Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

DETEKSI DINI DAN MANAJEMEN KOLESTEATOMA

DISUSUN OLEH

Kevin Adriansyah Akbar 03015097

PEMBIMBING
dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH K.R.M.T WONGSONEGORO
PERIODE 02 DESEMBER 2019 - 03 JANUARI 2020
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
DETEKSI DINI DAN MANAJEMEN KOLESTEATOMA

Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Telinga Hidung


dan Tenggorokan
Periode 02 Desember 2019- 03 Januari 2020
Di Rumah Sakit Umum Daerah K.R.M.T Wongsonegoro

Disusun oleh :
Kevin Adriansyah Akbar 03015097

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp.THT
selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Telanga Hidung dan Tenggorokan

Semarang, Desember 2019

....................................................
dr. Djoko Prasetyo Adinugroho, Sp.THT

DAFTAR ISI

2
LEMBAR PENGESAHAN . 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II ANATOMI TELINGA & FISIOLOGI PEDENGARAN 5
BAB III KOLESTEATOMA
3.1 Definisi Kolesteatoma 13
3.2 Epidemiologi Kolesteatoma 13
3.3 Klasifikasi Kolesteatoma 14
3.4 Patofisiologi Kolesteatoma 17...
3.5 PatofisiologiKerusakan Tulang 22
3.6 Manifestasi Kolesteatoma 24
3.7 Diagnosis Kolesteatoma 26
3.8 Penatalaksanaan Kolesteatoma 30
3.9 Komplikasi Kolesteatoma 34
3.10 Prognosis Kolesteatoma 35
DAFTAR PUSTAKA 36

BAB I
PENDAHULUAN

3
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi
epitel (keratin). Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes
Muller pada tahun 1838 karena disangka tumor yang ternyata bukan.
Seluruh epitel kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh
berada pada lokasi yang terbuka/ terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang
telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat
serumen padat di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit
yang berada medial dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga
membentuk kolesteatoma.

Kolesteatoma diawali dengan penumpukan deskuamasi epidermis di


liang telinga, sehingga membentuk gumpalan dan menimbulkan rasa penuh
serta kurang dengar. Bila tidak ditanggulangi dengan baik akan terjadi erosi
kulit dan bagian tulang liang telinga. Kolesteatoma mengerosi tulang yang
terkena baik akibat efek penekanan oleh penumpukan debris keratin
maupun akibat aktifitas mediasi enzim osteoklas. Etiologinya belum
diketahui, sering terjadi pada pasien dengan kelainan paru kronik, seperti
bronkiektasis, juga pada pasien sinusitis. Namun kejadian kolesteatoma
sangat jarang terjadi.

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

4
Telinga merupakan salah satu indera yang dimiliki manusia yang
cukup penting, karena tanpa adanya pendengaran maka seseorang juga akan
mengalami kesulitan dalam berbicara. Telinga merupakan organ yang
bersifat sensori yang sangat kompleks jika dibandingkan dengan organ
sensori lainnya.
Secara anatomi, pada dasarnya telinga dibagi menjadi 3 bagian secara
garis besar, yaitu telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga
dalam sendiri nanti akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu koklea yang
berfungsi dalam pendengaran dan juga aparatus vestibuli yang berperan
dalam keseimbangan. Telinga luar dan telinga tengah akan menyalurkan
suara menuju koklea, yang dimana pada koklea suara tersebut akan
dipisahkan berdasarkan frekuensinya sebelum mengalami transduksi oleh

sel-sel rambut pada koklea yang akan mengubah rangsangan suara tersebut
menjadi stimulus neural pada saraf yang bertanggung jawab atas
pendengaran yaitu saraf kranial ke VIII yaitu nervus vestibulocochlear. 1

Gambar 1. Anatomi Telinga

5
Telinga luar pada dasarnya sebagian terbentuk dari kartilago yang
dilapisi oleh kulit pada bagian luar dan tulang yang langsung dilapisi oleh
kulit pada bagian dalam. Bagian luar dari telinga ini disebut juga sebagai
aurikula yang dimana terdapat banyak bagian dari aurikula yang memiliki
nama masing-masing. Dalam fungsi pendengaran terdapat cekungan pada
telinga luar yang disebut juga sebagai concha yang sangat berperan penting
dalam mengumpulkan dan mengantarkan suara yang akan berujung pada
koklea.1,3

Gambar 2. Auricula

Kanalis telinga dilapisi oleh epitel yang mensekresikan serumen dan


disertai oleh rambut pada permukaannya. Pada epitel yang melapisi kanalis
telinga ini tidak terdapat kelenjar keringat. Oleh karena epitel pada liang
telinga ini tidak seperti epitel pada daerah lainnya yang sering tergosok
secara natural, maka epitel didaerah ini dapat membersihkan sel kulit yang
mati dan juga serumen yang berada pada kanalis telinga, kegagalan dalam
pembersihan sendiri dari sel epitel ini merupakan salah satu teori yang
berkembang dalam patofisiologi dari terjadinya kolesteatoma. Terdapat dua
sel yang berperan dalam pembentukan serumen yaitu kelenjar sebaseus dan
kelenjar serumen.1,3

