Anda di halaman 1dari 79

perpustakaan.uns.ac.

id i
digilib.uns.ac.id

TESIS

PENGARUH PEMBERIAN METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH


TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PENDERITA TETANUS DIBAGIAN
PENYAKIT DALAM RS. DR. MOEWARDI SURAKARTA

OLEH

S U HA R T O
NIM : S 9607020

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RS. DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2010

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id ii
digilib.uns.ac.id

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id iii
digilib.uns.ac.id

PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan oleh Pembimbing Tugas Akhir Program Pendidikan

Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret Surakarta, hasil penelitian berjudul :

PENGARUH PEMBERIAN METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH


TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PENDERITA TETANUS DIBAGIAN
PENYAKIT DALAM RS. DR. MOEWARDI SURAKARTA

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Spesialis Penyakit Dalam

Dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, April 2010

Pembimbing Tugas Akhir

Prof. Dr. dr. H.A. Guntur Hermawan, SpPD-KPTI


NIP : 19490506 197310 1 001

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id iv
digilib.uns.ac.id

Telah diuji dan diseminarkan pada hari Kamis, 08 April 2010, di Bagian Ilmu

Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi Surakarta, penelitian tugas akhir dengan

judul :

PENGARUH PEMBERIAN METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH


TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PENDERITA TETANUS DIBAGIAN
PENYAKIT DALAM RS. DR. MOEWARDI SURAKARTA

Ketua Program Studi PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam

FK UNS / RS Dr. Moewardi Surakarta

Prof. Dr. dr. H. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR


NIP : 19510601 197903 1 002

Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam

FK UNS / RS Dr. Moewardi Surakarta

Prof. Dr. dr. H.A. Guntur H, SpPD-KPTI


NIP : 19490506 197310 1 001

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id v
digilib.uns.ac.id

Telah diuji pada

Tanggal 08 April 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. dr. H.A. Guntur Hermawan, SpPD-KPTI

Anggota : 1. Prof. Dr. dr. Djoko Hardiman, SpPD-KEMD

2. Prof. Dr. dr. H. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR

3. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

4. dr. Tantoro Harmono, SpPD-KGEH

5. dr. Suradi Maryono, SpPD-KHOM

6. dr. Tatar Sumandjar, SpPD-KPTI

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id vi
digilib.uns.ac.id

Ucapan Terima Kasih

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena hanya

dengan berkat dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian tugas karya

akhir dengan judul :

PENGARUH PEMBERIAN METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH

TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PENDERITA TETANUS DIBAGIAN

PENYAKIT DALAM RS. DR. MOEWARDI SURAKARTA.

Penelitian tugas karya akhir ini merupakan salah satu persyaratan dalam

menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis I bidang Ilmu Penyakit

Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Saya menyadari bahwa penelitian tugas karya akhir ini tidak akan berhasil

tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dengan penuh rasa

hormat, saya mengucapkan terima kasih kepada :

Yang terhormat, Prof. Dr. dr. H. A. Guntur Hermawan, SpPD-KPTI, selaku

Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret / RS Dr. Moewardi Surakarta sekaligus selaku pembimbing penelitian, atas

kepercayaan, dorongan, bimbingan, koreksi dan perhatian yang sangat besar

sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian tugas karya akhir ini. Semoga Prof.

Guntur selalu dikaruniai kesehatan, umur panjang, rahman dan rakhim-Nya

sehingga akan semakin banyak orang yang dapat menimba ilmu dan

kebijaksanaan dari Prof. Guntur.

Yang terhormat, Prof. Dr. dr. H. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR, selaku

Ketua Program Studi PPDS-I Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id vii
digilib.uns.ac.id

Universitas Sebelas Maret / RS Dr. Moewardi Surakarta atas segala kebaikan dan

perhatiannya selama ini. Di bulan ini pula Prof Zaenal, mendapatkan kepercayaan

sebagai Guru Besar, menambah kebanggaan bagi saya sebagai murid beliau.

Yang terhormat, Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD, selaku

pembimbing metodologi penelitian, yang telah banyak memberikan masukan,

bimbingan dan koreksi untuk penelitian tugas karya akhir ini.

Yang terhormat tim penguji yang terdiri dari :

1. Prof. Dr. dr. H.A. Guntur Hermawan, SpPD-KPTI

2. Prof. Dr. dr. Djoko Hardiman, SpPD-KEMD

3. Prof. Dr. dr. H. Zainal Arifin Adnan, SpPD-KR

4. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH, MSc, PhD

5. dr. Tantoro Harmono, SpPD-KGEH

6. dr. Suradi Maryono, SpPD-KHOM

7. dr. Tatar Sumandjar, SpPD-KPTI

Atas kesediaan beliau-beliau menguji dan atas saran yang sangat berharga

untuk kesempurnaan penelitian tugas karya akhir ini.

Yang terhormat, guru guru saya yang telah membimbing selama menempuh

pendidikan PPDS I Ilmu Penyakit Dalam sampai saya dapat menyelesaikan

penulisan naskah penelitian tugas karya akhir ini.

Yang terhormat Ibu tercinta, semoga almarhum Bapak selalu mendapatkan

perlindungan dan ampunan-Nya, atas doa Ibu semoga segala sesuatunya mendapat

ridlo Allah SWT.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id viii
digilib.uns.ac.id

Sahabat-sahabat saya tercinta yang tidak mungkin saya sebutkan satu-

persatu, berkat kehadiran kalian proses penelitian tugas karya akhir ini terasa lebih

ringan.

Segenap teman sejawat Residen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret / RS Dr. Moewardi Surakarta, yang telah banyak

memberikan bantuan untuk terlaksananya penelitian tugas karya akhir ini.

Seluruh Staf Keperawatan bangsal Melati 1, Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RS. Dr. Moewardi Surakarta, yang telah banyak memberikan bantuan untuk

terlaksananya penelitian tugas karya akhir ini.

Terima kasih untuk istriku Hj. Nur Indah Sholichah, SPsi dan anak-anakku

Avis, Avisa, Afifa, dan Afif.

Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu

proses penelitian tugas karya akhir ini yang tidak mungkin saya sebutkan satu

persatu.

Ilmu yang diwariskan pada manusia sebesar tetesan air laut dari jari tangan.

Ilmu manusia bersifat tentatif. Manusia pembelajar seperti perangkai bunga,

merangkai bunga yang tersebar menjadi seikat bunga warna warni menarik dilihat.

Dari bunga terkandung biji, dari biji tumbuh tanaman, batang tanaman bercabang-

beranting, berbunga-bunga dan bergenerasi-generasi. Dan itu cukup dengan

setetes air laut, Subhanalloh.

Surakarta, April 2010

Suharto
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id ix
digilib.uns.ac.id

RINGKASAN

Angka kematian tetanus masih cukup tinggi baik di negara maju maupun di
negara berkembang. Terutama kejadian kasus tetanus di negara berkembang
masih cukup banyak. Terapi tetanus dengan menggunakan inovasi klinis dan
farmasi, masih merupakan tugas yang sangat sulit. Penggunaan kortikosteroid
pada tetanus pernah dilaporkan. Pada penelitian pendahuluan penggunaan
tambahan metilprednisolon dosis rendah (5 mg/kgBB) bermanfaat dalam
menurunkan angka kematian. Salah satu sebab kematian tetanus adalah gagal
nafas akibat laringospasme yang disebabkan kejang yang berat dan berulang.
Peran metilprednisolon pada tetanus sebagai salah satu steroid sintetik pada dosis
rendah akan mempengaruhi sinapsis melalui reseptor GABA, menurunkan
dominasi neurotransmiter eksitatori.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian metilprednisolon
dosis rendah terhadap perbaikan klinis pasien tetanus dengan menggunakan
evaluasi terhadap resiko kematian, lama perawatan dan harapan hidup.
Jenis penelitian ini adalah eksperimen tanpa randomisasi. Penelitian
dilakukan di bangsal isolasi tetanus penyakit dalam, bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Dr. Moewardi Surakarta, mulai tahun 2006 sampai 2009. Pada kelompok
perlakuan mendapatkan terapi suplementasi tambahan berupa metilprednisolon
intravena 125mg / 12 jam. Pada kelompok kontrol tanpa metilprednisolon. Kedua
kelompok dilakukan penatalaksanaan yang sama, yang berbeda hanya pada
kelompok perlakuan mendapatkan tambahan metilprednisolon. Dilakukan
evaluasi terhadap resiko kematian, lama perawatan dan harapan hidup. Uji
hipotesis dengan menggunakan chi-square dan uji t tidak berpasangan. Dan untuk
mengetahui pengaruh terhadap harapan hidup dengan analisa regresi logistik
berganda.
Didapatkan 99 pasien tetanus terdiri dari 61 pasien tetanus sebagai
kelompok perlakuan dan 38 pasien tetanus sebagai kontrol. Penilaian kedua
kelompok didapatkan kondisi yang setara antara kelompok perlakuan dan kontrol.
Didapatkan penurunan angka kematian pasien tetanus pada kelompok dengan
metilprednisolon yang secara statistik bermakna p=0,007 dan pasien tetanus
dengan pemberian metilprednisolon memiliki kemungkinan untuk hidup empat
kali lebih besar daripada yang tanpa metilprednisolon dan peningkatan
kemungkinan hidup tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI 95% 1.6
sampai dengan 10.1 ; P=0.004 ).
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, kami menyimpulkan bahwa
pemberian tambahan metilprednisolon pada terapi tetanus dapat, menurunkan
resiko kematian dan meningkatkan harapan hidup.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id x
digilib.uns.ac.id

SUMMARY

Tetanus mortality rate was relatively high both in developed and


developing countries. Especially incident cases of tetanus in developing countries
is still quite a lot. Tetanus therapy using clinical and pharmaceutical innovation, is
still a very difficult task. Use of corticosteroids in tetanus have been reported. In a
preliminary study using low-dose methylprednisolone (5 mg / kg body weight) is
decreasing mortality rate. One cause of death due to tetanus is respiratory failure
by laringospasme caused severe and recurrent seizures. Role of
methylprednisolone in tetanus as one of the synthetic steroids in low doses would
affect synapses through GABA receptors, reducing the dominance of
neurotransmitters eksitatori.
This study aims to determine the effect of low-dose methylprednisolone
against tetanus patients with clinical improvement using the evaluation of the risk
of death, duration of treatment and life expectancy.
This research is an experiment without randomization. Research conducted
in the isolation ward in the disease tetanus, the internal medicine department
Moewardi Hospital Surakarta, starting in 2006 until 2009. In the treatment group
receive additional supplementation therapy in the form of intravenous
methylprednisolone 125 mg / 12 hours. In the control group without
methylprednisolone. Both groups performed the same treatment, which differ only
in the treatment group to get additional methylprednisolone. Evaluation of the risk
of death, duration of treatment and life expectancy. Hypothesis test using chi-
square and unpaired t test. And to determine the effect on life expectancy with
multiple logistic regression analysis.
There were 99 patients with tetanus tetanus consisted of 61 patients as the
treatment group and 38 patients with tetanus as a control. Assessment of both
groups showed an equivalent condition between treatment and control. Showed
decreased mortality of patients with tetanus in the methylprednisolone group and
statistically significant p = 0.007 and tetanus patients with methylprednisolone
administration has the possibility to live four times larger than that without
methylprednisolone and increase the possibility of life are statistically significant
(OR = 4.0, CI 95 % 1.6 to 10.1, P = 0004).
Administration methylprednisolone for tetanus patient can reduce the risk
of death and increased life expectancy.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xi
digilib.uns.ac.id

PENGARUH PEMBERIAN METILPREDNISOLON DOSIS RENDAH


TERHADAP PERBAIKAN KLINIS PENDERITA TETANUS DIBAGIAN
PENYAKIT DALAM RS. DR. MOEWARDI SURAKARTA

Abstrak

Latar Belakang. Angka kematian tetanus masih cukup tinggi baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Terutama kejadian kasus tetanus di negara berkembang
masih cukup banyak. Terapi tetanus dengan menggunakan inovasi klinis dan farmasi,
masih merupakan tugas yang sangat sulit. Penggunaan kortikosteroid pada tetanus pernah
dilaporkan. Pada penelitian pendahuluan penggunaan tambahan metilprednisolon dosis
rendah (5 mg/kgBB) bermanfaat dalam menurunkan angka kematian. Salah satu sebab
kematian tetanus adalah gagal nafas akibat laringospasme yang disebabkan kejang yang
berat dan berulang. Peran metilprednisolon pada tetanus sebagai salah satu steroid sintetik
pada dosis rendah akan mempengaruhi sinapsis melalui reseptor GABA, menurunkan
dominasi neurotransmiter eksitatori.

Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian


metilprednisolon dosis rendah terhadap perbaikan klinis pasien tetanus dengan
menggunakan evaluasi terhadap resiko kematian, lama perawatan dan harapan hidup.

Metodologi. Jenis penelitian ini adalah eksperimen tanpa randomisasi. Penelitian


dilakukan di bangsal isolasi tetanus penyakit dalam, bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Dr. Moewardi Surakarta, mulai tahun 2006 sampai 2009. Pada kelompok perlakuan
mendapatkan terapi suplementasi tambahan berupa metilprednisolon intravena 125mg /
12 jam. Pada kelompok kontrol tanpa metilprednisolon. Kedua kelompok dilakukan
penatalaksanaan yang sama, yang berbeda hanya pada kelompok perlakuan mendapatkan
tambahan metilprednisolon. Dilakukan evaluasi terhadap resiko kematian, lama
perawatan dan harapan hidup. Uji hipotesis dengan menggunakan chi-square dan uji t
tidak berpasangan. Dan untuk mengetahui pengaruh terhadap harapan hidup dengan
analisa regresi logistik berganda.

Hasil. Didapatkan 99 pasien tetanus terdiri dari 61 pasien tetanus sebagai kelompok
perlakuan dan 38 pasien tetanus sebagai kontrol. Penilaian kedua kelompok didapatkan
kondisi yang setara antara kelompok perlakuan dan kontrol. Didapatkan penurunan angka
kematian pasien tetanus pada kelompok dengan metilprednisolon yang secara statistik
bermakna p=0,007 dan pasien tetanus dengan pemberian metilprednisolon memiliki
kemungkinan untuk hidup empat kali lebih besar daripada yang tanpa metilprednisolon
dan peningkatan kemungkinan hidup tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI
95% 1.6 sampai dengan 10.1 ; P=0.004 ).

Kesimpulan. Pemberian tambahan metilprednisolon pada terapi tetanus dapat,


menurunkan resiko kematian dan meningkatkan harapan hidup.

Kata kunci : Tetanus-Metilprednisolon

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xii
digilib.uns.ac.id

THE ROLE OF LOW DOSE METHYLPREDNISOLONE ON CLINICAL


IMPROVEMENT IN TETANUS PATIENTS AT INTERNAL MEDICINE
DEPARTMENT MOEWARDI HOSPITAL SURAKARTA

Abstract

Background. Tetanus mortality rate was relatively high both in developed and
developing countries. Especially incident cases of tetanus in developing countries
is still quite a lot. Tetanus therapy using clinical and pharmaceutical innovation, is
still a very difficult task. Use of corticosteroids in tetanus have been reported. In a
preliminary study using low-dose methylprednisolone (5 mg / kg body weight) is
decreasing mortality rate. One cause of death due to tetanus is respiratory failure
by laringospasme caused severe and recurrent seizures. Role of
methylprednisolone in tetanus as one of the synthetic steroids in low doses would
affect synapses through GABA receptors, reducing the dominance of
neurotransmitters eksitatori.

Objective. This study aims to determine the effect of low-dose


methylprednisolone against tetanus patients with clinical improvement using the
evaluation of the risk of death, duration of treatment and life expectancy.

Methodology. This research is an experiment without randomization. Research


conducted in the isolation ward in the disease tetanus, the internal medicine
department Moewardi Hospital Surakarta, starting in 2006 until 2009. In the
treatment group receive additional supplementation therapy in the form of
intravenous methylprednisolone 125 mg / 12 hours. In the control group without
methylprednisolone. Both groups performed the same treatment, which differ only
in the treatment group to get additional methylprednisolone. Evaluation of the risk
of death, duration of treatment and life expectancy. Hypothesis test using chi-
square and unpaired t test. And to determine the effect on life expectancy with
multiple logistic regression analysis.

Results. There were 99 patients with tetanus tetanus consisted of 61 patients as


the treatment group and 38 patients with tetanus as a control. Assessment of both
groups showed an equivalent condition between treatment and control. Showed
decreased mortality of patients with tetanus in the methylprednisolone group and
statistically significant p = 0.007 and tetanus patients with methylprednisolone
administration has the possibility to live four times larger than that without
methylprednisolone and increase the possibility of life are statistically significant
(OR = 4.0, CI 95 % 1.6 to 10.1, P = 0004).

Conclusion. Administration methylprednisolone for tetanus patient can reduce the


risk of death and increased life expectancy.

Key words: Tetanus-methylprednisolone


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xiii
digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
Sampul Depan ............................................................................................... i
Sampul Dalam .............................................................................................. ii
Halaman Pengesahan.................................................................................... iii
Halaman Pengujian....................................................................................... iv
Penetapan Panitia Pengujian ........................................................................ v
Ucapan Terima Kasih ................................................................................... vi
Ringkasan .................................................................................................... ix
Summary ...................................................................................................... x
Abstrak ......................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar belakang ........................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah ..................................................................... 4
1.3. Tujuan penelitian ....................................................................... 4
1.4. Manfaat penelitian ..................................................................... 4
1.4.1. Manfaat teoritis ...................................................................... 4
1.4.2. Manfaat praktis ...................................................................... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 6
2.1. Tetanus...................................................................................... 6
2.1.1. Definisi................................................................................... 6
2.1.2. Etiologi.. ................................................................................ 6
2.1.3. Patogenesis............................................................................. 7
2.1.4. Gambaran Klinis.................................................................... 11
2.1.4.1. Tetanus generalisata............................................................ 11
2.1.4.2. Tetanus neonatorum............................................................ 15
2.1.4.3. Tetanus lokal.......................................................................
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id xiv
digilib.uns.ac.id

2.1.4.4. Tetanus sefalik.................................................................... 16


2.1.5. Perjalanan klinis..................................................................... 16
2.1.6. Derajat keparahan................................................................... 17
2.1.7. Perubahan fisiologi kardiovaskuler........................................ 17
2.1.8. Perubahan fisiologi respirasi.................................................. 20
2.1.9. Perubahan fisiologi ginjal...................................................... 21
2.1.10. Komplikasi........................................................................... 21
2.1.11. Diagnosis ............................................................................. 22
2.1.12. Penatalaksanaan.................................................................... 23
2.2. Peran methylprednisolon pada perjalanan tetanus..................... 25
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS ................................ 42
3.1. Kerangka konsep ...................................................................... 42
3.2. Hipotesis ................................................................................... 43
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ................. ................................. 44
4.1. Jenis penelitian ......................................................................... 44
4.2. Tempat dan waktu penelitian.................................................... 44
4.3. Subjek penelitian ...................................................................... 44
4.3.1. Populasi penelitian ................................................................. 44
4.3.1.1. Kriteria inklusi .................................................................... 44
4.3.1.2. Kriteria eksklusi ................................................................. 46
4.3.2. Teknik pengambilan sampel ................................................. 46
4.3.3. Besar sampel ......................................................................... 46
4.3.4. Identitas variabel ................................................................... 47
4.3.4.1. Variabel bebas .................................................................... 47
4.3.4.2. Variabel tergantung ............................................................ 47
4.3.4.3. Variabel perancu ................................................................ 47
4.3.5. Definisi operasional variabel ................................................ 47
4.3.5.1. Tetanus........................ ....................................................... 47
4.3.5.2. Methylprednisolon.............................................................. 47
4.4. Design Analisis statistik .......................................................... 48
4.5. Alur penelitian .......................................................................... 48
commit to user
BAB 5 HASIL PENELITIAN.................................................................. 49
perpustakaan.uns.ac.id xv
digilib.uns.ac.id

BAB 6 PEMBAHASAN.......................................................................... 55
BAB 7 PENUTUP................................................................................... 60
7.1 Simpulan................................................................................... 60
7.2 Saran......................................................................................... 60
Daftar pustaka ............................................................................................ 61
Lampiran

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xvi
digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 : Aksi glukokortikoid selama respon stres .............................................. 28

Tabel 5.1 : Karakteristik subyek penelitian berdasarkan umur dan lama rawat....... 50

Tabel 5.2 : Perbedaan jenis kelamin subyek penelitian.....………….………..….... 51

Tabel 5.3 : Perbedaan grade tetanus ....................................................................... 51

Tabel 5.4 : Perbedaan angka kematian ................................................................... 51

Tabel 5.5 : Angka kematian tetanus kategori umur <53 dan ≥53 tahun................. 53

Tabel 5.6 : Angka kematian tetanus kategori umur <60 dan ≥60 tahun................. 53

Tabel 5.7 : Hasil analisis regresi logistik................................................................ 54

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xvii
digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 : Skema Efek Glukokortikoid Terhadap Aktivasi NF-κB............... 27

Gambar 2.2 : Imunopatogenesis .............……………………………....…....… 33

Gambar 2.3 : Empat tahapan mekanisme aksi neurotoxin clostridium ............. 36

Gambar 2.4 : Skema gambar motor neuron di medula spinalis ...................…. 38

Gambar 2.5 : Reseptor GABA ............................................….…..........…... 39

Gambar 3.1 : Kerangka konsep penelitian ........................................................ 42

Gambar 4.1 : Alur penelitian ……………………….............…………....……. 48

Gambar 5.1 : Diagram batang kematian tetanus ................................................. 52

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id xviii
digilib.uns.ac.id

DAFTAR SINGKATAN

ARDS : Acute Respiratory Distress Syndrome

APC : Antigen Presenting Cell

ATS : Anti Tetanus Serum

BoNT : Botulinum Neurotoxins

CBG : Cortisol Binding Globulin

CRH : Corticotropin Releasing Hormone

CSF : Colony Stimulating Factor

DNA : Dioksiribonuclease acid

GABA : Gamma-aminobutyric acid

GD1b : Ganglioside 1 binding

GILZ : Glucocorticoid-induced leucine zipper protein.

GPI : Glycosyl phosphatidyl inositol

GR : Glucocorticoid receptors

I-κB : Inhibitory Kappa Betta

IL : Interleukin

mRNA : Messenger ribonucleic acid

MKP-1 : Mitogen-activated kinase phosphatase-1

MP : Methylprednisolon

NF-κB : Nuclear Factor Kappa Beta

NMJ : Neuron muscular junction

NO : Nitric Oxide

PAMPs : commit to Molecular


Pathogen Accociated user Pattern
perpustakaan.uns.ac.id xix
digilib.uns.ac.id

PRRs : Pattern Recognition Receptors

SLPI : Secretory leukoprotease inhibitor

SNARE : Soluble NSF attachment protein receptor

SNAP-25 : Synapse assosiated protein - 25 kDa

SVRI : Systemis vascular resistance index

SV : Sinaptic vesicles

TeNT : Tetanus Neurotoxins

TLRs : Toll Like Reseptors

TNF-α : Tumor Necrosis Factor-α

VAMP : Vesicle assosiated membran protein

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 1
digilib.uns.ac.id

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tetanus merupakan suatu penyakit dengan pemunculan yang akut dan fatal

yang disebabkan oleh tetanospasmin, yakni suatu toksin protein kuat yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani yang menyebabkan gangguan neurologis, yang

ditandai dengan adanya peningkatan tonus dan kekakuan otot (Richardson and

Knight, 1993; Azraqủi et al., 2000; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

Diagnosis tetanus ditegakkan semata-mata berdasarkan temuan klinis

(Sexton et al., 2004; Cook et al., 2001). Indonesia sebagai salah satu negara

berkembang mempunyai angka insidensi dan angka kematian masih tinggi tapi

sampai saat ini angka tersebut bervariasi dan belum ada data lengkap yang dapat

mewakili kondisi seluruh Indonesia. RSUD Dr Syaiful Anwar Malang pernah

melaporkan antara Januari 1989 - Desember 1992 telah dirawat 164 pasien tetanus

(Djunaedi, 1993). Laporan dari RS Bethesda Tomohon Sulawesi Utara, Januari

1986 - Desember 1995, dari 35 kasus tetanus, terdapat 24 kasus dewasa dengan

angka kematian 29,17% (Harijanto dan Weliangan, 1996). Dilaporkan angka

kematian pasien tetanus di empat negara Afrika tahun 1975-1990 sebesar 61,5%

(Petit et al., 1995). RS Dr Sardjito Yogyakarta pernah melaporkan antara Januari

1990-Desember 1991 dirawat 24 pasien (Esfandiari dan Loehoeri, 1993). Pada

laporan di RS Dr Sardjito Yogyakarta, Januari 1995-Desember 1999 dirawat 54

pasien tetanus, angka kematian yang terjadi pada tetanus berat berkisar 40-60%,

bahkan sampai 100% (Nadrizal dan Loeheoeri, 2000).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

Dari beberapa laporan angka kematian pasien tetanus diantaranya di Lagos

University Teaching Hospita Nigeria tahun 2001 sebesar 45,5% (Oke.,2001), di

ICU University of Benin Teaching Hospital Nigeria antara Januari 1985 -

Desember 2003 sebesar 61,5 % (Adudu et al.,2007), di ICU University College

Hospital in Ibadan Nigeria pada wanita dengan tetanus maternal sebesar 66,7%

(Robert et al.,2008).

