Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN mengurangi faktor risiko ISPA antara lain adalah

mengatur pola makan, menciptakan lingkungan


Penyakit menular merupakan masalah yang nyaman dan menghindari faktor pencetus 6.
penting pada bidang kesehatan dihampir semua Upaya untuk mencegah penyakit ISPA perlu
negara berkembang. Hal ini karena angka dilakukan, yaitu dengan pemberian imunisasi
kesakitan dan kematiannya yang relatif tinggi dasar lengkap, pemberian kapsul vitamin A,
dalam kurun waktu yang relatif singkat1. Infeksi meningkatkan pengetahuan dan sikap orang tua
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah dalam pencegahan penyakit ISPA serta
satu penyakit yang menular dan masih sulit untuk menghindari merokok dalam rumah7.
ditanggulangi karena berhubungan erat dengan Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini
perilaku dan kondisi lingkungan serta sosial terjadi setelah orang melakukan pengindraan
ekonomi masyarakat2. terhadap suatu objek tertentu sehingga dari
Data World Health Organization (WHO) pengetahuan tersebut dapat mempengaruhi ibu
Tahun 2016 menunjukkan bahwa insiden Infeksi tentang ISPA maka akan langsung berhubungan
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara dalam menurunkan angka kejadian ISPA8. Sikap
berkembang dengan angka kematian balita di atas adalah respon tertutup seseorang terhadap
60 per 1.000 kelahiran hidup adalah 19%-24% stimulus atau objek tertentu, yang sudah
pertahun pada usia balita. Di Indonesia, ISPA melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
selalu menempati urutan pertama penyebab bersangkutan. Sikap juga melibatkan pikiran,
kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain perasaan, dan perhatian. Ibu yang mempunyai
itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 sikap baik akan merasa bahwa lingkungan
penyakit terbanyak di Puskesmas/Rumah Sakit3. keluarga dan tradisi yang turun temurun di
Data morbiditas penyakit ISPA di keluarga harus mendukung dalam upaya
Indonesia per Tahun berkisar antara 10-25% dari mencegah masalah ISPA sehingga anaknya dapat
populasi balita. Bila mengambil angka morbiditas terhidar dar masalah ISPA1.
10% pertahun, berarti setiap tahun jumlah Faktor terjadinya penyakit ISPA pada
penderita ISPA di Indonesia berkisar 2,3 juta. balita salah satunya di sebabkan karena paparan
Program pemberantasan ISPA secara khusus telah asap rokok yang berada di lingkungan sekitar
dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya balita. Sebab, terdapat seorang perokok atau lebih
untuk menurunkan kesakitan dan kematian di dalam rumah akan memperbesar resiko anggota
khususnya pada bayi dan anak balita yang keluarga yang menderita ISPA. Asap rokok
disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka mengandung tiga bahan utama yang sangat
kesakitan dan kematian tersebut masih tetap berbahaya bagi kesehatan di antaranya, tar,
tinggi4. nikotin dan karbon monoksida9. Jika seseorang
Maryunani (2010) menyatakan, secara terpapar asap rokok maka Kondisi akan
umum terdapat 3 faktor risiko terjadinya ISPA menyebabkan reaksi alergi dan peradangan.
yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak dan Peradangan tersebut akan merangsang keluarnya
faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi sekret berlebihan, hal ini akan menjadi media
pencemaran udara dalam rumah, ventilasi dan yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Akibat dari
kepadatan hunian. Faktor individu anak meliputi peradangan tersebut, maka saluran pernapasan
umur anak, berat badan lahir, status gizi, status akan mengalami penyempitan dan produksi lendir
imunisasi dan pemberian vitamin A, sedangkan akan terus meningkat. Jika hal ini sudah terjadi,
faktor perilaku meliputi pengetahuan, sikap dan maka seseorang akan sulit bernapas dan bakteri
merokok, salah satu tindakan yang beresiko tidak bisa dikeluarkan sehingga akan terjadi
terhadap kejadian ISPA adalah prilaku merokok di infeksi saluran pernapasan salah satunya ISPA10.
dalam rumah5. Penelitian yang dilakukan oleh
Masih tingginya angka kejadian ISPA Suhandayani (2016) di Puskesmas Pati I
maka diperlukan upaya-upaya kesehatan Kabupaten Pati memperoleh hasil bahwa terdapat
masyarakat dalam mencegah terjadinya ISPA. hubungan yang signifikan antara pengetahuan (p
Upaya pencegahan ISPA ada dua cara pokok yaitu =0,001), keberadaan perokok dalam rumah (p =
imunisasi dan mengurangi faktor risiko. Cara 0,000), sikap (p = 0,002) dan imunisasi(p =

1
0,006) dengan kejadian ISPA pada balita 11. METODE PENELITIAN
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Sudirman (2014) di wilayah Puskesmas Purwosari Jenis penelitian yang digunakan dalam
memperoleh hasil bahwa tidak ada hubungan penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Metode
antara keberadaan anggota keluarga yang penelitian ini analitik dengan pendekatan case
merokok di dalam rumah (p =0,421) dansikap (p control.
