id i
digilib.uns.ac.id
TESIS
OLEH
S U HA R T O
NIM : S 9607020
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id ii
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id iii
digilib.uns.ac.id
PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan oleh Pembimbing Tugas Akhir Program Pendidikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id iv
digilib.uns.ac.id
Telah diuji dan diseminarkan pada hari Kamis, 08 April 2010, di Bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penelitian tugas akhir dengan
judul :
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id v
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id vi
digilib.uns.ac.id
dengan berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian tugas karya
Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam
Saya menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil
tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa
sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian tugas karya akhir ini. Semoga Prof.
sehingga akan semakin banyak orang yang dapat menimba ilmu dan
Yang terhormat, Prof. Dr. dr. H. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR, selaku
Universitas Sebelas Maret / RS Dr. Moewardi Surakarta atas segala kebaikan dan
perhatiannya selama ini. Di bulan ini pula Prof Zaenal, mendapatkan kepercayaan
sebagai Guru Besar, menambah kebanggaan bagi saya sebagai murid beliau.
Yang terhormat, Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD, selaku
Atas kesediaan beliau-beliau menguji dan atas saran yang sangat berharga
Yang terhormat, guru guru saya yang telah membimbing selama menempuh
perlindungan dan ampunan-Nya, atas doa Ibu semoga segala sesuatunya mendapat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id viii
digilib.uns.ac.id
persatu, berkat kehadiran kalian proses penelitian tugas karya akhir ini terasa lebih
ringan.
RS. Dr. Moewardi Surakarta, yang telah banyak memberikan bantuan untuk
Terima kasih untuk istriku Hj. Nur Indah Sholichah, SPsi dan anak-anakku
proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu
persatu.
Ilmu yang diwariskan pada manusia sebesar tetesan air laut dari jari tangan.
merangkai bunga yang tersebar menjadi seikat bunga warna warni menarik dilihat.
Dari bunga terkandung biji, dari biji tumbuh tanaman, batang tanaman bercabang-
Suharto
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id ix
digilib.uns.ac.id
RINGKASAN
Angka kematian tetanus masih cukup tinggi baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Terutama kejadian kasus tetanus di negara berkembang
masih cukup banyak. Terapi tetanus dengan menggunakan inovasi klinis dan
farmasi, masih merupakan tugas yang sangat sulit. Penggunaan kortikosteroid
pada tetanus pernah dilaporkan. Pada penelitian pendahuluan penggunaan
tambahan metilprednisolon dosis rendah (5 mg/kgBB) bermanfaat dalam
menurunkan angka kematian. Salah satu sebab kematian tetanus adalah gagal
nafas akibat laringospasme yang disebabkan kejang yang berat dan berulang.
Peran metilprednisolon pada tetanus sebagai salah satu steroid sintetik pada dosis
rendah akan mempengaruhi sinapsis melalui reseptor GABA, menurunkan
dominasi neurotransmiter eksitatori.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian metilprednisolon
dosis rendah terhadap perbaikan klinis pasien tetanus dengan menggunakan
evaluasi terhadap resiko kematian, lama perawatan dan harapan hidup.
Jenis penelitian ini adalah eksperimen tanpa randomisasi. Penelitian
dilakukan di bangsal isolasi tetanus penyakit dalam, bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Moewardi Surakarta, mulai tahun 2006 sampai 2009. Pada kelompok
perlakuan mendapatkan terapi suplementasi tambahan berupa metilprednisolon
intravena 125mg / 12 jam. Pada kelompok kontrol tanpa metilprednisolon. Kedua
kelompok dilakukan penatalaksanaan yang sama, yang berbeda hanya pada
kelompok perlakuan mendapatkan tambahan metilprednisolon. Dilakukan
evaluasi terhadap resiko kematian, lama perawatan dan harapan hidup. Uji
hipotesis dengan menggunakan chi-square dan uji t tidak berpasangan. Dan untuk
mengetahui pengaruh terhadap harapan hidup dengan analisa regresi logistik
berganda.
Didapatkan 99 pasien tetanus terdiri dari 61 pasien tetanus sebagai
kelompok perlakuan dan 38 pasien tetanus sebagai kontrol. Penilaian kedua
kelompok didapatkan kondisi yang setara antara kelompok perlakuan dan kontrol.
Didapatkan penurunan angka kematian pasien tetanus pada kelompok dengan
metilprednisolon yang secara statistik bermakna p=0,007 dan pasien tetanus
dengan pemberian metilprednisolon memiliki kemungkinan untuk hidup empat
kali lebih besar daripada yang tanpa metilprednisolon dan peningkatan
kemungkinan hidup tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI 95% 1.6
sampai dengan 10.1 ; P=0.004 ).