Di RSUD Dr. Moewardi beberapakali dilakukan penelitian tentang tetanus,

pada tahun 2000 – 2002 didapatkan angka kematian tetanus sebesar 37 % (Esthi

dan Guntur, 2004). Pada tahun 2004 – 2006 juga telah diteliti dan dilaporkan

angka kematian tetanus sebesar 47,4 % (Suharto dan Guntur, 2007). Terjadi

peningkatan angka kematian, hal ini menjadi perhatian untuk dicarikan

pemecahannya. Dari data secara keseluruhan tampaknya angka kematian tetanus

masih diatas 25 %. Mengingat angka kematian yang masih tinggi di banyak

Negara, penelitian untuk menemukan metoda terapi tetanus terus dilakukan.

Termasuk tentang penggunaan kortikosteroid sebagai terapi tambahan pada

tetanus. Sebagaimana telah dilaporkan oleh Thomas penggunaan betamethasone

parenteral dan ATS intrathekal menunjukkan manfaat pada penanganan tetanus

(Thomas, 1982). Dilaporkan juga pengaruh penggunaan injeksi betamethasone

pada pasien tetanus dihasilkan keluaran pada tetanus moderat dan berat

menurunkan angka kematian sampai 36,1 %, menurunkan penggunaan tindakan

trakeostomi dan menurunkan penggunaan ventilator. Pada studi ini juga tidak

meningkatkan kejadian infeksi pada grup betamethasone (Chandy, 1992).

Dilaporkan oleh McGee S dan Hirschmann J bahwa penggunaan kortikosteroid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

pada penatalaksanaan penyakit infeksi diantaranya tetanus meningkatkan harapan

hidup (McGee and Hirschman, 2008).

Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta dimulai akhir tahun 2006

dilakukan penelitian pendahuluan penggunaan kortikosteroid injeksi

metilprednisolon sebagai terapi tambahan terhadap terapi standart yang selama ini

dilaksanakan. Tidak ada perubahan pengelolaan kasus pasien tetanus. Dari hasil

penelitian awal ini telah diseminarkan dan dilaporkan penggunaan terapi

tambahan injeksi metilprednisolon menunjukkan hasil yang lebih baik, terhadap

klinis pasien dan angka kematian tetanus. Data sementara dari pemantauan ini

dari 8 pasien tetanus didapatkan 7 pasien hidup (87,5%) dan 1 pasien meninggal

(12,5%). Dari satu pasien yang meninggal ini sudah 4 hari bebas kejang, pasien

masuk ke kondisi gagal ginjal akut. Selama pemakaian tambahan

metilprednisolon tidak didapatkan adanya efek samping atau efek yang

merugikan. Dari laporan resmi dan pencarian jurnal tentang penggunaan

metilprednisolon pada pasien tetanus belum pernah dilaporkan (Suharto dan

Guntur, 2007).

Penelitian penggunaan steroid pada tetanus masih sangat sedikit. Mereka

telah melaporkan manfaat pada pasien tetanus. Dari dua studi penggunaan

betamethasone pada tetanus menunjukkan penurunan angka kematian. Dan dari

penelitian awal penggunaan metilprednisolon di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

menunjukkan manfaat secara klinis, oleh sebab itu penelitian penggunaan

metilprednisolon pada pasien tetanus dilanjutkan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1. Adakah penurunan resiko kematian tetanus setelah menggunakan

tambahan terapi injeksi metilprednisolon ?

1.2.2. Adakah pengaruh terhadap lama perawatan pasien tetanus setelah

menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon ?

1.2.3. Adakah pengaruh terhadap harapan hidup pasien tetanus setelah

menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Untuk mengetahui penurunan resiko kematian tetanus setelah

menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon.

1.3.2. Untuk mengetahui pengaruh terhadap lama perawatan pasien tetanus

setelah menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon.

1.3.3. Untuk mengetahui harapan hidup pasien tetanus setelah menggunakan

tambahan terapi injeksi metilprednisolon.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis

1.4.1.1. Memberikan informasi penurunan resiko kematian tetanus setelah

menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

1.4.1.2. Memberikan informasi pengaruh terhadap lama perawatan pasien tetanus

setelah menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon.

1.4.1.3. Memberikan informasi harapan hidup pasien tetanus setelah

menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon.

1.4.2. Manfaat praktis

1.4.2.1. Dapat digunakan dalam protokol terapi.

1.4.2.2. Penelitian ini bisa digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TETANUS

2.1.1. Definisi

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya

tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein

yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk

klinis tetanus di dalamanya tetanus neonatorum, tetanus generalisata dan

gangguan neurologis lokal (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Ismanoe, 2006;

Abrutyn, 2008).

2.1.2. Etiologi

Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini

terdapat di mana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga

diisolasi dari kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani

merupakan bakteri gram positif berbentuk batang yang selalu bergerak, dan

merupakan bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang

dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenis atau paha ayam

(Goonetilleke and Harris, 2004).

Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu,

tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan

dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak

sempurna dengan mendidihkan tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada


commit to user
tekanan 1 atmosfir dan 120˚C selama 15 menit (Farrar et al.,2000).
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan

bersifat sensitif terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan lainnya).

Kultur bakteri ini sangat sulit dan hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, karena

diagnosanya berdasarkan klinis (Edlich et al., 2003; Attigalle and Rodrigo, 2004).

Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang

kuat. Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali

plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan

autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk

heterodimer yang terdiri dari rantai berat (100kDa) yang memediasi

pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan

rantai ringan (50kDa) berperan untuk memblokade pelepasan neurotransmiter.

Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino dari

dua toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin botulinum dan

toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin tetanus dalam tubuh

organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid.

Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain

mempunyai plasmid. Belum banyak penelitian tentang sensitivitas antimikrobial

bakteri ini (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003; Attigalle and

Rodrigo, 2004; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

2.1.3. Patogenesis

Sering terjadi kontaminasi luka oleh spora Clostridium tetani. Dalam

kondisi anaerobik yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil

tetanus mensekresi dua macam toksin: tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin


commit to user
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi

bakteri (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin

mencakup lebih dari berat organisme. Toksin ini merupakan polipeptida rantai

ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat

(100.000 Da) dan rantai ringan (50.000Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang

sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan

jembatan disulfida yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dari

rantai berat terikat pada membran saraf dan ujung amino memungkinkan

masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk

mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi.

Tetanosplasmin yang dilepaskan akan menyebar pada jaringan di bawahnya dan

terikat pada gangliosida GD1b dan GT1b pada membran ujung saraf lokal. Jika

toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat memasuki aliran darah yang kemudian

berdifusi untuk terikat pada ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian

akan menyebar dan ditransportasikan dalam axon dan secara retrograd ke dalam

badan sel di batang otak dan saraf spinal (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001;

Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

Penyebaran terjadi pertama kali pada saraf motorik, lalu ke saraf sensorik

dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia akan berdifusi keluar

dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya. Apabila interneuron

inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul. Penyebaran

intraneuronal retrograd lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke batang

commit
otak dan otak tengah. Penyebaran to user transfer melewati celah sinaptik
ini meliputi
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

dengan suatu mekanisme yang tidak jelas (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001;

Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang

menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan

rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya

neurotransmitter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan

untuk keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotrasmiter. Rantai

ringan tetanospasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah

sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah pelepasan

neurotransmitter (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe,

2006).

Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitor, di mana

setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan

memblokade perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam

aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang

pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi

inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik

preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.

Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan

asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan

aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun

demikian, pada tetanus, efek disinhibitori nueron motorik lebih berpengaruh

daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan

commit to user
hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

konvulsan kortikal pada penelitian hewan. Apakah mekanisme ini berperan

terhadap spasme intermiten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek

prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara dua

spasme dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada tetanus

sefalik, dan myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang lain,

tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid (Farrar et al.,

2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

Aliran eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang

otak akan menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai

konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan otot-

otot agonis dan antagonis berkontraksi secara simultan. Spasme otot sangatlah

nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang, wajah, dan

kepala sering terlibat pertama kali menampakkan gambaran risus sardonikus

karena jalur aksonalnya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti,

sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. Aliran impuls

otonomik yang tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol otonomik

dengan aktifitas berlebih saraf simpatik dan kadar katelokamin plasma yang

berlebihan. Terikat toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan

membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa

tetanus berdurasi lama (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005;

Ismanoe, 2006).

Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot yang

bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang

commit
dilepaskan di dalam luka memasuki to user
aliran limfa dan darah dan menyebar luas
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

mencapai ujung saraf terminal, sawar darah otak memblokade masuknya toksin

secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa waktu

transport intraneuronal sama pada semua saraf , serabut saraf yang pendek akan

terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang hal ini menjelaskan urutan

keterlibatan serabut saraf di kepala, tubuh dan ekstremitas pada tetanus

generalisata (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe,

2006).

2.1.4. Gambaran klinis

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka dengan

tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan tetanus. Tetanus

dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan ular

yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, infeksi gigi, aborsi septik,

persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan

tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di

dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan

medis. Pada 15-25% pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.

(Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

2.1.4.1. Tetanus Generalisata

Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus

yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa

inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus

berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi dalam 3 hari

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari (Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003;

Ismanoe, 2006).

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan disfungsi otonomik.

Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka mulut, sering

merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter menyebabkan trismus atau

‘rahang terkunci’. Spasme secara progresif meluas ke otot-otot wajah yang

menyebabkan ekspresi wajah yang khas, risus sardonicus dan meluas ke otot-otot

untuk menelan yang menyebakan disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus

internal dan eksternal dapat berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan

nyeri. Rigiditas otot leher menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh

menyebabkan epistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan

dinding dada. Fefleks tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun

banyak yang tidak, sedangkan kesadaran tidak terpengaruh (Farrar et al., 2000;

Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003; Ismanoe, 2006).

Disamping peningkatan tonus otot, terdapat spasme otot yang bersifat

episodik. Kontraksi tonik ini tampak seperti konvulsi yang terjadi pada kelompok

otot agonis dan antagonis secara bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan

atau dipicu oleh stimulus berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau

emosional. Spasme yang terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan

frekuensinya tetapi dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur

tendon. Spasme yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerut, nyeri bersifat

generalisata sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat

terjadi berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

sering diikuti dengan spasme laringeal dan berkaitan dengan terjadinya aspirasi

dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa (Farrar et al., 2000; Cook

et al., 2001; Edlich et al., 2003; Ismanoe, 2006).

Pada bentuk yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata

otot-otot di seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang

biasanya pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif

untuk mempengaruhi seluruh tubuh. Differensial diagnosisnya mencakup infeksi

orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin, dan histeria.

Akibat trauma perifer dan sedikitnya toksin yang dihasilkan, tetanus lokal

dijumpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu. Mortalitas

sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik di mana tetanus

lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf kranial; paralisis lebih

mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme. Tetapi progresi ke tetanus

generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi (Farrar et al., 2000; Cook et

al., 2001; Edlich et al., 2003; Ismanoe, 2006).

Tetanus neonatorum menyebabkan lebih dari 50% kematian akibat tetanus

di seluruh dunia, tetapi sangat jarang terjadi di negara-negara maju. Neonatus,

usia di bawah 1 minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan

tidak dapat menerima minuman. Kejang, meningitis dan sepsis merupakan

diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan mortalitasnya tinggi.

Higiene umbilikal yang buruk merupakan penyebabnya, namun kesemuanya dapat

dicegah dengan vaksinasi maternal, bahkan selama kehamilan (Farrar et al., 2000;

Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003; Ismanoe, 2006). Aktif imunisasi pada ibu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

hamil akan membentuk antibodi ke janin menurunkan kasus tetanus maternal,

penanganan yang baik pada umbilikal akan menurunkan resiko pada janin

(Williams, 2001).

Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat yang

meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan perawatan intensif,

menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas otonomik

yang nyata. Sistem saraf simpatetiklah yang paling jelas dipengaruhi. Secara

klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan takikardia persisten dan

hipertensi. Dijumpai vasokonstriksi yang tampak jelas, hiperpireksia, keringat

berlebihan (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Edlich et al., 2003; Ismanoe,

2006).