= 0,301) dengan kejadian ISPA pada balita12. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja
Jumlah penderita ISPA pada balita di Pustu Tondo. Peneliti memilih wilayah kerja
Sulawesi Tengah pada tahun 2017 sebanyak Pustu Tondo karena berdasarkan observasi awal
246,963 balita (82,45 %) jumlah ini mengalami yang peneliti lakukan terdapat cukup banyak
peningkatan jika di bandingkan kejadian tahun jumlah balita yang menderita ISPA yaitu 193
2016 yaitu sebanyak 212.029 balita (67,84 %). (15,13%) balita laki-laki berjumlah 83 balita dan
Sementara kejadian ISPA pada balita di kota palu perempuan berjumlah 110 balita. Jumlah bayi
tahun 2017 sebanyak 41.541 balita13. yang tidak mengikuti imunisasi di wilayah kerja
Data jumlah penderita ISPA yang terjadi Pustu Tondo yaitu untuk imunisai HB0 sebanyak
pada balita di Puskesmas Talise tahun 2017 8 bayi, BCG sebanyak 10 bayi, DPT-HB
berjumlah 1.403 balita (38,23%), pada tahun 2018 sebanyak 15 bayi, Polio sebanyak 7 bayi, dan
terjadi peningkatan kasus sebanyak 1.601 balita Campak sebanyak 12 bayi.
(43,28%), dari total keseluruhan jumlah balita Penelitian ini telah dilaksanakan pada
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Talise tahun tanggal 23 April sampai dengan 28 Mei tahun
2018 sebanyak 3.669 balita. Wilayah kerja 2019. Peneliti memilih bulan Mei sebagai waktu
Puskesmas Talise memiliki tiga pustu, yaitu Pustu penelitian karena mengikuti kalender pendidikan
Valangguni, Pustu Tondo dan Pustu Layana, dan mengejar batas waktu penelitian.
dengan jumlah kasus ISPA terbanyak pada Pustu Populasi dalam penelitian ini adalah
Tondo berjumlah 193 (15,13%) balita, laki – laki semua balita yang menderita ISPA di wilayah
berjumlah 83 balita dan perempuan berjumlah 110 kerja Pustu Tondo yang berjumlah sebanyak 193
balita. Jumlah bayi yang tidak mengikuti balita. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 80
imunisasi di wilayah kerja Pustu Tondo yaitu balita yang terdiri dari 40 kelompok kasus dan 40
untuk imunisai HB0 sebanyak 8 bayi, BCG kelompok kontrol. Sumber data adalah primer dan
sebanyak 10 bayi, DPT-HB sebanyak 15 bayi, sekunder.
Polio sebanyak 7 bayi, dan Campak sebanyak 12 Analisis data mengunakan analisis
bayi. univariat dan analisis bivariat. Uji yang digunakan
Hasil wawancara peneliti dengan petugas adalah uji chi-square dengan tingkat kemaknaan
Pustu Tondo menunjukan bahwa alasan orang tua 0,05.
atau ibu tidak membawa bayi atau anaknya untuk
melakukan imunisasi karena reaksi pasca
imunisasi seperti demam, anak menjadi rewel
lebih dari biasanya dan kesibukan dari orang tua.
Rumusan masalah pada penelitian ini
yaitu Faktor – faktor apakah yang berhubungan
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Pustu Tondo.
Tujuan umum penelitian ini yaitu
dianalisisnya Faktor – faktor yang berhubungan
dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
Pustu Tondo.

2
HASIL PENELITIAN kelompok kontrol, sebagian besar berumur 2
Analisis Univariat tahun yaitu 45% dan sebagian kecil berumur 4
tahun yaitu 2,5%.
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan
karakteristik responden dan ibu di Tabel 2 Distribusi frekuensi responden
wilayah kerja Pustu Tondo berdasarkan variabel penelitian di
wilayah kerja Pustu Tondo
Kasus Kontrol Total
Karakteristik
f % f % f % Variabel Penelitian f %
Umur ibu Pengetahuan
19-25 tahun 16 40,0 9 22,5 25 31,2 Kurang baik 36 45,0
26-35 tahun 16 40,0 25 62,5 41 51,3 Baik 44 55,0
36-43 tahun 8 20,0 6 15,0 14 17,5 Sikap
Pendidikan Kurang baik 35 43,8
Dasar 25 62,5 22 55,0 47 58,7 Baik 45 56,2
Menengah 13 32,5 14 35,0 27 33,8 Status imunisasi
Tinggi 2 5,0 4 10,0 6 7,5 Kurang lengkap 15 18,8
Pekerjaan Lengkap 65 81,2
URT 31 77,5 29 72,5 60 75,0 Kebiasaan anggota
Wiraswasta 6 15,0 9 22,5 15 18,8 keluarga yang merokok
Petani 2 5,0 0 0,0 2 2,5 Merokok 47 58,8
PNS 1 2,5 2 5,0 3 3,7 Tidak merokok 33 41,2
JK balita Kejadian ISPA
Laki-laki 16 40,0 16 40,0 32 40,0 Menderita (case) 40 50,0
Perempuan 24 60,0 24 60,0 48 60,0 Tidak menderita (control) 40 50,0
Umur Total 80 100,0
1 tahun 8 20,0 5 12,5 13 16,2
2 tahun 17 42,5 18 45,0 35 43,8 Sumber: Data Primer 2019
3 tahun 13 32,5 16 40,0 29 36,2
4 tahun 2 5,0 1 2,5 3 3,8
Total 40 100,0 40 100,0 80 100,0
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 80 ibu,
Sumber: Data Primer 2019 sebagian besar mempunyai pengetahuan yang
baik tentang ISPA yaitu 55%, dan sebagian kecil
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari mempunyai pengetahuan yang kurang baik yaitu
kelompok kasus, sebagian besar berumur 19-25 45%. Sebagian besar mempunyai sikap yang baik
tahun dan 26-35 tahun yaitu 40% dan sebagian tentang ISPA yaitu 56,2%, dan sebagian kecil
kecil berumur 36-43 tahun yaitu 20%. Pada mempunyai sikap yang kurang baik yaitu 43,8%.