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, kami menyimpulkan bahwa
pemberian tambahan metilprednisolon pada terapi tetanus dapat, menurunkan
resiko kematian dan meningkatkan harapan hidup.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id x
digilib.uns.ac.id
SUMMARY
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xi
digilib.uns.ac.id
Abstrak
Latar Belakang. Angka kematian tetanus masih cukup tinggi baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Terutama kejadian kasus tetanus di negara berkembang
masih cukup banyak. Terapi tetanus dengan menggunakan inovasi klinis dan farmasi,
masih merupakan tugas yang sangat sulit. Penggunaan kortikosteroid pada tetanus pernah
dilaporkan. Pada penelitian pendahuluan penggunaan tambahan metilprednisolon dosis
rendah (5 mg/kgBB) bermanfaat dalam menurunkan angka kematian. Salah satu sebab
kematian tetanus adalah gagal nafas akibat laringospasme yang disebabkan kejang yang
berat dan berulang. Peran metilprednisolon pada tetanus sebagai salah satu steroid sintetik
pada dosis rendah akan mempengaruhi sinapsis melalui reseptor GABA, menurunkan
dominasi neurotransmiter eksitatori.
Hasil. Didapatkan 99 pasien tetanus terdiri dari 61 pasien tetanus sebagai kelompok
perlakuan dan 38 pasien tetanus sebagai kontrol. Penilaian kedua kelompok didapatkan
kondisi yang setara antara kelompok perlakuan dan kontrol. Didapatkan penurunan angka
kematian pasien tetanus pada kelompok dengan metilprednisolon yang secara statistik
bermakna p=0,007 dan pasien tetanus dengan pemberian metilprednisolon memiliki
kemungkinan untuk hidup empat kali lebih besar daripada yang tanpa metilprednisolon
dan peningkatan kemungkinan hidup tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI
95% 1.6 sampai dengan 10.1 ; P=0.004 ).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xii
digilib.uns.ac.id
Abstract
Background. Tetanus mortality rate was relatively high both in developed and
developing countries. Especially incident cases of tetanus in developing countries
is still quite a lot. Tetanus therapy using clinical and pharmaceutical innovation, is
still a very difficult task. Use of corticosteroids in tetanus have been reported. In a
preliminary study using low-dose methylprednisolone (5 mg / kg body weight) is
decreasing mortality rate. One cause of death due to tetanus is respiratory failure
by laringospasme caused severe and recurrent seizures. Role of
methylprednisolone in tetanus as one of the synthetic steroids in low doses would
affect synapses through GABA receptors, reducing the dominance of
neurotransmitters eksitatori.
DAFTAR ISI
Halaman
Sampul Depan ............................................................................................... i
Sampul Dalam .............................................................................................. ii
Halaman Pengesahan.................................................................................... iii
Halaman Pengujian....................................................................................... iv
Penetapan Panitia Pengujian ........................................................................ v
Ucapan Terima Kasih ................................................................................... vi
Ringkasan .................................................................................................... ix
Summary ...................................................................................................... x
Abstrak ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah ..................................................................... 4
1.3. Tujuan penelitian ....................................................................... 4
1.4. Manfaat penelitian ..................................................................... 4
1.4.1. Manfaat teoritis ...................................................................... 4
1.4.2. Manfaat praktis ...................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 6
2.1. Tetanus...................................................................................... 6
2.1.1. Definisi................................................................................... 6
2.1.2. Etiologi.. ................................................................................ 6
2.1.3. Patogenesis............................................................................. 7
2.1.4. Gambaran Klinis.................................................................... 11
2.1.4.1. Tetanus generalisata............................................................ 11
2.1.4.2. Tetanus neonatorum............................................................ 15
2.1.4.3. Tetanus lokal.......................................................................
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id xiv
digilib.uns.ac.id
BAB 6 PEMBAHASAN.......................................................................... 55
BAB 7 PENUTUP................................................................................... 60
7.1 Simpulan................................................................................... 60
7.2 Saran......................................................................................... 60
Daftar pustaka ............................................................................................ 61
Lampiran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xvi
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 : Karakteristik subyek penelitian berdasarkan umur dan lama rawat....... 50
Tabel 5.5 : Angka kematian tetanus kategori umur <53 dan ≥53 tahun................. 53
Tabel 5.6 : Angka kematian tetanus kategori umur <60 dan ≥60 tahun................. 53
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xvii
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Halaman
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xviii
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN
GR : Glucocorticoid receptors
IL : Interleukin
MP : Methylprednisolon
NO : Nitric Oxide
SV : Sinaptic vesicles
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 1
digilib.uns.ac.id
BAB 1
PENDAHULUAN
Tetanus merupakan suatu penyakit dengan pemunculan yang akut dan fatal
yang disebabkan oleh tetanospasmin, yakni suatu toksin protein kuat yang
ditandai dengan adanya peningkatan tonus dan kekakuan otot (Richardson and
(Sexton et al., 2004; Cook et al., 2001). Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang mempunyai angka insidensi dan angka kematian masih tinggi tapi
sampai saat ini angka tersebut bervariasi dan belum ada data lengkap yang dapat
melaporkan antara Januari 1989 - Desember 1992 telah dirawat 164 pasien tetanus
1986 - Desember 1995, dari 35 kasus tetanus, terdapat 24 kasus dewasa dengan
kematian pasien tetanus di empat negara Afrika tahun 1975-1990 sebesar 61,5%
pasien tetanus, angka kematian yang terjadi pada tetanus berat berkisar 40-60%,
Hospital in Ibadan Nigeria pada wanita dengan tetanus maternal sebesar 66,7%
(Robert et al.,2008).