Badai autonomik terjadi dengan adanya instabilitas kardiovaskular yang

tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan

hipotensi berat, bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini lebih

merupakan akibat perubahanan resistensi vaskular sistemik daripada perubahan

pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama ‘badai’ ini, kadar katekolamin

plasma meningkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip dengan yang

dijumpai pada feokromositoma. Norepinefrin lebih terpengaruh daripada

epinefrin. Hiperaktvitas neuronal lebih mendominasi daripada hiperaktivitas

medula adrenal. Henti jantung mendadak kadang-kadang terjadi, tapi mekanisme

yang mendasarinya belumlah jelas (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Edlich

et al., 2003; Ismanoe, 2006).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

Disamping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup

salivasi profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan

gagal ginjal curah tinggi (high output renal failure) semua berkaitan dengan

gangguan otonomik. Telah jelas adanya keterlibatan sistem saraf simpatis.

Peranan sistem saraf parasimpatis kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan

menginduksi lesi pada nukleus vagus, di mana pada saat yang bersamaan terpapar

toksin sehingga menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan. Hipotensi,

bradikardia dan asistol dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas

vagal (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumonia aspirasi, fraktur,

ruptur otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan

rabdomiolisis.

2.1.4.2. Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal

apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan

dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas

potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali

pusat, kebersihan lingkungan, dan kebersihan pada saat mengikat dan memotong

umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit

menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas tetanus

neonatorum. Diantara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi

mental terjadi pada yang bertahan hidup (Ismanoe, 2006).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

2.1.4.3. Tetanus Lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya

terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat

peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat

ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata

dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya baik (Ismanoe, 2006).

2.1.4.4. Tetanus Sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang

terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.

Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah

saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya

tinggi (Ismanoe, 2006).

2.1.5. Perjalanan Klinis

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)

rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala

pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset

yang lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat.

Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spame otot yang semakin parah.

Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan

sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap

bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4

minggu (Ismanoe, 2006).

2.1.6. Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philllips, Dakar,

Udwadia) yang dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem

yang paling sering dipakai.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:

Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa

gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia

Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat

ringan sampai sedang, ganngguan pernapasan sedang dengan frekuensi

pernapasan lebih dari 30, disfagia ringan.

Derajat III (berat) ; Trismus berat, spastisitas generaisata, spasme refleks

berkepanjangan, frekuensi pernapasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia

berat dan takikardia lebih dari 120.

Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat

melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi

berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap

(Ismanoe, 2006).

2.1.7. Perubahan Fisiologi Kardiovaskular

Terdapat sedikit penelitian tentang efek tetanus pada sistem

kardiovaskular. Suatu problem adalah


commitbahwa efek hemodinamik dari komplikasi
to user
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

dan terapi dapat menutupi efek sesungguhnya dari tetanus itu sendiri. Udwadia

meneliti 27 pasien dengan Ablett derajat III/IV yang stabil dan tanpa terapi yang

mempengaruhi hemodinamik. Sembilan belas diantaranya dengan tetanus tanpa

komplikasi, sedangkan delapan yang lain dengan komplikasi (dengan pneumonia,

sepsis, ARDS). Penelitiannya yang berskala luas meliputi gambaran

kardiovaskular dari tetanus, perubahan-perubahan yang terjadi selama spasme

yang tidak terkontrol, selama relaksasi yang intensif, selama pemulihan dan

pengaruh pemberian cairan pada tetanus dibandingkan dengan sukarelawan sehat.

Ia juga meneliti pasien-pasien selama periode instabilitas kardiovaskular akibat

‘badai otonomik’ (Cook et al., 2001).

Tetanus berat tanpa komplikasi ditandai dengan sirkulasi hiperkinetik.

Takikardia bersifat universal disertai hipertensi, meningkatnya indeks volume

sekuncup jantung dan meningkatnya indek kardiak. Penemuan yang lain adalah

resistensi vaskular sistemik yang normal rendah dan tekanan pengisian sisi kiri

dan kanan jantung yang normal. Penemuan-penemuan ini mirip dengan yang

ditemukan oleh James dan Manson. Kondisi hiperkinetik diperberat selama

peningkatan aktivitas spasme dan kurangnya relaksasi. Abnormalitas

hemodinamik kurang jelas selama periode relaksasi muskuler penuh tetapi

pengukuran-pengukuran itu hanya bertahap kembali ke nilai normalnya selama

masa pemulihan (Cook et al., 2001).

Pemberian cairan sebanyak 2000 ml meningkatkan tekanan pengisian

jantung kiri dan indeks jantung, tapi efek ini hanya bersifat sementara. Selama

‘badai otonomik’dengan instabilitas kardiovaskular yang jelas, pasien mengalami


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

fluktuasi dari kondisi hiperstimulasi dari hipertensi (tekanan arterial mencapai

220/120mmHg) dan takikardia (denyut jantung 130-190x/menit) sampai kondisi

depresi berat dengan hipotensi (mencapai 70/30 mmHg), bradikardia (50-

90x/menit) dan penurunan tekanan vena sentralis (berkurang 1 sampai 6 cm H20).

Pengawasan secara intensif menunjukkan perubahan ini merupakan akibat

perubahan yang cepat dan nyata dari indek resistensi vaskular sistemik (Systemis

vascular resistance index/SVRI), turun dari 2300 menjadi kurang dari 1000 dine

cm-5 m-2. Terdapat sedikit perubahan pada indeks jantung dan tekanan pengisian

jantung. Apabila dibandingkan dengan derajat yang lebih berat , pasien dengan

derajat IV kurang mungkin menaikkan indeks kardiak atau indeks-indeks kerja

jantung sebagai respon terhadap pemberian cairan atau selama perubahan

resistensi vaskular yang dijumpai selama ‘badai otonomik’. Satu pasien dengan

hipertensi berat berkepanjangan dijumpai menunjukkan peningkatan resistensi

vaskuler masif dengan SVRI lebih tinggi dari 4500 dine cm-5m-2. Pada tetanus

tanpa komplikasi, pengukuran-pengukuran tersebut di atas bervariasi luas dengan

tanpa konsistensi (Cook et al., 2001; Ismanoe, 2006).

Sirkulasi hiperkinetik terutama disebabkan peningkatan aktivitas

simpatetik basal dan peningkatan aktivitas otot dengan efek yang lebih lemah dari

meningkatnya temperatur. Rasio ekstraksi oksigen tidak berubah pada tetanus dan

peningkatan kebutuhan oksigen dipenuhi dengan meningkatnya aliran darah.

Kontrol spasme yang buruk memperberat efek-efek ini. Pemberian cairan

menyebabkan hanya peningkatan sementara tekanan pengisian jantung, karena

sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh karena itu merupakan

commit
sistem kapasitansi yang tinggi apabila to user
dibandingkan dengan kontrol normal. Pada
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

tetanus tanpa komplikasi, sistem kardiovaskular oleh karena itu menyerupai

pasien normal yang malakukan aktivitas fisik intensif. Pasien derajat IV tampak

kurang menunjukkan peningkatan kemampuan jantung dan oleh karena itu lebih

rentan terhadap hipotensi berat dan shok selama ‘badai vasodilatori akut’.

Mekanisme tidak jelas, tapi mungkin berkaitan dengan berkurangnya stimulasi

katekolamin secara mendadak atau efek langsung toksin tetanus terhadap

myokardium. Perubahan fungsi myokardium mungkin disebabkan peningkatan

kadar katekolamin yang menetap, tetapi fungsi yang abnormal mungkin terjadi

bahkan pada kondisi tanpa sepsis atau kadar katekolamin yang tinggi (Cook et al.,

2001; Ismanoe, 2006).

2.1.8. Perubahan Fisiologi Respirasi

Regiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diagfarma dan abdomen

menyebabkan adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal dan laringeal

merupakan pertanda adanya gagal nafas dan obstruksi jalan nafas yang

mengancam jiwa. Ketidakmampuan pasien untuk batuk, akibat rigiditas, spasme

dan sedasi mengakibatkan atelektasi dan resiko tinggi terjadinya pneumonia.

Ketidakmampuan untuk menelan yang berlebih, sekresi bronkial yang profus,

spasme faringeal, peningkatan tekanan intrabdominal dan stasis gaster, semuanya

meningkatkan resiko aspirasi yang umumnya terjadi pada pasien tetanus.

Gangguan ventilasi atau perfusi umum terjadi. Akibatnya hipoksia merupakan

keadaan yang umum dijumpai pada tetanus sedang dan berat bahkan pada keadaan

dimana gambaran foto thorax bersih. Tekanan oksigen, udara pernapasan antara

5,3-6,7 kPa umum dijunpai. Pada pasien yang diberikan pernapasan buatan,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

peningkatan gradien A-a bersifat menetap. Penghantaran oksigen dan

penggunaannya dapat terganggu bahkan tanpa perubahan patologis paru

tambahan. Sindroma distress pernapasan akut mungkin terjadi sebagai komplikasi

spesifik tetanus. Perubahan ventilasi ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang

bervariasi. Hiperventilasi dapat terjadi karena ketakutan, gangguan otonomik, atau

perubahan fungsi batang otak. Hipokarbia (PCO2<3,3 kPa). Pada tetanus berat,

hipoventilasi akibat spasme berkepanjangan dan apneu terjadi. Sedasi, kelelahan

dan perubahan fungsi batang otak mungkin juga berakibat gagal nafas.

Kemampuan respirasi dapat berkurang yang berakibat terjadinya periode apnea

yang mengancam jiwa (Cook et al., 2001).

2.1.9. Perubahan Fisiologi Ginjal

Pada tetanus ringan, fungsi ginjal tidak terganggu. Pada tetanus yang

berat, sering terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan gangguan fungsi

tubulus ginjal. Penyebab tambahan gagal ginjal pada tetanus mencakup dehidrasi,

sepsis, rabdomyolisis dan perubahan dalam aliran darah ke ginjal yang terjadi

secara sekunder akibat peningkakan mendadak kadar katekolamin. Gagal ginjal

dapat oligourik atau poliurik. Gangguan ginjal yang penting secara klinis

berkaitan dengan instabilitas otonomik dan gambaran histologisnya normal atau

menunjukkan nekrosis tubular akut (Cook et al., 2001).

2.1.10. Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti

laringospasme, atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana seperti sedasi yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan

intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator (Cook et al., 2001).

2.1.11. Diagnosis

Diagnosis tetanus mutlak didasarkan pada gejala klinis. Tetanus kecil

kemungkinan apabila terdapat riwayat serial vaksinasi yang telah diberikan secara

lengkap dan vaksin ulangan yang sesuai telah diberikan (Boon T, 2001). Sekret

luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Namun demikian, C.

tetani dapat diisolasi dari luka pasien tanpa tetanus dan sering tidak dapat

ditemukan dari luka pasien tetanus, kultur yang positif bukan merupakan bukti

bahwa organisme tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. Lekosit

mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan hasil yang

normal. Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan

pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai

setelah potensial aksi. Perubahan non spesifik dapat dijumpai pada

elektrokardiogram. Enzim atau mungkin meningkat. Kadar antitoksi serum ≥ 0,15

U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi,

walaupun ada beberapa kasus yang terjadi ada kadar antitoksin yang protektif.

Diagnosis diferensialnya mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan

trismus, seperti abses alveolar, karacunan striknin, reaksi obat distonik (misalnya

terhadap fenotiasin dan metoklorpramid) tetanus hipokalsemik, dan perubahan-

perubahan metabolik dan neurologis pada neonatal. Kondisi-kondisi lain yang

dikacaukan dengan tetanus meliputi meningitis, ensefalitis, rabies dan proses


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

intraabdominal akut (karena kekakuan abdomen) (Farrar et al., 2000; Cook et al.,

2001; Abrutyn, 2005; Ismanoe, 2006).

2.1.12. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien tetanus secara umum telah mengalami

perkembangan dari waktu ke waktu, tehnik dan seni penanganan tetanus dari

beberapa kepustakaan bervariasi dalam hal jenis obat, ketersediaan obat maupun

alat bantu nafas. Baik obat-obat standart yang sering digunakan maupun obat yang

masih dalam taraf uji coba. Mengingat hal tersebut didalam penanganan tetanus

dewasa di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta setelah dalam pengelolaan

Penyakit Dalam menggunakan acuan seperti uraian dibawah ini : (Guntur, 2006).

· Penempatan pasien di ruang isolasi khusus terhindar dari cahaya dan suara.

· Menghilangkan infeksinya :

a. Antibiotika Penisilin Prokain (2X1,5 juta unit), dosis dapat diberikan

sebesar 0,6-1,2 gr IM setiap 12 jam, dimana 360 mg penisilin prokain

setara dengan 600.000 Unit.

b. Antibiotika Metronidasol (3X500 mg)

3. Menetralisir eksotosin bisa digunakan ATS. Dosis awal ATS 20.000 unit

IM/IV. Selanjutnya 10.000 IU IM/IV sampai gejala hilang.