kelompok kontrol, sebagian besar berumur 26-35 Sebagian besar dengan status imunisasi yang
tahun yaitu 62,5% dan sebagian kecil berumur 36- lengkap yaitu 81,2% dan sebagian kecil dengan
43 tahun yaitu 15%. Sebagian besar status imunisasi yang kurang lengkap yaitu
berpendidikan dasar yaitu 62,5% dan sebagian 18,8%. Sebagian besar dengan kebiasaan anggota
kecil berpendidikan tinggi yaitu 5%. Pada keluarga yang merokok di dalam rumah yaitu
kelompok kontrol, sebagian besar berpendidikan 58,8% dan sebagian kecil dengan kebiasaan
dasar yaitu 55% dan sebagian kecil berpendidikan anggota keluarga yang tidak merokok di dalam
tinggi yaitu 10%. Sebagian besar adalah URT rumah yaitu 41,2%. jumlah yang menderita ISPA
yaitu 77,5% dan sebagian kecil adalah PNS yaitu dan yang tidak menderita ISPA adalah sama yaitu
2,5%. Pada kelompok kontrol, sebagian besar 50%.
adalah URT yaitu 75% dan sebagian kecil adalah
PNS yaitu 5%. Sebagian besar balita berjenis
kelamin perempuan yaitu 60% dan sebagian kecil
berjenis kelamin laki-laki yaitu 40%. Sebagian
besar balita berumur 2 tahun yaitu 42,5% dan
sebagian kecil berumur 4 tahun yaitu 5%. Pada

3
(control)
Analisis Bivariat n % n % n %
Hubungan antara pengetahuan dengan
kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo Kurang 23 65,7 12 34, 35 10
baik 3 0,0
3,157
Tabel 3 Hubungan antara pengetahuan dengan Baik 17 37,8 28 62, 45 10 0,024 (1,255-
kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu 2 0,0 7,938)
Tondo
Total 40 50,0 40 50,0 80 100,0

Kejadian ISPA
Sumber: Data Primer 2019
p-
Menderita
Tidak Total
value OR Tabel 4 menunjukkan bahwa dari 35 ibu
Pengetahuan menderita (CI) yang mempunyai sikap kurang baik tentang ISPA,
(case)
(control)
terdapat 23 balita (65,7%) yang menderita ISPA
n % n % n % dan 12 balita (34,3%) yang tidak menderita ISPA,
sedangkan dari 45 ibu yang mempunyai sikap
Kurang 24 64,9 13 35,1 37 100,0
baik
baik tentang ISPA, terdapat 17 balita (37,8%)
3,115 yang menderita ISPA dan 28 balita (62,2%) yang
0,025 (1,247-
Baik 16 37,2 27 62,8 43 100,0
7,781) tidak menderita ISPA.
Hasil uji statistik menggunakan chi-
Total 40 50,0 40 50,0 80 100,0
square diperoleh p-value = 0,024 (p-value ≤ 0,05)
Sumber: Data Primer 2019 yang artinya ada hubungan antara sikap dengan
kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo.
Tabel 3 menunjukkan bahwa dari 37 ibu Nilai Odds Ratio (OR) yaitu 3,157 artinya ibu
yang mempunyai pengetahuan kurang baik yang memiliki sikap kurang baik tentang ISPA,
tentang ISPA, terdapat 24 balita (64,9%) yang balitanya memiliki risiko atau peluang 3 kali lebih
menderita ISPA dan 13 balita (35,1%) yang tidak besar untuk menderita ISPA dibanding ibu yang
menderita ISPA, sedangkan dari 43 ibu yang memiliki sikap baik tentang ISPA.
mempunyai pengetahuan baik tentang ISPA,
terdapat 16 balita (37,2%) yang menderita ISPA Hubungan antara status imunisasi dengan
dan 27 balita (62,8%) yang tidak menderita ISPA. kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo
Hasil uji statistik menggunakan chi-
square diperoleh p-value = 0,025 (p-value ≤ 0,05) Tabel 5 Hubungan antara status imunisasi
yang artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan kejadian ISPA di wilayah kerja
dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Pustu Tondo
Tondo. Nilai Odds Ratio (OR) yaitu 3,115 artinya
Kejadian ISPA
ibu yang memiliki pengetahuan kurang baik
tentang ISPA, balitanya memiliki risiko atau Total
Status Tidak p- OR
Menderita
peluang 3 kali lebih besar untuk menderita ISPA imunisasi menderita value (CI)
dibanding ibu yang memiliki pengetahuan baik
n % N % n %
tentang ISPA.
Kurang
11 73,3 4 26,7 15 100,0
Hubungan antara sikap dengan kejadian ISPA lengkap
3,414
di wilayah kerja Pustu Tondo 0,086 (0,983-
Lengkap 29 44,6 36 55,4 65 100,0
11,850)
Tabel 4 Hubungan antara sikap dengan kejadian Total 40 50,0 40 50,0 80 100,0
ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo
Sumber: Data Primer 2019
Sikap Kejadian ISPA Total p-
value
Menderita Tidak OR Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 15
(case) menderita (CI) balita dengan status imunisasi kurang lengkap,
terdapat 11 balita (73,3%) yang menderita ISPA

4
dan 4 balita (26,7%) yang tidak menderita ISPA, balita dengan kebiasaan anggota keluarga yang
sedangkan dari 65 balita dengan status imunisasi merokok di dalam rumah memiliki risiko atau
lengkap, terdapat 29 balita (44,6%) yang peluang 3 kali lebih besar untuk menderita ISPA
menderita ISPA dan 36 balita (55,4%) yang tidak dibanding balita dengan kebiasaan anggota
menderita ISPA. keluarga yang tidak merokok di dalam rumah.
