DISUSUN OLEH
PEMBIMBING
dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp.THT
REFERAT
DETEKSI DINI DAN MANAJEMEN KOLESTEATOMA
Disusun oleh :
Kevin Adriansyah Akbar 03015097
Telah diterima dan disetujui oleh dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp.THT
selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Telanga Hidung dan Tenggorokan
....................................................
dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp.THT
DAFTAR ISI
2
LEMBAR PENGESAHAN . 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II ANATOMI TELINGA & FISIOLOGI PEDENGARAN 5
BAB III KOLESTEATOMA
3.1 Definisi Kolesteatoma 13
3.2 Epidemiologi Kolesteatoma 13
3.3 Klasifikasi Kolesteatoma 14
3.4 Patofisiologi Kolesteatoma 17...
3.5 PatofisiologiKerusakan Tulang 22
3.6 Manifestasi Kolesteatoma 24
3.7 Diagnosis Kolesteatoma 26
3.8 Penatalaksanaan Kolesteatoma 30
3.9 Komplikasi Kolesteatoma 34
3.10 Prognosis Kolesteatoma 35
DAFTAR PUSTAKA 36
BAB I
PENDAHULUAN
3
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi
epitel (keratin). Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes
Muller pada tahun 1838 karena disangka tumor yang ternyata bukan.
Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh
berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang
telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat
serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit
yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga
membentuk kolesteatoma.
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA
4
Telinga merupakan salah satu indera yang dimiliki manusia yang
cukup penting, karena tanpa adanya pendengaran maka seseorang juga akan
mengalami kesulitan dalam berbicara. Telinga merupakan organ yang
bersifat sensori yang sangat kompleks jika dibandingkan dengan organ
sensori lainnya.
Secara anatomi, pada dasarnya telinga dibagi menjadi 3 bagian secara
garis besar, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga
dalam sendiri nanti akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu koklea yang
berfungsi dalam pendengaran dan juga aparatus vestibuli yang berperan
dalam keseimbangan. Telinga luar dan telinga tengah akan menyalurkan
suara menuju koklea, yang dimana pada koklea suara tersebut akan
dipisahkan berdasarkan frekuensinya sebelum mengalami transduksi oleh
sel-sel rambut pada koklea yang akan mengubah rangsangan suara tersebut
menjadi stimulus neural pada saraf yang bertanggung jawab atas
pendengaran yaitu saraf kranial ke VIII yaitu nervus vestibulocochlear. 1
5
Telinga luar pada dasarnya sebagian terbentuk dari kartilago yang
dilapisi oleh kulit pada bagian luar dan tulang yang langsung dilapisi oleh
kulit pada bagian dalam. Bagian luar dari telinga ini disebut juga sebagai
aurikula yang dimana terdapat banyak bagian dari aurikula yang memiliki
nama masing-masing. Dalam fungsi pendengaran terdapat cekungan pada
telinga luar yang disebut juga sebagai concha yang sangat berperan penting
dalam mengumpulkan dan mengantarkan suara yang akan berujung pada
koklea.1,3
Gambar 2. Auricula
6
Bagian kedua dari telinga adalah telinga bagian tengah yang terdiri
dari membran timpani dan juga 3 tulang yang berperan penting dalam
pendengaran yaitu malleus, incus, dan stapes. Pada telinga tengah juga
terdapat dua otot kecil, yaitu otot tensor timpani dan juga otot stapedius
yang akan berperan dalam refleks akustik. Pada telinga tengah juga terdapat
chorda tympani yang merupakan cabang dari nervus fasialis yang melewati
telinga tengah yang dimana chorda tymphani ini akan menginervasi 2/3
depan dari lidah. Pada telinga tengah juga terdapat tuba Eustaschian yang
akan menghubungkan telinga tengah dengan faring.1,3
Salah satu struktur penting yang berada pada telinga tengah adalah
membran timpani. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila
dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga.
Bagian atas disebut Pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian
bawah Pars Tensa (membran propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu
bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa
7
mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar
dan sirkuler pada bagian dalam.