pada tahun 2000 – 2002 didapatkan angka kematian tetanus sebesar 37 % (Esthi
dan Guntur, 2004). Pada tahun 2004 – 2006 juga telah diteliti dan dilaporkan
angka kematian tetanus sebesar 47,4 % (Suharto dan Guntur, 2007). Terjadi
pada pasien tetanus dihasilkan keluaran pada tetanus moderat dan berat
trakeostomi dan menurunkan penggunaan ventilator. Pada studi ini juga tidak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id
metilprednisolon sebagai terapi tambahan terhadap terapi standart yang selama ini
dilaksanakan. Tidak ada perubahan pengelolaan kasus pasien tetanus. Dari hasil
klinis pasien dan angka kematian tetanus. Data sementara dari pemantauan ini
dari 8 pasien tetanus didapatkan 7 pasien hidup (87,5%) dan 1 pasien meninggal
(12,5%). Dari satu pasien yang meninggal ini sudah 4 hari bebas kejang, pasien
Guntur, 2007).
telah melaporkan manfaat pada pasien tetanus. Dari dua studi penggunaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id
1.4.2.2. Penelitian ini bisa digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TETANUS
2.1.1. Definisi
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk
gangguan neurologis lokal (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Ismanoe, 2006;
Abrutyn, 2008).
2.1.2. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini
merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan
dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau paha ayam
tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan
dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak
Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan
Kultur bakteri ini sangat sulit dan hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, karena
diagnosanya berdasarkan klinis (Edlich et al., 2003; Attigalle and Rodrigo, 2004).
pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan
Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari
dua toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan
toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh
organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid.
Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain
bakteri ini (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003; Attigalle and
2.1.3. Patogenesis
kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil
bakteri (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).
mencakup lebih dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai
ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat
(100.000 Da) dan rantai ringan (50.000Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang
sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan
jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari
rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan
masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk
terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika
toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian
berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian
akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrograd ke dalam
badan sel di batang otak dan saraf spinal (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001;
Penyebaran terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik
dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar
commit
otak dan otak tengah. Penyebaran to user transfer melewati celah sinaptik
ini meliputi
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id
dengan suatu mekanisme yang tidak jelas (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001;
neurotransmitter (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe,
2006).
Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan
commit to user
hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id
terhadap spasme intermiten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek
spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus
sefalik, dan myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain,
Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang
otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-
otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah
nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan
karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti,
sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. Aliran impuls
dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katelokamin plasma yang
tetanus berdurasi lama (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005;
Ismanoe, 2006).
commit
dilepaskan di dalam luka memasuki to user
aliran limfa dan darah dan menyebar luas
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id
mencapai ujung saraf terminal, sawar darah otak memblokade masuknya toksin
secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu
transport intraneuronal sama pada semua saraf , serabut saraf yang pendek akan
terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang hal ini menjelaskan urutan
generalisata (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe,
2006).
tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus
dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular
yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, infeksi gigi, aborsi septik,
tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di
dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan
medis. Pada 15-25% pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.
(Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).
yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa
inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus
berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id
dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari (Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003;
Ismanoe, 2006).
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan disfungsi otonomik.
Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering
merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau
menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot
untuk menelan yang menyebakan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus
internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan
dinding dada. Fefleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun
banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh (Farrar et al., 2000;
episodik. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok
otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan
atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau
frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur
tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerut, nyeri bersifat
generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat
terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id
sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi
dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa (Farrar et al., 2000; Cook
Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata
Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal
dijumpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas
sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus
lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih
generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi (Farrar et al., 2000; Cook et
usia di bawah 1 minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan
dicegah dengan vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan (Farrar et al., 2000;
Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003; Ismanoe, 2006). Aktif imunisasi pada ibu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id
penanganan yang baik pada umbilikal akan menurunkan resiko pada janin
(Williams, 2001).
Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat yang
menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas otonomik
yang nyata. Sistem saraf simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi. Secara
berlebihan (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003; Ismanoe,
2006).
tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan
hipotensi berat, bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih
pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama ‘badai’ ini, kadar katekolamin
plasma meningkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang
yang mendasarinya belumlah jelas (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Edlich
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id
salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan
gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan
menginduksi lesi pada nukleus vagus, di mana pada saat yang bersamaan terpapar
bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas
vagal (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).
ruptur otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan
rabdomiolisis.
