Anda di halaman 1dari 26

V.

HASIL DAN PEMBAWASAN

5.1. Struktur dan Komposisi Vegetasi

Kondisi vegetasi habitat merupakan salah satu variabel ekologi yang


mempengaruhi peluang deteksi satwa (Buckland et al. 2001, Nijman & Menken
2005). Untuk owa jawa yang tergolong satwa arboreal, kondisi vegetasi yang
mempengaruhi peluang deteksinya adalah kerapatan dan komposisi jenis pohon,
serta tinggi dan struktur tajuk (Nijman 2001, Iskandar 2007).

5.1.1. Habitat Terganggu (HT)

Berdasarkan hasil inventarisasi tumbuhan di HT ditemukan 48 jenis


tumbuhan tingkat pohon, dengan kerapatan total 194,64 batanglha. Ditingkat
pertumbuhan ini, pasang menempati posisi teratas jenis tumbuhan dengan
kerapatan paling tinggi, yakni 36,16 batang/ha dan kerapatan relatif 18,58%.
Kerapatan jenis pasang tersebut perbedaannya cukup jauh dibandingkan dengan
kerapatan jenis-jenis lainnya. Beberapa jenis lainnya yang memiliki nilai
kerapatan tinggi antara lain: kibuyur, rasamala, pokray, dan kikawat (Tabel 2).
Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 3.

Tabel 2 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon yang memiliki kerapatan paling
tinggi di habitat terganggu

Nama Jenis Kerapatan (Btglha) Kerapatan Relatif (%)

Pasang (Quercus sp) 36,16 18,58


Kibuyur (Pternandra cordata) 8,48 4,36
Rasamala (Altingia excelsa) 7,14 3,67
Pokray (Blurneodendron tokbrai) 6,70 3,44
Kikawat (Garcinia dioica) 6,25 3,21

Pada tingkat pertumbuhan tiang ditemukan 49 jenis, dengan kerapatan total


335,71 batangha. Seperti halnya pada tingkat pohon, jenis tumbuhan yang
memiliki kerapatan paling tinggi adalah jenis pasang. Kerapatan jenis pasang
adalah 51,79 batanglha dan kerapatan relatif 15,43%. Beberapa jenis laimya
yang merniliki kerapatan jenis tinggi antara lain: pokray, saninten, kalimorot, dan
kikawat. Kerapatan lima jenis tunbuhan tingkat tiang yang menempati m t a n
teratas disajikan pada Tabel 3. Hasil perhitungan kerapatan turnbuhan tingkat
tiang selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.

Tabel 3 Lima jenis tumbuhan tingkat tiang yang memiliki kerapatan paling tinggi
di habitat terganggu

Nama Jenis Kerapatan (Btgka) Kerapatan Relatif (YO)

Pasang (Quercus sp) 51,786 15,426


Pokray (Blumeodendron tokbrai) 21,429 6,383
Saninten (Castanopsisjavanica) 19,643 5,851
Kalimorot (Lithocarpus sp) 17,857 5,319
Kikawat (Garcinia dioica) 16,071 4,787

Tumbuhan tingkat pohon memiliki tinggi berkisar 15-45 meter (rata-rata


26,3*6,4 meter). Pasang, rasamala, kisawuhen, kidage, kibuyur, laka, dan
pahlahar tercatat sebagai jenis-jenis pohon yang memiliki tinggi hingga lebih dari
30 meter. Diameter tajuk berkisar 3-14 (rata-rata 6,911,9 meter) dan 4-16 meter
(rata-rata 8,0*2,2 meter). Untuk tumbuhan tingkat tiang, tingginya berkisar 8-20
meter (rata-rata 13,612,7 meter) dengan diameter tajuk berkisar 2-7 meter (rata-
rata 4,7*1,2 meter). Di tingkat peitumbuhan ini, jenis-jenis yang memiliki tinggi
di atas rata-rata antara lain: pasang, jerelet, pokray, kibuyur, dan gompong.
Secara keseluruhan, tumbuhan tingkat pohon dan tiang membentuk struktur
vegetasi dengan lapisan tajuk yang dapat dibagi menjadi tiga strata, yakni: 1)
strata bawah dengan ketinggian tajuk kurang dari 20 meter, 2) strata tengah
antara 20-35 meter, dan 3) strata atas dengan ketinggian tajuk lebih dari 35 meter.
Penebangan liar yang banyak tejadi di habitat ini menyebabkan terputusnya
kontinuitas tajuk. Bahkan, penebangan yang dilakukan secara sporadis di
beberapa tempat menimbulkan rumpang atau spot-spot hutan sekunder. Selain
itu, perambahan hutan yang dilakukan untuk memperluas lahan pertanian
menyebabkan terbentuknya pulau habitat. Salah satu contoh pulau habitat yang
hampir terbentuk adalah blok hutan Gunung Tumpeng. Blok hutan Gunung
Tumpeng ini hampir terputus dari blok hutan sekitarnya akibat perambahan hutan
yang tejadi di sekelilingnya. Di blok hutan ini terdapat dua kelompok owa jawa.
Kondisi vegetasi HT secara visual disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Kondisi vegetasi habitat terganggu

5.1.2. Habitat Tidak Terganggu (HTT)

Berdasarkan hasil inventarisasi tumbuhan di HTT ditemukan jenis tumbuhan


tingkat pohon dan tiang yang jumlahnya lebih banyak daripada HT, yakni 79 jenis
(Lampiran 13). Tingkat pertumbuhan pohon terdiri atas 57 jenis dengan
kerapatan total 223,72 batangha. Jenis yang kerapatamya paling tinggi adalah
48,66 batangha dan kerapatan relatif 21,76%. Kerapatan jenis pasang tersebut
perbedaannya cukup jauh dari kerapatan jenis-jenis lainnya. Beberapa jenis
lainnya yang memiliki nilai kerapatan tinggi antara lain: rasamala, hum, puspa,
dan kisirem (Tabel 4). Hasil perhitungan kerapatan tumbuhan tingkat pohon
selengkapnya disajikan pada Lampiran 5.
Tabel 4 Lima jenis tumbuhan tingkat pohon yang memiliki kerapatan paling
tinggi di habitat tidak terganggu

Nama Jenis Kerapatan (Btgha) Kerapatan Relatif (%)

Pasang (Quercus sp) 48,66 21,76


Rasamala (Altingia excelsa) 21,88 9,78
Huru (Litsea sp) 13,39 5,99
Puspa (Schima wallichii) 7,59 3,39
Kisirem (Syzygium rosholum) 5,80 2,59

Jumlah jenis tumbuhan tingkat tiang yang ditemukan di HTT ini adalah 58
jenis, dengan kerapatan total 364,39 batangha. J ~ N tumbuhan
S yang memiliki
kerapatan paling tinggi ditempati oieh jenis pasang. Kerapatan jenis pasang adalah
60,71 batangha dan kerapatan relatif 16,67%. Beberapa jenis lainnya yang
memiliki kerapatan jenis tinggi antara lain: kikawat, kisirem, hum, dan kibuyur.
Kerapatan lima jenis tumbuhan tingkat tiang yang menempati urutan teratas di
HTT disajikan pada Tabel 5. Hasil perhitungan kerapatan tumbuhan tingkat tiang
selengkapnya disajikan pada Lampiran 6.

