Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Status Gizi

2.1.1 Definisi Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan yang diakibatkan oleh status keseimbangan


antara jumlah asupan zat gizi atau jumlah makanan (zat gizi) yang dikonsumsi
dengan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yang merupakan cerminan
dari ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi yang secara parsial dapat diukur
dengan antropometri atau biokimia secara klinis (Depkes R.I, 2009a).
Pemenuhan kebutuhan ini telah dimulai dari awal perkembangan dan
pertumbuhannya yaitu dari sejak dalam kandungan.
Penentuan status gizi masing-masing kelompok umur tidaklah selalu sama.
Untuk penentuan status gizi balita, penentuan status gizinya diatur dalam
KEMENKES RI, NOMOR:1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar gizi
balita. Standar tersebut mengatur tentang penentuan status gizi berdasarkan
Berat Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U atau PB/U), Berat Badan menurut Panjang Badan atau
Tinggi Badan (BB/PB ATAU BB/TB), dan Indeks Masa Tubuh menurut
Umur (IMT/U). Masing-masing indikator tersebut memiliki pembagian
kategori yang berbeda-beda.
1. BB/U: indeks ini diperoleh dari perbandingan antara berat badan dengan
umur yang dapat digunakan untuk menilai kemungkinan anak dengan
berat badan kurang atau sangat kurang
2. PB/U atau TB/U: indeks ini diperoleh dari perbandingan antara PB atau
TB dengan umur yang dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan
kurang gizi kronis yaitu pendek.
3. BB/PB atau BB/TB: indeks ini diperoleh untuk merefleksikan BB
dibandingkan dengan pertumbuhan menurut PB atau TB yang dapat
digunakan untuk menilai kemungkinan anak dengan kategori kurus atau
sangat kurus yang merupakan masalah gizi akut.
4. IMT/U: indikator yang diperoleh dengan membandingkan antar IMT
dengan umur yang hasilnya cenderung menunjukkan hasil yang sama
dengan indeks BB/TB atau BB/PB.
Malnutrisi anak seperti kurus dan stunting, berhubungan dengan infeksi,
asupan gizi yang buruk, dan faktor lingkungan serta faktor sosiodemografi
yang kurang (Martin et all, 2006).