4. Diberikan Diazepam injeksi bisa drip, siring pump, bolus ekstra, dosis

pemberian sesuai berat badan dan tingkat kejang, dan perhatikan depresi

nafas. Dosis diazepam 100 -300 mikrogram/kg BB IV dapat diberikan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

ulangan setiap 1-4 jam kemudian, atau dapat juga diberikan dengan dosis

3–10 mg/Kg BB selama 24 jam dengan infus rumatan.

5. Medikasi luka bila ada luka, sumber infeksi lain misalnya dari telinga,

gigi, dan lain lain tetap dilakukan perawatan, dan dikonsultasikan bagian

terkait misalnya bagian Bedah, THT, Gigi dan mulut.

6. Nutrisi dan kebutuhan cairan harus tercukupi sesuai kondisi pasien.

Kemudian apabila dirumuskan penatalaksanaan pasien tetanus di bangsal isolasi

RS Dr. Moewardi adalah :

· Bed res di ruang isolasi tetanus.

· Oksigen 2-3 apabila diperlukan.

· Diet diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan BB, jenis sediaan makanan

disesuaikan kemampuan menelan, dan bila diperlukan lewat sonde.

Nutrisi tambahan lewat parenteral dimungkinkan sesuai kebutuhan.

· Pemberian jalur infus dapat diberikan dextrose 5%, kristaloid, untuk

menjaga kebutuhan cairan, tambahan nutrisi, dan jalur memasukkan

obat-obatan. Pemberian obat diazepam injeksi salah satunya lewat jalur

infus rumatan, dapat juga dengan syring pump atau bolus IV dengan

dosis diazepam 100 -300 mikrogram/kg BB IV dapat diberikan ulangan

setiap 1-4 jam kemudian, atau dapat juga diberikan dengan dosis 3–10

mg/Kg BB selama 24 jam dengan infus rumatan. Karena sifat diazepam

pelarutnya berjenis minyak sehingga bila dalam infus harus sering

dikocok. Pemberian terbaik lewat syring pump.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

· Injeksi penisilin prokain 1,5 juta unit/12 jam IM. Dosis dapat diberikan

sebesar 0,6-1,2 gr IM setiap 12 jam, dimana 360 mg penisilin prokain

setara dengan 600.000 Unit.

· Injeksi Metronidasol 500 mg/8jam.

· Injeksi ATS awalnya 20.000 unit masing masing 10.000 UI IV dan

10.000 UI IM. Selanjutnya diberikan 10.000 UI lewat IM/IV

· Medikasi luka bila ada luka, sumber infeksi lain misalnya dari telinga,

gigi, dan lain lain tetap dilakukan perawatan, dan dikonsultasikan bagian

terkait misalnya bagian Bedah, THT, Gigi dan mulut.

· Penatalaksanaan inilah yang dijalankan selama ini (Guntur, 2006)

Kemudian setelah dimulainya penelitian ini mulai diberikan tambahan

injeksi metilprednisolon 125 mg/ 12 jam tappering off. Dosis injeksi

metilprednisolon dapat diberikan sebanyak 10-500 mg/hari(Martindale and

Sweetman, 2009). Pada penelitian ini digunakan dosis 5 mg/Kg BB. Dosis ini

masih sebagai dosis anti inflamasi dan masih masuk dosis rendah. Dimana untuk

kemudahan penerapannya di praktek dengan asumsi orang dewasa Indonesia

dengan berat badan 50 kg berarti dosis sehari ditetapkan rata-rata injeksi

metilprednisolon 250 mg/hari diberikan tiap 12 jam diturunkan bertahap.

2.2 Peran metilprednisolon pada perjalanan tetanus

Pembahasan secara khusus bagaimana peran spesifik metilprednisolon

terhadap patogenesis tetanus, belum ada kejelasan. Untuk itu pada saat ini akan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

dicoba menghubungkan beberapa sumber kepustakaan yang bisa menambah

khasanah keilmuan khususnya pada topik ini.

Sistem imun secara tradisional dibagi menjadi sistem imun alamiah atau

nospesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired),

di mana tiap-tiap sistem imun tersebut memiliki fungsi dan peran yang berbeda-

beda dalam pertahanan penjamu dari agen-agen yang infeksius (Baratawidjaja,

2004). Untuk menghalangi masuknya mikroorganisme infeksius, sistem imun

alamiah mengembangkan berbagai reseptor yang disebut pattern recognition

receptors (PPRs)(sebagai contoh, toll-like reseptor [TLRs]), yang mempunyai

kemampuan untuk mengenali secara spesifik bentuk molekul dari patogen

(Pathogen-accociated molecular pattern/PAMPs), sehingga sistem imun alamiah

mampu membedakan struktur molekul self ataupun non-self (Guntur, 2006; Cinel

dan Dellinger, 2007).

Toll-like reseptor (TLRs) dilibatkan dalam pertahanan penjamu terhadap

invasi patogen, berfungsi sebagai sensor utama dari produk mikrobial dan

mengaktifkan jalur signaling yang menginduksi ekspresi gen imun dan pro-

inflamasi. Dengan demikian, TLRs juga berimplikasi pada sejumlah penyakit

inflamasi dan penyakit yang dimediatori oleh sistem imun (Guntur, 2006; Rudiger

dkk., 2008).

Kortisol memiliki fungsi penting untuk menjaga tonus vaskuler, integritas

endothel, permeabilitas vaskuler dan distribusi cairan tubuh intra vaskuler.

Produksi kortisol yang adekuat merupakan keadaan krusial dalam menjaga

hemostasis kardiovaskuler selama stres akut. (Marik dan Zaloga, 2002).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1 Skema Efek Glukokortikoid Terhadap Aktivasi NF-κB

Sesuai Gambar 2.1 tentang Skema Efek Glukokortikoid Terhadap Aktivasi

NF-κB. Aktivasi NF-κB, sebagai contoh oleh sitokin akan dihambat oleh

glukokortikoid. Komplek reseptor-glukokortikoid akan terikat pada p65 yang

merupakan subunit dari NF-κB, ikatan ini akan mencegah aktivitas NF-κB untuk

membentuk gen inflamasi. Sintesis IκBα distimulasi oleh ikatan komplek

reseptor-glukokortikoid pada elemen respon glukokortikoid di daerah gen IκBα.

Garis silang merah menunjukkan proses yang dihambat, dan mRNA menunjukkan

messenger RNA (Barnes dan Karin, 1997).

Glukokortikoid memiliki efek anti-inflamasi dan imunomodulator. Kortisol

menghambat transkripsi pengkodean gen sitokin pro-inflamasi dengan cara

menurunkan aktivitas nuclear factor kappa (NF-кB), sebagai hasilnya

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

kortikosteroid akan menghambat sintesis atau aksi sebagian besar sitokin pro-

inflamasi (Annane dan Bellissant, 2003; Rhen dan Cidlowski, 2005).

Meskipun afek anti-inflamasi kortikosteroid terutama disebabkan oleh

penekanan sintesis sitokin pro-inflamasi, sebagian efek juga disebabkan

peningkatan produksi sitokin anti-inflamasi seperti IL-10. Glukokortikoid

menyebabkan pergeseran dari respon Th1 ke respon Th2, di mana akan terjadi

peningkatan produksi IL-4, IL-10 dan IL-13 (Ramizem, 1996; Annane dan

Bellissan, 2003).

Glukokortikoid mengurangi reaksi inflamasi dengan menurunkan ekspresi

molekul adhesi, menekan pengeluaran enzim proteolisis dan menghambat

aktivitas Cyclo-Oxygenase dan sintesis Nitric Oxide. Penghambatan sintesis Nitric

Oxide dan aktivitas Cyclo-Oxygenase 2 tidak hanya menurunkan regulasi reaksi

inflamasi tetapi juga memiliki efek positif pada hemodinamik dengan mengurangi

produksi vasodilator dan faktor pro-koagulan (Marik dan Zaloga, 2002; Annane

dan Bellissan, 2003). Aksi utama glukokortikoid selama respon stres dapat dilihat

pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Aksi Glukokortikoid Selama Respon Stres

Efek Kardiovaskuler
- Menjaga tonus vaskluer
- Mengatur permeabilitas vaskuler
- Meningkatkan sensitifitas vaskuler terhadap katekolamin
- Mengatur pengeluaran kalium dan potassium
- Mengatur pengeluaran air
- Meningkatkan sintesis dan afinitas reseptor β adrenergic

Efek Anti Inflamasi


- Mengurangi produksi sitokin pro inflamasi (TNF-α, IL-1β, IL-6)
- Meningkatkan sintesis sitokin anti inflamasi (IL-10, IL-Ira)
commit to user
- Menurunkan ekspresi molekul adhesi
- Menghambat sintesis kemokin
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

- Menghambat sintesis phospholipase A2


- Menghambat sintesis cyclooxygenase-2
- Menghambat sintsesis nitric oxide Synthase

Efek Metabolik
- Menstimulasi glukoneogenesis
- Menghambat ambilan glukosa di jaringan perifer
- Menstimulasi glikogenolisis di hepar
- Aktivasi proses lipolisis

(Dikutip dari Marik dan Zaloga, 2002)

Kortisol bentuk kortikosteroid yang disekresi oleh kortek adrenal pada orang

sehat tanpa stress mempunyai kadar diurnal sesuai dengan rangsangan

kortikotropin yang disekresi oleh kelenjar pituitaria. Sekresi kortikotropin

dirangsang oleh Corticotropin Releasung Hormon (CRH), di mana <10% dalam

bentuk bebas. Pada keadaan infeksi berat, trauma, luka bakar, dan operasi akan

terjadi peningkatan sekresi kortisol akibat peningkatan sekresi hormon

kortikotropin dan CRH . Mekanisme feed back tidak bekerja maksimal sehingga

variasi diurnal sekresi kortisol tidak normal. Gangguan pada mekanisme aksis

hipotalamus-pituitari-adrenal dikatakan disebabkan oleh banyaknya sitokin di

dalam sirkulasi pada keadaan tersebut. Pada keadaan ini juga terjadi penurunan

corticosteroid-binding globulin (CBG) sehinggga kortisol bebas akan semakin

tinggi. Proses inflamasi dikatakan dapat memecah ikatan CBG dengan kortisol

oleh enzim neutrofil elastase. Sitokin inflamasi juga dapat meningkatkan kortisol

di jaringan karena sitokin ini dapat merubah metabolisme kortisol perifer dan

meningkatkan afinitas reseptor glukokortikoid terhadap kortisol. Tetapi tingginya

kadar sitokin inflamasi secara langsung dapat menghambat sintesis kortisol oleh

adrenal. Pada keadaan kadar sitokin yang rendah dalam darah, jaringan akan lebih
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

sensitif terhadap kortisol dibandingkan dengan keadaan sitokin tinggi yang akan

menyebabkan resistensi. Hal ini menandakan perlunya respon adrenal yang

normal untuk dapat mengontrol inflamasi. Hal ini sering disebut sebagai

functional adrenal insufficiency atau relative adrenal insufficiency artinya

walaupun kadar kortisol tinggi tetapi belum cukup untuk menekan proses

inflamasi (Marik dan Zaloga, 2002; Cooper dan Stewart, 2003; Guntur, 2006).

Untuk menentukan ada atau tidak adanya respon adrenal dilakukan tes

dengan memberikan 250 µg kortikotropin stimulasi dan diabsorbsi selama 30-60

menit, apabila terjadi peningkatan berarti masih dalam keadaan refrakter, akan

tetapi sebaiknya penggunaan kortikosteroid tidak perlu menunggu hasil tes

tersebut (LaRosa, 2005; Guntur, 2006).

Kortikosteroid yang dikenal dengan beberapa istilah yaitu

glukokortikosteroid, glukokortikoid atau hanya disebut dengan steroid telah secara

luas digunakan didunia ini dan cukup efektif pada masalah inflamasi dan

penyakit imun (Barnes, 2006). Sampai sekarang ini masih banyak cara kerja

kortikosteroid yang belum dapat dijelaskan. Secara umum mekanisme kerja

kortikosteroid mendasar pada ikatan dengan reseptor protein spesifik

corticosteroid binding globulin (CBG), suatu α-globulin yang disintesa di lever.

Sekitar 95% kortikosteroid yang yang beredar disirkulasi akan berikatan dengan

CBG dan sisanya sekitar 5% beredar bebas dan atau terikat longgar dengan

albumin (Chrousos, 1995).