Hasil uji statistik menggunakan chi-
square diperoleh p-value = 0,086 (p-value > 0,05) PEMBAHASAN
yang artinya tidak ada hubungan antara status Hubungan antara pengetahuan dengan
imunisasi dengan kejadian ISPA di wilayah kerja kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo
Pustu Tondo. Nilai Odds Ratio (OR) yaitu 3,414
artinya balita dengan status imunisasi kurang Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
lengkap memiliki risiko atau peluang 3 kali lebih 80 ibu dalam penelitian ini, sebagian besar
besar untuk menderita ISPA dibanding balita mempunyai pengetahuan yang baik tentang ISPA
dengan status imunisasi lengkap. yaitu 55%, dan sebagian kecil mempunyai
pengetahuan yang kurang baik yaitu 45%. Hasil
Hubungan antara kebiasaan anggota keluarga penelitian menunjukan ada hubungan antara
yang merokok dengan kejadian ISPA di pengetahuan dengan kejadian ISPA di wilayah
wilayah kerja Pustu Tondo kerja Pustu Tondo dengan p-value = 0,025 (p-
value ≤ 0,05). Nilai Odds Ratio (OR) = 3,115
Tabel 6 Hubungan antara kebiasaan anggota artinya yaitu ibu yang mempunyai pengetahuan
keluarga yang merokok dengan kejadian kurang baik tentang ISPA, balitanya mempunyai
ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo risiko atau peluang 3 kali lebih besar untuk
menderita ISPA dibanding ibu yang mempunyai
Kejadian ISPA pengetahuan baik tentang ISPA.
Kebiasaan p-
anggota Tidak
Total
value OR Menurut peneliti bahwa sebagian besar
Menderita
keluarga yang menderita (CI) (62,5%) balita menderita ISPA ada pada ibu yang
merokok berpendidikan dasar (SD dan SMP), hal ini
n % n % n %
dikarenakan pada ibu yang berpendidikan dasar
Merokok 29 61,7 18 38,3 47 100,0 mempunyai pengetahuan yang kurang terhadap
3,222 masalah ISPA sehingga balitanya rentan untuk
Tidak
merokok
11 33,3 22 66,7 33 100,0 0,023 (1,268- menderita ISPA. Sementara sebagian besar balita
8,188) menderita ISPA ada pada ibu yang berusia 19-35
Total 40 50,0 40 50,0 80 100,0 tahun (40%), hal ini dikarenakan pada ibu yang
berusia muda mempunyai pola pikir yang belum
Sumber: Data Primer 2019 teralalu matang jika dibanding dengan ibu yang
berusia lebih tua, selain itu ibu dengan usia lebih
Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 47 tua cenderung lebih banyak pengalamannya,
balita dengan kebiasaan anggota keluarga yang sehingga dari pengalaman tersebut ibu dapat
merokok di dalam rumah, terdapat 29 balita memperoleh pengetahuan.
(61,7%) yang menderita ISPA dan 18 balita Hal ini sejalan dengan pernyataan
(38,3%) yang tidak menderita ISPA, sedangkan Hurlock (2010) semakin cukup umur, tingkat
dari 33 balita dengan kebiasaan anggota keluarga kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih
yang tidak merokok di dalam rumah, terdapat 11 matang dalam berfikir. Sehingga dengan
balita (33,3%) yang menderita ISPA dan 22 balita bertambahnya umur, maka pengetahuan
(66,7%) yang tidak menderita ISPA. seseorangpun akan bertambah. Dari pengalaman,
Hasil uji statistik menggunakan chi- manusia mendapatkan pengetahuan, dari
square diperoleh p-value = 0,023 (p-value ≤ 0,05) pengetahuan manusia mengembangkan ilmu
yang artinya ada hubungan antara kebiasaan pengetahuan14. Seperti penjelasan Notoatmodjo
anggota keluarga yang merokok di dalam rumah (2014) bahwa pendidikan diperlukan untuk
dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu mendapat informasi. Pendidikan dapat
Tondo. Nilai Odds Ratio (OR) yaitu 3,222 artinya mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku

5
seseorang. Pada umumnya makin tinggi tambahan pada ibu yang mempunyai pengetahuan
pendidikan seseorang makin mudah menerima kurang baik, tetapi balitanya tidak menderita
informasi15. ISPA dikarenakan faktor kebiasaan ibu seperti
Menurut peneliti bahwa terdapat membiasakan balita untuk mengkonsumsi
hubungan antara pengetahuan dengan kejadian makanan bergizi dan rajin membersihkan rumah
ISPA pada balita dikarenakan jika ibu telah sehingga balitanya kurang berisiko menderita
mempunyai pengetahuan yang baik tentang ISPA, ISPA.
maka ibu cenderung akan melakukan upaya Sejalan dengan Cecep (2015) yang
pencegahan yang baik agar anaknya tidak berisiko menyatakan bahwa pencegahan penyakit
menderita ISPA. Begitu juga sebaliknya, ibu yang merupakan komponen penting dalam pelayanan
kurang mengetahui tentang ISPA, akan kesehatan. Upaya pencegahan penyakit bertujuan
memperbesar risiko balitanya untuk mendeita untuk menurunkan angka kematian yang
ISPA, karena ibu belum maksimal atau kurang disebabkan oleh penyakit tersebut. Sering
baik dalam mencegah masalah ISPA. seseorang mempunyai perilaku yang kurang baik
Hal ini sejalan dengan pernyataan terhadap pencegahan penyakit walaupun dirinya
Notoatmodjo (2014) bahwa pengetahuan dapat sudah mempunyai pengetahuan yang baik. Faktor
diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, kebiasaan, kesibukan, dan kemalasan menjadi
media massa dan orang lain. Pengetahuan pencetus timbulnya perilaku yang kurang baik
merupakan faktor pemudah (predisposising tersebut18.
factor) bagi seseorang untuk terhindar penyakit, Hasil penelitian ini didukung oleh hasil
dengan demikian faktor ini menjadi pemicu atau penelitian yang dilakukan oleh Ayub (2015) di
anteseden terhadap perilaku yang menjadi dasar wilayah kerja Puskesmas Bukit Tinggi Kota
atau motivasi bagi tindakannya akibat tradisi atau Padang, jumlah responden dalam penelitian
kebiasaan, kepercayaan, tingkat pendidikan dan adalah 55 orang, dan menemukan ada hubungan
tingkat sosial ekonomi15. Selain itu menurut antara pengetahuan dengan kejadian ISPA pada
Meliono (2013), masyarakat yang mempunyai balita, dengan nilai p = 0,001 (p ≤ 0,05)19.
pengatahuan baik terhadap suatu penyakit, maka
akan menimbulkan respon positif yaitu upaya Hubungan antara sikap dengan kejadian ISPA
terhadap pencegahan penyakit tersebut16. di wilayah kerja Pustu Tondo
Seperti yang dijelaskan oleh Sutrisna
(2014), bahwa adanya hubungan pengetahuan ibu Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
dengan kejadian ISPA pada balita karena tingkat 80 ibu dalam penelitian ini, sebagian besar
pengetahuan sangat penting dimiliki oleh mempunyai sikap yang baik tentang ISPA yaitu
seseorang, tingkat pengetahuan merupakan suatu 56,2%, dan sebagian kecil mempunyai sikap yang
wawasan yang akan menyebabkan perubahan kurang baik yaitu 43,8%. Hasil penelitian
seseorang dalam bersikap dan bertindak dalam menunjukan ada hubungan antara sikap dengan
mengatasi permasalahan yang timbul dalam kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo
kehidupan. Jika pengetahuan ibu tentang ISPA dengan p-value = 0,024 (p-value ≤ 0,05). Nilai
ditingkatkan maka kejadian ISPA pada balita akan Odds Ratio (OR) = 3,157 artinya yaitu ibu yang
berkurang, begitupula sebaliknya jika mempunyai sikap kurang baik tentang ISPA,
pengetahuan ibu tentang ISPA kurang baik maka balitanya mempunyai risiko atau peluang 3 kali
semakin besar risiko balita menderita ISPA 17. lebih besar untuk menderita ISPA dibanding ibu
Menurut peneliti, ibu yang mempunyai yang mempunyai sikap baik tentang ISPA.
pengetahuan baik tentang ISPA tetapi balitanya Menurut peneliti bahwa lebih banyak
menderita ISPA dikarenakan berdasarkan hasil balita menderita ISPA ada pada ibu yang
wawancara tambahan yang peneliti lakukan pada berpendidikan dasar dan ibu yang berusia lebih
ibu bahwa faktor kesibukan dari ibu yang muda karena tingkat pendidikan dan usia
menyebabkan hal demikian, sehingga ibu belum berpengaruh terhadap sikap seseorang, dimana
maksimal dalam melakukan pencegahan penyakit semakin dewasa usia ibu maka akan semakin
ISPA pada balitanya sehingga balitanya menderita bijak dalam menyikapi sesuatu hal. Begitu juga
ISPA. Begitu pula untuk hasil wawancara dengan pendidikan, semakin tinggi tingkat

6
pendidikan ibu maka akan mempengaruhi waktu kecil yang baik sehingga melahirkan pola
sikapnya untuk lebih positif. pikir yang baik, keyakinan dan emosi yang baik.
Seperti yang dijelaskan oleh Fuadi (2010), Sikap yang kurang dapat berdampak pada
bahwa umur mempengaruhi pembentukan sikap tingginya kejadian ISPA20.
dan pola tingkah laku seseorang. Makin Kholid (2012) juga menyatakan bahwa
bertambahnya umur diharapkan seseorang sikap merupakan respon evaluatif didasarkan pada
bertambah pula kedewasaannya, makin mantap proses evaluasi diri yang disimpulkan berupa
pengendalian emosinya, dan makin tepat segala penilaian positif atau negatif yang kemudian
tindakannya. Pendidikan juga merupakan proses mengkristal sebagai reaksi terhadap objek.
dimana seseorang mengembangkan kemampuan, Maksudnya yaitu seseorang yang mempunyai
sikap dan bentuk tingkah laku lainnya di dalam sikap baik terhadap masalah penyakit, akan
lingkungan masyarakat. Pendidikan merupakan mengupayakan pencegahan terhadap penyakit
alat yang digunakan untuk merubah perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-harinya sehingga
manusia20. dapat meningkatkan kesehatannya. Begitu juga
Menurut peneliti bahwa terdapat sebaliknya, seseorang yang mempunyai sikap
hubungan antara sikap dengan kejadian ISPA kurang baik, maka berkemungkinan besar untuk
pada balita dikarenakan ibu yang telah tidak melakukan pencegahan terhadap penyakit
mempunyai sikap baik tentang ISPA akan sehingga meningkatkan risiko masalah
beranggapan bahwa sangat perlu melakukan kesehatan22.
pencegahan terhadap ISPA pada balitanya, Menurut peneliti, ibu yang mempunyai
sehingga dari hal ini ibu akan melakukan upaya sikap baik tentang ISPA tetapi balitanya
pencegahan agar balitanya tidak menderita ISPA, menderita ISPA dikarenakan berdasarkan hasil
sebaliknya jika ibu mempunyai sikap kurang baik wawancara tambahan yang peneliti lakukan pada
terhadap ISPA, maka akan kurang mendukung ibu bahwa balitanya sering terpapar asap hasil
dalam mencegah ISPA, karena pada dasarnya ibu pembakaran, sehingga balita berisiko menderita
sudah mempunyai sikap acuh terhadap masalah ISPA. Begitu pula untuk hasil wawancara dan
ISPA sehingga kecil kemungkinan untuk observasi tambahan pada ibu yang mempunyai
melakukan upaya pencegahan ISPA, hal inilah sikap kurang baik, tetapi balitanya tidak menderita
yang meningkatkan risiko terjadinya masalah ISPA dikarenakan ventilasi rumah memenuhi
ISPA pada balita. syarat (10% dari luas lantai) sehingga kecil risiko
Sejalan dengan pernyataan Sari (2012) menderita ISPA.
bahwa sikap positif seseorang yang ditunjukkan Seperti yang dijelaskan oleh Notoatmodjo
oleh sikap menerima, merespon, menghargai, dan (2013) bahwa ventilasi yang tidak memenuhi
bertanggung jawab terhadap suatu stimulus akan syarat akan menyebabkan kurangnya O2 (oksigen)
memberi dampak yang positif dalam kehidupan di dalam rumah yang berarti kadar CO 2
mereka, misalnya berperilaku hidup bersih dan (karbondioksida) yang bersifat racun akan
sehat serta dapat mencegah terjadinya masalah meningkat. Ventilasi yang tidak memenuhi syarat
penyakit yang dapat menurunkan produktivitas juga akan menyebabkan kelembaban udara di
hidup seseorang. Sikap negatif dalam mencegah dalam ruangan naik karena terjadinya proses
permasalahan kesehatan mempunyai dampak penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.
terhadap peningkatan kasus penyakit21. Kelembaban ini akan merupakan media yang
Seperti yang dikemukakan oleh Fuadi baik untuk bakteri-bakteri penyebab penyakit23.
(2010), bahwa sikap dapat bersifat positif dan Hasil penelitian ini didukung oleh hasil
dapat pula bersifat negatif. Dalam sikap positif, penelitian yang dilakukan oleh Ayub (2015) di
kecenderungan tindakan mendekati, menyenangi, wilayah kerja Puskesmas Bukit Tinggi Kota
mengharapakn objek tertentu, sedangkan dalam Padang, jumlah responden dalam penelitian
sikap negatif terdapat kecenderungan untuk adalah 55 orang, dan menemukan ada hubungan
menjauhi, menghindari, membenci, tidak antara sikap dengan kejadian ISPA pada balita,
menyukai objek tertentu. Sikap yang positif dari dengan nilai p = 0,039 (p ≤ 0,05)19.
responden kemungkinan disebabkan pengalaman
responden yang banyak dan pembentukan sikap Hubungan antara status imunisasi dengan

7
kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo imunisasi tidak dapat mencegah kejadian ISPA
secara langsung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari Berbeda dengan hasil penelitian yang
80 balita dalam penelitian ini, sebagian besar dilakukan oleh Trimurti (2016) bahwa terdapat
dengan status imunisasi yang lengkap yaitu hubungan antara status imunisasi dengan kejadian
86,2%, dan sebagian kecil dengan status imunisasi ISPA pada balita (p = 0,038). Rentannya
yang kurang lengkap yaitu 13,8%. Hasil penelitian penularan penyakit pada balita akan
menunjukan tidak ada hubungan antara status mempengeruhi kekebalan tubuh balita itu
imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di sendiri26.
wilayah kerja Pustu Tondo dengan p-value =
0,194 (p-value > 0,05). Peneliti berasumsi bahwa Hubungan antara kebiasaan anggota keluarga
tidak terdapat hubungan antara status imunisasi yang merokok di dalam rumah dengan
dengan kejadian ISPA pada balita dikarenakan kejadian ISPA di wilayah kerja Pustu Tondo
cakupan balita dengan status imunisasi yang
lengkap jauh lebih besar dibanding dengan status Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
balita yang imunisasinya tidak lengkap. Nilai 80 balita dalam penelitian ini, sebagian besar
Odds Ratio (OR) = 3,083 artinya yaitu balita dengan kebiasaan anggota keluarga yang merokok
dengan status imunisasi kurang lengkap di dalam rumah yaitu 58,8% dan sebagian kecil
mempunyai risiko atau peluang 3 kali lebih besar dengan kebiasaan anggota keluarga yang tidak
untuk menderita ISPA dibanding balita dengan merokok di dalam rumah yaitu 41,2%. Hasil
status imunisasi lengkap. Dengan kata lain jika penelitian menunjukan ada hubungan antara
tidak mendapat imuniasi lengkap, balita akan kebiasaan anggota keluarga yang merokok di
lebih berisiko tertular dan mengalami sakit yang dalam rumah dengan kejadian ISPA di wilayah
lebih parah, mereka juga akan mempunyai resiko kerja Pustu Tondo dengan p-value = 0,023 (p-
lebih tinggi untuk terkena komplikasi yang dapat value ≤ 0,05). Nilai Odds Ratio (OR) = 3,222
menyebabkan kecacatan bahkan kematian. artinya yaitu balita dengan kebiasaan anggota
Seperti yang dijelaskan oleh Marni (2014) keluarga yang merokok di dalam rumah
bahwa status imunisasi tidak berhubungan secara mempunyai risiko atau peluang 3 kali lebih besar
langsung dengan ISPA. Kebanyakan kasus ISPA untuk menderita ISPA dibanding balita dengan
disertai dengan komplikasi campak yang kebiasaan anggota keluarga yang tidak merokok
merupakan faktor risiko ISPA yang dapat dicegah di dalam rumah.
dengan imunisasi. Jadi imunisasi campak dan Peneliti berasumsi bahwa terdapat
DPT yang diberikan bukan untuk memberikan hubungan antara kebiasaan anggota keluarga
kekebalan tubuh terhadap ISPA secara langsung, yang merokok di dalam rumah dengan kejadian
melainkan hanya untuk mencegah faktor yang ISPA pada balita dikarenakan paparan asap rokok
memacu terjadinya ISPA24. yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan
Hal ini didukung oleh hasil penelitian pernapasan terutama memperberat timbulnya
yang dilakukan oleh Setianingsih (2011) yaitu ISPA dan gangguan paru-paru pada saat dewasa.
status imunisasi bukan merupakan faktor risiko Semain banyak rokok yang dihisap oleh keluarga
yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada semakin besar memberikan risiko terjadinya
balita di Kabupaten Banjarnegara, hal ini ISPA, khususnya jika merokok dilakukan oleh ibu
disebabkan karena tingginya cakupan imunisasi balita.
pada balita. Hal ini dapat dilihat dari besarnya Apabila seseorang terpapar asap rokok
jumlah balita yang status imunisasinya lengkap maka kondisi ini akan menyebabkan reaksi alergi
(89,3%)25. dan peradangan. Peradangan tersebut akan
Menurut peneliti bahwa pada balita merangsang keluarnya secret berlebihan, hal ini
dengan status imunisasi tidak lengkap tetapi tidak akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan
menderita ISPA disebabkan pengetahuan dan bakteri. Akibat dari peradangan tersebut, makan
sikap ibu sudah baik dalam mencegah ISPA, saluran pernafasan akan mengalami penyempitan
sementara pada balita dengan status imunisasi dan produksi lendir akan terus meningkat. Jika hal
lengkap tetapi menderita ISPA disebabkan karena ini sudah terjadi, makan seseorang akan sulit

8
bernafas dan bakteri tidak biasa dikeluarkan beristirahat dengan tenang serta mempermudah
sehingga akan terjadi infeksi saluran pernapasan penularan penyakit29.
atas, lendir yang terus meningkat akan masuk Penelitian ini didukung oleh penelitian
menuju brongkus dan menyebabkan infeksi yang dilakukan oleh Munaya (2015) bahwa
sehingga terjadi bronchitis. Apabila secret tersebut terdapat hubungan kebiasaan anggota keluarga
masuk ke alveoli (kantung udara tempat yang merokok di dalam rumah dengan kejadian
pertukarang oksigen dan karbon dioksida) maka ISPA pada balita (p= 0,000). Balita yang tinggal
akan menyebabkan peradangan dan penumpukan serumah dengan anggota keluarga yang merokok
cairan pada alveoli atau disebut juga Pneumonia10. di dalam rumah berisiko 5,743 kali lebih besar
Seperti penjelasan Rahmayatul (2013) menderita ISPA dibanding dengan balita yang
bahwa kebiasaan merokok orang tua di dalam serumah dengan anggota keluarga yang tidak
rumah menjadikan balita sebagai perokok pasif merokok di dalam rumah30.
yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang
orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok SIMPULAN DAN SARAN
berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar Simpulan
7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang
orang tuanya tidak merokok di dalam rumah27. Simpulan berdasarkan hasil penelitian dan
Kebiasaan orang tua yang merokok di pembahasan sebagai berikut:
dalam rumah dapat berdampak negatif bagi 1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan
anggota keluarga khususnya bagi balita. Asap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
rokok yang menempel dan meninggalkan bahan Pustu Tondo.
kimia atau residu di baju, atap, sofa, gorden, dan 2. Ada hubungan antara sikap ibu dengan
tempat lain di dalam rumah. Jika merokok di luar kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
ruangan atau perokok pasif terpapar asap rokok, Pustu Tondo.
asap rokok bisa menempel di baju dan kulit. Jika 3. Tidak ada hubungan antara status imunisasi
merokok di dalam ruangan, residu bisa menempel balita dengan kejadian ISPA pada balita di
di gorden, sofa, atap, bahkan mainan anak. Orang wilayah kerja Pustu Tondo.
yang menghisap asap rokok dapat berisiko 4. Ada hubungan antara kebiasaan anggota
menderita ISPA28. keluarga yang merokok di dalam rumah
Menurut peneliti, tidak adanya kebiasaan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah
anggota keluarga yang merokok di dalam rumah kerja Pustu Tondo.
tetapi balita menderita ISPA dikarenakan
berdasarkan hasil wawancara tambahan yang Saran
peneliti lakukan pada ibu bahwa setiap malam ibu
menggunakan anti nyamuk bakar di dalam rumah, 1. Puskesmas Talise
sehingga balita sering terpapar asap pembakaran Diharapkan melakukan upaya
anti nyamuk. pada balita yang tidak menderita penanggulangan penyakit ISPA dengan
ISPA tetapi ada anggota keluarga yang merokok megadakan penyuluhan mengenai tindakan
di dalam rumah dikarenakan berdasarkan hasil promotif dan preventif guna mencegah
observasi tambahan yang peneliti lakukan bahwa timbulnya kejadia ISPA melalui kegiatan di
ventilasi rumah balita memenuhi syarat dan tidak Pustu maupun di posyandu.
