yang munqathi’ (terputus). Diantara hadits yang terjadi perbedaan pembacaan harakat
adalah hadits tentang sembelihan janin yang bunyinya
Mayoritas ulama membaca ذكاةdengan dhammah atau marfu’, sehingga dapat diambil
hukum bahwa sembelihan induk mencukupi untuk janinnya (seandainya janin mati dan
induknya sudah disembelih, maka janinnya halal). Sebagian ulama –yakni hanafiyyah-
membacanya ذكاةdengan fathah atau manshub karena ada huruf jarr yang dihapus (َن ْزع
َ ) yaitu huruf kaff, sehingga maknanya adalah sembelihan janin seperti
الخافِض
sembelihan induknya. Dari sini diambil hukum bahwa janin harus disembelih
sebagaimana cara menyembelih induknya.
1.3. Meyakini lemahnya hadits berdasarkan ijtihad yang diselisihi ulama selainnya, tanpa
menoleh jalur sanad yang lain. Bisa jadi kebenaran bersamanya atau bersama ulama
lainnya.