6
Bagian kedua dari telinga adalah telinga bagian tengah yang terdiri
dari membran timpani dan juga 3 tulang yang berperan penting dalam
pendengaran yaitu malleus, incus, dan stapes. Pada telinga tengah juga
terdapat dua otot kecil, yaitu otot tensor timpani dan juga otot stapedius
yang akan berperan dalam refleks akustik. Pada telinga tengah juga terdapat
chorda tympani yang merupakan cabang dari nervus fasialis yang melewati
telinga tengah yang dimana chorda tymphani ini akan menginervasi 2/3
depan dari lidah. Pada telinga tengah juga terdapat tuba Eustaschian yang
akan menghubungkan telinga tengah dengan faring.1,3

Rongga telinga tengah pada dasarnya berbentuk seperti kubus dengan


enam sisi yang dimana dinding posterior dari kubus ini sedikit lebih besar
daripada dinding anteriornya. Berikut ini merupakan batas-batas dari rongga
telinga tengah :
▪ Batas luar : Membran timpani
▪ Batas depan : Tuba eustachius
▪ Batas bawah : Vena jugularis
▪ Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.
▪ Batas atas : Tegmen timpani (meningen/otak), tegmen timpani ini akan
memisahkan resesus epitimpanic dari fossa kranial bagian tengah.
▪ Batas dalam: Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis
horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window), promontorium,
dan tingkap bundar (round window)

Salah satu struktur penting yang berada pada telinga tengah adalah
membran timpani. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila
dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga.
Bagian atas disebut Pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian
bawah Pars Tensa (membran propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu
bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi
oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa

7
mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar
dan sirkuler pada bagian dalam.

Gambar 3. Membran Tympani

Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani


disebut umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke arah
bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk
membran timpani kanan. Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan
menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang
tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan,
atas-belakang, bawah-depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak
perforasi membran timpani.3
Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang
tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang
pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus
maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong
yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian.3

8
Gambar 4. Telinga Tengah dan Dalam

Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada
lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang
berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada
maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. Pada pars
flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad
antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum
mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.3

Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran


eustachius (tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan
tekanan antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka
ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara
yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk
mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba
auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga

9
tengah, sehingga menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam
dan permukaan luar membran tympani.3

Telinga tengah dapat juga dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu


mesotympanum, hypotympanum, epitympanum. Yang menjadi batasan dari
ketiga kompartemen ini adalah kanalis auditori eksternal. Epitympanum
sendiri berada superior dan medial dari kanalis auditori eksternal.
Hypotympanum terletak inferior dan medial dari kanalis auditori eksternal,
sedangkan yang terakhir adalah mesotympanum terletak di medial dari
eksternal auditori kanal.

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis
semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut holikotrema,
menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibule. 3
Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan
membentuk lingkaran yang tidak lengkap.3
Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas,
skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan
skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai
membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media
adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti. 3
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri
dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk
organ corti.3

10
Gambar 5. Organ Corti

Dibelakang dari rongga telinga tengah terdapat mastoid antrum yang


merupakan penonjolan dari tulang temporalis, dan rongga mastoid ini
berhubungan dengan telinga tengah melalui aditus ad antrum. Rongga
mastoid merupakan sebuah rongga yang berbentuk seperti segitiga dengan
puncaknya mengarah ke kaudal. Mastoid antrum ini memiliki panjang 12-
15mm, tinggi 8-10mm, dan lebar antara 6-8mm.

Fisiologi Pendengaran

11
Gambar 6. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani
diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang
akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule
bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik
yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga
kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan
potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius
sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. 1,3

BAB III
KOLESTEATOMA

3.1 Definisi

12
Kolesteatoma telah diakui selama beberapa dekade sebagai lesi
destruktif dasar tengkorak yang dapat mengikis dan menghancurkan
struktur penting pada tulang temporal. Potensinya dalam
menyebabkan komplikasi sistem saraf (misalnya abses otak,
meningitis) membuatnya menjadi lesi yang berpotensi fatal. 6
Kolesteatoma diartikan sebagai adanya epitel skuamosa pada
telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum. Normalnya, celah telinga
tengah dilapisi oleh berbagai jenis epitel di berbagai regio: kolumnar
bersilia di bagian anterior dan inferior, kuboidal di bagian tengah dan
pavement-like di bagian attic. Telinga tengah tidak dilapisi oleh epitel
skuamosa berkeratin. Oleh karena itu, adanya epitel skuamosa pada
telinga tengah, mastoid, atau epitimpanum disebut kolesteatoma.
Dengan kata lain, kolesteatoma adalah “kulit di tempat yang salah”. 6,7,8
Pada dasarnya, kolesteatoma terdiri dari dua bagian, (i)
matriks, yang terdiri dari epitel skuamosa berkeratin yang bertumpu
pada stroma jaringan ikat dan (ii) central white mass, yang terdiri dari
debris keratin yang dihasilkan oleh matriks. Maka, kolesteatoma juga
disebut sebagai epidermosis atau keratoma.6