terjadi kepadatan hunian di dalam rumah, 2. Masyarakat/Ibu dari Balita
sehingga kecil risiko balita menderita ISPA. Diharapkan kepada ibu agar selalu
Seperti yang dijelaskan oleh Mukono menjaga kelengkapan status imunisasi
(2011) bahwa kamar tidur sebaiknya tidak dihuni anaknya serta menerapkan Perilaku Hidup
lebih dari 2 orang, kecuali suami istri dan anak Bersih dan Sehat (PHBS) di lingkungan
kurang dari 2 tahun yang biasanya masih rumah, salah satunya yaitu tidak merokok
membutuhkan kehadiran orang tuanya karena didalam rumah. Apabila terdapat tanda dan
ruangan yang padat huni akan membuat suasana gejala ISPA pada balita sebaiknya segera
di dalamnya menjadi gerah, dan tidak dapat membawa balita ke fasilitas pelayanan yang
tersedia.

9
19. Ayub R. 2015. Faktor yang berhubungan
DAFTAR PUSTAKA dengan kejadian infeksi saluran pernafasan
akut pada balita di wilayah kerja Puskesmas
1. Benih A. 2012. Infeksi Saluran Pernafasan Bukit Tinggi Kota Padang [skripsi]. Padang:
Akut. Yogyakarta: Nuha Medika. Universitas Andalas.
2. Habeahan EM. 2012. Penanggulangan ISPA 20. Fuadi A. 2010. Ilmu Pengetahuan dan Sikap.
di Masyarakat. Yogyakarta: Nuha Medika. Jakarta: Gramedia.
3. [WHO] World Health Organization. 2016. 21. Sari Y. 2012. Teori Sikap. Jakarta: Salemba
The World Health Report 2016. Swiss: WHO. Medika.
4. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan 22. Kholid A. 2012. Promosi Kesehatan: dengan
Republik Indonesia. 2015. Profil Kesehatan Pendekatan Teori Perilaku, Media, dan
Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI. Aplikasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo
5. Maryunani A. 2010. Imu Kesehatan Anak Persada.
Dalam Kebidanan. Jakarta: TIM. 23. Notoatmodjo S. 2013. Kesehatan Masyarakat
6. Erlien. 2010. Penyakit Saluran Pernapasan. Ilmu dan Seni. Jakarta: Rineka cipta.
Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka. 24. Marni. 2014. Asuhan Keperawatan pada
7. [Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan Anak Sakit dengan Gangguan Saluran
Republik Indonesia. 2012. Pedoman Pernapasan. Yogyakarta: Gosy n Publishing.
Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran 25. Setianingsih H. 2011. Faktor risiko yang
Pernapasan. Jakarta: Kemenkes RI. berhubungan dengan kejadian ISPA pada
8. Rahajoe NN. 2012. Buku Ajar Respirologi balita di Kabupaten Banjarnegara [skripsi].
Anak. Jakarta: IDAI. Semarang: Universitas Diponegoro.
9. Nelson WE. 2011. Ilmu Kesehatan Anak. 26. Trimurti. 2016. Faktor risiko kejadian ISPA
Jakarta: EGC. pada balita di wilayah kerja Puskesmas
10. Rasmaliah. 2014. Infeksi Saluran Pernafasan Sukoharjo [skripsi]. Surakarta: Universitas
Akut (ISPA) dan Penanggulangannya. Medan: Muhammadiyah Surakarta.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas 27. Rahmayatul F. 2013. Hubungan lingkungan
Sumatera Utara. dalam rumah terhadap ISPA pada balita
11. Suhandayani E. 2016. Faktor yang [skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri
berhubungan dengan kejadian ISPA pada Syarif Hidayatullah.
balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati 28. Prabu. 2012. Infeksi Saluran Pernafasan Akut
[skripsi]. Semarang: Undip. (ISPA) [Internet]. [diunduh 2019 Juni 9].
12. Sudirman M. 2014. Analisi faktor yang Tersedia pada:
berhubungan dengan kejadian ISPA pada http://putraprabu.wordpress.com/2012/01/04/
balita di wilayah Puskesmas Purwosari Kota infeksi-saluranpernafasanakut-ispa.
Solo [skripsi]. Semarang: Undip. 29. Mukono HJ. 2011. Prinsip Dasar Kesehatan
13. [Dinkes Prov. Sulawesi Tengah] Dinas Lingkungan. Surabaya: Airlangga University
Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. 2017. Press.
Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. 30. Munaya EF. 2015. Faktor risiko infeksi
Palu: Dinkes Prov. Sulawesi Tengah. saluran pernapasan akut nonpneumonia pada
14. Hurlock, E. B. 2010. Psikologi balita di wilayah kerja Puskesmas Magersari,
Perkembangan. Jakarta. Erlanga. Kota Magelang. Jurnal Respirologi
15. Notoatmodjo S. 2014. Ilmu Perilaku Indonesia. Vol. 35 No. 1.
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
16. Meliono I. 2013. Pengetahuan. Jakarta:
Lembaga Penerbitan FEUI.
17. Sutrisna B. 2014. Faktor Resiko ISPA pada
Balita dan Model Penanggulangannya.
Jakarta: Universitas Indonesia.
18. Cecep T. 2015. Trend Disease: Trend
Penyakit Saat Ini. Jakarta: Trans info Media.

10

Anda mungkin juga menyukai