Bila kadar plasma kortisol di sirkulasi lebih dari 20-30 mikrogram/dl maka

CBG akan menjadi jenuh sehingga kortisol bebas ini berikatan dengan reseptor
commit to user
kompleks yang disebut juga dengan reseptor glukokortikoid (GR) di sitoplasma.
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

GR adalah suatu protein yang inaktif dalam sitoplasma, yang baru aktif jika telah

berikatan dengan kortisol. Reseptor kompleks ini akan bermodifikasi yang terlihat

pada peningkatan sedimen yang masuk ke nukleus dan berikatan dengan

kromatin. Ikatan ini nantinya akan mengatur transkripsi gen secara spesifik yang

bermanifestasi dalam peningkatan jumlah spesifik mRNA (Godawski, 1988).

Hasil ikatan ini di nukleus akan menstimulasi transkrip RNA dan sintese

protein spesifik sebagai proses pengaturan berbagai aktivitas berupa metabolisme

dan katabolisme sel termasuk sintese enzim, permeabilitas membran dan lain-lain

yang nantinya berefek pada organ sasaran. Diketahui bahwa kortikosteroid

mempengaruhi metabolisme baik di perifer maupun di liver. Di perifer

kortikosteroid memobilisasi asam amino di sejumlah jaringan seperti limfa, otot

dan tulang. Akibatnya terjadi atrofi jaringan limfa, menurunnya massa otot,

osteoporosis. Di liver ditemukan induksi sintese de-novo dari sejumlah enzim

yang berkaitan dengan glukoneogenesis dan keseimbangan asam amino yang

nantinya berefek nyata dalam hal antiinflamasi selain efek metabolik dan

imunogenik (Godawski, 1988; Chrousos, 1995).

Peran Corticosteroid-induce gene transcription akan meningkatkan fungsi

kortikosteroid dalam meningkatkan sebagai antiinflamasi dalam hal ini akan

meningkatkan: Annexin-1; SLPI: secretory leukoprotease inhibitor; MKP-1:

mitogen-activated kinase phosphatase-1; interleukin-10(IL-10); IkB-α: inhibitor of

NF-kB; GILZ: glucocorticoid-induced leucine zipper protein. Disamping itu juga

kortikosteroid dapat berperan sebagai Corticosteroid repression of inflammatory

genes yang akan menurunkan factor proinflamasi yaitu sitokin, kemokin, molekul

adesi, enzim inflamasi, receptor commit to user


inflamasi, protein inflamasi. Pada dosis rendah
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

kortikosteroid akan lebih berperan menurunkan factor proinflamasi. Pada dosis

tinggi cenderung akan meningkatkan anti inflamasi (Barnes, 2006).

Sesuai patogenesis tetanus pada prinsipnya tetanospasmin setelah

internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang menghubungkan

rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan rantai ringan. Efek

toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotransmitter. Sinaptobrevin

merupakan protein membran yang diperlukan untuk keluarnya vesikel intraseluler

yang mengandung neurotrasmiter. Rantai ringan tetanospasmin merupakan

metalloproteinase zink yang membelah sinaptobrevin pada suatu titik tunggal,

sehingga mencegah pelepasan neurotransmitter (Farrar et al., 2000; Cook et al.,

2001; Ismanoe, 2006).

Seperti halnya pada sepsis pada tetanus yang disebabkan oleh bakteri gram

positif, di mana organisme gram positif memerlukan serangkaian respons dari

penjamu dengan pembunuhan intraseluler dengan neutrofil dan makrofag. Hal ini

berbeda dengan kuman patogen gram negatif, yang mungkin siap dibunuh dalam

ruang ekstraseluler oleh antibodi dan komplemen(Guntur, 2006).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

IMUNOPATOGENESIS

C3a, C5a LPS APC SUPER ANTIGEN

IMUNO.COM
LPS bp
C7a CD 4+ TCR
CD 14
TLR 4 IL - 10
IFN - g IL - 4
TLR2 TH - 1 TH - 2 IL - 5 B cell
IL - 6
CSF Ig
IL 8
SEPSIS
IL 6 IL-
IL-2
IL -1 NÆ
Compl.
Compl.
TNF - a
CD 8+
MOD
NK
PGE 2 NO ICAM -1

SHOCK
SEPTIC

Gambar 2.2 Imunopatogenesis (Guntur, 2001).

Skema pada Gambar 2.2 di atas dapat menjelaskan imunopatogenesis

bagaimana eksotoksin dari bakteri gram positif. Kuman Eksotoksin yang

diproduksi bakteri gram positif bertindak sebagai superantigen bakteri, sebagai

molekul protein yang berpotensi untuk menstimulasi sel-T. Superantigen dapat

secara langsung mengadakan ikatan dan menstimulasi aktivasi limfosit T tanpa

melalui makrofag atau monosit sebagai antigen presenting cell (APC) terlebih

dahulu. Superantigen akan mengaktifkan hingga 20% limfosit tubuh dan dapat

menstimulasi produksi berbagai jenis mediator inflamasi termasuk IL-2, IFN-γ

dan coloni stimulating factor (CFS) yang kemudian akan menstimulasi makrofag.

Makrofag akan mengeluarkan IL-1β, IL-6 dan TNF-α. Clostridium tetani sebagai

bakteri gram positif juga dapat langsung merangsang makrofag melalui TLR2

untuk mengeluarkan beberapa sitokine diantaranya


commit to user TNF-α (Guntur, 2001).
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

Eksotoksin yang diproduksi bakteri gram positif bertindak sebagai

superantigen bakteri, sebagai molekul protein yang berpotensi untuk menstimulasi

sel-T. Superantigen dapat secara langsung mengadakan ikatan dan menstimulasi

aktivasi limfosit T tanpa melalui makrofag atau monosit sebagai antigen

presenting cell (APC) terlebih dahulu. Superantigen diketahui dapat mengaktifkan

hingga 20% limfosit tubuh dan dapat menstimulasi produksi berbagai jenis

mediator inflamasi termasuk IL-2, IFN-γ dan colony stimulating factor (CSF)

yang kemudian akan menstimulasi makrofag. Makrofag akan mengeluarkan IL-

1β, IL-6 dan TNF-α (Guntur, 2001). Didapatkan bukti bahwa kematian pada

pasien tetanus juga dapat disebabkan gangguan pada jantung dimana TNF-α salah

satu alternatif mekanisme terjadi gangguan jantung pada pasien tetanus, telah

jelas diketahui bahwa gangguan miokardial akibat peningkatan pembentukan

sitokin berakibat pada myosite, sitokine yang bersifat kardiodepresan ini yang

menyebabkan disfungsi kardiak (Pomara et al., 2009).

Eksotoksin tetanus ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, di

mana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia akan

memblokade perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam

aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa yang

pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi

inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang neuron simpatetik preganglionik

pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi. Neuron motorik juga

dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan asetilkolin ke dalam celah

neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan aktivitas toksin botulinum

commit to
yang mengakibatkan paralisis flaksid. user demikian, pada tetanus, efek
Namun
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh (Farrar et al., 2000; Cook et al.,

2001; Ismanoe, 2006).

Bagaimana peran kerja dari metilprednisolon dalam proses menghambat

laju tetanus ini, kemungkinan melalui peran meningkatkan anti inflamasi dan

menurunkan proinflamasi pada neuron sehingga proses internalisasi toksin

dihambat, pengaruh tetanospasmin pada neuron inhibitor diturunkan dan dihambat

sehingga laju toksin dari sinaptik ke presinaptik dihambat akibatnya pelebasan

neurotrasmiter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirik (GABA) bisa lebih

lancar. Dengan berfungsinya lebih baik neurotrasmiter inhibitori ini akan

mencegah loncatan impuls yang berlebihan pada motor neuron, sehingga

rangsangan yang berlebihan di otot-otot yang bersifat spastik dapat dicegah.

Neurotoxin clostridium akan melalui tahapan perjalanan, dimulai pertama

dari binding (ikatan) dengan sel neuron sifat ikatannya berlangsung cepat dan

kuat. Tetanus Neurotoxin (TeNT) setelah berikatan dengan motor neuron terminal

akan menyebar secara retrogard. TeNT sampai di medula spinalis akan terjadi

penyebaran transinaptik. Penyebaran dapat berlanjut ke sistim saraf pusat (SSP).

Tahapan kedua yaitu internalisasi, tahapan ketiga yaitu tranlokasi, dan tahap ke

empat aksi intraseluler (Humeau et al., 2000); Lalli et al., 2003; Grumelli et al.,

2005).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.3 Empat tahapan mekanisme aksi neurotoxin clostridium (Lalli et al., 2003)

Sesuai Gambar 2.3 tentang tahapan mekanisme aksi neurotoksin clostridium

mirip dengan toxin protein bakteri, Tetanus (TeNT) dan Botulinum neurotoxin

(BoNTs) melalui empat tahapan mekanisme menghambat neuron yaitu : membran

binding (1), internalisasi(2), translokai(3) dan aksi intra seluler(4). Pertama

Neurotoksin clostridium berikatan dengan polisialogangliosida yaitu GT1b dan

merupakan protein spesifik pada permukaan sel saraf. Lipid dan protein reseptor

pada lipid mikrodomain (warna kuning) yang diperkaya kolesterol(warna hijau)

dan spingolipid(kuning). Pada sel neuron, TeNT mengikat polisialogangliosida

(magenta) dan GPI-anchore protein(biru). Kedua setelah berikatan dengan neuron

spesifik dilanjutkan internalisasi dan dipisahkan jalur masing-masing dalam sel

antara BoNTs dan TeTN. TeNT kemudian keadaan non asam menyebar dan
commit to user
mengambil jalur retrogard kemudian mencapai neuron inhibitor melalui
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

transitosis. BoNTs mengandung struktur endocytic bekerja terutama pada

neuromuskular junction. Ketiga Setelah tiba di tujuan, rantai ringan (L) harus

menyeberangi membran endocytic untuk mencapai sitoplasma. Proses translokasi

ini dibantu oleh N-terminal bagian dari rantai berat (HN) dan dipicu oleh

peningkatan keasaman dari endosomal lumen. pH asam memicu perubahan pada

HN domain memungkinkan para penyisipan ke lapisan ganda lipid dan

pembentukan saluran trans-membran yang cukup besar untuk menampung

membuka rantai L. Keempat Berbeda pada rantai L akan khusus bergabung

dengan SNARE. TeNT (T) dan BoNT serotipe B, D, F dan G bekerja pada

VAMP / synaptobrevin (hijau) pada SV(sinaptic vesicle). BoNT-A dan E menyatu

dengan SNAP-25(pink), sedangkan BoNT-C menyatu dengan syntaxin 1

(kebiruian) dan SNAP-25, dua protein dari pre-sinaptik membran plasma. (Lalli et

al., 2003)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.4 Skema gambar motor neuron di medula spinalis (Lalli et al., 2003)

Sesuai Gambar 2.4 tentang skema gambar motor neuron mamalia dan

interaksi penghambatan interneuron di medula spinalis. Sisi aksi dari tetanus

(TeNT ; hijau) dan botulinum neurotoxins (BoNTs ; biru) yang akan ditampilkan,

bersama dengan rute intraselularcommit


spesifik. Pada sambungan otot syaraf (NMJ),
to user
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

BoNTs diinternalisasikan dalam kompartemen endosomal sinaptik, salah satu

yang mungkin bertepatan dengan vesikel sinaptik. Sebaliknya, TENT berpisah ke

jalur transportasi retrogard. Jalur mikrotubuler akan ditampilkan dalam warna

coklat gelap, sedangkan aktin mikrofilamen dalam warna merah. (Lalli et al.,

2003)

Gambar 2.5 Reseptor GABA ( Joels and de Kloet, 1993; Lambert et al., 1995; Lamour at

al., 1997, Rupprecht and Holsboer, 1999; Rupprecht, 2003).

Sesuai Gambar 2.5 reseptor GABA, terdapat reseptor steroid dimana

kortikosteroid dapat mempengaruhi reaksi dari reseptor GABA ini. Pada kondisi

normal seharusnya reseptor ini akan berpasangan dengan GABA sebagai inhibitor

neurotrasmiter. Pada pasien tetanus karena pelepasan GABA dihambat oleh

TeNT, sehingga kekosongan ini bisa ditempati oleh neurotransmiter lain yang
commit to
bersifat eksitasi (merangsang), misalnya user Dengan adanya corticosteroid
glutamat.
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

ini diharapkan dominasi neurotrasmiter eksitasi dapat dikurangi atau dihambat.

Sehingga rangsangan yang diterima postsinaptik berkurang.

Beberapa steroid telah menunjukkan interaksi dengan glutamat dan GABA

reseptor yang berefek terhadap reaktifitas neuron. Perubahan kadar kortikosteroid

diduga berpengaruh terhadap glutamat dan GABA yang bekerja pada transmisi

sinaptik.( Joels and de Kloet, 1993; Lambert et al., 1995; Lamour at al., 1997,

Rupprecht and Holsboer, 1999; Rupprecht, 2003).