3.2 Epidemiologi
Insidensi dari kolesteatoma beraneka ragam dimana salah satu
penyebabnya adalah praktek medis yang berbeda-beda di setiap
Negara, seperti contohnya di Israel ditemukan adanya penurunan
kejadian dari kolesteatoma, ketika pada pasien yang menderita otitis
media kronik dilakukan penanganan dengan grommets ataupun aural
ventilation tube.
Baik laki-laki ataupun perempuan dapat mengalami
kolesteatoma, dengan perbandingan laki-laki berbanding wanita
sebesar 3:2. Kolesteatoma yang terjadi pada anak-anak ditemukan
akan lebih sering berdampak pada tuba eustachius, anterior

13
mesotympanum, sel retrolabirin dan prosesus mastoid jika
dibandingkan dengan orang dewasa. Berdasarkan bukti klinis dan
pemeriksaan histologi diketahui bahwa kolesteatoma yang terjadi
pada anak pada umumnya bersifat lebih agresif. 4

3.3 Klasifikasi
a) Kolesteatoma Kongenital
Kolesteatoma kongenital terjadi sebagai konsekuensi
dari epitel skuamosa yang terjebak dalam tulang temporal
selama embriogenesis. Lokasi kolesteatoma biasanya di
mesotimpanum anterior, daerah petrosus mastoid atau di
cerebellopontin angle. Sering diidentifikasi pada anak-anak usia
6 bulan hingga 5 tahun.

Gambar 7. Kolesteatoma Kongenital

Selama kolesteatoma membesar, kolesteatoma dapat


menyumbat tuba eustachius dan memproduksi cairan telinga
tengah kronis dan mengakibatkan tuli konduktif. Kolesteatoma
juga dapat melebar ke arah posterior dan mengelilingi tulang-
tulang pendengaran hingga menyebabkan tuli konduktif. Tidak
seperti tipe kolesteatoma lainnya, kolesteatoma kongenital

14
biasnaya diidentifikasi di belakang membran timpani yang
masih utuh dan terlihat normal. Anak biasanya tidak memiliki
sejarah infeksi telinga berulang, tidak pernah dioperasi telinga
sebelumnya, dan tidak memiliki sejarah perforasi membran
timpani.6,7

b) Kolesteatoma Akuisital Primer


Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh
perforasi membran tymphani. Kolesteatoma timbul akibat
proses invaginasi dari membran tymphani pars flaksida karena
adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan tuba
(Teori Invaginasi).
Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai akibat
dari retraksi membran timpani. Kolesteatoma akuisital primer
klasik berawal dari retraksi pars flaksida di bagian medial
membran timpani yang terlalu dalam sehingga mencapai
epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari
epitympanum (disebut juga skutum) secara perlahan terkikis,
menghasilkan defek pada dinding lateral epitympanum yang
perlahan meluas. Membran timpani terus mengalami retraksi
di bagian medial sampai melewati pangkal dari tulang-tulang
pendengaran hingga ke epitympanum posterior. Destruksi
tulang-tulang pendengaran umum terjadi. Jika kolesteatoma
meluas ke posterior sampai ke aditus ad antrum dan tulang
mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid dengan eksposur
dura dan/atau erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat
terjadi dan mengakibatkan ketulian dan vertigo.
Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila
kuadran posterior dari membran timpani mengalami retraksi
ke bagian posterior telinga tengah. Apabila retraksi meluas ke

15
medial dan posterior, epitel skuamosa akan menyelubungi
bangunan-atas stapes dan membran tympani tertarik hingga ke
dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari
membran timpani posterior cenderung mengakibatkan
eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang kelumpuhan) dan
kehancuran struktur stapes.

c) Kolesteatoma Akuisital Sekunder


Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah
adanya perforasi membran tympani. Kolesteatom terbentuk
sebagai akibat masuknya epitel kulit dari liang telinga atau dari
pinggir perforasi membran tympani ke telinga tengah (Teori
Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani
karena iritasi infeksi yang berlangsung lama (Teori Metaplasi).
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat
langsung dari beberapa jenis cedera pada membran timpani.
Cedera ini dapat berupa perforasi yang timbul sebagai akibat
dari otitis media akut atau trauma, atau mungkin karena
manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang
sederhana seperti insersi tympanostomy tube dapat
mengimplan epitel skuamosa ke telinga tengah, yang akhirnya
menghasilkan kolesteatoma. Perforasi marginal di bagian
posterior adalah yang paling mungkin menyebabkan
pembentukan kolesteatoma. Retraksi yang mendalam dapat
menghasilkan pembentukan kolesteatoma jika retraksi
menjadi cukup dalam sehingga menjebak epitel deskuamasi.6,7

3.4 Patofisiologi
a) Kolesteatoma Kongenital
Patogenesis kolesteatoma kongenital masih

16
diperdebatkan hingga saat ini. Ada beberapa teori yang dipakai
untuk menjelaskan patogenesis dari kolesteatoma kongenital. 6