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan
dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas
potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali
pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan pada saat mengikat dan memotong
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat
dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya baik (Ismanoe, 2006).
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.
Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah
saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya
rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset
yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.
Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spame otot yang semakin parah.
Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan
sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap
bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id
Udwadia) yang dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem
Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat
(Ismanoe, 2006).
dan terapi dapat menutupi efek sesungguhnya dari tetanus itu sendiri. Udwadia
meneliti 27 pasien dengan Ablett derajat III/IV yang stabil dan tanpa terapi yang
yang tidak terkontrol, selama relaksasi yang intensif, selama pemulihan dan
sekuncup jantung dan meningkatnya indek kardiak. Penemuan yang lain adalah
resistensi vaskular sistemik yang normal rendah dan tekanan pengisian sisi kiri
dan kanan jantung yang normal. Penemuan-penemuan ini mirip dengan yang
jantung kiri dan indeks jantung, tapi efek ini hanya bersifat sementara. Selama
perubahan yang cepat dan nyata dari indek resistensi vaskular sistemik (Systemis
vascular resistance index/SVRI), turun dari 2300 menjadi kurang dari 1000 dine
cm-5 m-2. Terdapat sedikit perubahan pada indeks jantung dan tekanan pengisian
jantung. Apabila dibandingkan dengan derajat yang lebih berat , pasien dengan
resistensi vaskular yang dijumpai selama ‘badai otonomik’. Satu pasien dengan
vaskuler masif dengan SVRI lebih tinggi dari 4500 dine cm-5m-2. Pada tetanus
simpatetik basal dan peningkatan aktivitas otot dengan efek yang lebih lemah dari
meningkatnya temperatur. Rasio ekstraksi oksigen tidak berubah pada tetanus dan
sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh karena itu merupakan
commit
sistem kapasitansi yang tinggi apabila to user
dibandingkan dengan kontrol normal. Pada
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id
pasien normal yang malakukan aktivitas fisik intensif. Pasien derajat IV tampak
kurang menunjukkan peningkatan kemampuan jantung dan oleh karena itu lebih
rentan terhadap hipotensi berat dan shok selama ‘badai vasodilatori akut’.
kadar katekolamin yang menetap, tetapi fungsi yang abnormal mungkin terjadi
bahkan pada kondisi tanpa sepsis atau kadar katekolamin yang tinggi (Cook et al.,
Regiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diagfarma dan abdomen
merupakan pertanda adanya gagal nafas dan obstruksi jalan nafas yang
keadaan yang umum dijumpai pada tetanus sedang dan berat bahkan pada keadaan
dimana gambaran foto thorax bersih. Tekanan oksigen, udara pernapasan antara
5,3-6,7 kPa umum dijunpai. Pada pasien yang diberikan pernapasan buatan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id
spesifik tetanus. Perubahan ventilasi ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang
perubahan fungsi batang otak. Hipokarbia (PCO2<3,3 kPa). Pada tetanus berat,
dan perubahan fungsi batang otak mungkin juga berakibat gagal nafas.
Pada tetanus ringan, fungsi ginjal tidak terganggu. Pada tetanus yang
berat, sering terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan gangguan fungsi
tubulus ginjal. Penyebab tambahan gagal ginjal pada tetanus mencakup dehidrasi,
sepsis, rabdomyolisis dan perubahan dalam aliran darah ke ginjal yang terjadi
dapat oligourik atau poliurik. Gangguan ginjal yang penting secara klinis
2.1.10. Komplikasi
laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana seperti sedasi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id
mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan
2.1.11. Diagnosis
kemungkinan apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara
lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan (Boon T, 2001). Sekret
luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian, C.
tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus dan sering tidak dapat
ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai
U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi,
walaupun ada beberapa kasus yang terjadi ada kadar antitoksin yang protektif.
trismus, seperti abses alveolar, karacunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya
intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen) (Farrar et al., 2000; Cook et al.,
2.1.12. Penatalaksanaan
perkembangan dari waktu ke waktu, tehnik dan seni penanganan tetanus dari
beberapa kepustakaan bervariasi dalam hal jenis obat, ketersediaan obat maupun
alat bantu nafas. Baik obat-obat standart yang sering digunakan maupun obat yang
masih dalam taraf uji coba. Mengingat hal tersebut didalam penanganan tetanus
Penyakit Dalam menggunakan acuan seperti uraian dibawah ini : (Guntur, 2006).
· Penempatan pasien di ruang isolasi khusus terhindar dari cahaya dan suara.