Tabel 5 Lima jenis tumbuhan tingkat tiang yang memiliki kerapatan paling tinggi
di habitat tidak terganggu

Nama Jenis Kerapatan (Btg/ha) Kerapatan Relatif (%)

Pasang (Quercus sp) 60,714 16,667


Kikawat (Garcinia dioica) 25,000 6,863
Kisirem (Sjtzygiuni rostratum) 21,429 5,882
Huru (Litsea sp) 21,429 5,882
Kibuyur (Pternandra cordata) 17,857 4,902

Tumbuhan tingkat pohon di HTT memiliki kisaran tinggi yang relatif sama
dengan tumbuhan tingkat pohon di HT, yakni berkisar 15-44 meter (rata-rata
26,5*6,4 meter). Jenis-jenis pohon yang memiliki tinggi hingga di atas 30 meter
antara lain: Pasang, rasamala, puspa, pokray, kibonteng, laka, dan kopi dengkung.
Diameter tajuk berkisar 2-11 (rata-rata 6,04*1,9 meter) dan 3-15 meter (rata-rata
7,9*2,2 meter). Tumbuhan tingkat tiang memiliki tinggi berkisar berkisar 8-20
meter (rata-rata 13,612,7 meter) dengan diameter tajuk berkisar 1-8 meter (rata-
rata 4,3+1,3 meter) dan 2-9 meter (rata-rata 5,5&1,5 meter). Di tingkat
pertumbuhan ini, jenis-jenis yang memiliki tinggi di atas rata-rata antara lain:
pasang, kibuyur, pokray, kakaduan, puspa dan kisirem.
Seperti halnya pada HT, tumbuhan tingkat pohon dan tiang di HTT ini
membentuk struktur vegetasi dengan lapisan tajuk yang dapat dibagi menjadi tiga
strata, yakni: 1) strata bawah dengan ketinggian tajuk kurang dari 20 meter, 2)
strata tengah antara 20-35 meter, dan 3) strata atas dengan ketinggian tajuk lebih
dari 35 meter. Namun, struktur lapisan tajuk vegetasi HTT tersebut relatif lebih
rapat dan kompak (kontinyu) dibandingkan dengan struktur lapisan tajuk vegetasi
HT. Hal ini karena vegetasi di HTT relatif masih terjaga dari gangguan terutama
penebangan liar yang seringkali memutus kontinuitas tajuk dan mengurangi
kerapatan pohon. Kondisi vegetasi HTT secara visual disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Kondisi vegetasi habitat tidak terganggu

5.2. Perjumpaan Owa Jawa

5.2.1. Jumlah perjumpaan


Jumlah perjumpaan owa jawa yang diperoleh metode ST, LT, dan VCP
berdasarkan hasil enam kali pengamatan pada tiap-tiap transek disajikan pada
Tabel 6. Metode ST mendapatkan jumlah perjumpaan berkisar 1-4 kelompok (2-
12 individu) tiap transek atau rata-rata 0,38 kelompok (0,96 individu) per transek
per pengamatan di HT, sedangkan di HTT berkisar 1-5 kelompok (2-15 individu)
tiap transek atau rata-rata 0,48 kelompok (1,29 individu) per transek per
pengamatan. Jumlah total perjumpaan owa jawa yang diperoleh metode ST
tersebut selalu yang paling rendah dibandingkan dengan jumlah perjumpaan yang
didapatkan metode LT dan VCP, baik di HT maupun di HTT. JumIah total
perjumpaan owa jawa yang diperoleh metode ST tersebut adalah 18 kelompok (46
individu) di HT dan 23 kelompok (62 individu) di HTT.
Jumlah total perjumpaan owa jawa paling tinggi di HT didapatkan oleh
metode VCP, sedangkan di HTT dihasilkan oleh metode LT. Jumlah total
perjumpaan yang didapatkan oleh metode VCP di HT adalah 27 kelompok (67
individu). Kisaran jumlah perjumpaan yang diperoleh metode VCP di HT
tersebut adalah 2-5 kelompok (4-13 individu) tiap transek atau rata-rata 0,56
kelompok (1,40 individu) per transek per pengamatan. Jumlah total perjumpaan
yang diperoleh metode LT di HTT adalah 31 kelompok (78 individu). Kisamn
Jumlah perjumpaan yang didapatkan metode LT di HTT tersebut adalah 2-6
kelompok (4-16 individu) tiap transek atau rata-rata 0,65 kelompok (1,63
individu) per transek per pengamatan.

TabeI 6 Jumlah pejumpaan owa jawa yang dihasilkan oleh metode strip transed,
line transeq dan variable circular plot
Habitat Terganggu Habitat Tidak Terganggu
Nomor
Transek ST LT VCP ST LT VCP
Kip Ind Klp Ind Klp Ind Kip Ind Klp Jnd Kip Ind
1 1 2 2 4 2 4 1 2 2 4 2 4
2 3 9 5 1 4 5 1 3 5 1 4 5 1 4 5 1 3
3 3 7 5 1 3 5 1 2 2 4 2 4 2 4
4 2 4 2 4 2 4 3 9 4 1 1 5 1 4
5 2 5 3 8 3 7 2 4 3 7 3 8
6 1 2 1 2 2 4 2 5 5 1 2 4 1 2
7 4 12 5 15 4 13 5 15 6 16 5 13
8 2 5 3 7 4 1 0 3 9 4 1 0 4 9
Jumlah 18 46 26 67 27 67 23 62 31 78 30 77
Rata-rata 0,38 0,96 0,54 1,40 0,56 1,40 0,48 1,29 0,65 1,63 0,63 1,60
Keterangan: ST = Metode strip transecr; LT = Metode line transecl; VCP = Metode variable
circularplot; Klp = Kelompok; Ind = Individu

Oleh karena pengamatan yang dilakukan dengan ketiga metode berjalan


secara simultan, dan dengan asumsi bahwa kemampuan pengamat adalah sama,
maka perbedaan teknik pengamatan menjadi faktor yang paling menentukan
perbedaan jumlah deteksi owa jawa di antara ketiga metode inventarisasi tersebut.
Pada metode ST, pengamatan dibatasi di dalam transek yang sudah
ditentukan lebarnya. Lebar transek untuk pengamatan metode ST dalam
penelitian ini ditetapkan sebesar 100 meter, sehingga lebar jarak pengamatan di
kedua sisi garis tengah transek adalah 50 meter. Penetapan radius pengamatan
sejauh 50 meter tersebut dengan pertimbangan kemampuan atau daya pandang
efektif di dalam hutan. Lebar transek demikian sudah umum digunakan dalam
inventarisasi primata di hutan tropis Indonesia (Priyollo 1998, Rosenbaum et al.
1998, Nijman & Balen 1998, Iskandar 2007).
Pada metode LT dan VCP, lebar jarak pengamatan dari garis transek atau
titik (point) pengamatan tidak dibatasi. Pada kedua metode tersebut, luas unit
contoh pengamatan dihitung berdasarkan jar& efektif obyek pengamatan yang
terdeteksi di lapangan. Hasil pengamatan kedua metode tersebut menunjukan
bahwa owa jawa dapat terdeteksi hingga radius 75 meter di HT dan 70 meter di
HTT. Dengan jangkauan radius pengamatan yang lebih jauh maka kedua metode
tersebut mendapatkan jurnlah perjumpaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
jumlah perjumpaan metode ST. Dengan demikian perbedaan jumlah deteksi
antara metode ST dengan metode LT dan VCP diduga lebih dipengaruhi oleh
adanya pembatasan lebar radius pengamatan.
Deteksi awal keberadaan owa jawa pada radius lebih dari 50 meter
diperoleh melalui suara yang dikeluarkan oleh satwa tersebut. Deteksi awal
melalui penglihatan langsung pada jarak lebih dari 50 meter sulit diperoleh karena
dibatasi oleh vegetasi yang rapat. Untuk keperluan pengukuran jarak, maka
pengamat mencari posisi sedemikian rupa untuk memastikan letak owa jawa dan
selanjutnya dilakukan estimasi jarak owa jawa dengan garis transek atau titik
pengamatan.
Selisih antara jarak maksimum deteksi owa jawa oleh metode LT dan VCP
dengan batas radius pengamatan metode ST adalah 25 meter, sedangkan di HTT
20 meter. Dengan kata lain ada penambahan jarak deteksi owa jawa pada metode
LT dan VCP sebesar 50% dari batas terjauh pengamatan metode ST di HT. Di
HTT, penambahan jarak deteksi kedua metode tersebut dari batas radius
pengamatan metode ST adalah 40%. Di HT, peningkatan radius pengamatan
sebesar 50% menambah jumlah perjumpaan pada metode LT dan VCP masing-
masing 30,8% kelompok (31,3% individu) dan 33,3% kelompok (31% individu).
Di HTT, peningkatan radius pengamatan sebesar 40% menambah jumlah
perjumpaan pada metode LT dan VCP masing-masing 25,8% kelompok (20,5%
individu) dan 23,3% kelompok (19,5% individu).
Cyr et al. (1995), menyatakan bahwa peningkatan radius pengamatan 50%
(dari 100 m menjadi 150 m) menambah jumlah deteksi burung sebesar 33,7%.
Namun, dari penelitian tersebut juga diketahui bahwa peningkatan radius
pengamatan sebesar 100% (dari 50 m menjadi 100 m) hanya menambah jumlah
deteksi burung sebesar 40%. Dalam kaitan ini, Cyr et al. (1995) menyimpulkan
perlunya menentukan batas radius pengamatan yang paling baik. Hal tersebut
penting untuk dilakukan terutama pada metode ST sebagai titik keseimbangan
(optimum) mengingat faktor jarak dan jumlah perjumpaan satwa akan
menentukan akurasi dan ketelitian nilai dugaan kepadatan (Caughley 1978).
Persentase penambahan jumlah perjumpaan owa jawa yang lebih rendah
dibandingkan dengan persentase peningkatan radius pengamatan menunjukan
bahwa peluang menemukan owa jawa semakin rendah dengan penambahan jarak.
Hal ini diduga karena pengaruh faktor vegetasi yang rapat. Menurut Buckland et
al. (2001), peluang menemukan satwa semakin rendah dengan penambahan jarak
antara lain karena dipengaruhi oleh kondisi vegetasi.
Owa jawa seringkali dijuluki sebagai satwa arboreal sejati, karena hampir
seluruh hidupnya dihabiskan di dalam tajuk pohon. Walaupun beberapa hasil
penelitian mencatat bahwa owa jawa ditemukan mulai dari strata tajuk bawah
hingga strata tajuk atas, namun frekuensi penggunaan mang sepanjang aktivitas
hariannya lebih tinggi pada strata tajuk tengah. Menurut Kartono et al. (2002),
73% aktivitas owa jawa dihabiskan pada ketinggian tajuk 16-35 meter. Menurut
Tobing (1999), frekuensi pengunaan ketinggian tajuk antara ketinggian 15-35 m
mencapai 82,5%. Kondisi vegetasi yang memiliki kerapatan pohon yang tinggi
dan tajuk yang rapat dan tebal menyebabkan sulitnya menemukan owa jawa.
Menurut Buckland et al. (2001), jumlah perjumpaan metode LT cenderung
lebih tinggi daripada metode VCP karena obyek yang dicatat pada metode VCP
hanya yang terdeteksi dari titik pengamatan. Namun, hasil penelitian ini
menunjukan bahwa jumlah perjumpaan metode LT tidak selalu lebih tinggi
daripada metode VCP. Selain itu, selisih jumlah pejumpaan antara keduanya
relatif kecil, yakni 3,7% untuk perjumpaan kelompok (0,0% untuk individu) di
HT dan 3,2% untuk perjumpaan kelompok (1,3% untuk individu) di HTT.
Namun, hasil uji-t pada tingkat kepercayaan 95% menunjukan bahwa rata-rata
jumlah perjumpaan antara metode LT dan VCP tidak berbeda nyata (Lampiran 7).
Menurut Buskirk & McDonald (1995), jumlah perjumpaan pada metode
VCP dipengaruhi oleh lamanya waktu mengamati (count period) dan waktu
berpindah dari satu titik ke titik berikutnya (travel time). Waktu yang diperlukan
untuk berpindah di antara titik pengamatan ditentukan oleh jarak dan kondisi
lapangan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa skema pengamatan metode
VCP, yakni waktu pengamatan 10 menit dan jar& antar titik sejauh 150 meter,
cukup efektif sehingga rata-rata jumlah perjumpaan yang didapatkannya tidak
berbeda nyata dengan metode LT.
5.2.2. Pengaruh Waktu Pengamatan dan Kondisi Habitat Terhadap
Jumlah Perjumpaan Owa Jawa

Ketiga metode menunjukan kecenderungan jumlah perjumpaan owa jawa


yang lebih tinggi pada HTT daripada HT, baik pada pengamatan pagi hari, sore
hari maupun pengamatan yang dilakukan pada pagi dan sore hari. Rata-rata
perjumpaan owa jawa yang diperoleh tiap-tiap metode disajikan pada Tabel 7.
Data pada Tabel 7 juga menunjukan kecenderungan jumlah perjumpaan yang
lebih tinggi pada pengamatan pagi hari daripada sore hari, baik di HT maupun di
HTT.

Tabel 7 Rata-rata jumlah perjumpaan owa jawa yang diperoleh metode strip
transect, line transect, dan variable circular plot
Habitat Terganggu Habitat Tidak Terganggu
Waktu
ST LT VCP ST LT VCP
Pengamatan
Klp Ind Klp Ind Klp Ind Klp Ind Klp Ind Klp Ind
Pagihari 0,42 1,13 0,58 1,50 0,63 I,% 0,58 1,58 0,75 I,% 0.67 1,79
Sorehari 0.33 0,79 0,50 129 0,50 1,25 028 1,00 0,54 1,33 0.58 1,42
Pagi & Sore 0,38 0,96 0,54 1,40 0,56 1,4o 0,48 1,29 0,65 1,63 0,63 1,6o
Keterangan: ST = Metode strip transecl; LT = Metode line fransecl; VCP = Metode variable
circularplof; Klp = Kelompok; Ind = Individu

Selisih rata-rata perjumpaan owa jawa antara HT dengan HTT yang


diperoleh tiap-tiap metode disajikan pada Tabel 8. Untuk kategori perjumpaan
kelompok, selisih rata-rata perjumpaan tertinggi diberikan oleh metode LT, yakni
sebesar 0,11 kelompok. Untuk kategori perjumpaan individu, selisih rata-rata
perjumpaan tertinggi diberikan oleh metode ST, yakni 0,33 individu. Namun
demikian, hasil uji-t pada tingkat lcepercayaan 95% menunjukan bahwa rata-rata
perjumpaan yang diperoleh ketiga metode tidak berbeda nyata antara HT dengan
HTT (Tabel 9).

Tabel 8 Selisih rata-rata perjumpaan owa jawa antara habitat terganggu dengan
habitat tidak terganggu
Rata-rata Jumlah Perjunlpaan Selisih
Metode HT HTT (HTT-HT)
Klp Ind Klp Ind Klp Ind
Strip transect 0,38 0,96 0,48 1,29 0,lO 0,33
Line transect 0,54 1,40 0,65 1,63 0,11 0,23
Var. Circularplot 0,56 1,40 0,63 1,60 0,07 0,20
Keterangan: HT = Habitat terganggu; HTT = Habitat tidak terganggu; Klp = Kelompok; Ind =
Individu
Tabel 9 Hasil uji-t pada a = 0,05 terhadap beda rata-rata perjumpaan owa jawa
antara habitat terganggu dan habitat tidak terganggu

Metode Nilai thitungNilai b,os Derajat Bebas Keterangan


Strip transect: - Klp 0,949 2,179 12,6 Tdk berbeda nyata
- Ind 0,954 2,179 12,7 Tdk berbeda nya
Line trunsect: - Klp 0,868 2,160 13,9 Tdk berbeda nyata
- Ind 0,579 2,160 13,s Tdk berbeda nyata
Var Circ Plot: - Klp 0,650 2,160 14,O Tdk berbeda nyata
- Ind 0,614 2,160 14,O Tdk berbeda nyata
Keterangan: Klp = Kelompok; Ind = Individu

Tabel 10 menyajikan selisih rata-rata perjumpaan antara waktu pengamatan


pagi hari dan sore hari yang diperoleh ketiga metode cukup bervariasi. Metode
VCP menghasilkan selisih rata-rata perjumpaan kelompok owa jawa yang paling
tinggi di HT, sedangkan selisih paling tinggi di HTT dihasilkan oleh metode LT.
Selisih rata-rata perjumpaan individu owa jawa paling tinggi di HT dihasilkan
oleh metode ST, sedangkan di HTT oleh metode LT. Namun demikian, hasil uji-t
pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa rata-rata jumlah perjumpaan
yang diperoleh ketiga metode tidak berbeda nyata antara pengamatan pagi hari
dengan pengamatan sore hari (Tabel 11). Dengan dernikian dapat disimpulkan
bahwa pengaruh waktu pengamatan terhadap rata-rata jumlah perjumpaan owa
jawa pada ketiga metode tidak signifikan.

Tabel 10 Selisih rata-rata perjumpaan owa jawa antara pengamatan pagi hari
dengan pengamatan sore hari
Rata-rata Jumlah Perjumpaan Selisih
Tipe habitat/
Pagi Hari Sore Hari (Pagi-Sore)
Metode
Klp Ind Klp Ind Klp Ind
Habitat terganggu:
Strip transect 0,42 1,13 0,33 0,79 0,09 0,34
Line lrrntsect 0,58 1,50 0,50 1,29 0,08 0,21
Var. Circularplot 0,63 1,54 0,50 1,25 0,13 0,29
Habitat tdk terganggu:
Strip transect 0,58 1,58 0,38 1,OO 0,20 0,21
Line irmzsect 0,75 1,92 0,54 1,33 0,21 O,S9
Var. Circular plot 0,67 1,79 0,58 1,42 0,09 0,37
Keterangan: Klp = Kelompok; Ind = Individu
Tabel 1 1 Hasil uji-t pada a = 0,OS terhadap beda rata-rata perjumpaan owa jawa
antara waktu pengamatan pagi hari dan sore hari
Tipe HabitatMetode Nilai thitUngNilai to,os Derajat Bebas Keterangan
Habitat terganggu
Strip transect: - Klp 1,083 Tdk berbeda nyata
- Ind 0,859 Tdk berbeda nya
Line transect: - Klp 1,625 Tdk berbeda nyata
- Ind 0,425 Tdk berbeda nyata
Var Circ Plot: - Klp 0,319 Tdk berbeda nyata
- Ind 0,824 Tdk berbeda nyata
Habitat tdk terganggu
Strip transect: - Klp 1,059 Tdk berbeda nyata
- Ind 0,954 Tdk berbeda nyata
Line transect: - Klp 0,596 Tdk berbeda nyata
- Ind 0,579 Tdk berbeda nyata
Var Circ Plot: - Klp 0,583 Tdk berbeda nyata
- Ind 0.614 Tdk berbeda nvata
Keterangan: Kip = Kelompok; Ind = Individu

Menurut Buckland et al. (2001),jumlah perjumpaan satwa ditentukan oleh


kepadatan sebenarnya (true density) dan peluang deteksi (probability of
detection). Peluang deteksi merupakan fungsi dari faktor-faktor karakteristik
satwa, keefektifan pengamat, dan kondisi lingkungan. Berdasarkan ha1 tersebut
maka jumlah perjumpaan yang lebih tinggi di HTT daripada HT mengindikasikan
bahwa kepadatan populasi sebenarnya dan peluang deteksi owa jawa di HTT lebih
tinggi daripada HT.
Menurut Iskandar (2007), gangguan habitat oleh aktivitas perambahan
hutan menyebabkan p e n m a n keragaman jenis dan kerapatan pohon, serta
penyusutan luas dan fragmentasi habitat owa jawa di TNGHS. Kondisi tersebut
mengakibatkan berkurangnya sumber pakan dan menglulangkan peluang interaksi
antar kelompok sehingga mengganggu proses terbentuknya kelompok baru
sebagai bagian dari sistem regenerasi owa jawa. Kondisi tersebut merupakan
faktor penyebab rendahnya kepadatan populasi owa jawa di HT dibandingkan
dengan HTT.
Menurut Nijman (2001), gangguan terhadap habitat yang disebabkan oleh
penebangan dan perambahan berdampak pada perubahan perilaku owa jawa
sebagai bagian dari proses adaptasi terhadap perubahan lingkungannya.
Perubahan perilaku tersebut antara lain dalam bentuk perubahan respon terhadap
kehadiran manusia dengan lebih banyak menyelinap untuk bersembunyi tanpa
bersuara. Waktu yang dihabiskan untuk beristirahat juga menjadi lebih banyak
dibandingkan aktivitas lainnya. Hal tersebut menyebabkan peluang menemukan
owa jawa di HT lebih rendah dibandingkan dengan HTT.
Rata-rata perjurnpaan owa jawa yang lebih tinggi pada pagi hari
dibandingkan dengan sore hari diduga herhubungan erat dengan pola penggunaan
waktu owa jawa. Owa jawa termasuk satwa yang memiliki aktivitas harian yang
berpola bifasik, yakni lebih aktif pada pagi hari daripada sore hari. Hasil
penelitian Iskandar (2008) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan
Kartono et al. (2002) di Cikaniki, TNGHS menunjukan pola aktifitas owa jawa
yang herpola bifasik. Narnun demikian, Kartono et al. (2002)juga menemukan
aktivitas harian owa jawa di Ciawitali, salah satu lokasi penelitian ini, adalah
berpola multifasik. Hasil penelitian ini yang menunjukan kecenderungan pola
aktifitas bifasik yang berbeda dengan hasil penelitian Kartono (2002) tersebut
diduga disebabkan oleh perbedaan kondisi cuaca pada waktu penelitian.

Gambar 7 Owa jawa yang terdeteksi saat makan (kanan) dan saat
melakukan perpindahan di antara cabang pohon (kiri)

Beberapa bentuk aktivitas owa jawa seperti bersuara (vocal activity),


mencari makan Cfeeding activity), dan berpindah tempat (moving activity)
memberikan sinyal atau tanda-tanda awal keberadaan atau kehadiran owa jawa.
Sebaliknya, aktifitas beristirahat mengurangi peluang mendeteksi owa jawa
karena biasanya istirahat dilakukan setelah makan pada pohon yang tinggi dan
bertajuk rapat (Rinaldi 2001). Hasil penelitian Iskandar (2008) menunjukan
frekuensi aktifitas mencari makan dan berpindah tempat pada pagi hari lebih
tinggi daripada sore hari. Gambar 7 di atas menunjukan owa jawa yang
terdeteksi pada saat melakukan aktivitas makan dan berpindah tempat di antara
tajuk pohon.

5.2.2. Ukuran Kelompok Owa Jawa

Ukuran kelompok owa jawa yang terdeteksi oleh ketiga metode berkisar 2-4
individu per kelompok. Kelompok owa jawa dengan ukuran 2-4 individu tersebut
ditemukan baik di HT maupun di HTT. Kelompok owa jawa dengan jumlah
anggota 4 individu di HT terdeteksi pada transect 2 (Kadal Meteng) dan transek 3
(Sukararne), sedangkan di HTT terdeteksi pada transect 2 (Ciawi Tali), transek 4
(Lebak Sampai), dan transek 7 (Cibareno). Walaupun ketiga metode mendeteksi
kelompok owa jawa dengan kisaran ukuran yang sama, n~unun fiekuensi
deteksinya berbeda sehingga rata-rata ukuran kelompok yang diperoleh ketiga
metode juga berbeda (Tabel 12).

Tabel 12 Rata-rata ukuran kelompok owa jawa berdasarkan hasil pengamatan


dengan metode strip hansect, line transect, dan variable circular plot
Habitat Terganggu Habitat Tidak Terganggu
Waktu pengamatan
ST LT VCP ST LT VCP
Pagi hari 2,70 2,57 2,47 2,71 2,56 2,69
Sore hari 2,38 2,58 2,510 2,67 2,46 2,43
Pagi dan sore hari 2,56 2,58 2,48 2,70 2,52 2,57
Keterangan: ST = Metode strip transect; LT = Metode line transect; VCP = Metode variable
circular plot

Secara m u m , metode ST menghasilkan rata-rata ukuran kelompok paling


tinggi dibandingkan dengan dua metode lainnya. Rata-rata ukuran kelompok
tertinggi hasil pengamatan metode ST diperoleh di HTT pada ketiga waktu
pengamatan dan di HT pada pengamatan pagi hari. Pada pengamatan sore hari
dan pengamatan keseluruhan @agi dan sore hari), rata-rata ukuran kelompok
tertinggi dihasilkan oleh metode LT. Rata-rata ukuran kelompok hasil
pengamatan metode ST yang umurnnya lebih tinggi tersebut diduga karena radius
pengamatan yang lebih pendek sehingga dapat mendeteksi anggota kelompok
lebii jelas. Walaupun demikian, hasil uji-t pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukan bahwa rata-rata ukuran kelompok hasil pengamatan ketiga metode
tidak berbeda nyata (Lampiran 8).
Kelompok dengan anggota 3-4 individu merupakan ukuran yang mum bagi
owa jawa (Rowe 1996) sebagai satwa sosial yang hidup dalam kelompok keluarga
lfamily group), walaupun ditemukan juga kelompok owa jawa yang terdiri atas
Iima bahkan enam individu (Supriatna 1994). Hasil penelitian Iskandar (2007)
pada empat lokasi di TNGHS mencatat ukuran kelompok owa jawa antara 3-4
individu.

5.3. Estimasi Kepadatan Populasi Owa Jawa

5.3.1. Kepadatan Kelompok

Nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa pada tiap-tiap transek yang
dihitung berdasarkan data hasil pengamatan metode ST, LT, dan VCP cukup
bervariasi. Berdasarkan data pengamatan pagi hari, metode ST menghasilkan
nilai dugaan kepadatan berkisar 0,00-6,67 klp/km2 di HT dan 3,33-10,OO klp/km2
di HTT. Metode LT menghasilkan nilai dugaan kepadatan berkisar 0,OO-7,14
klp/km2 di HT dan 2,38-7,14 klp/km2 di HTT, sedangkan metode VCP
menghasilkan nilai dugaan kepadatan berkisar 2,69-8,08 kIp/km2 di HT clan 3,09-
9,28 klp/km2 di HTT.
Berdasarkan data pengamatan sore hari, kisaran nilai dugaan kepadatan
metode ST adalah 0,00-10,OO klp/km2 di HT dan 0,OO-6,67 kIp/km2 di HTT.
Metode LT menghasilkan nilai dugaan kepadatan berkisar 2,22-6,67 klp/km2 di
HT dan 0,OO-7,14 klp/km2 di HTT, sedangkan nilai dugaan kepadatan yang
dihasikan metode VCP berkisar 3,09-6,19 klp/km2 di HT dan 0,00 - 4,6E-08
klp/km2 di HTT.
..
Berdasarkan data keseluruhan @agi dan sore hari), nilai dugaan kepadatan
yang diiasilkan metode ST berkisar 1,67-6,67 kIp/km2 di HT dan 1,67-8,33
klP/km2di HTT. Metode LT menghasilkan nilai dugaan kepadatan berkisar 1,ll-
5,56 klp/km2 di HT dan 2,38-7,14 klp/km2 di HTT, sedangkan metode VCP
menghasilkan nilai dugaan kepadatan antaa 2,69-6,74 klp/km2 di HT dan 3,09-
7,73 kIp/km2 di HTT. Hasil penghitungan nilai dugaan kepadatan kelompok owa
jawa pada tiap-tiap transek selengkapnya disajikan pada Larnpiran 9. Rata-rata
nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa dari 8 transek pengamatan di tiap-tiap
tipe habitat tersebut disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13 Rata-rata nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa berdasarkan data
hasil pengamatan metode strip transect, line transect, dan variable
circular plot
Waktu Habitat Terganggu Habitat Tidak Terganggu
PengamatanMetode D CI (a=0,05) D CI (a=0,05)
Pagi hari:
Strip transect 4,17 4,17+ 5,6 5,83 $83 + 8,2
Line transect 4,17 4,17* 1,6 5,36 5,36 2,2
Variable circular plot 5,05 5,05f 2,s 6,19 6,19*3,3
Sore hari:
Strip transect 3,33 *
3,33 7,3 3,75 3,75+ 6,6
Line transect 3,33 *
3,33 2,1 3,87 3,87;t 1,6
Variable circular plot 4,64 4,64+ 3,O 2,7E-08 2,7E-08
+2,6E-08
Pagi & sore hari:
Strip transect 3,75 *
3,75 4,l 4,79 4,47+ 5,s
Line transect 3,61 3,61 + 1,2 4,61 4,61 * 1,4
Variable circular plot 4,s *
435 2,0 5,80 *
5,80 2,l
Keterangan: D = Nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa (~elom~ok/!un~);
CI = Nilai dugaan
selang kepadatan kelompok owa jawa pada a=0,05

Metode VCP selalu menghasilkan rata-rata nilai dugaan kepadatan


kelompok paling tinggi, kecuali pada pengamatan sore hari di HTT. Metode LT
menghasilkan rata-rata nilai dugaan kepadatan kelompok paling rendah
berdasarkan data keseluruhan (pagi & sore hari) baik di HT maupun di HTT dan
berdasarkan data pengamatan pagi hari di HTT.
Rata-rata nilai dugaan kepadatan kelompok owa jawa yang dihasilkan oleb
tiap-tiap metode berdasarkan data hasil pengamatan pagi hari lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata nilai dugaan kepadatan yang dihitung berdasarkan
data hasil pengamatan sore hari.
Berdasarkan tipe habitat, tiap-tiap metode menghasilkan rata-rata nilai
dugaan kepadatan kelompok owa jawa yang lebih tinggi pada HTT dibandingkan
dengan HT.
5.3.1. Kepadatan Populasi

Berdasarkan data pengamatan pagi hari, metode ST menghasilkan nilai


dugaan kepadatan populasi pada tiap-tiap transek berkisar 0,OO-20,OO ind/km2 di
HT dan 6,67-30,OO ind/km2 di HTT. Nilai dugaan kepadatan yang dihasilkan
metode LT berkisar 0,OO-18,37 ind/km2 di HT dan 6,08-18,25 ind/km2 di HTT,
sedangkan metode VCP berkisar 6,65-19,94 ind/km2 di HT dan 8,31-24,94
ind/km2 di HTT.
Berdasarkan data pengamatan sore hari, kisaran nilai dugaan kepadatan
metode ST pada tiap-tiap transek adalah 0,OO-26,67 ind/km2 di HT dan 0,OO-
23,33 ind/km2 di HTT. Kisaran nilai dugaan kepadatan dari metode LT untuk
waktu pengamatan yang sama adalah 5,74-17,22 ind/km2 di HT dan 0,OO-17,58
ind/km2 di HTT, sedangkan nilai dugaan kepadatan yang dihasilkan metode VCP
berkisar 7,73-15,47 i n h 2 di HT dan 0,00 - 2,OE-07 indikm2di HTT .

Tabel 14 Rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa berdasarkan hasil
pengamatan dengan metode strip transect, line transect, dan variable
circularplot
Waktu Habitat Terganggu Habitat Tidak Terganggu
Pengamatan/Metode D CI (a=0,05) D CI (a=O,O5)
Pagi hark
Strip transect
Line transect
Variable circular plot
Sore hari:
Strip transect
Line transect
Variable circular plot

Pagi & sore hari:


Strip bansect
Line transect
Variable circular d o t
Keterangan: D = Kepadatan populasi owa jawa (1ndividu/km2); CI = Nilai dugaan selang
kepadatan populasi owa jawa pada a=0,05

Berdasarkan data keseluruhan (pagi dan sore hari), nilai dugaan kepadatan
yang dihasilkan metode ST pada tiap-tiap transek berkisar 3,33-20,OO ind/km2 di
HT dan 3,33-25,OO ind/km2 di HTT. Metode LT menghasilkan nilai dugaan
kepadatan berkisar 2,86-14,32 ind/km2 di HT dan 5,99-17,97 ind/km2 di HTT,
sedangkan metode VCP menghasilkan nilai dugaan kepadatan antara 6,69-16,72
ind/km2 di HT dan 7,94-19,85 i n d h 2 di HTT. Tabel 14 di atas menyajikan rata-
rata nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa yang dihasilkan ketiga metode dari
8 transek pengamatan di tiap-tiap tipe habitat. Hasil perhilungan nilai dugaan
kepadatan populasi owa jawa pada tiap-tiap transek disajikan pada Lampiran 9.
Akurasi nilai dugaan kepadatan populasi yang dihasilkan oleh metode LT
dan VCP tidak dipengaruhi oleh adanya satwa yang tidak terdeteksi, karena
berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa deteksi 10-30% dari keseluruhan
obyek yang diamati tetap memberikan hasil yang akurat (Buckland et al. 2001).
Akurasi nilai dugaan kepadatan pada metode LT dan VCP dipengaruhi oleh
jumlah sampel jarak dari obyek yang terdeteksi yang diperlukan untuk
mengestimasi luas areal efektif pengamatan. Jumlah sampel jarak yang
diperlukan menurut Anderson el al. (1979) adalah minimal 40, atau 60-80 bila
memungkinkan. Buckland et al. (2001), juga menyarankan jumlah sampel jarak
sebanyak 60-80, walaupun menurutnya jumlah 40 sampel kadang-kadang bisa
memberikan nilai yang akurat.
Efek dari jumlah sampel yang kurang bisa ben~panilai dugaan kepadatan
yang underestimate atau overestimate. Nelson & Fancy (1999) mencatat dari
hasil evaluasi metode VCP terhadap populasi burung yang sudah diketahui
kepadatannya, dengan jumlah sampel jar& burung yang terdeteksi kurang dari 20
pada empat lokasi pengamatan didapatkan nilai dugaan kepadatan antara -34%
hingga +24% dari kepadatan populasi yang sebenarnya. Berdasarkan uraian
tersebut, maka kesulitan mendapatkan data yang cukup merupakan masalah yang
dihadapi dalam pengumpulan data dengan metode LT dan VCP guna
memperoleh nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa secara akurat.
Hasil uji-t pada tingkat kepercayaan 95% menunjukkan bahwa rata-rata nilai
dugaan kepadatan populasi yang diperoleh berdasarkan data pengamatan pagi hari
tidak berbeda nyata antara metode yang satu dengan metode lainnya. Berdasarkan
data pengamatan sore hari, rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi yang
dihasilkan metode VCP di HT berbeda nyata dengan rata-rata nilai dugaan
kepadatan populasi yang dihasilkan metode ST dan LT. Berdasarkan data
pengamatan pagi dan sore hari, yang berbeda nyata adalah antara rata-rata nilai
dugaan kepadatan populasi yang dihasilkan metode VCP dan baik di HT
maupun di HTT. Hasil uji beda rata-rata nilai dugaan kepadatan populasi antar
metode selengkapnya disajikan pada Lampiran 10.
Berdasarkan waktu pengamatan, ketiga metode menunjukan kecenderungan
nilai dugaan kepadatan populasi yang sama baik di HT maupun di HTT, yakni
lebih tinggi pada pagi hari daripada sore hari. Informasi ini mengindikasikan
bahwa pengamatan yang dilakukan pada sore hari cenderung akan menghasilkan
nilai dugaan kepadatan populasi yang lebih rendah dari keadaan sebenarnya
(underestimate). Demikian pula nilai dugaan kepadatan yang dihitung
berdasarkan data pengamatan pagi dan sore hari juga akan cendenmg
urzderesfimate.
Selisih tertinggi antara nilai dugaan kepadatan pagi hari dan sore hari di HT
dihasilkan oleh metode LT, sedangkan selisih tertinggi di HTT dihasilkan oleh
metode VCP (Tabel 15). Secara umiun. selisih nilai dugaan kepadatan populasi
antara pengamatan pagi hari dan sore hari pada ketiga metode lebih tinggi di NTT
daripada HT. Namun demikian. hasil uji-t pada tingkat kepercayaan 95%
menunjukan bahwa metode yang menghasilkan rata-rata nilai dugaan kepadatan
populasi yang berbeda nyata antara waktu pengamatan pagi dan sore hari
hanyalah metode LT dan VCP di HTT (Tabel 16).

T&ei i 5 Se.!isih rapt-rata nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa antara waktu
pengamatan pagi hha d m sore hari
Nilai Dugaan Kepadatan Populasi
Selisih
Tipe HabitatMetode Owa Jawa (1ndh2)
Pagi Hari Sore Hari (Pagi-Sore)
Habitat terganggu:
Strip transect 10,42 8,75 1,67
Line fransect 10,71 8,61 2,lO
Variable circular plot 12,46 11,60 0,86
Habitat tdk terganggu:
Strip transect 15,83 10,OO 5,83
Line tramect 13,69 9,52 4,17
Variable circ~tlarplot 16,63 1,2E-07 16,62
Tabel 16 Hasil uji-t pada a = 0,05 terhadap beda rata-rata nilai dugaan kepadatan
populasi antara waktu pengamatan pagi hari dan sore hari
Tipe HabitatJMetode Nilai hihlne
Nilai tosos Derajat Bebas Keterangan
Habitat terganggu
Strip transect 0,859 2,160 13,7 Tdk berbeda nyata
Line @ansect: 0,425 2,160 13,9 Tdk berbeda nyata
Variable circularplot 0,824 2,160 13,5 Tdk berbeda nyata
Habitat tdk terganggu
Sh.iDlransect 1.168 2.160 13.4 Tdk berbeda nvata
Line transect 1;152 2;160 1319 Tdk berbeda niata
Variable circularplot 0,862 2,160 13,9 Tdk berbeda nyata

Ketiga metode menghasilkan nilai dugaan kepadatan populasi yang lebih


tinggi di HTT daripada I-IT. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan
sebelumnya menunjukan kepadatan populasi owa jawa lebii tinggi di HTT
dibandingkan dengan HT. Iskandar (2007), berdasarkan hasil penelitian pada
empat lokasi di dalam kawasan TNGHS, mendapatkan nilai dugaan kepadatan
populasi owa jawa sebesar 3,9 kelompokkm2 (9,9 individu/km2) di HTT dan 2,8
kelompok/km2 (6,5 individu/km2) di HT. Tobing (1999), berdasarkan hasil
pengamatan di sekitar daerah Cikaniki mendapatkan nilai dugaan kepadatan
populasi owa jawa sebesar 12,39 kelompok/km2 (34,75 individu/km2) di HTT dan
2,53 kelompok/km2 (5,68 individu/km2)di HT.

5.4. Ketelitian Nilai Dugaan Kepadatan Populasi

Tingkat ketelitian suatu data hasil sampling pada dasarnya dapat dilihat pada
tingkat keragamannya yang ditunjukkan oleh besarnya simpangan. Semakin
besar nilai simpangan data yang dihasilkan maka tingkat ketelitiannya makin
rendah, sebaliknya makin kecil nilai simpangan maka tingkat ketelitian data yang
dihasilkan makin tinggi. Nilai simpangan dapat dinyatakan sebagai angka mutlak
(absolut error) yang dituliskan dalam bentuk simpangan baku atau sebagai
ukuran relatif (percent relative error) yang dituliskan dalam bentuk koefisien
keragaman (Krebs 1998). Coefisien variation (koefisien keragaman) menyatakan
simpangan sebagai persentase dari nilai tengahnya, dan k m n a sifatnya relatif
maka ia paling baik untuk membandingkan keragaman dua atau lebih kumpulan
data (Walpole 1982). Ukuran lain yang digunakan untuk menyatakan tingkat
ketelitian adalah precision (ketelitian).
Tabel 17 menyajikan nilai precision (P) dan coefisien variation (CV) nilai
dugaan kepadatan populasi owa jawa yang diiasilkan tiap-tiap metode.
Berdasarkan Tabel 17 tersebut, metode LT memiliki tingkat ketelitian selalu
paling tinggi bila dibandingkan dengan tingkat ketelitian metode ST dan VCP,
baik di HT maupun di I-ITT. Sebaliknya, tingkat ketelitian nilai dugaan kepadatan
populasi yang diiasilkan metode ST selalu paling rendah di kedua tipe habitat.

Tabel 17 Tingkat ketelitian nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa yang
dihasilkan metode strip transect, line transect, dan variable circular
plot
Waktu Habitat Terganggu Habitat Tidak Terganggu
PengamatanJMetode P (%) CV (%) P (YO) CV ('36)
Pagi hari:
Strip trartsect
Line fransect
Variable circular plot
Sore hari:
Strip fransecf
Line transecf
Variable circular plot
Pagi & sore hari:
Sfrip transect
Line fransecf
Variable circular ulot
Ketenngan: P =Precision; CV = Coefisien variation

Secara umum, metode VCP memiliki nilai CV yang tidak berbeda jauh
dibandingkan dengan CV metode LT. Selisih nilai CV metode VCP dengan
metode LT selalu paling kecil bila dibandingkan dengan selisih CV antara kedua
metode tersebut dengan metode ST (Tabel 18). Hasil uji-f pada tingkat
kepercayaan 95% menunjukan bahwa ragam nilai dugaan kepadatan populasi dari
metode VCP dan LT tidak berbeda nyata, kecuali pada pengamatan sore hari di
HTT, ragam keduanya berbeda nyata (Lampiran 11). Ragam yang tidak berbeda
nyata mengindikasikan bahwa tingkat ketelitian kedua metode tersebut tidak
berbeda nyata.
Ketiga metode menunjukan kecenderungan tingkat ketelitian nilai dugaan
kepadatan populasi yang sama, baik berdasarkan waktu pengamatan maupun
berdasarkan tipe habitat. Berdasarkan waktu pengamatan, ketiga metode
menghasilkan nilai dugaan kepadatan populasi dengan tingkat ketelitian yang
lebih tinggi pada pagi hari dibandingkan sore hari. Berdasarkan tipe habitat,
ketiga metode memiliki tingkat ketelitian yang lebih tinggi pada HTT
dibandingkan dengan HT.

Tabel 18 Selisih tingkat ketelitian nilai dugaan kepadatan populasi owa jawa
antara metode strip &ansect, line transect, dan variable circular plot
Selisih Tingkat Ketelitian
Waktu Pengamatan CV P
HT HTT HT HTT
Pagi hari
ST%CP 38/35 45,46 38,65 45.46
ST-LT 44.90 50,41 44.90 50,41
VCP-LT 6,25 4,95 6.25 4,95
Sore hari
ST-VCP 66,64 47,43 66.64 47,43
ST-LT 67.57 70,35 67.57 70,35
VCP-LT 0.93 22,92 0.93 22,92
Pagi & sore hari
ST-VCP 40.42 46.12 40,42 46,12
ST-LT 44,95 48,96 44,95 48,96
VCP-LT 4,53 2,84 4,53 2,84
Keterangan: P = precision; CV = koefisien keragaman; HT = Habitat terganggu; HTT = Habitat tidak
terganggu; Klp = Kelompok; Ind = Individu; ST = Metode strip transect; LT =
Metode line transect; VCP = Metode variable circularplot

Ketelitian data yang dihasilkan suatu metode sampling pada dasarnya tidak
bersifat mutlak, karena ketelitian ditentukan oleh banyaknya unit contoh
pengamatan (White & Edwards 2000). Dalam kasus ini, ketelitian antar ketiga
metode diperbandingkan dengan asurnsi unit contoh atau wilayah pengamatannya
sama. Ketelitian metode ST dan VCP yang lebih rendah dapat ditingkatkan
dengan menambah unit contoh pengamatan. Dalam kaitan tersebut, nilai CV yang
diperoleh dalam penelitian ini dapat menjadi dasar untuk menentukan besaran unit
contoh yang diperlukan guna mendapatkan nilai dugaan kepadatan popdasi owa
jawa pada tingkat ketelitian yang diinginkan w e b s 1998).
5.5. Biaya Operasional Inventarisasi

5.5.1. Biaya Tetap

Biaya tetap adalah biaya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan


kegiatan inventarisasi tanpa tergantung banyaknya unit contoh. Yang terrnasuk
komponen biaya tetap tersebut adalah biaya pengadaan alat survei, biaya
~engadaadpembuatanpeta kerja, pembelian bahan habis pakai, pembelian bahan
P3K, dan biaya transport tim survei.
Dasar danlatau asumsi yang digunakan dalam penetapan besaran biaya atau
harga dari komponen-komponen biaya tetap dalam penelitian ini adalah.
1. Biaya pengadaan peralatan survei ditetapkan berdasarkan harga pasar (agen)
per 1 Juni 2009. Peralatan survei yang diperlukan antara lain: GPS,
Binokuler, Kompas, dan Rangefinder.
2. Umur pakai peralatan survei diasumsikan lima tahun dan habis pada akhir
masa pakai. Satu tahun diasumsikan sama dengan 200 hari kerja efektif.
3. Biaya pengadaan peta kerja berdasarkan standar biaya dalam DIPA lingkup
Dephut sebesar Rp 250.000,-Ikegiatan
4. Biaya pembelian bahan habis pakai diasumsikan sebesar Rp 250.000,-.
Bahan habis pakai terdiri atas: pita anti air, spidol, pensil, buku tulis, dan tally
sheet.
5. Biaya Pembelian bahan P3K diasumsikan sebesar Rp 250.000,-.
6. Biaya transport tim survey sebesar Rp 1.000.000,- berdasarkan standar dalam
DIPA lingkup Dephut.
Karena tidak tergantung pada banyaknya unit contoh pengamatan maka
besarnya biaya tetap tiap-tiap metode inventarisasi dalam penelitian ini adalah
sama. Berdasarkan asumsi-asumsi harga atau satuan biaya di atas, jumlah biaya
tetap pelaksanaan kegiatan inventarisasi owa jawa adalah Rp 1.929.000,-,
Rincian biaya tetap kegiatan inventarisasi owa jawa tersebut disajikan pada
Lampiran 12.