▪ Epithelial rest theory


Teori ini dipopulerkan oleh Teed pada tahun
1936 kemudian penemuan ini dikonfirmasi oleh
Michaels pada tahun 1986. Teed mengemukakan bahwa
ia menemukan adanya sisa sel epitelial pada tulang
temporal fetus yang normalya menghilang pada minggu
ke-33 gestasi. Adanya sel epitelial tersebut menjadi
pencetus terjadinya kolesteatoma kongenital. Sisa sel
epitelial ini ditemukan pada dinding lateral tuba
eustachius, di bagian proksimal tympanic ring, di
kuadran anterosuperior dari telinga tengah.
Dikemukakan bahwa cedera inflamasi pada membran
timpani yang intak akan mengakibatkan mikroperforasi
pada lapisan basalis. Kemudian hal ini membuat invasi
dari epitel skuamosa dengan adanya aktivitas
proliferasi epithelial cones. Epithelial cones ini
kemudian terus berproliferasi, menyebar dan terus
berekspansi dan membentuk kolesteatoma pada telinga
tengah.6,7

17
Gambar 8. Epithelial Rest Theory

▪ Acquired inclusion theory


Teori ini dipopulerkan oleh Tos. Tos
mengobservasi dan menemukan bahwa kolestatoma
anteroposterior sering mengalami penempelan pada
bagian anterior handle atau neck dari maleus, dan
posterior kolestatoma, lebih sering menempel pada
bagian posterior handle malleus dan incudostapedial
joint. Lokasi ini jauh dari anterior annulus timpani dan
dinding lateral tuba eustachius seperti yang dikemukan
pada teori epitelial rest. Tod berspekulasi bahwa lokasi
originnya adalah lateral tuba eustachius dan daerah
anterior dari annulus timpani. Kolesteatoma akan
memblok tuba eusthacius sebelum menyebar ke kavitas
timpani dan handle dari malleus. Kemudian, Tos
mengemukakan teori inklusi sebagai penjelasan
patogenesis dari kolesteatoma kongenital. Tos
berspekulasi bahwa epitel skuamosa berkeratin
mungkin berimplantasi ke kavitas timpani selama
proses patologi pada membran timpani dan telinga
tengah pada anak-anak.6,7
Stadium pada kongenital kolesteatoma :
❖ Stage I – Terbatas pada 1 kuadran

18
❖ Stage II – Melibatkan beberapa kuadran
tanpa melibatkan ossiculus
❖ Stage III – Melibatkan ossiculus tanpa
ektensi ke mastoid
❖ Stage IV – Melibatkan mastoid (67% resiko
kolesteatoma residual)
Berdasarkan lokasi kolestatoma, kongenital
kolesteatoma dibagi menjadi 3 tipe, yaitu :
❖ Type 1 – Terbatas pada telinga tengah,
ossiculus tidak terlibat
❖ Type 2 – Melibatkan kuadran posterior
superior dan attic
❖ Type 3 – Campuran tipe 1 dan 2 serta
mastoid

b) Kolesteatoma Akuisital Primer

Teori patogenesis :
1. Invaginasi dari membran timpani (kolesteatoma kantung
retraksi)

Disfungsi tuba eustachius dipikirkan menyebabkan


retraksi membran timpani sehingga menyebabkan
tekanan negatif di epitympanic space sehingga pars
flaccida tertarik ke arah medial ke atas maleus dan
menyebabkan terjadinya kantung retraksi. Pars flaccida
yang tidak memiliki lapisan fibrosa akan lebih mudah
terkena kondisi ini. Kantung retraksi akan menyebabkan
gangguan pada fisiologi normal migrasi epitel sehingga
memicu terjadinya pengumpulan keratin. Saat kantung
retraksi menekan semakin ke dalam, keratin yang
mengalami deskuamasi berakumulasi dan tidak dapat

19
dikeluarkan dari kantung hingga menyebabkan terjadinya
kolesteatoma.4
1. Teori Papillary Ingrowth

Reaksi inflamasi di rongga Prussak’s dengan pars


flaccida yang masih utuh, dapat menyebabkan kerusakan
di membran basal hingga sel epitel dapat berproliferasi ke
dalam.

2. Teori Metaplasia

Epitel yang terdeskuamasi bertransformasi menjadi


epitel skuamosa karena disebabkan oleh otitis media
kronik atau berulang.4

20
Gambar 9. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Primer

c) Kolesteatoma Akuisital Sekunder

Kolesteatoma yang didapat secara sekunder dijelaskan


sebagai akibat dari terjadinya migrasi sel-sel epidermis yang
berasal dari membran timpani ke dalam rongga telinga tengah
pada tempat terjadinya perforasi marginal ataupun sebagai
hasil dari implantasi keratinosit ke rongga telinga tengah.
Implantasi dapat terjadi ketika terdapat kerusakan membran
timpani yang disebabkan karena suara ledakan yang akan
menyebabkan terjadinya implantasi dari keratin ke dalam
rongga telinga tengah dan terjebak disana ketika terjadi
penyembuhan dari membran timpani. Selain dari trauma pada
membran timpani, implantasi dari keratin ini juga dapat terjadi
ketika terjadi fraktur pada tulang temporal ataupun implantasi
yang disebabkan karena tindakan medis atau yang biasa kita
sebut sebagai iatrogenik. Beberapa tindakan operasi yang
berhubungan dengan telinga tengah seperti stapedectomy,
tympnaoplasty, pemasangan pressure equalization tube, dan
tindakan eksplorasi dari telinga tengah dapat menjadi
penyebab dari terjadinya kolesteatoma sekunder.