· Menghilangkan infeksinya :
3. Menetralisir eksotosin bisa digunakan ATS. Dosis awal ATS 20.000 unit
4. Diberikan Diazepam injeksi bisa drip, siring pump, bolus ekstra, dosis
pemberian sesuai berat badan dan tingkat kejang, dan perhatikan depresi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id
ulangan setiap 1-4 jam kemudian, atau dapat juga diberikan dengan dosis
5. Medikasi luka bila ada luka, sumber infeksi lain misalnya dari telinga,
gigi, dan lain lain tetap dilakukan perawatan, dan dikonsultasikan bagian
infus rumatan, dapat juga dengan syring pump atau bolus IV dengan
setiap 1-4 jam kemudian, atau dapat juga diberikan dengan dosis 3–10
· Injeksi penisilin prokain 1,5 juta unit/12 jam IM. Dosis dapat diberikan
· Medikasi luka bila ada luka, sumber infeksi lain misalnya dari telinga,
gigi, dan lain lain tetap dilakukan perawatan, dan dikonsultasikan bagian
Sweetman, 2009). Pada penelitian ini digunakan dosis 5 mg/Kg BB. Dosis ini
masih sebagai dosis anti inflamasi dan masih masuk dosis rendah. Dimana untuk
terhadap patogenesis tetanus, belum ada kejelasan. Untuk itu pada saat ini akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id
Sistem imun secara tradisional dibagi menjadi sistem imun alamiah atau
di mana tiap-tiap sistem imun tersebut memiliki fungsi dan peran yang berbeda-
mampu membedakan struktur molekul self ataupun non-self (Guntur, 2006; Cinel
invasi patogen, berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikrobial dan
mengaktifkan jalur signaling yang menginduksi ekspresi gen imun dan pro-
inflamasi dan penyakit yang dimediatori oleh sistem imun (Guntur, 2006; Rudiger
dkk., 2008).
NF-κB. Aktivasi NF-κB, sebagai contoh oleh sitokin akan dihambat oleh
merupakan subunit dari NF-κB, ikatan ini akan mencegah aktivitas NF-κB untuk
Garis silang merah menunjukkan proses yang dihambat, dan mRNA menunjukkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id
kortikosteroid akan menghambat sintesis atau aksi sebagian besar sitokin pro-
menyebabkan pergeseran dari respon Th1 ke respon Th2, di mana akan terjadi
peningkatan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 (Ramizem, 1996; Annane dan
Bellissan, 2003).
inflamasi tetapi juga memiliki efek positif pada hemodinamik dengan mengurangi
produksi vasodilator dan faktor pro-koagulan (Marik dan Zaloga, 2002; Annane
dan Bellissan, 2003). Aksi utama glukokortikoid selama respon stres dapat dilihat
Efek Kardiovaskuler
- Menjaga tonus vaskluer
- Mengatur permeabilitas vaskuler
- Meningkatkan sensitifitas vaskuler terhadap katekolamin
- Mengatur pengeluaran kalium dan potassium
- Mengatur pengeluaran air
- Meningkatkan sintesis dan afinitas reseptor β adrenergic
Efek Metabolik
- Menstimulasi glukoneogenesis
- Menghambat ambilan glukosa di jaringan perifer
- Menstimulasi glikogenolisis di hepar
- Aktivasi proses lipolisis
Kortisol bentuk kortikosteroid yang disekresi oleh kortek adrenal pada orang
bentuk bebas. Pada keadaan infeksi berat, trauma, luka bakar, dan operasi akan
kortikotropin dan CRH . Mekanisme feed back tidak bekerja maksimal sehingga
variasi diurnal sekresi kortisol tidak normal. Gangguan pada mekanisme aksis
dalam sirkulasi pada keadaan tersebut. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan
tinggi. Proses inflamasi dikatakan dapat memecah ikatan CBG dengan kortisol
oleh enzim neutrofil elastase. Sitokin inflamasi juga dapat meningkatkan kortisol
di jaringan karena sitokin ini dapat merubah metabolisme kortisol perifer dan
kadar sitokin inflamasi secara langsung dapat menghambat sintesis kortisol oleh
adrenal. Pada keadaan kadar sitokin yang rendah dalam darah, jaringan akan lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id
sensitif terhadap kortisol dibandingkan dengan keadaan sitokin tinggi yang akan
normal untuk dapat mengontrol inflamasi. Hal ini sering disebut sebagai
walaupun kadar kortisol tinggi tetapi belum cukup untuk menekan proses
inflamasi (Marik dan Zaloga, 2002; Cooper dan Stewart, 2003; Guntur, 2006).