8
Gambar 4. Telinga Tengah dan Dalam
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada
lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang
berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada
maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. Pada pars
flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad
antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.3
9
tengah, sehingga menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam
dan permukaan luar membran tympani.3
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut holikotrema,
menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibule. 3
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap.3
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas,
skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan
skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti. 3
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk
organ corti.3
10
Gambar 5. Organ Corti
Fisiologi Pendengaran
11
Gambar 6. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani
diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga
kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. 1,3
BAB III
KOLESTEATOMA
3.1 Definisi
12
Kolesteatoma telah diakui selama beberapa dekade sebagai lesi
destruktif dasar tengkorak yang dapat mengikis dan menghancurkan
struktur penting pada tulang temporal. Potensinya dalam
menyebabkan komplikasi sistem saraf (misalnya abses otak,
meningitis) membuatnya menjadi lesi yang berpotensi fatal. 6
Kolesteatoma diartikan sebagai adanya epitel skuamosa pada
telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum. Normalnya, celah telinga
tengah dilapisi oleh berbagai jenis epitel di berbagai regio: kolumnar
bersilia di bagian anterior dan inferior, kuboidal di bagian tengah dan
pavement-like di bagian attic. Telinga tengah tidak dilapisi oleh epitel
skuamosa berkeratin. Oleh karena itu, adanya epitel skuamosa pada
telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum disebut kolesteatoma.
Dengan kata lain, kolesteatoma adalah “kulit di tempat yang salah”. 6,7,8
Pada dasarnya, kolesteatoma terdiri dari dua bagian, (i)
matriks, yang terdiri dari epitel skuamosa berkeratin yang bertumpu
pada stroma jaringan ikat dan (ii) central white mass, yang terdiri dari
debris keratin yang dihasilkan oleh matriks. Maka, kolesteatoma juga
disebut sebagai epidermosis atau keratoma.6
3.2 Epidemiologi
Insidensi dari kolesteatoma beraneka ragam dimana salah satu
penyebabnya adalah praktek medis yang berbeda-beda di setiap
Negara, seperti contohnya di Israel ditemukan adanya penurunan
kejadian dari kolesteatoma, ketika pada pasien yang menderita otitis
media kronik dilakukan penanganan dengan grommets ataupun aural
ventilation tube.
Baik laki-laki ataupun perempuan dapat mengalami
kolesteatoma, dengan perbandingan laki-laki berbanding wanita
sebesar 3:2. Kolesteatoma yang terjadi pada anak-anak ditemukan
akan lebih sering berdampak pada tuba eustachius, anterior
13
mesotympanum, sel retrolabirin dan prosesus mastoid jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan
pemeriksaan histologi diketahui bahwa kolesteatoma yang terjadi
pada anak pada umumnya bersifat lebih agresif. 4
3.3 Klasifikasi
a) Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma kongenital terjadi sebagai konsekuensi
dari epitel skuamosa yang terjebak dalam tulang temporal
selama embriogenesis. Lokasi kolesteatoma biasanya di
mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di
cerebellopontin angle. Sering diidentifikasi pada anak-anak usia
6 bulan hingga 5 tahun.
14
biasnaya diidentifikasi di belakang membran timpani yang
masih utuh dan terlihat normal. Anak biasanya tidak memiliki
sejarah infeksi telinga berulang, tidak pernah dioperasi telinga
sebelumnya, dan tidak memiliki sejarah perforasi membran
timpani.6,7
15
medial dan posterior, epitel skuamosa akan menyelubungi
bangunan-atas stapes dan membran tympani tertarik hingga ke
dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari
membran timpani posterior cenderung mengakibatkan
eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang kelumpuhan) dan
kehancuran struktur stapes.
3.4 Patofisiologi
a) Kolesteatoma Kongenital
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih
16
diperdebatkan hingga saat ini. Ada beberapa teori yang dipakai
untuk menjelaskan patogenesis dari kolesteatoma kongenital. 6
17
Gambar 8. Epithelial Rest Theory
18
❖ Stage II – Melibatkan beberapa kuadran
tanpa melibatkan ossiculus
❖ Stage III – Melibatkan ossiculus tanpa
ektensi ke mastoid
❖ Stage IV – Melibatkan mastoid (67% resiko
kolesteatoma residual)
Berdasarkan lokasi kolestatoma, kongenital
kolesteatoma dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :
❖ Type 1 – Terbatas pada telinga tengah,
ossiculus tidak terlibat
❖ Type 2 – Melibatkan kuadran posterior
superior dan attic
❖ Type 3 – Campuran tipe 1 dan 2 serta
mastoid
Teori patogenesis :
1. Invaginasi dari membran timpani (kolesteatoma kantung
retraksi)
19
dikeluarkan dari kantung hingga menyebabkan terjadinya
kolesteatoma.4
1. Teori Papillary Ingrowth
2. Teori Metaplasia
20
Gambar 9. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Primer
Patofisiologi Kolesteatoma23
21
Gambar 11. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Sekunder
22
terakhir. Matrix metalloproteinase (MMP), suatu enzym dari family
zinc metalloenzymes yang mendegradasi matrix ekstraselular telah
diketahui terdapat pada kolesteatoma. MMP-2 dan MMP-9 terdapat
pada lapisan epitel suprabasal kolesteatoma. 6
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat
pertumbuhan kuman (infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan
Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat memicu respons
imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi
dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks
kolesteatoma adalah interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor
necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth factor (TGF). Zat-zat ini dapat
menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat
hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.
23
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya
proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh karena pembentukan
reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini
mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis,
dan abses otak.
24
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari
kolesteatoma adalah drainase dan jaringan granulasi di liang telinga
dan telinga tengah yang tidak responsif terhadap terapi antimikroba.
Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90%
kasus. Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena
seringkali gendang telinga tetap utuh sampai komponen telinga
tengah cukup besar. Kolesteatoma yang berasal dari implantasi epitel
skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada
membran tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini,
(kolesteatoma kongenital, kolesteatoma implantasi) pada akhirnya
kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi pada membran
tympani.
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah
sebuah kanalis akustikus eksternus yang penuh terisi pus
mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala menghilangkan
infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik
sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan.
Apabila terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada
membran tympani pada pars flaksida atau kuadran posterior.
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi
berdasarkan salah satu komplikasinya, hal ini kadangkala ditemukan
pada anak-anak. Infeksi yang terkait dengan kolesteatoma dapat
menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi sebagai abses
di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali
dengan tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat,
yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau meningitis.
3.7 DIAGNOSIS
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan
pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan
25
penala merupakan pemriksaan sederhana untuk mengetahui
gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan
pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometric nada murni,
audiometric tutur (speech audiometric), dan pemeriksaan BERA
(brainstem evoked response audiometric) bagi pasien anak yang tidak
koperatif dengan pemeriksaan audiometric nada murni.
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh:
▪ penurunan kemampuan mendengar
▪ otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak ena
▪ otalgia
▪ obstruksi nasal
▪ tinnitus, intermiten dan unilateral
▪ vertigo
Pemeriksaan Penunjang
a) RADIOLOGI
26
Dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT scan, atau MRI.
CT scan merupakan pilihan radiologi yang dapat mendeteksi
gangguan tulang. Namun CT scan tidak selalu dapat membedakan
antara jaringan granulasi dengan kolesteatoma. Gaurano (2004)
telah mendemonstrasikan bahwa ekspansi antrum mastoid dapat
dilihat pada 92% kolesteatoma telinga tengah dan 92%
mendemonstrasikan adanya erosi tulang pendengaran.8
CT scan yang digunakan adalah CT scan tulang temporal (2mm
– tanpa kontras dengan potongan axial dan coronal.
Tanda kolesteatoma pada CT scan adalah :
1) Masa jaringan lunak di telinga tengah
▪ terutama di prussaks space
▪ pada kolesteatoma lanjut, terdapat bagian telinga tengah
yang terisi udara yang menunjukan masa dan bukan
effusi
2) Erosi tulang
27
membedakan antara retraksi tanpa perluasan jaringan lunak ke
epitympanic space dengan masa jaringan lunak ekstensif disertai
erosi tulang.
▪ Bila pasien menghindari operasi, sebaiknya operasi tidak dilakukan
bila CT scan telah dilakukan dan dievaluasi berdasarkan hasil CT
scan
▪ Bila anatomi tidak dapat ditentukan dan luasnya penyakit tidak
diketahui
▪ Pasien dengan kelainan congenital (ex: atresia)
▪ Bila dicurigai adanya komplikasi
▪ Bila dicurigai terdapat fistla labyrinthine atau erosi tuba fallopi
▪ Bila terdapat perluasan ke intracranial, peradangan dura,
meningitis, abscess, atau trombosis sinus sigmoid diindikasikan
dilakukan MRI
28
▪ Perimatrix : jaringan granulasi, mensekresi enzim proteolitik
yang dapat menyebabkan erosi tulang
▪ Hiperkeratosis
3.8 PENATALAKSANAAN
a) Terapi Non Bedah
Tujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah
menurunkan derajat inflamasi dan aktivitas infeksi pada
bagian telinga yang terinfeksi. Prinsip pengobatan medikasi
kolesteatoma adalah membuang debris dari liang telinga.
Irigasi harus dilakukan dengan tepat, air harus dikeluarkan
seluruhnya dari telinga untuk mencegah kelanjutan
kontaminasi.
Selain irigasi, diperlukan juga antimikroba topikal untuk
menekan infeksi, yang umumnya disebabkan oleh organisme
sebagai berikut : Pseudomonas aeruginosa, Streptococci,
Staphylococci, Proteus, dan Enterobacter. Antimikroba yang
umum dipakai adalah ofloxacin atau neomycin-polymyxin B.
Apabila telinga tengah terpapar, dikemukakan bahwa
penggunaan aminoglikosida bersifat ototoksik dan berbahaya.
Akan tetapi, belum ada studi yang adekuat yang mendukung
teori tersebut. Namun, untuk kepentingan pasien, dianjurkan
untuk menghindari penggunaan agen ototoksik dan tetap
menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa klinisi juga
29
menggunakan steroid topikal untuk menurunkan inflamasi,
namun studi lebih lanjut masih diperlukan untuk menilai
efektivitas dari penggunaan agen ini.
Pada beberapa kasus, infeksi yang berlangsung tidak
sepenuhnya teratasi. Hal ini biasanya terjadi pada kasus
adanya kolesteatoma sac dengan debris keratin yang tidak
diobati dengan antimikroba lokal secara efektif. Namun,
setelah tindakan bedah, umumnya keluhan otorrhea akan
teratasi.
b) Terapi Pembedahan
Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat
atau menyingkirkan kolesteatoma. Teknik operatif yang umum
dilaksanakan antara lain canal-wall-up (closed) dan canal-wall-
down (open). Apabila pasien memiliki riwayat episode
kekambuhan kolesteatoma, dan berharap dapat menghindari
tindakan operatif di kemudian hari, teknik canal-wall-down
merupakan pilihan yang tepat dan lebih aman.
Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan
kondisi telinga yang “kering” dan “aman”. Proses-proses yang
menyebabkan erosi tulang, inflamasi kronik, dan infeksi harus
ditangani secara tuntas. Oleh karena itu, seluruh matriks
kolesteatoma harus disingkirkan sepenuhnya. Apabila hal ini
gagal dilakukan, kemungkinan yang muncul adalah
kekambuhan dari kolesteatoma. Tabel di bawah ini
menunjukaan beberapa teknik pembedahan disertai
keuntungan dan kerugiannya.6
30
Teknik canal-wall-down memiliki probabilitas tertinggi
dalam membersihkan kolesteatoma secara permanen. Canal-wall-
up prosedur memiliki keuntungan mempertahankan penampilan
normal, tetapi mereka memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
kolesteatoma persisten atau berulang. Risiko kekambuhan cukup
tinggi sehingga ahli bedah menyarankan suatu
tympanomastoidectomy kedua setelah 6 bulan sampai 1 tahun
setelah operasi awal.