Hidrocortison dan metilprednisolon dapat memberikan efek detoksifikasi

terhadap toxin yang dihasilkan bakteri gram positif seperti staphylococcal yang

bersifat hemolisis (Raff et al., 1977)

Telah dilaporkam pengaruh metilprednisolon pada motor neuron sesudah

axotomy menurunkan pembentukan NO sehingga akan meningkatkan survival

rate motor neuron, dimana tingginya kadar NO akan berakibat menurunya secara

progresif motor neuron (Chena et al., 2008). Dilaporkan pengaruh pemberian

metilprednisolon memberi efek neuroprotektif pada neuron, jumlah neuron

terproteksi secara signifikan dibanding yang tidak mendapat metilprednisolon

(Naso et al., 1995).

Pemberian lebih awal metilprednisolon sebelum muncul gejala tetanus

mungkin lebih dapat mencegah internalisasi toksin, dibanding dengan tidak

diberikan. Lebih sulit tentunya apabila toksin sudah menyebar sampai kesistem

syaraf yang lebih luas atau bahkan sampai otak dan medulla spinalis sehingga

kejang sudah tidak bisa dikendalikan, kemungkinan metilprednisolon masih bisa


commit to user
tetap dipertimbangkan. Sebagaimana laporan awal penggunaan tambahan injeksi
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

metilprednisolon pada pasien pertama yang diberikan, pasien dengan kejang yang

sering (tiap 5 menit epistotonus) setelah diberikan tambahan injeksi

metilprednisolon 125 mg iv dengan protokol terapi tetap dalam waktu 3 hari

pasien sudah tidak epistotonus lagi, kekakuan masih ada, pasien bisa makan dan

pasien merasa jauh lebih baik dan sembuh (Suharto dan Guntur, 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep.

Clostridium tetani
Anaerob, Gram (+)

Eksotoxin-neurotoxin

Tetanospasmin

Internalisasi Toksin

Motor neuron
Methylprednisolon

Neurotransmiter Inhibitor
Glisin dan GABA

Disinhibitori

Kekakuan dan Spastik

Klinis Tetanus

Gambar 3.6. Kerangka konsep penelitian


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

3.2. Hipotesis.

3.2.1. Ada penurunan resiko kematian pasien tetanus setelah menggunakan

tambahan terapi injeksi metilprednisolon daripada yang sebelumnya tidak

menggunakan.

3.2.2. Ada pengaruh terhadap lama perawatan pasien tetanus setelah

menggunakan tambahan terapi injeksi metilprednisolon daripada yang

sebelumnya tidak menggunakan.

3.2.3. Ada pengaruh terhadap harapan hidup pasien tetanus setelah menggunakan

tambahan terapi injeksi metilprednisolon daripada yang sebelumnya tidak

menggunakan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian.

Jenis penelitian ini adalah eksperimental tanpa randomisasi (eksperimental

kuasi)

4.2. Tempat dan waktu penelitian.

Penelitian ini dilakukan di ruang isolasi tetanus RS. Dr. Moewardi

Surakarta. Penelitian ini telah dimulai sejak tahun 2006.

4.3. Subyek penelitian.

4.3.1. Populasi penelitian :

Populasi penelitian ini adalah :

Penderita yang sudah didiagnosis tetanus yang dirawat inap di ruang

isolasi tetanus RS Dr. Moewardi Surakarta.

4.3.2. Kriteria inklusi :

1. Umur 15 tahun keatas.

2. Didiagnosa secara klinis tetanus.

3. Semua pasien mendapatkan metode pengobatan sama dalam jenis dan

dosis obat termasuk penisilin, metronidasol, ATS, diazepam, nutrisi,

yang berbeda hanya pada kelompok perlakuan mendapatkan tambahan

injeksi methylprednison 125 mg/12 jam tappering.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

Metode pengobatan yang diberikan meliputi :

· Bed res di ruang isolasi tetanus.

· Oksigen 2-3 apabila diperlukan.

· Diet diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan BB, jenis sediaan makanan

disesuaikan kemampuan menelan, dan bila diperlukan lewat sonde. Nutrisi

tambahan lewat parenteral dimungkinkan sesuai kebutuhan.

· Pemberian jalur infus dapat diberikan dextrose 5%, kristaloid, untuk

menjaga kebutuhan cairan, tambahan nutrisi, dan jalur memasukkan obat-

obatan. Pemberian obat diazepam injeksi salah satunya lewat jalur infus

rumatan, dapat juga dengan syring pump atau bolus IV dengan dosis

diazepam 100 -300 mikrogram/kg BB IV dapat diberikan ulangan setiap

1-4 jam kemudian, atau dapat juga diberikan dengan dosis 3–10 mg/Kg

BB selama 24 jam dengan infus rumatan. Karena sifat diazepam

pelarutnya berjenis minyak sehingga bila dalam infus harus sering

dikocok. Pemberian terbaik lewat syring pump.

· Injeksi penisilin prokain 1,5 juta unit/12 jam IM. Dosis dapat diberikan

sebesar 0,6-1,2 gr IM setiap 12 jam, dimana 360 mg penisilin prokain

setara dengan 600.000 Unit.

· Injeksi Metronidasol 500 mg/8jam.

· Injeksi ATS awalnya 20.000 unit masing masing 10.000 UI IV dan 10.000

UI IM. Selanjutnya diberikan 10.000 UI lewat IM/IV

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 46
digilib.uns.ac.id

· Medikasi luka bila ada luka, sumber infeksi lain misalnya dari telinga,

gigi, dan lain lain tetap dilakukan perawatan, dan dikonsultasikan bagian

terkait misalnya bagian Bedah, THT, Gigi dan mulut.

4.3.3. Kriteria eksklusi :

1. Pasien yang alergi atau tidak tahan terhadap salah satu obat yang

digunakan dalam tetanus diantaranya penisilin, metronidasol, diazepam,

ATS, metilprednisolon.

2. Pasien tetanus yang mempunyai penyakit : gagal ginjal, sirosis hepatis,

diabetes, AIDS, pasien tetanus yang awal masuk dengan kelainan darah

diantaranya anemia, perdarahan, atau kelainan laboratorium darah rutin

yang sedang atau berat.

4.3.4. Teknik pengambilan sampel.

Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik pengambilan secara

purposif yaitu setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam

penelitian.

4.3.5. Besar sampel.

Besar sampel (N) di hitung dengan menggunakan rumus :

N = Jumlah variabel bebas X (15-20) subyek

N = 2X(15-20) = 30-40 subyek

(Murti, 2006)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 47
digilib.uns.ac.id

4.3.6. Identitas variabel.

4.3.6.1. Variabel bebas : Pasien Tetanus yang diberi tambahan injeksi

metilprednisolon dan pasien tetanus yang tidak diberi tambahan injeksi

metilprednisolon.

4.3.6.2. Variabel tergantung : angka kematian, lama perawatan dan angka

harapan hidup.

4.3.6.3. Variabel perancu : umur, jenis kelamin, sumber infeksi tetanus, sekunder

infeksi, derajat tetanus dikendalikan dengan metode analisis multivariat.

4.3.7. Definisi operasional variabel

4.3.7.1. Tetanus

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya

tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein

yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Diagnosis ditegakkan secara

klinis menggunakan skor Ablett (Farrar et al., 2000; Cook et al., 2001; Ismanoe,

2006).

4.3.7.2. Metilprednisolon

Adalah suatu sintetik glukokortikoid yang mempunyai fungsi seperti

adrenokortical steroid, umumnya digunakan sebagai anti inflamasi dan dapat

memberi efek metabolik, efek katabolisme, imunosupresi, antiproliferasi

(Goodman dan Gilman’s, 1996). Dosis yang diberikan sebesar 5 mg/kgBB dimana
commit to user
dosis ini masih sebagai dosis antiinflamasi.
perpustakaan.uns.ac.id 48
digilib.uns.ac.id

4.4. Design analisis statistik

Data yang diperoleh kemudian dilakukan Analisis statistik menggunakan

SPSS.17 for windows dengan uji statistik chi-square.

4.5. Alur penelitian

Pasien terdiagnosa secara klinis tetanus

Tetanus tanpa terapi Tetanus dengan terapi


tambahan injeksi tambahan injeksi
metilprednisolon Metilprednisolon
125mg/12jam tappering off

Lama perawatan Angka harapan hidup Angka kematian

Gambar 4.1 Alur penelitian

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 49
digilib.uns.ac.id

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Karakteristik subyek penelitian

Telah dilakukan penelitian tetanus di bangsal isolasi tetanus Rumah Sakit

Dr. Moewardi Surakarta, SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNS, mulai

November 2006 sampai Juli 2009, dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 5.1 Karakteristik subyek penelitian (data kontinu)berdasarkan umur


dan lama rawat antara pasien tetanus dengan metilprednisolon (MP) dan
tanpa MP.

MP Tanpa MP
Min
Variabel t p
Max
N Mean SD N Mean SD

Umur 61 53.7 13.3 38 50.6 17.3 17-83 -0.95 0.348

Lama
61 10.0 7.3 38 12.2 13.6 1-58 0.94 0.345
rawat hari

Dari Tabel 5.1 didapatkan subyek penelitian jumlah 99 pasien tetanus.

Kelompok yang tidak mendapat perlakuan tambahan injeksi metilprednisolon

sebanyak 38 pasien tetanus. Kelompok yang mendapat tambahan injeksi

metilprednisolon sebanyak 61 pasien tetanus. Berdasarkan umur pada kelompok

metilprednisolon didapatkan umur rata-rata 53,7 tahun, kelompok tanpa

metilprednisolon umur rata-rata 50,6 tahun, umur minimum 17 tahun, umur

maksimum 83 tahun dengan menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 50
digilib.uns.ac.id

nilai t=-0.95 dengan signifikansi p=0.348. Hal ini menunjukkan secara umur

kedua kelompok tidak berbeda bermakna(p>0.05) atau setara. Berdasarkan lama

rawat pada kelompok metilprednisolon didapatkan lama rawat rata-rata 10 hari,

kelompok tanpa metilprednisolon lama rawat rata-rata 12 hari, dengan

menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan nilai t=0.94 dengan signifikansi

p=0.354. Hal ini menunjukkan lama rawat kedua kelompok tidak berbeda

bermakna(p>0.05).

Tabel 5.2 Perbedaan jenis kelamin subyek penelitian antara kelompok


metilprednisolon dan tanpa metilprednisolon

Jenis kelamin
2 p
Variabel Total X
Wanita Pria

Tanpa MP 7 (18.4%) 31 (81.6%) 38 (100%)


0.07 0.795
MP 10 (16.4%) 51 (83.6%) 61 (100%)

Total 17 (17.2%) 82 (82.8%) 99 (100%)

Dari Tabel 5.2 perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok didapatkan

jumlah pria lebih banyak dari wanita. Dengan uji chi-square didapatkan nilai

X2=0.07 dengan nilai signifikansi p=0.795, dimana didapatkan p>0.05. Hal ini

menunjukkan tidak berbeda bermakna atau setara antara kedua kelompok menurut

jenis kelamin.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 51
digilib.uns.ac.id

Tabel 5.3 Perbedaan grade tetanus antara kelompok metilprednisolon dan


tanpa metilprednisolon

Grade tetanus
2 P
Variabel Total X
Grad 1,2 Grade 3,4

Tanpa MP 36 (94.7%) 2 (5.3%) 38 (100%)


1.59 0.207
MP 53 (86.9%) 8 (13.1%) 61 (100%)

Total 89 (89.9%) 10 (10.1%) 99 (100%)

Sesuai Tabel 5.3 perbedaan grade tetanus antara kedua kelompok dengan

uji chi-square didapatkan nilai X2=1.59 dengan p=0.207, hal ini berarti tidak

berbeda berakna.

Tabel 5.4 Perbedaan angka kematian tetanus antara kelompok


metilprednisolon dan tanpa metilprednisolon

Hidup-Mati
2 P
Variabel Total X
Hidup Mati

Tanpa MP 20 (52.6%) 18 (47.4%) 38 (100%)


7.39 0.007
MP 48 (78.7%) 13 (21.3%) 61 (100%)

Total 68 (68.7%) 31 (31.3%) 99 (100%)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 52
digilib.uns.ac.id

Sesuai Tabel 5.4 angka kematian pasien tetanus yang tanpa

metilprednisolon didapatkan sebesar 47,4 % , angka kematian pasien tetanus

dengan metilprednisolon terjadi penurunan menjadi sebesar 21,3 %. Penurunan

angka kematian tersebut secara statistik dengan uji chi-square didapatkan nilai

X2=7.39 dengan p = 0.007, dimana p<0.05 secara statistik bermakna.