Untuk menentukan ada atau tidak adanya respon adrenal dilakukan tes
menit, apabila terjadi peningkatan berarti masih dalam keadaan refrakter, akan
luas digunakan didunia ini dan cukup efektif pada masalah inflamasi dan
penyakit imun (Barnes, 2006). Sampai sekarang ini masih banyak cara kerja
Sekitar 95% kortikosteroid yang yang beredar disirkulasi akan berikatan dengan
CBG dan sisanya sekitar 5% beredar bebas dan atau terikat longgar dengan
Bila kadar plasma kortisol di sirkulasi lebih dari 20-30 mikrogram/dl maka
CBG akan menjadi jenuh sehingga kortisol bebas ini berikatan dengan reseptor
commit to user
kompleks yang disebut juga dengan reseptor glukokortikoid (GR) di sitoplasma.
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id
GR adalah suatu protein yang inaktif dalam sitoplasma, yang baru aktif jika telah
berikatan dengan kortisol. Reseptor kompleks ini akan bermodifikasi yang terlihat
kromatin. Ikatan ini nantinya akan mengatur transkripsi gen secara spesifik yang
Hasil ikatan ini di nukleus akan menstimulasi transkrip RNA dan sintese
dan katabolisme sel termasuk sintese enzim, permeabilitas membran dan lain-lain
dan tulang. Akibatnya terjadi atrofi jaringan limfa, menurunnya massa otot,
nantinya berefek nyata dalam hal antiinflamasi selain efek metabolik dan
genes yang akan menurunkan factor proinflamasi yaitu sitokin, kemokin, molekul
rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek
Seperti halnya pada sepsis pada tetanus yang disebabkan oleh bakteri gram
penjamu dengan pembunuhan intraseluler dengan neutrofil dan makrofag. Hal ini
berbeda dengan kuman patogen gram negatif, yang mungkin siap dibunuh dalam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id
IMUNOPATOGENESIS
IMUNO.COM
LPS bp
C7a CD 4+ TCR
CD 14
TLR 4 IL - 10
IFN - g IL - 4
TLR2 TH - 1 TH - 2 IL - 5 B cell
IL - 6
CSF Ig
IL 8
SEPSIS
IL 6 IL-
IL-2
IL -1 NÆ
Compl.
Compl.
TNF - a
CD 8+
MOD
NK
PGE 2 NO ICAM -1
SHOCK
SEPTIC
melalui makrofag atau monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih
dahulu. Superantigen akan mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat
dan coloni stimulating factor (CFS) yang kemudian akan menstimulasi makrofag.
Makrofag akan mengeluarkan IL-1β, IL-6 dan TNF-α. Clostridium tetani sebagai
bakteri gram positif juga dapat langsung merangsang makrofag melalui TLR2
hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi produksi berbagai jenis
mediator inflamasi termasuk IL-2, IFN-γ dan colony stimulating factor (CSF)
1β, IL-6 dan TNF-α (Guntur, 2001). Didapatkan bukti bahwa kematian pada
pasien tetanus juga dapat disebabkan gangguan pada jantung dimana TNF-α salah
satu alternatif mekanisme terjadi gangguan jantung pada pasien tetanus, telah
sitokin berakibat pada myosite, sitokine yang bersifat kardiodepresan ini yang
inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang neuron simpatetik preganglionik
pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga
dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah
commit to
yang mengakibatkan paralisis flaksid. user demikian, pada tetanus, efek
Namun
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id
disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh (Farrar et al., 2000; Cook et al.,
laju tetanus ini, kemungkinan melalui peran meningkatkan anti inflamasi dan
neurotrasmiter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA) bisa lebih
dari binding (ikatan) dengan sel neuron sifat ikatannya berlangsung cepat dan
kuat. Tetanus Neurotoxin (TeNT) setelah berikatan dengan motor neuron terminal
akan menyebar secara retrogard. TeNT sampai di medula spinalis akan terjadi
Tahapan kedua yaitu internalisasi, tahapan ketiga yaitu tranlokasi, dan tahap ke
empat aksi intraseluler (Humeau et al., 2000); Lalli et al., 2003; Grumelli et al.,
2005).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.3 Empat tahapan mekanisme aksi neurotoxin clostridium (Lalli et al., 2003)
mirip dengan toxin protein bakteri, Tetanus (TeNT) dan Botulinum neurotoxin
merupakan protein spesifik pada permukaan sel saraf. Lipid dan protein reseptor
antara BoNTs dan TeTN. TeNT kemudian keadaan non asam menyebar dan
commit to user
mengambil jalur retrogard kemudian mencapai neuron inhibitor melalui
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id
neuromuskular junction. Ketiga Setelah tiba di tujuan, rantai ringan (L) harus
ini dibantu oleh N-terminal bagian dari rantai berat (HN) dan dipicu oleh
dengan SNARE. TeNT (T) dan BoNT serotipe B, D, F dan G bekerja pada
(kebiruian) dan SNAP-25, dua protein dari pre-sinaptik membran plasma. (Lalli et
al., 2003)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.4 Skema gambar motor neuron di medula spinalis (Lalli et al., 2003)
Sesuai Gambar 2.4 tentang skema gambar motor neuron mamalia dan
(TeNT ; hijau) dan botulinum neurotoxins (BoNTs ; biru) yang akan ditampilkan,
coklat gelap, sedangkan aktin mikrofilamen dalam warna merah. (Lalli et al.,
2003)
Gambar 2.5 Reseptor GABA ( Joels and de Kloet, 1993; Lambert et al., 1995; Lamour at
kortikosteroid dapat mempengaruhi reaksi dari reseptor GABA ini. Pada kondisi
normal seharusnya reseptor ini akan berpasangan dengan GABA sebagai inhibitor
TeNT, sehingga kekosongan ini bisa ditempati oleh neurotransmiter lain yang
commit to
bersifat eksitasi (merangsang), misalnya user Dengan adanya corticosteroid
glutamat.
