Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan kriminal tidaklah

digunakan untuk menghukum orang karena pikiran jahat mereka; tertuduh

haruslah sudah terbukti kalau mereka melakukan tindakan yang dianggap

melanggar hukum sebelum pertanggungjawaban bisa muncul. Akan adanya

petanggungjawaban atau tidak, semuanya akan tergantung dari kondisi

kejiwaan pada waktu itu; umumnya factor niat atau kenekatanlah yang

diperlukan. Sebuah pepatah latin yang dinyatakan oleh Edward Coke sudah

merumuskan semua ini - actus non facit reum, nisi mens sit rea – tindakan

itu sendiri tidak berarti salah, kecuali dilakukan dengan rasa bersalah.

Tindakan yang dianggap melanggar hukum itu adalah actus reus dan keadaan

jiwa (perasaan bersalah) tertuduh yang haruslah dibuktikan dialami oleh

tertuduh dikala ia melakukan tindakan tersebut (kriminal/actus reus) adalan

mens rea. Perlu diingat kalau 2 istilah ini hanyalah label praktis yang

digunakan untuk menunjukkan unsur dari kriminalitas yang dianalisa. 2 kata

tersebu tidak berarti apa-apa bila hanya sendiri. Pengertian dan arti dari Actus

Reus dan Mens Rea juga akan berbeda-beda pada setiap tindakan kriminal

yang ada.

Penting untunk diketahui saat menganalisa Mens Rea dari kejahatan

bahwa istilah ini tidak bersifat pasti dalam menentukan. Meskipun kata bijak

latin ini berguna, kata tersebut bukanlah kebenaran yang mutlak. Ada banyak

sekali tindakan pelanggaran yang pada umumnya bersifat ringan dan

1
berkenaan dengan peraturan yangtidak membutuhkan Mens Rea. Hal ini

disebut strict liability offences yang dibuat berdasarkan undang-undang (liat

di bagian 4.2 post). Pada kasus-kasus seperti ini, Mens Rea tidaklah

diperlukan selama setidaknya, ada satu elemen dari Actus Reus.

Penggunaan istilah latin Actus Reus dan Mens Rea menuai kritikan.

Lord Diplock (Miler (1983) 2 AC 161, 174) menyatakan bahwa:

“Klaritas dari analisa mengenai elemen-elemen dari suatu tindakan

criminal akan lebih kondusif apabila kita menghindari penggunaan bahasa

latin yang sembarangan. Alangkah lebih baik apabila kita berpikir dan

berbicara mengenai pemeriksaan keadaan jiwa dari pelaku tindak kejahatan

pada saat ia melakukannya, daripada berbicara mengenai actus reus dan mens

rea” (parafrase)

Meskipun hampir semua kejahatan dapat dianalisa dengan

menggunakan istilah Actus Reus dan Mens Rea, ada beberapa jenis kejahatan

dimana konsep tersebut melebur. Ada juga tindak kejahatan dimana Actus

Reus hanya bisa dibuktikan dengan membuktikan Mens Rea. Contoh: seksi 1

(1) dari Prevention of Crime Act 1953 menyatakan kalau seseorang dianggap

melanggar hukum apabila ia memiliki senjata mematikan tanpa memiliki

wewenang dan alasan yang masuk akal. Seksi 1 (4) mendefinisikan “senjata

mematikan” sebagai alat apapun yang dapat menyebabkan

kerusakan/kematian terhadap manusia ; atau yang digunakan oleh orang yang

membawanya untuk tujuan tersebut. Contoh: apabila tertuduh membawa

gagang kampak ke area umum, isu mengenai apakah tindakan tersebut dapat

dianggap sebagai Actus Reus tergantung dari niat sang tertuduh saat itu

2
karena alat tersebut tidak memenuhi 2 kriteria yang ada (dibuat/digunakan

untuk tujuan melukai). Apabila tidak ada tujuan untuk melukai, alat tersebut

ini tidak bisa dikategorikan sebagai senjata mematikan dan maka dari itu

tidak dapat dikategorikan sebagai Actus Reus. Pada contoh lain, Actus Reus

merujuk ke elemen kejiwaan. Contoh, apabila tertuduh didakwa memiliki

obat terlarang seperti heroin atau kanabis yang berlawanan dengan seksi 5

dari Misuse of Drugs Act 1971, membuktikan bahwa tertuduh tahu ia

memiliki narkoba tersebut adalah suatu keharusan, meskiun ia mungkin tidak

tahu sifat dasar dari narkoba tersebut (lihat DPP vs. Brooks (1974) AC 862;

Boyese (1982) AC 768); memiliki sesuatu tanpa mengetahui adanya/eksisnya

barang tersebut adalah suatu hal yang tidak mungkin, maka tidak adanya

elemen kejiwaan tersebut (yaitu “mengetahui”) berarti tidak ada Actus Reus.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa yang di Maksud dengan Mansreus Actuss?