Di Amerika Serikat, kebanyakan prosedur bedah
kolesteatoma dilakukan dengan insisi pada belakang telinga
dikombinasikan dengan insisi pada external auditory canal.
Kemudian menyingkirkan “air cell” dari mastoid secara
keseluruhan. Mengelevasi membran timpani dan evaluasi mastoid.
Singkirkan kolesteatoma. Apabila ossiculus juga terlibat, maka
bagian tersebut perlu disingkirkan juga untuk menghindari
kekambuhan dari kolestetoma. Membran timpani pada umumnya
juga direkonstruksi pada prosedur ini. Apabila dilakukan canal-
wall-up, tulang direkonstruksi dengan cartilage graft. Bila
menggunakan teknik canal-wall-down, maka perlu dibuat
meatoplasty yang besar agar ada sirkulasi udara yang adekuat ke
cavitas telinga.6
31
▪ Ruang telinga tengah yang dipertahankan dengan
baik
▪ Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang
telinga tengah melalui additus ad antrum.
▪ Eliminasi dari tulang attic dilengkapi dengan
cartilage atau bone graft.
32
tetap bebas daei deskuamasi epitel dan serumen. Pada pasien yang
menjalani prosedur canal-wall-up umumnya memerlukan tindakan
operatif kedua, setelah 6-9 bulan setelah tindakan operatif pertama.
3.9 KOMPLIKASI
Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti
dibagi berdasarkan komplikasi segera dan komplikasi lambat.
Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis, kerusakan korda
timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada
sinus sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-
operasi juga dapat dimasukkan sebagai komplikasi segera.
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren,
reperforasi, lateralisasi tandur, stenosis liangg telinga luar, displasi
atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang dipasang. Pada
kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu
operasi. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada
pars vertikalis waktu melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi
pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di dekat stapes atau
mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari
arah kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila tpografi
daerah sekitarnya sudah tidak dikenali dengan baik, misalnya pada
kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi sebelumnya,
destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma.
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah
menurut klasifikasi House-Bregmann. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan EMG untuk melihat derajat kerusakan pada saraf dan
menentukan prognosis penyembuhan spontan.
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan
segera, sebab vertigo pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi
33
selam operasi, belum tentu karena cedera operasi. Trauma terhadap
labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah aditus
ad antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh
jaringa kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan
fistel labirin.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan
memperbuuk sistem konduksi telinga tengah sedapat mungkin
langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan duramater
sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas
dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu
komposit sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis,
sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat
menyebabkan perdarahan besar.
3.10 PROGNOSIS
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu
berhasil, namun terkadang membutuhkan tindakan operasi yang
berkali-kali. Karena penanganan dari kolesteatoma dengan
pembedahan pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh karena
itu komplikasi yang timbul dari pertumbuhan kolesteatoma yang
tidak terkontrol sangatlah jarang terjadi.
Pada penanganan canal-wall-down tympanomastoidectomy
akan memberikan angka persentase rekurensi ataupun persistensi
yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari kolesteatoma hanya
terjadi pada 5% atau bahkan lebih sedikit. Oleh karena itu tehnik ini
jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan closed-cavity
technique yang memiliki angka rekurensi antara 20-40%.15
Meskipun begitu, karena tulang-tulang pendengaran dan
ataupun membran timpani tidak dapat mengalami resolusi secara
sempurna kembali kedalam keadaan normal, kolesteatoma tetap
34
secara relatif merupakan penyebab yang cukup sering dari tuli
konduktif yang bersifat permanent.
DAFTAR PUSTAKA
1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009 (cited
August 25, 2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.
3. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997
4. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai
AP. Profile of congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad
Med [serial online] 1989 [cited 2015 March 19]; 35:93. Available from:
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1989/35/2/93/5702
5. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical
Branch Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited March 19,
35
2015). Available at www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-
060125.pdf
36