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id
diduga berpengaruh terhadap glutamat dan GABA yang bekerja pada transmisi
sinaptik.( Joels and de Kloet, 1993; Lambert et al., 1995; Lamour at al., 1997,
terhadap toxin yang dihasilkan bakteri gram positif seperti staphylococcal yang
rate motor neuron, dimana tingginya kadar NO akan berakibat menurunya secara
diberikan. Lebih sulit tentunya apabila toksin sudah menyebar sampai kesistem
syaraf yang lebih luas atau bahkan sampai otak dan medulla spinalis sehingga
metilprednisolon pada pasien pertama yang diberikan, pasien dengan kejang yang
pasien sudah tidak epistotonus lagi, kekakuan masih ada, pasien bisa makan dan
pasien merasa jauh lebih baik dan sembuh (Suharto dan Guntur, 2007).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
Clostridium tetani
Anaerob, Gram (+)
Eksotoxin-neurotoxin
Tetanospasmin
Internalisasi Toksin
Motor neuron
Methylprednisolon
Neurotransmiter Inhibitor
Glisin dan GABA
Disinhibitori
Klinis Tetanus
3.2. Hipotesis.
menggunakan.
3.2.3. Ada pengaruh terhadap harapan hidup pasien tetanus setelah menggunakan
menggunakan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
kuasi)
obatan. Pemberian obat diazepam injeksi salah satunya lewat jalur infus
rumatan, dapat juga dengan syring pump atau bolus IV dengan dosis
1-4 jam kemudian, atau dapat juga diberikan dengan dosis 3–10 mg/Kg
· Injeksi penisilin prokain 1,5 juta unit/12 jam IM. Dosis dapat diberikan
· Injeksi ATS awalnya 20.000 unit masing masing 10.000 UI IV dan 10.000
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id
· Medikasi luka bila ada luka, sumber infeksi lain misalnya dari telinga,
gigi, dan lain lain tetap dilakukan perawatan, dan dikonsultasikan bagian
1. Pasien yang alergi atau tidak tahan terhadap salah satu obat yang
ATS, metilprednisolon.
diabetes, AIDS, pasien tetanus yang awal masuk dengan kelainan darah
purposif yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam
penelitian.
(Murti, 2006)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id
metilprednisolon.
harapan hidup.
4.3.6.3. Variabel perancu : umur, jenis kelamin, sumber infeksi tetanus, sekunder
4.3.7.1. Tetanus
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Diagnosis ditegakkan secara
klinis menggunakan skor Ablett (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Ismanoe,
2006).
4.3.7.2. Metilprednisolon
(Goodman dan Gilman’s, 1996). Dosis yang diberikan sebesar 5 mg/kgBB dimana
commit to user
dosis ini masih sebagai dosis antiinflamasi.
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Dr. Moewardi Surakarta, SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNS, mulai
MP Tanpa MP
Min
Variabel t p
Max
N Mean SD N Mean SD
Lama
61 10.0 7.3 38 12.2 13.6 1-58 0.94 0.345
rawat hari
nilai t=-0.95 dengan signifikansi p=0.348. Hal ini menunjukkan secara umur
p=0.354. Hal ini menunjukkan lama rawat kedua kelompok tidak berbeda
bermakna(p>0.05).
Jenis kelamin
2 p
Variabel Total X
Wanita Pria
Dari Tabel 5.2 perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok didapatkan
jumlah pria lebih banyak dari wanita. Dengan uji chi-square didapatkan nilai
X2=0.07 dengan nilai signifikansi p=0.795, dimana didapatkan p>0.05. Hal ini
menunjukkan tidak berbeda bermakna atau setara antara kedua kelompok menurut
jenis kelamin.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id
Grade tetanus
2 P
Variabel Total X
Grad 1,2 Grade 3,4
Sesuai Tabel 5.3 perbedaan grade tetanus antara kedua kelompok dengan
uji chi-square didapatkan nilai X2=1.59 dengan p=0.207, hal ini berarti tidak
berbeda berakna.