2. Apa saja Elemen-Elemen Mansreus Actuss?

BAB II
PEMBAHASAN

3
A. Elemen-Elemen dari Tindakan Kriminal

Sejauh ini, kita mengetahui bahwa penuntutan dapat membuktikan tertuduh

melakukan tindak kriminal apabila kita dapat membuktikan adanya Actus Reus

dari sang tertuduh disertai dengan Mens Rea yang tepat. Hal ini mengabaikan

fakta bahwa tertuduh dapat menghindari hukuman dengan mengandalkan

pembenaran/justifikasi atau alasan tertentu. Apakah pembenaran dan alasan

tersebut yang lebih dikenal sebagai Pembelaan dapat membentuk jadi suatu

definisi tindakan criminal ataukah malah berada di luar definisi tersebut?

Glanville Williams menyatakan di Criminal Law: The General Part (2 nd Edition,

1961) mengexpresikan pendapatnya bahwa semua elemen dari tindakan

kriminalitas adalah antara Actus Reus atau Mens Rea dengan menyatakan:

“Actus Reus merangkum bukan saja hanya situasi objektif yang harus

dibuktikan dalam penuntutan, tetapi juga meliput absennya suatu pembenaran

dan alasan, entah pembenaran atau alasan tersebut dinyatakan di undang-undang

yang menyebabkan tindakan criminal attau diimplikasikan oleh pengadilan sesuai

dengan prinsip-prinsip umum”

Pandangan lain telah dinyatakan oleh D.J. Lanham di Larsonneur

Revisited (1976) Crim LR 276, bahwa tindakan criminal terdiri dari 3 elemen,

yaitu: Actus Reus, Mens Rea, dan (elemen negatif) absennya pembelaan diri yang

valid. Pandangan mana yang benar tidaklah penting; boleh dibilang kedua

pandangan benar sebagian apabila suatu garis yang membedakan antara

pembelaan diri dan alasan dapat ditarik. A.T.H. Smith, “On Actus Reus and Mens

4
Rea” yang terdapat di Reshaping the Criminal Law (ed. Glazebrook, 1978)

menyatakan pada halaman 99 bahwa:

“yang membedakan adalah kita memberikan ampun kepada sang pelaku

karena ia memiliki “alasan”, sehingga ia tidak sepenuhnya berdosa atau bersalah

dalam tindakannya, sedangkan kita mempertimbangkan suatu tindakan yang

“dibenarkan” (pembenaran) apabilakita menganggap tindakan tersebut pantas

untuk dilakukan pada situasi tertentu meskipun tindakan tersebut dapat

membahayakan, sehingga tanpa pembenaran yang tepat, dapat dianggap sebagai

tindakan kriminal”

Contoh dari Pembenaran adalah pembelaan diri sendiri. Apabila, sebagai

contoh, D dituduh melukai V yang berlawanan dengan seksi 20 dari Offences

Against the Person Act 1861, D bisa mengakui bahwa ia memang melukai V dan

memang berniat untuk melakukan itu, tetapi D tidak akan dihukum apabila ia

melukai V untuk membela dirinya ketika ia diserang dengan niat membunuh oleh

V. Hal ini akan dianggap tidak melanggar hukum dan dibenarkan sebagai “bela

diri”. Karena tindakan melukai tersebut tidak dianggap melanggar hukum, dapat

dibilang bahwa tidak ada Actus Reus pada kasus ini; D hanya melukai V

dikarenakan situasi tersebut membenarkan tindakan D (lihat 6.5.3.2 post). Lain

halnya apabila D melukai V karena diinstruksikan oleh X yang menyandera istri

D dan mengancam D kalau ia akan membunuh istrinya kalu ia tidak melukai V.

Dalam situasi ini, D tidak memiliki pembenaran dalam aksinya melukai V,

namun D dapat membela dirinya karena ia diancam, dan dengan itu, ia dapat

diampuni dari hukuman.

5
B. Kelakuan (conduct) haruslah dengan Sengaja

D sedang berkendara dan tiba-tiba ia mengalami sakit jantung sehingga ia

tidak bisa mengontrol mobilnya. Ia hanya bisa terhenyak dan kakinya terus

menginjak gas dan menembus lampu merah sehingga ia menabrak mobil E yang

berhenti di tengah zebra cross. Mobil E terdorong sehingga menabrak V dan

mencederainya. D dituduh tidak mengindahkan lampu merah, menyetir dengan

berbahaya dan menyebabkan kerusakan pada mobil E. E dituduh tidak

mengindahkan pejalan kaki dan mencederai V. Namun bisakah mereka dihukum

dan apakah mereka memiliki Actus Reus dalam kasus ini?

Meskipun Actus Reus dari suatu tindakan criminal membutuhkan kelakuan

atau tindakan dari si pelaku, bila hal ini tidak dilakukan dengan sengaja, tertuduh

tidak dapat dikenakan sangsi. Mereka hanya bisa dihukum apabila tindakan

mereka dilakukan dengan sengaja; tidak cukup dari apa yang mereka lakukan

secara fisik saja. Bratty v A-G for Northern Ireland (1963) AC 386 (at p. 409)

Lord Denning menyatakan: “tindakan yang disengaja sangatlah penting dalam

segala macam tindakan criminal, tidak hanya pembunuhan saja”. Pada tindakan

criminal yang membutuhkan Mens Rea, apabila tidak disengaja, maka tertuduh

tidak akan memiliki Mens Rea. Sekalipun tindakan criminal yang ada sangatlah

terlarang dan tidak membutuhkan Mens Rea, factor sengaja atau tidak dari

tertuduh tetaplah penting. Menghukum orang yang tidak melakukan tindakan

criminal dengan sengaja bukanlah hal yang adil.

Pada contoh diatas, melanggar lampu merah adalah tindakan criminal yang

jelas, tidak perlu dibuktikan lagi bahwa D melihat lampu merah menyala dan

memutuskan untuk tetap jalan, cukup dibuktikan bahwa D mengendarai mobil

6
tersebut. Namun ia tidak melakukannya dengan sengaja karena ia sedang terkena

serangan jatung dan tidak dapat berbuat apapun, sehingga tidak ada Actus Reus.

Tuduhan menyetir sembarangan juga akan lepas. Apabila D sadar akan gejala-

gejala saat terkena serangan jantung namun tetap menyetir, ia mungkin bisa

dihukum, apalagi apabila ia sudah tahu karena pernah terkena sebelumnya. Pada

kasus Kay vs. Butterworth (1945) 173 LT 191 (lihat juga kasus Hil vs Baxter

(1958) 1 QB 277), D sedang menyetir pulang setelah jam kerja malamnya

berakhir ketika ia mengantuk luar biasa sehingga ia menyetir ke arah pasukan

tentara. Ia dituntut karena menyetis dengan sembarangan dan menyebabkan

bahaya. Sudah tahu ia sedang mengantuk, seharusnya ia berhenti. Humphreys J

menyatakan:

“Seseorang yang mendadak kehilangan kesadaran saat menyetir yang

bukan karena salahnya sendiri seperti kena timpuk batu atau sakit seharusnya

tidak bersalah secara hukum”

Dalam Bell (1984) 3 all ER 842, diberikan lagi contoh situasi dimana

seseorang seharusnya tidak akan dihukum karena tidak sengaja dalam berbuat,

seperti yang dinyatakan oleh Goff LJ (pada halaman 846):

“Pengendara kendaraan bermotor yang diserang ketika sedang

mengemudi, semisalnya ia sedang dikerumuni oleh tawon nakal atau penumpang

jahat nan sinting, atau ia kehilangan kesadaran karena pingsan, atau mungkin

mobilnya mendadak mengalami kerusakan seperti ban bledos atau rem blong”

Pada contoh yang di atas, E tidak akan dihukum karena ia tidak

mengindahkan pejalan kaki dengan sengaja, karena terdapat dorongan eksternal

7
terhadap mobilnya yang berada di luar control E (lihat Leicester vs Pearson

(1952) QB 668). Miripnya, ia juga tidak akan dihukum karena mencederai V.

Contoh yang melibatkan D dan Eberbeda dalam satu hal dimana tindakan

E terjadi karena dorongan/campur tangan eksternal. Sebagai contoh lain, A

sedang mengukir ketika Bmeraih tangan A yang sdang memegang pisau dan

menusukkannya ke C sehingga ia tewas. A tidak akan dihukum karena ia tidak

dengan sengaja menusuk C. Di contoh kita sebelumnya D melakukan tindakan

secara fisik ketika ia sedang kehilangan kesadaran. Hal ini disebut sebagai

Automatism. Sebagai contoh, seseorang dapat melakukan tindakan fisik selagi ia

sedang gegar otak atau tidur sambil berjalan, atau ketika sedang kejang-kejang.

C. Tindakan Kriminal berdasarkan keadaan (State of Affairs

offences)

Walau hampir semua tindakan criminal membutuhkan tindakan sengaja dari

tertuduh untuk membuat Actus Reus, terdapat tindakan-tindakan criminal yang

melarang adanya suatu keadaan (state of affairs). Contoh yang diberikan di atas

(seksi 4(2)dari Road Traffic Act1988) dimana dilarang berkemudi apabila tidak

layak karena sedang dibawah pengaruh alcohol dan narkoba. Actus Reus akan

ada apabila tertuduh sedang mengemudikan kendaraan saat dalam kondisi

tersebut. Meskipun tertuduh tidak bertanggung jawab atas ketidaklayakannya

berkemudi, semisal minuman ringannya dicampur dengan alcohol tanpa

sepengetahuannya, ia tetap bersalah, meskipun ini bisa menjadi alas an khusus

8
untuk tetap dapat berkemudi (lihat Shippam (1971) RTR 209; Pugsley vs Hunter

(1973) RTR 284).

Kasus Winzar v Chief Constable of Kent, the Times, 28 March 1983. W

dibawa ke rumah sakit dengan tandu. Ia didiagnosa hanya mabuk biasa dan

disuruh pulang. Ia kemudian ditemukan sedang terhenyak di kursi di koridor

ketika polisi dipanggil. Ia dibawa ke jalanan, didaulat mabuk, dan dimasukkan ke

mobil polisi. W dituduh mabuk di jalan raya yang melanggar seksi 12 dari

Lisencing Act 1872. The Divisional Court menganggap kata “ditemukan mabuk”

sebagai “dianggap sedang mabuk” dan menegakkan hukumannya dengan

berbasiskan bahwa hal ini dilakukan untuk mengurus hal-hal yang menganggu

dari kasus mabuk di tempat umum; bagaimana ia bisa ada disana tidaklah

penting. Laporan yang ada tidak mengindikasikan bagaimana W bisa berada di

rumah sakit. Kalau ia ditemukan sedang terkapar di jalanan, maka tidak aka nada

keluhan. Namun, keputusan yang ditarik bersifat sengatlah luas dan dapat

dikritisi dari 2 basis. Pertama, dapat dibilang polisi menemukannya di rumah

sakit dan menariknya ke jalan raya sehingga mereka memiliki izin untuk

menangkapnya. Kedua, tidak adanya kata atau kalimat di undang-undang yang

mengekspresikan dibutuhkannya pembuktian bahwa ada faktor kesengajaan dari

tertuduh yang menyebabkan kasus state of affairs, seharusnya ada kebutuhan

factor kesengajaan diimplikasikan dengan berdasarkan bahwa hukum pidana

seharusnya dibuat secara ketat untuk mendukung tertuduh (praduga dari

interpretasi kesengajaan lebih condong ke arah pelanggaran disbanding ketaatan).

9
Keputusan Winzar dapat dibandingkan secara berlawanan dengan Marton v

State 31 Ala. App. 334, 17 So. 2nd 427 (1944) dimana Court of Appeals di

Alabama mencabut hukuman tertuduh mabuk di jalan raya karena bukti bahwa

tertuduh dengan sengaja muncul ke jalan raya diperlukan. Sang tertuduh sedang

mbuk dirumahnya sendiri ketika polisi secara paksa memasuki rumahnya dan

membawanya ke jalan sebelum menangkapnya. Bila situasi factual ini terjadi di

inggris, keputusan di kasus Winzar bisa berbalik 180 derajat. Diharapkan pada

kasus ini pengadilan mempertimbangkan factor kesengajaan dalam melakukan

tindakan criminal state of affair sebelum menjatuhkan hukuman. Seberapa

sengaja mereka dalam melakukan ini tidaklah terlalu penting. Yang penting,

kemungkinan terjadinya kasus state of affairs dapat diduga dari kelakuan tertuduh

saat itu. Bila semisalnya tertuduh mabuk di tempat umum (bar), ada cukup

kemungkinan kalau tertuduh dapat berakhir di jalan raya ketika tempat

minumnya tutup, atau ketika ia pergi atau diusir. Namun apabila ia sedang minum

di rumah, kemungkinan ia pergi ke luar tentunya kecil. Maka, jika Winzar sedang

kehilangan kesadaran dan ada orang luar (third party) yang menelpon ambulans

untuk membawanya ke rumah sakit, hal ini tentunya tidak bisa diduga dengan

pasti, kecuali ia sedang minum-minum di luar, meskipun bagaimana ia bisa

berjalan ke jalan raya tentunya tidak bisa diduga saat ia sedang minum-minum.

D. Kegagalan untuk Bertindak

A, mengetahui bahwa B tidak bisa berenang, menyeburkannya ke dalam

kolam renang untuk menengelamkannya. C, perenang yang mendengar teriakan

minta tolong B, mengabaikannya. D, perenang penyelamat yang diperkerjakan

oleh dewan untuk menyelamatkan siapaun yang sedang mengalami kesulitan juga

10
mengabaikannya. E, ayah dari A juga mengabaikannya, karena ia berpikir inilah

saat bagi anaknya yang cengeng untuk belajar berenang atay tenggelam sekalian.

B tenggelam. Apakan A, C, D, dan E dapat dihukum karena

“manslaughter/pembunuhan secara tidak sengaja? (bisa pembunuhan sengaja atau

tidak, tergantung dari Mens Rea)”. A-lah yang menyebabkan kematian B. C, D,

dan E tidak melakukan apa-apa meskipun mereka tidak berusaha

menyelamatkannya. Bila memang ada pelanggaran hukum di kasus ini, hal ini

akan tergantung oleh kewajiban mereka untuk mencegah kematian B.

Pada umumnya, hukum kasus ini melarang situasi-situasi tertentu untuk

terjadi dan tertuduh dapat dihukum apabila ia tidak melakukan hal/sesuatu

sehingga hal itu akhirnya terjadi. Beberapa tindakan criminal tidak dapat

dilakukan dengan “omission/tidak melakukan apa-apa”, seperti contoh,

perampokan atau pencurian. Di beberapa tindakan, definisi Actus Reusnya dapat

dengan jelas terjadi apabila dilakukan.

Pembunuhan (sengaja atau tidak) dapat dilakukan dengan gagal bertindak.

Pada contoh diatas, D dan E dapat dihukum apabila Mens Rea mereka dapat

dibuktikan sebagaimana pengadilan mengakui kewajiban untuk berindak

dibawah kontrak (lihat Pitwood (1902) 19 TLR 37.2.5..2.2.1 post) dan kewajiban

sebagai orang tua untuk menjaga dan menjauhkan buah hati mereka dari bahaya

(lihat Gibbins and Proctor (1918) 13 Cr App R 134, 2.5.2.2.2 post). Masalahnya

adalah D dan E tidak bertanggung jawab atas kematian B dalam arti bagaimana

sebab dan akibat dari kasus itu dimengerti secara umum (lihat 2.6 post).

Pengadilan nampaknya tidak begitu mengurusi prinsip dari sebab dan akibat

tindak criminal yang berhubungan secara langsung dengan kegagalan bertindak.

11
The Law of Comission pada Draft Criminal Code Bill (Law Com no. 117) secara

spesifik menyinggung isu ini di klause 17(1) yang menyatakan kalau “seseorang

menyebabkan sesuatu hasil ketika ia (b) ia tidak melakukan tindakan yang dapat

mencegah terjadinya hasil itu dan ketika ia secara hukum wajib mencegah hal

tersebut terjadi”.

Mengenai C, ia tidaklah wajib menolong B dengan menjadi “orang samaria

yang baik”. Posisi dari Common Law diringkas di Lord Maculay’s Works (ed.

Lady Trevelyean), vol VII, p 497.

Sudah terbukti bahwa menghukum orang yang tidak melakukan apa-apa

dalam menjalankan kewajiban moralnya adalah hal yang absurd. Kita harus

memberikan kebebasan hukum untuk mayoritas luas orang yang gagal

melakukan sesuatu yang secara moral dapat dibilang menjijikkan dan kita harus

puas dengan menghukum mereka yang sudah jelas saja bersalah secara hukum

dalam situasi tertentu”

Walau C tidak menghiraukan B dan gagal dalam bertindak untuk

menolongnya dan bisa dibilang tercela secara moral, kegagalannya bertindak

berada diluar hukum tindakan criminal.

Mengklasifikasikan Kegagalan dalam Bertindak

Ada banyak undang-undang yang mengharuskan orang untuk bertindak

dalam situasi tertentu. Individu yang gagal bertindak dalam situasi tertentu

tersebut akan dianggap melanggar hukum. Pelanggaran hukum yang serius pada

12
kasus ini adalah ketika seseorang tidak memberikan informasi penting dibuat di

seksi 18 dari Prevention of Terrorism (temporary provisions) Act 1989. Bila

seseorang memiliki informasi yang ia ketahui dapat menjadi material yang

membantu Inter Alia dalam mencegah aksi terorisme atau dalam penangkapan,

prosekusi, atau penghukuman teroris, tetapi orang tersebut tidak memberikan info

tersebut ke yang berwenang dalam waktu yang logis, maka ia bersalah secara

hukum.

Contoh-contoh diatas adalah hukum yang dibuat untuk menyatakan kalau

gagal dalam bertindak seperti yang di tegakkan oleh undang-undang berarti

melanggar hukum. Di beberapa situasi, kewajiban bertugas yang terlantarkan

dapat dianggap melanggar hukum juga.

Lord Widgery menetapkan bahwa apa yang dibutuhkan dalam

pelanggaran hukum adalah penelantaran tugas secara sengaja, bukan hanya

kelalaian dan penelantaran tersebut haruslah salah dalam arti tanpa alasan atau

pembenaran. Ia menyatakan (di p. 727):

“Elemen dari kelalaian ini tidaklah hanya meliput korupsi atau

ketidakjujuran, tapi harus sampai tahap dimana pelangaran ketidakjujuran itu

menyebabkan kerusakan atau luka sehingga penghukuman dapat dituntut untuk

ada. Bagaimana situasi itu terbukti, semua ditangan juri”

a. Kewajiban yang Muncul karena Kontrak

Bila gagal dalam bertindak sesuai kontrak dapat menyebabkan bahaya

mematikan, hukum akan mewajibkan siapa yang berada di bawah kontrak tersbut

untuk bertindak. Kontrak tersebut berlaku juga untuk mereka yang jiwanya dapat

13
terancam. Pada Pitwood (1902) 19 TLR 37, tertuduh dituntut secara hukum

karena kelalaian fatal yang menyebabkan kematian seorang penyebrang jalan

yang tertabrak kereta di penyebrangan. Tertuduh diperkerjakan oleh perusahaan

kereta untuk mengawasi penyebrangan dan memastikan gerbangnya akan

tertutup jika kereta akan lewat. Pada saat kejadian, tertuduh tidak berada di

posnya dan gerbang dibiarkan terbuka. Kelalaian dia sungguhlah fatal dan

pembelaan dirinya bahwa ia tidak secara kontrak diwajibkan untuk berurusan

dengan public dihiraukan karena ia dibayar untuk meemastikan gerbang itu tutup

dan melindungi public.

b. Kewajiban yang Muncul dari Hubungan

Adanya hubungan erat dapat memunculkan kewajiban untuk bertindak.

Secara hukum, sudah secara umum diterima oleh masyarakat (walau yang

berwenang secara langsung hanya sedikit) bahwa orangtua wajib untuk

melindungi anaknya dan suami istri haruslah saling mendukung. (lihat Smith

(1979) Crim LR 251, 2.5.2.2.3 post). Pada Gibbins and Proctor (1918) 13 Cr App

R 134, seorang pria dan wanita ditangkap atas tuduhan membunuh anaknya

dengan membuatnya mati kelaparan karena ia tidak diberi makan. Pada kasus ini,

sang pria melanggar kewajibannya terhadap anaknya. Sang wanita, dengan

menerima uang untuk membeli bahan makanan, memiliki kewajiban terhadap

anaknya

c. Kewajiban yang Muncul dari Asumsi untuk Menjaga Sesama

14
Bila seseorang mengambil kewajiban untuk menjaga mereka yang tidak bisa

mengurus diri sendiri lagi, seperti bayi atau mereka yang memiliki kelainan jiwa

dan lain-lain, orang tersebut wajib merawat mereka. Di kasus setelahnya, D yang

tinggal bersama tantenya diwajibkan untuk menjaganya ketika ia jatuh sakit dan

selama 12 hari sisa hidupnya, kewajiban tersebut tidak dijalankan. Ia tidak

memberinya makan atau pertolongn medis, namun ia tetap tinggal bersama

tantenya dan memakan makanannya. D dituduh melakukan pembunuhan tidak

langsung karena ia secara sengaja tidak menjalankan kewajibannya untuk

menjaga tantenya.

Perihal yang menjadi masalah adalah apabila seseorang yang sakit dan tak

mampu mengurus dirinya menolak bantuan dari mereka yang berkewajiban untuk

menjaganya, apakah mereka yang berkewajiban tersebut dapat dilepaskan dari

tanggung jawabnya atau tidak. Contohnya, apabila seseorang ingin mati dan

menolak pertolongan medis, apakah mereka yang bertugas merawatnya

bertanggung jawab untuk mencegah hal tersebut dan harus tetap menolongnya

meskipun ia tak mau? Pada Smith (1979) Crim LR 251, S dituduh melakukan

pembunuhan tidak langsung ketika istrinya meninggal. Istrinya benci dokter dan

perawatan medis, dan ia melarang suaminya meminta pertolongan medis ketika

ia melahirkan bayi yang meninggal di kandungan di rumah. Pada saat akhirnya ia

memberikan izin untuk meminta pertolongan medis, semuanya sudah terlambat

dan sang istri meninggal sebelum dokter datang. Pemeriksaan medis

membuktikan bahwa apabila pada awalnya pertolongan medis diminta, sang istri

dapat terselamatkan. Setelah dirangkum, Griffiths J meminta para juri untuk:

15
“mempertimbangkan keputusan untuk menjalankan keinginan istri dalam

menghindari memanggil dokter terhadap kemampuannya dalam membuat

keputusan rasional. Apabila ia tidaklah terlihat terlalu sakit, maka mengiyakan

permohonanya masih cukup logis. Namun apabila ia terlihat jelas sakit, apapun

yang ia katakana atau tidak dapat diabaikan”

Jadi, apabila seseorang dapat membuat keputusan rasional, ia dapat

membebaskan carer (yang bertugas merawat/menjaga/mengurus) dari

kewajibannya. Dalam kasus ini, juri tidak dapat menyetujui tuntutan

pembunuhan tidak langsung dan akan dibebaskan dari membuat keputusan juri.

Permasalahannya tetap tidak terselesaikan, apakah kewajiban sang penjaga bisa

dilepas atau tidak.

d. Kewajiban yang Muncul karena Situasi Berbahaya

Saat seseorang secara tidak sengaja dan tanpa Mens Rea yang cocok

melakukan tindakan yang menyebabkan kejadian berantai yang apabila tidak di

ikut-campuri akan menyebabkan bahaya kepada orang lain atau property, orang

tersebut, ketika ia sadar bahwa ialah penyebab semuanya, ia bertanggung jawab

untuk dengan semampunya berusaha untuk menghentikan atau setidaknya

meminimalisir bahaya dan kerusakan yang mungkin terjadi. Apabila sebelum

kejadian ia tahu akan apa yang telah ia lakukan dan dengan Mens Rea yang

cocok ia gagal bertindak, maka ia dapat dituntut secara hukum. Yang berwenang

dalam prinsip ini adalah Miller (1983) 2 AC 161. D, seorang gelandangan yang

sedang tertidur di dalam rumah orang, terbangun ketika ia sadar bahwa kasur

yang ditidurinya terbakar oleh rokoknya. Ia tak berusaha memadamkannya dan

16
malah pindah ke kamar lain sehingga rumah itu terbakar. D dituduh melakukan

pembakaran rumah dengan sengaja yang melanggar seksi 1(1) dan (3) dari

Criminal Damage Act 1971. The House of Lords mengabaikan pembelaan

dirinya karena saat D sadar akan apa yang telah ia perbuat, ia wajib bertindak

semampunya untuk mencegah kebakaran tersebut atau meminimalisir kerusakan

property yang berada dalam resiko. Lord Diplock menyatakan bahwa:

Langkah-langkah yang tertuduh harus lakukan untuk mencegah bahaya yang

ia timbulkan adalah sesuatu yang logis pada situasi seperti itu. Jelas ia tidak

diharapkan mampu memadamkan kebakaran besar; ia cukup menelpon pemadam

kebakaran. Kalau kebakaran kecil, logisnya tertuduh dapat memadamkannya

sendiri dengan seember air atau diinjak dengan sepatunya.

E. Sebab-Akibat (Causation)

Apabila tertuduh dituduh menyebabkan Result Crime, prosekusi harus

mebuktikan bahwa tindakan atau kegagalan bertindak tertuduh menyebabkan

konsekuensi yang dilarang hukum. Contohnya, pada pembunuhan sengaja atau

tidak sengaja/langsung atau tidak langsung, tertuduh harus dibuktikan bahwa ia

membunuh atau gagal bertindak sehingga korbannya mati. Dalam kasus Result

Crime yang liabilitasnya tinggi, sebab dan akibat dapat disusun, meskipun

tertuduh memang tidak berniat, tidak tahu, atau tidak lalai dalam berbuat (lihat

Southern Water Authority v Pegrum and PEgrum (1989) Crim LR 442; National

River Authority V Yorkshire Water Services (1994) Crim LR 451).

17
Masalah dari sebab dan akibat adalah urusan para juri. Kasus-kasus

bermasalah biasanya adalah pembunuhan. Tami dalam kasus pembunuhan pun,

sebab dan akibat jarang menjadi masalah dan bagaimana korban mati umumnya

tidak dipertanyakan. Saat memang ada yang dipermasalahkan, itu adalah tugas

hakim untuk mengarahi para juri dengan ke prinsip legal yang berhubungan

dengan sebab akibat, namun apakah terdapat hubungan kausal antara kelakuan

tertuduh dengan konsekuensi terlarang telah tersusun atau tidak adalah tugas para

juri. Biasanya para juri cukup diarahkan bahwa “sudah hukumnya kalau tindakan

tertuduh tidak harus menjadi satu-satunya penyebab atau bahkan sebab utama

dari kematian korban, asal ada tindakannya (atau kegagalan bertindaknya) sudah

memberikan kontribusi yang besar terhadap hasilnya” (Pagett (1983) 76 Cr App

R 279, per Robert Goff LJ) Kadang, apabila ada masalah-masalah tertentu yang

berhubungan dengan sebab akibat, seperti apakah ada orang ketiga yang

menyebabkan putusnya rantai dari sebab akibat yang ada, ini adalah (per Robert

Goff LJ di p. 290):

“…tugas hakim untuk mengarahkan juri dengan sesederhana mungkin yang

sesuai dengan prinsip legal yang ada dan yang harus mereka aplikasikan.

Kemudian, apakah isu-isu factual yang relevan yang dikenal oleh prinsip legal

tersebut mengarah ke konklusi bersalah atau tidaknya tertuduh adalah tugas para

juri”

Dalam menyederhanakan sebab akibat untuk juri, hakim dapat menggunakan

2 prinsip dari sebab akibat dimana tertuduh hanya dapat dituntut secara hukum

apabila tindakannya adalah Factual Cause dan Legal Cause dari kematian

korban. Diskusi ini akan terfokuskan di pembunuhan, tapi prinsip yang ada dapat

18
diaplikasikan ke pelanggaran hukum lainnya yang memiliki masalah dengan

sebab akibat.

Factual Causation (Penyebab Faktual)

Tindakan tertuduh haruslah berupa sine qua nom dari konsekuensi terlarang.

Dengan kata lain, konsekuensi tersebut harusnya tidaklah terjadi bila bukan

karena tindakan sang pelaku. Pada White (1910) 2 KB 124, D memberikan racun

sianida ke dalam minuman ibunya dengan tujuan membunuhnya. Kemudian,

ibunya meninggal dengan gelas yang mengandung racun di sebelahnya yang

masih tigaperempat penuh. Pemeriksaan dokter megungkapkan bahwa ia

meninggal karena gagal jantung, bukan karena racun. D tidak dihukum karena ia

bukanlah penyebab kematiannya dan tidak ada Actus Reus disini. Namun ia

dituntut secara hukum karena melakukan percobaan pembunuhan.

Meskipun Factual Causation dapat terbentuk, bukan berarti Legal Causation

akan ikut terbentuk. Contoh, A memperlihatkan iklan lowongan kerja kepada B.

B melamar kerja dan C, sang pemberi lowongan mengundangnya untuk sesi

wawancara. Dalam perjalanan, B diserang D dan terbunuh di taman. Bila A tidak

memperlihatkan iklan tersebut maka ia tidak akan melamar kerja ke C sehingga

ia berjalan melintasi taman dan terbunuh. Tentunya dalam kasus ini, A dan C

tidaklah dianggap sebagai penyebab kematian B secara hukum. Tindakan D lah

yang menyebabkan kematian B.

Legal Causation (Penyebab secara Hukum)

19
Legal Causation berhubungan erat dengan tanggung jawab dan kesalahan

(culpability). Glanville Williams di Textbook of Criminal Law (2 nd ed)

menyatakan (di p. 381) bahwa:

“Saat seseorang sudah menjawab pertanyaan sebab akibat, tes lebih lanjutnya

untuk mengetahui apakah penyebab tersebut dikenali secara hukum bukanlah tes

untuk mengetahui sebab akibat, tapi reaksi moral. Pertanyaannya adalah apakah

hasil tes tersebut dapat menjadikan pembela sebagai penyebab. Bila istilah

“sebab” harus dipakai, maka istilah tersebut haruslah dalam arti bertanggung

jawab atau dapat disalahkan, untuk menjadi dasar pertimbangan”

Tindakan yang Melanggar Hukum Tidaklah Harus Menjadi Satu-Satunya

Penyebab

Tindakan tertuduh tidak perlu harus menjadi satu-satunya penyebab atau

penyebab utama dari konsekuensi yang terlarang. Sebab lain dapat

mengkontribusikan ke dalam konsekuensi tersebut atau bahkan korban yang mati

itu sendiri.

a. Tindakan dari Pihak Ketiga

Contoh, jika A dan B menyerang C secara bersamaan, dengan A menusuknya

di paru-paru dan B menusuknya di abdomen, dua-duanya akan dianggap bersalah

atas tuduhan pembunuhan meskipun dua luka tersebut tidak mematikan apabila

hanya salah satu. Namun ada situasi dimana tindakan yang mengalahkan

tindakan sebelumnya dengan mendahului. Contohnya, A meracuni B dengan

racun yang bekerja lambat. Sebelum racun tersebut berkerja, C memenggal

kepala B dengan kampak. Pada situasi ini, C adalah penyebab utama dari

kematian B. Namun, A dapat ditahan atas tuduhan percobaan pembunuhan.

20
21
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan kriminal tidaklah

digunakan untuk menghukum orang karena pikiran jahat mereka; tertuduh

haruslah sudah terbukti kalau mereka melakukan tindakan yang dianggap

melanggar hukum sebelum pertanggungjawaban bisa muncul. Akan adanya

petanggungjawaban atau tidak, semuanya akan tergantung dari kondisi

kejiwaan pada waktu itu; umumnya factor niat atau kenekatanlah yang

diperlukan. Sebuah pepatah latin yang dinyatakan oleh Edward Coke sudah

merumuskan semua ini - actus non facit reum, nisi mens sit rea – tindakan

itu sendiri tidak berarti salah, kecuali dilakukan dengan rasa bersalah.

Tindakan yang dianggap melanggar hukum itu adalah actus reus dan keadaan

jiwa (perasaan bersalah) tertuduh yang haruslah dibuktikan dialami oleh

tertuduh dikala ia melakukan tindakan tersebut (kriminal/actus reus) adalan

mens rea. Perlu diingat kalau 2 istilah ini hanyalah label praktis yang

digunakan untuk menunjukkan unsur dari kriminalitas yang dianalisa. 2 kata

tersebu tidak berarti apa-apa bila hanya sendiri. Pengertian dan arti dari Actus

Reus dan Mens Rea juga akan berbeda-beda pada setiap tindakan kriminal

yang ada.

22
23

Anda mungkin juga menyukai