Patofisiologi Kolesteatoma23

21
Gambar 11. Patofisiologi Kolesteatoma Akuisital Sekunder

3.5 Patofisiologi Kerusakan Tulang


Terdapat dua mekanisme bagaimana terjadinya osteolysis
pada kolesteatoma telinga tengah yaitu resorpsi tulang akibat
penekanan dan disolusi enzym pada tulang oleh cytokine mediated
inflammation. Nekrosis akibat penekanan pertama kali disebutkan
oleh Steinbru pada tahun 1879 dan Walsh pada tahun 1951,
sedangkan resorpsi tulang secara langsung dideskripsikam oleh Chole
dan coworkers pada tahun 1985. Chole mengimplant silicon pada
telinga tengah gerbil tanpa kolesteatoma dan hasilnya menunjukan
adanya resorpsi tulang di area yang mengalami penekanan. Mereka
mengestimasi bahwa tekanan 50-120mm Hg menghasilkan resorpsi
tulang oleh osteoclast.6
Tidak jelas bagaimana aktivasi oleh tekanan memicu osteoclast
melakukan perusakan tulang pada kolesteatoma. Namun perusakan
tulang yang dipicu oleh enzym dan sitokin telah dipelajari pada 2 abad

22
terakhir. Matrix metalloproteinase (MMP), suatu enzym dari family
zinc metalloenzymes yang mendegradasi matrix ekstraselular telah
diketahui terdapat pada kolesteatoma. MMP-2 dan MMP-9 terdapat
pada lapisan epitel suprabasal kolesteatoma. 6
Kolesteatoma merupakan media yang baik untuk tempat
pertumbuhan kuman (infeksi), yang paling sering adalah Proteus dan
Pseudomonas aeruginosa. Sebaliknya infeksi dapat memicu respons
imun lokal yang mengakibatkan produksi berbagai mediator inflamasi
dan berbagai sitokin. Sitokin yang diidentifikasi terdapat pada matriks
kolesteatoma adalah interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), tumor
necrosis factor-α (TNF-α), tumor growth factor (TGF). Zat-zat ini dapat
menstimulasi sel-sel keratinosit matriks kolesteatoma bersifat
hiperproliferatif, destruktif, dan mampu berangiogenesis.

Tabel 1. Distribusi kuman dari kavum tympani pada Otitis Media


Supuratif Kronis dengan Kolesteatoma5

Jenis Kuman Jumlah temuan


Pseudomonas aeruginosa 9 31,5%
Proteus mirabilis 17 58,5%
Difteroid 1 3,3%

Streptococcus β-hemolyticus 1 3,3%

Enterobacter sp. 1 3,3%

23
Massa kolesteatoma ini akan menekan dan mendesak organ di
sekitarnya serta menimbulkan nekrosis terhadap tulang. Terjadinya
proses nekrosis terhadap tulang diperhebat oleh karena pembentukan
reaksi asam oleh pembusukan bakteri. Proses nekrosis tulang ini
mempermudah timbulnya komplikasi seperti labirintitis, meningitis,
dan abses otak.

3.6 Manifestasi Klinis


Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa
nyeri, yang terus-menerus atau sering berulang. Ketika kolesteatoma
terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut sulit dihilangkan.
Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah (vaskularisasi),
maka antibiotik sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada
kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya dapat diletakkan
mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan menembus
beberapa milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma
terinfeksi yang besar biasanya resisten terhadap semua jenis terapi
antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap timbul ataupun berulang
meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif.
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum
pada kolesteatoma. Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang
telinga tengah dengan epitel deskuamasi dengan atau tanpa sekret
mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang
akhirnya menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi
tidak akan terjadi apabila tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang
atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada stapes footplate.
Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan
pertanda dari perkembangan komplikasi yang lebih serius.

24
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari
kolesteatoma adalah drainase dan jaringan granulasi di liang telinga
dan telinga tengah yang tidak responsif terhadap terapi antimikroba.
Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90%
kasus. Kolesteatoma kongenital merupakan pengecualian, karena
seringkali gendang telinga tetap utuh sampai komponen telinga
tengah cukup besar. Kolesteatoma yang berasal dari implantasi epitel
skuamosa kadangkala bermanifestasi sebelum adanya gangguan pada
membran tympani. Akan tetapi, pada kasus-kasus seperti ini,
(kolesteatoma kongenital, kolesteatoma implantasi) pada akhirnya
kolesteatoma tetap saja akan menyebabkan perforasi pada membran
tympani.
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah
sebuah kanalis akustikus eksternus yang penuh terisi pus
mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala menghilangkan
infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik
sistemik maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan.
Apabila terapi ototopikal berhasil, maka akan tampak retraksi pada
membran tympani pada pars flaksida atau kuadran posterior.
Pada kasus yang amat jarang, kolesteatoma diidentifikasi
berdasarkan salah satu komplikasinya, hal ini kadangkala ditemukan
pada anak-anak. Infeksi yang terkait dengan kolesteatoma dapat
menembus korteks mastoid inferior dan bermanifestasi sebagai abses
di leher. Kadangkala, kolesteatoma bermanifestasi pertama kali
dengan tanda-tanda dan gejala komplikasi pada susunan saraf pusat,
yaitu : trombosis sinus sigmoid, abses epidural, atau meningitis.

3.7 DIAGNOSIS
Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan
pemeriksaan THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan

25
penala merupakan pemriksaan sederhana untuk mengetahui
gangguan pendengaran. Untuk mengetahui jenis dan derajat gangguan
pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan audiometric nada murni,
audiometric tutur (speech audiometric), dan pemeriksaan BERA
(brainstem evoked response audiometric) bagi pasien anak yang tidak
koperatif dengan pemeriksaan audiometric nada murni.
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh:
▪ penurunan kemampuan mendengar
▪ otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak ena
▪ otalgia
▪ obstruksi nasal
▪ tinnitus, intermiten dan unilateral
▪ vertigo

Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti :


▪ otitis media kronik
▪ perforasi membran timpani
▪ operasi telinga sebelumnya

Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat


ditemukan :
▪ perforasi tipe marginal atau atik
▪ terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
▪ abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus lanjut
▪ polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari
telinga tengah)
▪ secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)

Pemeriksaan Penunjang

a) RADIOLOGI

26
Dapat dilakukan foto rontgen mastoid, CT scan, atau MRI.
CT scan merupakan pilihan radiologi yang dapat mendeteksi
gangguan tulang. Namun CT scan tidak selalu dapat membedakan
antara jaringan granulasi dengan kolesteatoma. Gaurano (2004)
telah mendemonstrasikan bahwa ekspansi antrum mastoid dapat
dilihat pada 92% kolesteatoma telinga tengah dan 92%
mendemonstrasikan adanya erosi tulang pendengaran.8
CT scan yang digunakan adalah CT scan tulang temporal (2mm
– tanpa kontras dengan potongan axial dan coronal.
Tanda kolesteatoma pada CT scan adalah :
1) Masa jaringan lunak di telinga tengah
▪ terutama di prussaks space
▪ pada kolesteatoma lanjut, terdapat bagian telinga tengah
yang terisi udara yang menunjukan masa dan bukan
effusi
2) Erosi tulang

▪ scutum (dinding lateral epitimpanum)


▪ semisirkular kanal lateral
▪ tegmen timpani
▪ incus dan stapes

Beberapa dokter hanya melakukan preoperative imaging pada


kasus spesial dan cukup yakin untuk menjalankan operasi tanpa
melakukan pemeriksaan radiologi terlebih dahulu. Biasanya
dokter meminta dilakukannya preoperative CT scan pada
keadaan :
▪ Bila diagnosa masih belum pasti, diagnosa belum pasti biasanya
pada pasien dengan retraksi attic kecil yang didapatkan pada
pemeriksaan fisik. CT scan pada pasien ini dapat membantu

27
membedakan antara retraksi tanpa perluasan jaringan lunak ke
epitympanic space dengan masa jaringan lunak ekstensif disertai
erosi tulang.
▪ Bila pasien menghindari operasi, sebaiknya operasi tidak dilakukan
bila CT scan telah dilakukan dan dievaluasi berdasarkan hasil CT
scan
▪ Bila anatomi tidak dapat ditentukan dan luasnya penyakit tidak
diketahui
▪ Pasien dengan kelainan congenital (ex: atresia)
▪ Bila dicurigai adanya komplikasi
▪ Bila dicurigai terdapat fistla labyrinthine atau erosi tuba fallopi
▪ Bila terdapat perluasan ke intracranial, peradangan dura,
meningitis, abscess, atau trombosis sinus sigmoid diindikasikan
dilakukan MRI

Namun terdapat pendapat lain bahwa kolesteatoma yang


direncanakan untuk dilalukan pembedahan harus dilakukan
preoperative CT scan sebelumnya.

b) Audiometri, harus dilakukan sebelum operasi, kapanpun dapat


dilakukan kecuali operasi dilakukan segera karena komplikasi.
Pada audiometri didapatkan :
▪ tuli konduktif sedang hingga berat yaitu lebih dari 40 dB :
mengindikasikan diskontinuitas tualng pendengaran
c) Histologi
Pemeriksaan histology dari kolesteatoma yang telah diangkat
menunjukan sel epitel skuamosa.

d) Patologi Anatomi Kolesteatoma


▪ Konten kistik : pusat keratin yang mengalami deskuamasi
▪ Matrix : keratinizing stratified squamos epitel

28
▪ Perimatrix : jaringan granulasi, mensekresi enzim proteolitik
yang dapat menyebabkan erosi tulang
▪ Hiperkeratosis

e) Kultur dan uji resistensi kuman dari secret telinga

3.8 PENATALAKSANAAN
a) Terapi Non Bedah
Tujuan awal dari terapi kolesteatoma adalah
menurunkan derajat inflamasi dan aktivitas infeksi pada
bagian telinga yang terinfeksi. Prinsip pengobatan medikasi
kolesteatoma adalah membuang debris dari liang telinga.
Irigasi harus dilakukan dengan tepat, air harus dikeluarkan
seluruhnya dari telinga untuk mencegah kelanjutan
kontaminasi.
Selain irigasi, diperlukan juga antimikroba topikal untuk
menekan infeksi, yang umumnya disebabkan oleh organisme
sebagai berikut : Pseudomonas aeruginosa, Streptococci,
Staphylococci, Proteus, dan Enterobacter. Antimikroba yang
umum dipakai adalah ofloxacin atau neomycin-polymyxin B.
Apabila telinga tengah terpapar, dikemukakan bahwa
penggunaan aminoglikosida bersifat ototoksik dan berbahaya.
Akan tetapi, belum ada studi yang adekuat yang mendukung
teori tersebut. Namun, untuk kepentingan pasien, dianjurkan
untuk menghindari penggunaan agen ototoksik dan tetap
menggunakan ofloxacin. Selain itu, beberapa klinisi juga

29
menggunakan steroid topikal untuk menurunkan inflamasi,
namun studi lebih lanjut masih diperlukan untuk menilai
efektivitas dari penggunaan agen ini.
Pada beberapa kasus, infeksi yang berlangsung tidak
sepenuhnya teratasi. Hal ini biasanya terjadi pada kasus
adanya kolesteatoma sac dengan debris keratin yang tidak
diobati dengan antimikroba lokal secara efektif. Namun,
setelah tindakan bedah, umumnya keluhan otorrhea akan
teratasi.

b) Terapi Pembedahan
Tujuan dari terapi pembedahan adalah mengangkat
atau menyingkirkan kolesteatoma. Teknik operatif yang umum
dilaksanakan antara lain canal-wall-up (closed) dan canal-wall-
down (open). Apabila pasien memiliki riwayat episode
kekambuhan kolesteatoma, dan berharap dapat menghindari
tindakan operatif di kemudian hari, teknik canal-wall-down
merupakan pilihan yang tepat dan lebih aman.
Tujuan utama terapi kolesteatoma adalah menciptakan
kondisi telinga yang “kering” dan “aman”. Proses-proses yang
menyebabkan erosi tulang, inflamasi kronik, dan infeksi harus
ditangani secara tuntas. Oleh karena itu, seluruh matriks
kolesteatoma harus disingkirkan sepenuhnya. Apabila hal ini
gagal dilakukan, kemungkinan yang muncul adalah
kekambuhan dari kolesteatoma. Tabel di bawah ini
menunjukaan beberapa teknik pembedahan disertai
keuntungan dan kerugiannya.6

30
Teknik canal-wall-down memiliki probabilitas tertinggi
dalam membersihkan kolesteatoma secara permanen. Canal-wall-
up prosedur memiliki keuntungan mempertahankan penampilan
normal, tetapi mereka memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
kolesteatoma persisten atau berulang. Risiko kekambuhan cukup
tinggi sehingga ahli bedah menyarankan suatu
tympanomastoidectomy kedua setelah 6 bulan sampai 1 tahun
setelah operasi awal.
Di Amerika Serikat, kebanyakan prosedur bedah
kolesteatoma dilakukan dengan insisi pada belakang telinga
dikombinasikan dengan insisi pada external auditory canal.
Kemudian menyingkirkan “air cell” dari mastoid secara
keseluruhan. Mengelevasi membran timpani dan evaluasi mastoid.
Singkirkan kolesteatoma. Apabila ossiculus juga terlibat, maka
bagian tersebut perlu disingkirkan juga untuk menghindari
kekambuhan dari kolestetoma. Membran timpani pada umumnya
juga direkonstruksi pada prosedur ini. Apabila dilakukan canal-
wall-up, tulang direkonstruksi dengan cartilage graft. Bila
menggunakan teknik canal-wall-down, maka perlu dibuat
meatoplasty yang besar agar ada sirkulasi udara yang adekuat ke
cavitas telinga.6

Karakteristik prosedur canal-wall-up :


▪ Menyingkirkan semua “air cell”
▪ Functional tuba eustachius

31
▪ Ruang telinga tengah yang dipertahankan dengan
baik
▪ Komunikasi adekuat antara mastoid dengan ruang
telinga tengah melalui additus ad antrum.
▪ Eliminasi dari tulang attic dilengkapi dengan
cartilage atau bone graft.