Gambar 5.1 Diagram batang kematian tetanus pada subyek penelitian tanpa
methylprednisolon dan dengan methylprednisolon

Terlihat pada Gambar 5.1 diagram batang perbandingan antara yang

meninggal (warna biru) dan yang hidup (warna hijau) diantara kelompok tanpa

metilprednisolon dan yang dengan metilprednisolon.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 53
digilib.uns.ac.id

Tabel 5.5 Angka kematian tetanus pada subyek penelitian tanpa


metilprednisolon dan dengan metilprednisolon berdasarkan kategori umur
<53 dan ≥53 tahun.

Kategori umur
Meninggal Hidup Total
(tahun)

<53 7 (36.8%) 12 (63.2%) 19 (100%)


Tanpa
≥53 11 (57.9%) 8 (42.1%) 19 (100%)
MP
Total 18 (47.4%) 20 (52.6%) 38 (100%)

<53 7 (23.3%) 23 (76.7%) 30 (100%)


Dengan
≥53 6 (19.4%) 25 (80.6%) 31 (100%)
MP
Total 13 (21.3%) 48 (78.7%) 61 (100%)

Tabel 5.6 Angka kematian tetanus pada subyek penelitian tanpa


metilprednisolon dan dengan metilprednisolon berdasarkan kategori umur
<60 dan ≥60 tahun.

Kategori umur
Meninggal Hidup Total
(tahun)

<60 7 (30.4%) 16 (69.6%) 23 (100%)


Tanpa
≥60 11 (73.3%) 4 (26.7%) 15 (100%)
MP
Total 18 (47.4%) 20 (52.6%) 38 (100%)

<60 11 (28.2%) 28 (71.8%) 39 (100%)


Dengan
≥60 2 (9.1%) 20 (98.9%) 22 (100%)
MP
Total 13 (21.3%) 48 (78.7%) 61 (100%)

Dari Tabel 5.5 dan Tabel 5.6 tentang angka kematian tetanus berdasarkan

kategori umur antara yang tanpa metilprednisolon dan yang dengan


commit to user
metilprednisolon. Angka kematian pada kategori umur ≥53 tahun didapatkan
perpustakaan.uns.ac.id 54
digilib.uns.ac.id

angka lebih tinggi pada kelompok tanpa metilprednisolon. Sebaliknya pada

kelompok metilprednisolon didapatkan angka yang lebih rendah. Perbedaan

tampak lebih nyata pada Tabel 5.6 berdasarkan kategori umur <60 tahun dan ≥60

tahun, dimana umur ≥60 sebagai batas lanjut usia (usia geriatri).

Tabel 5.7 Hasil analisis regresi logistik tentang kemungkinan pasien tetanus
hidup setelah pemberian metilprednisolon

CI 95%
VARIABEL OR P
Batas bawah Batas atas

METILPREDNISOLON
Tidak Menggunakan 1 - - -
Ya Menggunakan 4.0 1.6 10.1 0.004

UMUR (TAHUN)
< 53 1
≥ 53 0.7 0.3 1.7 0.381

DERAJAT TETANUS
<3 1
≥3 0.2 0.1 1.1 0.064

N observasi = 99
2 Log likelihood = 111.9
R2 Nagelkerke = 14.9 %

Dari Tabel 5.7 didapatkan bahwa pasien tetanus dengan pemberian

metilprednisolon memiliki kemungkinan untuk hidup empat kali lebih besar

daripada yang tanpa metilprednisolon dan peningkatan kemungkinan hidup

tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI 95% 1.6 sampai dengan 10.1 ;

P=0.004 )

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 55
digilib.uns.ac.id

BAB 6
PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui efek

metilprednisolon pada pasien tetanus. Penilaiaan dilakukan terhadap parameter

perbaikan klinis meliputi harapan hidup, angka kematian dan lama perawatan.

Dari Tabel 5.1 didapatkan subyek penelitian jumlah 99 pasien tetanus.

Kelompok yang tanpa metilprednisolon sebanyak 38 pasien tetanus. Kelompok

dengan metilprednisolon sebanyak 61 pasien tetanus. Berdasarkan umur pada

kelompok metilprednisolon didapatkan umur rata-rata 53,7 tahun, kelompok

tanpa metilprednisolon umur rata-rata 50,6 tahun, umur minimum 17 tahun, umur

maksimum 83 tahun dengan menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan

nilai t=-0.95 dengan signifikansi p=0.348. Hal ini menunjukkan secara umur

kedua kelompok tidak berbeda bermakna(p>0.05) atau setara. Berdasarkan lama

rawat pada kelompok metilprednisolon didapatkan lama rawat rata-rata 10 hari,

kelompok tanpa metilprednisolon lama rawat rata-rata 12 hari, dengan

menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan nilai t=0.94 dengan signifikansi

p=0.354. Hal ini menunjukkan lama rawat kedua kelompok tidak berbeda

bermakna(p>0.05). Ada perbedaan lama rawat dimana pada kelompok

metilprednisolon jumlah hari lama rawat rata-rata lebih pendek dibanding yang

tanpa metilprednisolon.

Dari Tabel 5.2 perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok didapatkan

jumlah pria lebih banyak dari wanita. Dengan uji chi-square didapatkan nilai
commit to user
X2=0.07 dengan nilai signifikansi p=0.795, dimana didapatkan p>0.05. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id 56
digilib.uns.ac.id

menunjukkan tidak berbeda bermakna atau setara antara kedua kelompok menurut

jenis kelamin.

Sesuai Tabel 5.3 perbedaan grade tetanus antara kedua kelompok dengan

uji chi-square didapatkan nilai X2=1.59 dengan p=0.207, hal ini berarti tidak

berbeda berakna. Grade tetanus kedua kelompok setara.

Sesuai Tabel 5.4 angka kematian pasien tetanus yang tanpa

metilprednisolon didapatkan sebesar 47,4 % , angka kematian pasien tetanus

dengan metilprednisolon terjadi penurunan menjadi sebesar 21,3 %. Penurunan

angka kematian tersebut secara statistik dengan uji chi-square didapatkan nilai

X2=7.39 dengan p = 0.007, dimana p<0.05 secara statistik bermakna. Angka

kematian tetanus setelah mendapat tambahan metilprednisolon sebesar 21,3 % ini

masih lebih rendah khususnya dibanding dengan hasil penelitian angka kematian

tetanus di RSDM, dimana di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tahun

2000-2002 didapatkan 37 % (Esthi dan Guntur, 2004). Tahun 2004-2006 sebesar

± 47 % (Suharto dan Guntur, 2007). Apabila dibanding dengan beberapa laporan

dari dalam negeri dan jurnal luar negeri ternyata angka ini masih lebih rendah.

Dilaporkan angka kematian pasien tetanus di empat negara Afrika tahun 1975-

1990 sebesar 61,5% (Petit et al., 1995). RS Dr Sardjito Yogyakarta pernah

melaporkan antara Januari 1990-Desember 1991 dirawat 24 pasien (Esfandiari

dan Loehoeri, 1993). Pada laporan di RS Dr Sardjito Yogyakarta, Januari 1995-

Desember 1999 dirawat 54 pasien tetanus, angka kematian yang terjadi pada

tetanus berat berkisar 40-60%, bahkan sampai 100% (Nadrizal dan Loeheoeri,

2000). Dalam beberapa laporan angka kematian pasien tetanus diantaranya di


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 57
digilib.uns.ac.id

Lagos University Teaching Hospita Nigeria tahun 2001 sebesar 45,5%

(Oke.,2001). Di ICU University of Benin Teaching Hospital Nigeria antara

Januari 1985 - Desember 2003 sebesar 61,5 % (Adudu et al.,2007). Di ICU

University College Hospital in Ibadan Nigeria pada wanita dengan tetanus

maternal sebesar 66,7% (Robert et al.,2008).

Semua pasien yang masuk mendapatkan suatu penatalaksanaan dan metode

yang sama, baik obat-obatan dan perawatannya. Pada kelompok perlakuan

mendapatkan tambahan injeksi metilprednisolon. Pada prinsipnya kematian pasien

tetanus disebabkan oleh beratnya dari efek yang ditimbulkan oleh toksin

tetanospasmin pada kejang opistotonus yang berulang dan semakin berat sehingga

menimbulkan adanya laringospasme pada jalan nafas. Dengan ditambah

kortikosteroid ini mempengaruhi efek toksin yang dihasilkan, kemungkinan

internalisasi toksin akan dihambat, pengaruh toksin ke neurotransmiter inhibitor

dikurangi sehingga proses disinhibitori menurun, menurunkan dominasi

neurotrasmiter eksitasi pada reseptor postsinaptik dan diharapkan beratnya kejang

berkurang pada akhirnya dapat menurunkan resiko kematian pada pasien tetanus.

Telah dilaporkam pengaruh metilprednisolon pada motor neuron sesudah

axotomy menurunkan pembentukan NO sehingga akan meningkatkan survival

rate motor neuron, dimana tingginya kadar NO akan berakibat menurunya secara

progresif motor neuron (Chena et al., 2008). Dilaporkan pengaruh pemberian

metilprednisolon memberi efek neuroprotektif pada neuron, jumlah neuron

terproteksi secara signifikan dibanding yang tidak mendapat metilprednisolon

(Naso et al., 1995).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 58
digilib.uns.ac.id

Sesuai Tabel 5.5 terlihat jumlah kematian pasien tetanus dapat

dibandingkan antara yang menggunakan tambahan metilprednisolon dan tanpa

metilprednisolon berdasarkan kategori umur. Yang menarik dan dapat menjadi

kajian lebih lanjut jumlah kematian pada kelompok umur ≥ 53 tahun, didapatkan

angka lebih tinggi pada kelompok tanpa metilprednisolon yaitu 57,9%. Perbedaan

ini tampak lebih nyata seperti terlihat pada tabel 5.6 angka kematian pada kategori

usia ≥60 lebih rendah lagi, didapatkan 9.1%. Hasil ini sesuai dengan laporan

penelitian tentang immunitas terhadap tetanus pada usia lanjut mengalami

penurunan (Tamer et al., 2005; Wu et al., 2009). Akibat menurunnya imunitas ini

akan meningkatkan prevalesi terjadinya tetanus pada usia lanjut, seperti yang

dilaporkan di Australia tentang tetanus pada usia lanjut (Quinn and McIntyre,

2007). Dari beberapa laporan penelitian tentang kematian pasien tetanus pada

lanjut usia selalu menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding usia dibawahnya.

Namun yang menarik dari hasil penelitian ini dari prevalensi tetanus yang

meningkat pada lanjut usia ternyata terjadi penurunan angka kematian setelah

menggunakan tambahan injeksi metilprednisolon. Dari Tabel 5.6 terjadi

penurunan angka kematian tetanus lanjut usia pada kelompok metilprednisolon

menjadi 9,1% dibandingkan dengan kelompok tanpa metilprednisolon sebesar

73,3%. Pemberian tambahan injeksi metilprednisolon pada pasien tetanus lanjut

usia tampaknya sangat bermanfaat (Suharto dan Guntur, 2010).

Dari Tabel 5.7 didapatkan bahwa pasien tetanus dengan pemberian

metilprednisolon memiliki kemungkinan untuk hidup empat kali lebih besar

daripada yang tanpa metilprednisolon dan peningkatan kemungkinan hidup

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 59
digilib.uns.ac.id

tersebut secara statistik signifikan ( OR = 4.0 ; CI 95% 1.6 sampai dengan 10.1 ;

P=0.004 ).

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak ditampikan secara lengkap data

awal tentang darah rutin, elektrokardiografi. Walaupun tidak didapatkan

perbedaan bermakna pada lama perawatan, namun tampaknya menunjukkan hasil

bermakna pada penurunan resiko kematian pasien tetanus setelah mendapat

tambahan metilprednisolon. Sesuai hasil perhitungan statistik dengan analisa

regresi logistik ganda dengan memperhitungkan variable umur dan derajat tetanus

didapatkan bahwa pasien tetanus dengan pemberian metilprednisolon memiliki

kemungkinan untuk hidup empat kali lebih besar daripada yang tanpa

metilprednisolon dan peningkatan kemungkinan hidup tersebut secara statistik

signifikan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 60
digilib.uns.ac.id

BAB 7
PENUTUP

7.1 Simpulan

Pemberian tambahan metilprednisolon pada terapi tetanus dapat

menurunkan resiko kematian sehingga akan meningkatkan harapan hidup.

7.2 Saran

7.2.1. Pemberian metilprednisolon dengan dosis 125 mg/12 jam disarankan

digunakan dalam protokol terapi tetanus.

7.2.2 Dapat dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan petanda

biomarker inflamasi.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai