Anda di halaman 1dari 5

Efektivitas Akses Pelayanan Kesehatan Mental pada

Puskesmas Sebagai Layanan Kesehatan Primer di Indonesia


Az Zachra Sanati Khodijah
Prodi Pendidikan Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
azzachras@student.uns.ac.id

Abstract. Indonesia, a country with 261.9 million people living in it only has 9,825
Puskesmas. About 30% of all patients that are served by doctors in primary health care are
those who experience mental health problems. Around 3,602 Puskesmas already have mental
health services but only 250 meet the standards to treat mental disorders. The small amount of
Puskesmas that meet the standard to treat mental disorders and high prevalence of mental
disorders in Indonesia initiates a question about how is mental health care access in
Puskesmas and how effective it is. The aims is to raise awareness of society related to its
importance of mental health access in primary health care and give solution about this health-
related issue through the point of view of community, patient, medical professionals,
government and medical student. Methodology used in this paper is literature study and using
online engine searching with keyword “Mental Health”, “Mental Health Access”, “Mental
Health Access in Primary Health Care”, “Mental Health Access in Primary Health Care in
Indonesia”.

Keywords: Mental Health, Mental Health Access, Primary Health Care, Puskesmas

1. PENDAHULUAN

Berdasarkan definisi dari World Health Organization (WHO) kesehatan mental adalah keadaan
dimana setiap individu dapat menyadari potensi dirinya, mampu mengatasi tekanan kehidupan,
bekerja secara produktif, dan memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Gangguan mental tidak
dapat diremehkan. Sebanyak 450 orang di dunia menderita penyakit mental dan sekitar 85% orang
dengan penyakit mental di negara berkembang tidak mendapatkan perawatan dan pengobatan.
Indonesia, dengan berbagai faktor psikologis, biologis, dan sosial dengan keragaman populasi,
memiliki jumlah kasus gangguan mental yang terus meningkat dan berdampak pada peningkatan
beban negara serta penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Data Kesehatan Republik
Indonesia menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional seperti gejala depresi dan kecemasan
untuk usia lima belas tahun ke atas mencapai sekitar empat belas juta orang atau enam persen dari
total populasi Indonesia, sedangkan prevalensi gangguan mental berat seperti skizofrenia mencapai
sekitar 400.000 orang.
Dengan prevalensi gangguan yang tinggi, Indonesia membutuhkan pelayanan kesehatan
mental. Masyarakat Indonesia pada umumnya menggunakan asuransi kesehatan untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan. Asuransi kesehatan yang disediakan oleh pemerintah ialah Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, atau orang yang dikenal sebagai BPJS. Layanan BPJS dimulai dari
perawatan kesehatan primer, perawatan kesehatan primer menyediakan perawatan kesehatan penting,
dapat diakses secara menyeluruh untuk individu maupun keluarga di masyarakat dan disediakan
sedekat mungkin dari tempat tinggal dan tempat bekerja. Perawatan kesehatan primer terdiri dari
Pusat Kesehatan Masyarakat yang dikenal sebagai Puskesmas.
Puskesmas adalah fasilitas kesehatan primer yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan individu tingkat pertama, memprioritaskan upaya promotif dan
preventif, untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Terdapat 9,825 Puskesmas yang
tersebar di seluruh Indonesia dan dari total tersebut sekitar 3.602 Puskesmas telah memiliki layanan
kesehatan mental tetapi hanya 250 yang memenuhi standar untuk mengobati gangguan mental. Hal ini
menjadi tantangan bagi Indonesia, yang memiliki prevelensi gangguan mental tinggi, agar menjadikan
puskesmas sebagai fasilitas layanan kesehatan primer untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan
mental yang memenuhi empat aspek kesehatan yaitu aksesibilitas, ketersediaan, keterjangkauan, dan
penerimaan sehingga dapat dinilai efektif.
Peneliti memilih judul efektivitas akses perawatan kesehatan mental di Puskesmas sebagai
perawatan kesehatan primer di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
terkait pentingnya akses kesehatan mental dalam perawatan kesehatan primer dan memberikan solusi
tentang masalah terkait kesehatan ini melalui sudut pandang masyarakat, pasien, tenaga kerja
kesehatan, pemerintah dan mahasiswa kedokteran.

2. METODE

Peneliti memilih metode penelitian studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah metode
pengumpulan data penelitian dengan membaca buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang
sejenis untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti (Sarwono:2006).
Studi kepustakaan penelitian ini dilakukan dengan menelaah 3 jurnal terkait. Hasil dari telaah
literatur ini akan digunakan untuk mengetahui bagaimana keadaan kesehatan mental serta akses dan
pelayanan kesehatan mental pada puskesmas di beberapa wilayah Indonesia.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang diperoleh peneliti mendapatkan tiga jurnal yang memenuhi kriteria,
yaitu:

Penulis Hasil Temuan Kualitas Ref.

Jurnal
Setiyawati et al. Meningkatkan perawatan kesehatan primer Tinggi [1]
dengan penambahan layanan kesehatan mental
adalah cara untuk menutup kesenjangan
pengobatan bagi orang dengan gangguan mental.
Tersedianya psikolog dalam perawatan kesehatan
primer merupakan langkah penting dalam
menangani kurangnya jumlah spesialis kejiwaan.
Mengintegrasikan perawatan kesehatan mental
ke dalam layanan perawatan kesehatan primer
yang ada dianggap sebagai salah satu solusi yang
menjanjikan untuk memperluas akses layanan
kesehatan mental. Perawatan kesehatan primer
adalah pilihan yang lebih terjangkau daripada
perawatan spesialis dan dengan demikian
merupakan cara lain agar perawatan dapat dibuat
tersedia lebih luas. Integrasi psikolog ke dalam
perawatan kesehatan primer dimulai pada tahun
2004, diawali oleh Dinas Kesehatan Kabupaten
Sleman yang bekerja sama dengan Fakultas
Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Mawarpury et al. Kota Aceh sebelumnya memiliki masalah Tinggi [2]
tsunami, konflik bersenjata, dan sosial-ekonomi.
Kejadian ini mengakibatkan munculnya
gangguan psikologis yang parah di masyarakat.
Melihat banyaknya bencana dan luasnya wilayah
Aceh, jumlah petugas kesehatan tidak sebanding
dan berakibat tidak tercapainya tujuan layanan
perawatan kesehatan mental karena kurangnya
akses perawatan kesehatan mental. Berdasarkan
penjelasan sebelumnya, layanan perawatan
kesehatan mental di layanan kesehatan primer
dibutuhkan agar dapat diakses oleh semua orang
dan layanan kesehatan primer berbasis
masyarakat, sehingga diharapkan dapat
meminimalkan stigma masyarakat terhadap
gangguan mental. Penelitian yang dilakukan
untuk makalah ini menunjukan kurangnya
keterampilan dari petugas kesehatan
mengakibatkan tidak ada layanan yang
berkelanjutan, pencatatan kasus tidak optimal,
dan belum terintegrasi. Hasil lain menjelaskan
negara dengan anggaran pendapatan menengah
ke bawah untuk alokasi kesehatan mental kurang
dari 1% dari anggaran kesehatan nasional.
Puskesmas, sebagai layanan kesehatan primer
harus dioptimalkan karena 71% masyarakat
berpenghasilan rendah pergi ke layanan
kesehatan primer. Puskesmas memiliki layanan
kesehatan mental seperti: 1) Layanan kesehatan
mental; 2) Konseling; 3) Layanan terpadu di
masyarakat; 4) Kunjungan rumah; 5)
Penjangkauan; 6) Pemberdayaan dan rujukan
keluarga.
Setiyawati et al. Petugas kesehatan masyarakat nonprofesional Sedang [3]
memiliki peran besar dalam kesehatan mental.
Peran mereka saat ini sedang diperkenalkan
dalam sistem kesehatan nasional Indonesia.
Partisipan dalam penelitian ini termasuk empat
kelompok pemangku kepentingan dalam
perawatan kesehatan primer, yaitu: 1) Manajer
program dari dinas kesehatan kabupaten dan
layanan perawatan kesehatan primer di desa; 2)
Tenaga kesehatan; 3) Spesialis kejiwaan; 4)
Pengguna layanan. Mereka dilatih untuk
berkontribusi pada berbagai tugas seperti
pencegahan gangguan mental. Mereka harus
memiliki beberapa kompetensi yaitu : 1)
Pengetahuan, pemahaman dan penilaian; 2)
Keterampilan kognitif, teknis, dan interpersonal;
3) Berbagai atribut dan sikap pribadi, 4)
Kemampuan berkomunikasi secara efektif.
Kompetensi ini harus dipenuhi oleh petugas
kesehatan masyarakat karena pedoman
internasional.

4. SIMPULAN

Temuan utama dari penelitian ini adalah kesehatan mental tidak mendapatkan
perhatian sebanyak yang seharusnya. Akses kesehatan mental masih sulit terutama dalam
perawatan primer di Indonesia. Akses kesehatan mental di layanan primer di Indonesia tidak
memenuhi 4 aspek, yaitu: 1) Aksesibilitas, kurangnya penyedia layanan kesehatan mental di
Indonesia, kurangnya layanan perawatan kesehatan mental, birokrasi asuransi yang sulit, dan
stigma masyarakat dan kesalahpahaman tentang kesehatan mental yang disebabkan masalah
tentang akses kesehatan mental jauh lebih rumit; 2) Keterjangkauan, ketika datang dengan
penyakit mental orang akan berpikir untuk pergi ke psikiater, yang akan menelan biaya lebih
banyak tanpa asuransi kesehatan; 3) Penerimaan, sebagian besar orang tidak menganggap
penyakit mental sebagai masalah serius bahkan jika mereka didiagnosis menderita penyakit
mental, mereka tidak minum obat lebih lanjut karena keyakinan mereka bahwa gangguan
mental dapat diobati dengan ritual keagamaan; 4) Ketersediaan, layanan kesehatan mental
tidak terdistribusi secara merata, tidak semua puskesmas memiliki layanan kesehatan mental.

Akibat dari tidak lengkapnya keempat aspek tersebut, kebanyakan orang dengan
masalah mental mendapatkan perawatan yang tidak tepat sehingga akses pelayanan kesehatan
mental pada puskesmas sebagai layanan kesehatan primer di Indonesia belum dapat
dikatakan efektif.

5. SARAN

Saran untuk efektivitas akses kesehatan mental di puskesmas sebagai perawatan


kesehatan primer di Indonesia dapat dilihat untuk sudut pandang yang berbeda: 1) Untuk
sudut pandang pasien, pasien harus menyadari jika mereka telah didiagnosis dengan
kesehatan mental, mereka harus mencari pengobatan dari seorang ahli; 2) Untuk tenaga kerja
kesehatan, mereka harus siap untuk bekerja di daerah mana pun termasuk tempat pedesaan;
3) Untuk pemerintah, mereka harus membuat birokrasi BPJS lebih mudah dan lebih
disosialisasikan, mereka harus membuat peraturan baru tentang penempatan psikolog dalam
layanan perawatan kesehatan primer, sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses
perawatan kesehatan mental; 4) Untuk mahasiswa kedokteran, mereka harus meningkatkan
pendidikan antarprofesi dengan mahasiswa psikologi, dalam bentuk diskusi tentang
efektivitas akses kesehatan mental; 5) Untuk komunitas, mereka seharusnya tidak dengan
mudah menilai orang dengan penyakit mental.

6. DAFTAR PUSTAKA
1. Endang R S., Anthony F J., Harry M., & Ritsuko K. (2018). Personal Attributes and Competencies
Required by Community Health Worker for A Role in Integrated Mental Health Care for
Perinatal Depression: Voices of Primary Health Care Stakeholders from Surabaya Indonesia.
International Journal of Mental Health Systems, 12(46). doi: 10.1186/s13033-018-0224-0.
2. Marty M., Kartika S., & Lely S. (2017). Layanan Kesehatan Mental di Puskesmas: Apakah
Dibutuhkan?. Jurnal Insight Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember, 13(1).
3. Diana S., Erminia C., Grant B., Ruth W., & Harry M. (2014). International experts’ perspectives on
a curriculum for psychologists working in primary health care: implication for Indonesia.
Health Psychology & Behavioural Medicine, 2(1), 770-784. doi:
10.1080/21642850.2014.929005.
4. World Health Organization. (2014). Mental Health: a state of well-being. Dikutip dari
https://www.who.int/features/factfiles/mental_health/en/ ,diakses Maret 2019.
5. Dumilah, A., Misnaniarti, & Marisa, R. (2018). Analisis Situasi Kesehatan Mental pada
Masyarakat di Indonesia dan Strategi Penanggulangannya. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat,
9(1), 1-10. doi: 10.26553/ikm.2018.9.1.1-10.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa
Masyarakat. Dikutip dari http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga
-dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html ,diakses March 2019.
7. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. (2018). Panduan Layanan Bagi Peserta Jaminan Kesehatan
Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Indonesia: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Butuh Konsultasi Masalah Kejiwaan, Jangan
Ragu ke Fasyankes dengan Layanan Jiwa. Dikutip dari
http://www.depkes.go.id/article/view/17072400001/butuh-konsultasi-masalah-kejiwaan-
jangan-ragu-ke-fasyankes-dengan-layanan-jiwa.html ,diakses April 2019.
9. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014. Jakarta.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Deteksi Kesehatan Jiwa Dilakukan di
Puskesmas. Dikutip darihttp://www.depkes.go.id/development/site/jkn/index.php?
cid=1480&id=deteksi-kesehatan-jiwa-dilakukan-di-puskesmas.html ,diakses March 2019.

Anda mungkin juga menyukai