Karakteristik teknik canal-wall-down :


▪ Membersihkan semua “air cell” termasuk yang
dalam retrofacial, retrolabyrinthine, and subarcuate
air cell tracts.
▪ Pembersihan dinding lateral dan posterior dari
epitimpanun sehingga tegmen mastoideum dan
tegmen timpani menjadi lembut.
▪ Biasanya amputasi dari mastoid tip dianjurkan.
▪ Saucerization dari lateral margin kavitas.
▪ Perbesaran meatus

Terapi postoperatif yang diberikan antara lain antimikroba


yang sesuai dan steroid bila diperlukan. Antimikroba yang dipakai
adalah antimikroba topikal, contohnya ialah aminoglycoside and
fluoroquinolone topikal. Jenis antimikroba ini efektif untuk bakteri
gram negatif. Selain itu, untuk menghindari efek ototoksik, dapat
juga dipakai ciprofloxacin atau ofloxacin. Selain antimikroba,
agen yang umum diberikan adalah steroid, yaitu steroid cream.
Steroid berfungsi untuk mengontrol perkembangan dari jaringan
granulasi.6
Setelah tindakan bedah dilakukan, pasien dianjurkan untuk
kontrol secara rutin. Pasien yang menajalani prosedur canal-wall-
down dianjurkan untuk kontrol setiap 3 bulan untuk pembersihan
liang telinga. Tujuanny aialah untuk menjaga agar telinga pasien

32
tetap bebas daei deskuamasi epitel dan serumen. Pada pasien yang
menjalani prosedur canal-wall-up umumnya memerlukan tindakan
operatif kedua, setelah 6-9 bulan setelah tindakan operatif pertama.

3.9 KOMPLIKASI
Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti
dibagi berdasarkan komplikasi segera dan komplikasi lambat.
Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis, kerusakan korda
timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada
sinus sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-
operasi juga dapat dimasukkan sebagai komplikasi segera.
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren,
reperforasi, lateralisasi tandur, stenosis liangg telinga luar, displasi
atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang dipasang. Pada
kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu
operasi. Trauma nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada
pars vertikalis waktu melakukan mastoidektomi, bisa juga terjadi
pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di dekat stapes atau
mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari
arah kavum timpani. Trauma dapat lebih mudah terjadi bila tpografi
daerah sekitarnya sudah tidak dikenali dengan baik, misalnya pada
kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi sebelumnya,
destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma.
Derajat parese harus ditentukan, paling sederhana adalah
menurut klasifikasi House-Bregmann. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan EMG untuk melihat derajat kerusakan pada saraf dan
menentukan prognosis penyembuhan spontan.
Trauma operasi terhadap labirin sukar diketahui dengan
segera, sebab vertigo pasca-operasi dapat terjadi hanya karena iritasi

33
selam operasi, belum tentu karena cedera operasi. Trauma terhadap
labirin bisa menyebabkan tuli saraf total. Manipulasi di daerah aditus
ad antrum dan sekitarnya pada lapangan operasi yang ditutupi oleh
jaringa kolesteatoma dan matriks koleteatoma dapat menyebabkan
fistel labirin.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan
memperbuuk sistem konduksi telinga tengah sedapat mungkin
langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan duramater
sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas
dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu
komposit sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis,
sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat
menyebabkan perdarahan besar.

3.10 PROGNOSIS
Melakukan proses eliminasi dari kolesteatoma hampir selalu
berhasil, namun terkadang membutuhkan tindakan operasi yang
berkali-kali. Karena penanganan dari kolesteatoma dengan
pembedahan pada umumnya berhasil dengan sempurna, oleh karena
itu komplikasi yang timbul dari pertumbuhan kolesteatoma yang
tidak terkontrol sangatlah jarang terjadi.
Pada penanganan canal-wall-down tympanomastoidectomy
akan memberikan angka persentase rekurensi ataupun persistensi
yang rendah dari kolesteatoma. Reoperasi dari kolesteatoma hanya
terjadi pada 5% atau bahkan lebih sedikit. Oleh karena itu tehnik ini
jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan closed-cavity
technique yang memiliki angka rekurensi antara 20-40%.15
Meskipun begitu, karena tulang-tulang pendengaran dan
ataupun membran timpani tidak dapat mengalami resolusi secara
sempurna kembali kedalam keadaan normal, kolesteatoma tetap

34
secara relatif merupakan penyebab yang cukup sering dari tuli
konduktif yang bersifat permanent.

DAFTAR PUSTAKA

1. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. June 29, 2009 (cited
August 25, 2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview.

1. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama. Jakarta :


Penerbit Hipokrates; 2002
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta
: Balai Penerbit FKUI; 2008

2. Waizel S. Temporal Bone, Aquired Cholesteatoma. Emedicine. May 1,


2007 (cited August 27, 2009). Available at
http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview
3. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2005

3. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi
ke-6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997

4. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai
AP. Profile of congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad
Med [serial online] 1989 [cited 2015 March 19]; 35:93. Available from:
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1989/35/2/93/5702
5. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical
Branch Department of Otolaryngology. January 25, 2006 (cited March 19,

35
2015). Available at www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest.../Cholest-slides-
060125.pdf

36

Anda mungkin juga menyukai