Hidup-Mati
2 P
Variabel Total X
Hidup Mati
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id
angka kematian tersebut secara statistik dengan uji chi-square didapatkan nilai
Gambar 5.1 Diagram batang kematian tetanus pada subyek penelitian tanpa
methylprednisolon dan dengan methylprednisolon
meninggal (warna biru) dan yang hidup (warna hijau) diantara kelompok tanpa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id
Kategori umur
Meninggal Hidup Total
(tahun)
Kategori umur
Meninggal Hidup Total
(tahun)
Dari Tabel 5.5 dan Tabel 5.6 tentang angka kematian tetanus berdasarkan
tampak lebih nyata pada Tabel 5.6 berdasarkan kategori umur <60 tahun dan ≥60
tahun, dimana umur ≥60 sebagai batas lanjut usia (usia geriatri).
Tabel 5.7 Hasil analisis regresi logistik tentang kemungkinan pasien tetanus
hidup setelah pemberian metilprednisolon
CI 95%
VARIABEL OR P
Batas bawah Batas atas
METILPREDNISOLON
Tidak Menggunakan 1 - - -
Ya Menggunakan 4.0 1.6 10.1 0.004
UMUR (TAHUN)
< 53 1
≥ 53 0.7 0.3 1.7 0.381
DERAJAT TETANUS
<3 1
≥3 0.2 0.1 1.1 0.064
N observasi = 99
2 Log likelihood = 111.9
R2 Nagelkerke = 14.9 %
tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI 95% 1.6 sampai dengan 10.1 ;
P=0.004 )
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id
BAB 6
PEMBAHASAN
perbaikan klinis meliputi harapan hidup, angka kematian dan lama perawatan.
tanpa metilprednisolon umur rata-rata 50,6 tahun, umur minimum 17 tahun, umur
nilai t=-0.95 dengan signifikansi p=0.348. Hal ini menunjukkan secara umur
p=0.354. Hal ini menunjukkan lama rawat kedua kelompok tidak berbeda
metilprednisolon jumlah hari lama rawat rata-rata lebih pendek dibanding yang
tanpa metilprednisolon.
Dari Tabel 5.2 perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok didapatkan
jumlah pria lebih banyak dari wanita. Dengan uji chi-square didapatkan nilai
commit to user
X2=0.07 dengan nilai signifikansi p=0.795, dimana didapatkan p>0.05. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id
menunjukkan tidak berbeda bermakna atau setara antara kedua kelompok menurut
jenis kelamin.
Sesuai Tabel 5.3 perbedaan grade tetanus antara kedua kelompok dengan
uji chi-square didapatkan nilai X2=1.59 dengan p=0.207, hal ini berarti tidak
angka kematian tersebut secara statistik dengan uji chi-square didapatkan nilai
masih lebih rendah khususnya dibanding dengan hasil penelitian angka kematian
tetanus di RSDM, dimana di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tahun
dari dalam negeri dan jurnal luar negeri ternyata angka ini masih lebih rendah.
Dilaporkan angka kematian pasien tetanus di empat negara Afrika tahun 1975-
Desember 1999 dirawat 54 pasien tetanus, angka kematian yang terjadi pada
tetanus berat berkisar 40-60%, bahkan sampai 100% (Nadrizal dan Loeheoeri,
tetanus disebabkan oleh beratnya dari efek yang ditimbulkan oleh toksin
tetanospasmin pada kejang opistotonus yang berulang dan semakin berat sehingga
berkurang pada akhirnya dapat menurunkan resiko kematian pada pasien tetanus.
rate motor neuron, dimana tingginya kadar NO akan berakibat menurunya secara
kajian lebih lanjut jumlah kematian pada kelompok umur ≥ 53 tahun, didapatkan
angka lebih tinggi pada kelompok tanpa metilprednisolon yaitu 57,9%. Perbedaan
ini tampak lebih nyata seperti terlihat pada tabel 5.6 angka kematian pada kategori
usia ≥60 lebih rendah lagi, didapatkan 9.1%. Hasil ini sesuai dengan laporan
penurunan (Tamer et al., 2005; Wu et al., 2009). Akibat menurunnya imunitas ini
akan meningkatkan prevalesi terjadinya tetanus pada usia lanjut, seperti yang
dilaporkan di Australia tentang tetanus pada usia lanjut (Quinn and McIntyre,
2007). Dari beberapa laporan penelitian tentang kematian pasien tetanus pada
lanjut usia selalu menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding usia dibawahnya.
Namun yang menarik dari hasil penelitian ini dari prevalensi tetanus yang
meningkat pada lanjut usia ternyata terjadi penurunan angka kematian setelah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id
tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI 95% 1.6 sampai dengan 10.1 ;
P=0.004 ).
regresi logistik ganda dengan memperhitungkan variable umur dan derajat tetanus
kemungkinan untuk hidup empat kali lebih besar daripada yang tanpa
signifikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id
BAB 7
PENUTUP
7.1 Simpulan
7.2 Saran
biomarker inflamasi.
commit to user