5.5.2. Biaya Variabel

Biaya variabel adalah biaya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan


kegiatan inventarisasi yang besarnya tergantung hanyaknya unit contoh. Yang
termasuk komponen biaya variabel tersebut adalah upah dan biaya konsumsi
tenaga kerja. Tenaga keja terbagi dua, yaitu tenaga pengamat dan tenaga
pembantu lapangan. Pengamat adalah orang yang melakukan pengamatan atau
pengambilan data dan memipin atau mengarahkan pembuatan transek. Tenaga
pengamat diasumsikan sebagai tenaga terdidik atau orang yang memenuhi
spesifikasi untuk melaksanakan kegiatan inventarisasi. Tenaga pembantu
lapangan adalah orang yang bertugas melakukan pekejaan pembuatan transek dan
membantu pengamat saat pengambilan data.
Dasar yang digunakan dalam penetapan besaran biaya upah tenaga kerja
dalam penelitian ini adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 64/PMK.02/2008
tentang Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009, yang mana:
1 Untuk upah tenaga pengamat, menggunakan standar biaya peneliti yang
besarnya Rp 22.500,-105 dengan maksimum empat j d h a r i . Prestasi kerja
pelaksanaan pengamatan adalah empat km transek per hari atau dua km
transek per empat jam kerja efektif. Prestasi keja ketiga metode adalah sama
karma pelaksanaan pengamatan dilakukan pada waktu yang bersamaan.
2. Upah tenaga pembantu lapangan sebesar Rp 50.000,-/hari. Prestasi keja
pembuatan transek adalah tiga km transek per hari untuk metode LT dan ST,
sedangkan untuk metode VCP empat km transek per hari.
3. Biaya konsumsi sebesar Rp 15.000,-/hari
Berdasarkan ketentuan di atas maka besarnya biaya variabel per transek
dalam inventarisasi owa jawa untuk metode ST dan LT adalah sama, yaitu Rp
125.000,-, sedangkan untuk metode VCP sebesar Rp 117.500,-. Rincian biaya
variabel masing-masing metode disajikan pada Lampiran 12.

5.5.3. Biaya Total

Biaya total inventarisasi adalah keseluruhan biaya yang diieluarkan dalam


pelaksanaan kegiatan inventarisasi yang terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel.
Berdasarkan hasil penjumlahan biaya tetap dan biaya variabel tiap-tiap metode
inventarisasi di atas, metode ST memiliki biaya total yang sama dengan metode
LT, yakni Rp 2.054.000,-, sedangkan metode VCP memilii biaya total yang
lebih rendah, yakni Rp 2.046.500,-
5.6. Penentuan Metode Optimal

Penentuan metode optimal merujuk pada metode Wiegert (Krebs 1998).


Parameter yang digunakan untuk menentukan ukuran optimal metode
inventarisasi adalah hasil perkalian ragam relatif dan biaya relatif. Ragam relatif
suatu metode menggambarkan ukuran relatif dari ragam nilai dugaan kepadatan
yang dihasilkan metode tersebut terhadap ragam yang dihasilkan metode lainnya.
Hasil perhitungan ragam relatif metode ST, LT, dan VCP disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19 Ragam relatif metode strip transect, line transect, dan variable circular
plot
Ragam Relatif
Waktu
Habitat Terganggu Habitat Tidak Terganggu
Pengamatan ST
LT VCP ST LT VCP

Pagi hari 17,58 1,00 3,33 25,52 1,00 3,07

Sore hari 18,23 1,OO 2,35 2,OE+09 4,90E+07 1,00

Pagi dan sore hari 25,08 1,OO 3,Ol 3753 1,00 3,14
Ketenngan: ST = Metode strip transect; LT = Metode line tramect; VCP = Metode variable
circular plot

Ragam yang digunakan untuk menghitung ragam relatif pada Tabel 19 di


atas adalah ragam yang telah disetarakan, yang diperoleh dengan cara membagi
ragam nilai dugaan kepadatan tiap-tiap metode dengan luas areal pengamatan
masing-masing metode tersebut. Pada metode ST, luas satu buah transek
pengamatan dihitung berdasarkan ukuran transek yang telah ditentukan yakni
lebar 100 meter dan panjang satu km. Pada metode LT dan VCP, luas areal
pengamatan dihitung berdasarkan jar& pengamatan efektif (eflekrif strip
widthiESW pada metode LT atau effektif distance radiusiEDR pada metode
VCP). Berdasarkan hasil analisis data menggunakan program DISTANCE 5.0
diketahui ESW metode LT adalah 75 meter di HT dan 70 meter di HTT.
Metode LT selalu memiliki ragam relatif yang bemilai satu, kecuali untuk
pengamatan sore hari di HTT. Ragam relatif sebesar satu menunjukan bahwa
ragam metode tersebut merupakan pembanding, atau dengan kata lain merupakan
ragam paling kecil di antara ketiga metode. Metode VCP mendapatkan ragam
paling kecil pada pengamatan sore hari di HTT. Namun, ragam tersebut diperoleh
dari rata-rata nilai dugaan kepadatan yang berbeda jauh dengan dua metode
lainnya. Menurut Walpole (1982), ragam hanya dapat diperbandingkan bila nilai
rataan keduanya tidak terlalu jauh.
Biaya relatif suatu metode menggambarkan k a n relatif dari biaya
metode tersebut terhadap metode laimya. Hasil penghitungan biaya relatif
metode metode ST, LT, dan VCP disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20 Hasil penghitungan biaya relatif metode strip transect, line transect, dan
variable circular plot

Tipe Habitat Metode Biaya Total (Rp) Biaya Relatif


Habitat Strip transek 2.054.000,- 1,004
terganggu
Line transek 2.054.000,- 1,004
Var. circular plot 2.046.500,- 1,000
Habitat tidak Strip transek 2.054.000,- 1,004
tWWggu Line transek 2.054.000,- 1,004
Var. circular plot 2.046.500,- 1,000

Biaya yang digunakan dalam penghitungan biaya relatif adalah biaya total
tiap-tiap metode. Karena biaya total tersebut mengynakan satuan yang sudah
setara, yakni per satu krn transek maka tidak perlu disetarakan lagi. Berdasarkan
Tabel 20 di atas, biaya relatif ketiga metode relatif sama karena perbedaan biaya
yang dikeluarkan masing-masing metode relatif kecil. Hal ini dimungkinkan
karena penggunaan surnberdaya @eralatan, tenaga, dan waktu) ketiga metode
tersebut dalam penelitian ini adalah sama.
Oleh karena biaya tidak menjadi faktor pembeda yang signifikan pada
ketiga metode tersebut, maka tingkat optimalisasi alcan sangat ditentukan oleh
ragam relatif. Dengan kata lain tingkat ketelitian adalah faktor penentu tingkat
optimalisasi antara metode ST, LT, dan VCP.
Tabel 21 menyajikan hasil perkalian ragam relatif dan biaya relatif tiap-tiap
metode. Berdasarkan Tabel 21 tersebut, metode LT selalu memiliki nilai perkalian
ragam relatif dan biaya relatif paling rendah baik di HT maupun HTT, kecuali
pada pengamatan sore hari di HTT. Untuk pengamatan sore hari di HTT
tersebut, nilai paling rendah dihasilkan oleh metode VCP. Namun, sebagaimana
diulas sebelurnnya, metode VCP memiliki rata-rata nilai dugaan kepadatan
populasi yang sangat rendah dan berbeda jauh dengan rata-rata nilai dugaan
kepadatan populasi dua metode lainnya. Dengan demikian, ragam nilai dugaan
kepadatan populasi hasil pengmatan metode VCP di HTT pada sore hari tersebut
tidak dapat diperbandingkan dengan metode lainnya (Walpole 1982).
Berdasarkan ha1 ini, maka dapat disimpulkan bahwa metode yang paling optimal
untuk pendugaan kepadatan populasi owa jawa adalah metode LT
Tabel 21 Hasil perkalian ragam relatif dan biaya relatif dari metode strip iransect,
line hansect, dan variable circular plot

Ragam Relatif x Biaya Relatif


Waktu
Pengamatan Habitat Terganggu Habitat Tidak Tergangy
ST LT VCP ST LT VCP

Pagi hari 17,643 1,004 3,332 25,612 1,004 3,066

Sore hari 18,301 1,004 2,352 1,7E+09 4,9E+07 1,000

Pagi & sore hari 25,175 1,004 3,008 37,667 1,004 3,140
Keterangan: ST = Metode strip bansect; LT = Metode line Iransecl; VCP = Metode variable
circular plot

Anda mungkin juga menyukai