2.1.2 Stunting
2.1.2.1 Definisi Stunting
Masalah anak pendek (stunting) merupakan salah satu permasalahan gizi
yang dihadapi di dunia, khususnya dinegara-negara miskin dan berkembang.
(UNICEF,2013). Tahun 2009, UNICEF mengemukakan sekitar 80% anak
stunting terdapat di 24 negara berkembang di ASIa dan Afrika. Indonesia
merupakan negara urutan kelima yang memiliki prevalensi anak stunting
tertinggi setelah India, China, Nigeria dan Pakistan. Stunting merupakan
bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulASI
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai
usia 24 bulan. Stunting mencerminkan kekurangan gizi kronis selama periode
pertumbuhan dan perkembangan paling kritis diawal kehidupan. Stunting
menggambarkan gangguan pertumbuhan linear yang disebabkan adanya
malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis berulang
yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) <-
2SD berdasarkan standar baku WHO.(WHO,2017).
Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi
anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD
sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely
stunted) (Kemenkes R.I, 2012b). Stunting digunakan sebagai indikator
malnutrisi kronik yang menggambarkan riwayat kurang gizi anak dalam
jangka waktu lama sehingga kejadian ini menunjukkan bagaimana keadaan
gizi sebelumnya (Kartikawati, 2011). Pada anak balita masalah stunting lebih
banyak dibandingkan masalah kurang gizi lainnya.
Stunting dan dampaknya biasanya bersifat permanen. Anak-anak yang
terhambat pertumbuhannya tidak akan pernah mendapatkan kembali tinggi
yang hilang akibat stunting dan kebanyakan anak tidak akan pernah
mendapatkan berat tubuh yang sesuai. Selain tubuh pendek, stunting juga
menimbulkan dampak lain, baik dampak jangka pendek maupun jangka
panjang. Dampak jangka pendek yaitu pada masa kanak-kanak,
perkembangan menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan
fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Pada jangka
panjang yaitu pada masa dewasa, timbul risiko penyakit degeneratif, seperti
diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas.
Tiga penyebab utama stunting di ASIa Selatan dan mungkin disebagian
negara berkembang adalah praktik pemberian makan yang buruk, rendahnya
nutrisi ibu dan sanitASI yang buruk . Stunting terjadi mulai janin mASIh
dalam kandungan dan baru terlihat setelah anak berusia dua tahun (1.000 Hari
Pertama Kehidupan) sehingga penanggulangan balita pendek yang paling
efektif dilakukan pada 1.000 HPK (Ibu Hamil, Ibu Menyusui dan Anak 0-23
bulan). Oleh karena itu periode ini ada yang menyebut nya sebagai “periode
emas”, “periode kritis” dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai
“window of opportunity” (World Bank, 2006).
Dampak buruk yang ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak,
kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan metabolisme dalam
tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang ditimbulkan
adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestASI belajar, kekebalan
tubuh menurun sehingga jadi mudah sakit, berisiko tinggi terhadap penyakit
diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke dan
kualitas kerja yang tidak kompetitif (Kemenkes, 2016).
Masalah stunting menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam jangka waktu
panjang, yaitu kurang energi dan protein, juga beberapa zat gizi mikro.
Stunting pada balita dapat menghambat perkembangan anak dengan dampak
negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti
penurunan intelektual, rentan terhadap penyakit tidak menular, penurunan
produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan risiko dan melahirkana
bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF,2012).
Stunting didefinisikan sebagai persentase anak usia 0-59 bulan dengan
tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah -2SD (moderate and
severe stunting) dan -3SD (severe stunting) dari Standar Pertumbuhan Anak
WHO (Unicef,2016). Tinggi badan dalam keadaan normal tumbuh seiring
dengan pertambahan umur. Pertumbuhan linear yang tidak sesuai dengan
umur dapat merefleksikan keadaan gizi kurang dalam jangka waktu yang
lama.(Rocha,2012) Berdasarkan karakteristik tersebut indeks TB/U
merupakan indeks antropometri yang menggambarkan keadaan gizi pada
masa lalu dan berhubungan dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi
(Supariasa,2002).
KlASIfikASI status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U dapat
dilihat pada Tabel dibawah ini .
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan PB/U atau TB/U Anak Umur
0-60 Bulan.

Indeks Status Gizi Ambang Batas


Panjang Badan Menurut Sangat Pendek < -3 SD
Umur ( PB/U) atau Tinggi Pendek -3 SD sampai < -2 SD
Badan Menurut Umur Normal -2 SD sampai 2 SD
(TB/U) Tinggi > 2 SD
Sumber :SK Menkes 2010
Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth
(kejar tumbuh) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan, masalah stunting
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan
meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan hambatan pada pertumbuhan
baik motorik maupun mental. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Kusharisupeni menyatakan bahwa stunting dibentuk oleh growth faltering
dan catcth up growth yang tidak memadai yang mencerminkan
ketidakmampuan untuk mencapai pertumbuhan optimal, hal tersebut
mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan
normal dapat mengalami stunting bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya
tidak terpenuhi dengan baik (Kusharisupeni, 2011).

2.1.2.2 Faktor Penyebab Stunting


Ibu dengan gizi kurang sejak trimester awal kehamilan berisiko untuk
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang kemudian
akan tumbuh menjadi balita stunting. Bayi prematur dengan berat lahir
rendah, berat dan panjang badannya selain dipengaruhi oleh status gizi ibu
juga dipengaruhi oleh usia kehamilan. Bayi tersebut memiliki ukuran
panjang, berat dan lingkar kepala yang kurang dari ukuran bayi normal.
(Santos.et.al , 2009). Kusharisupeni (2002) dalam penelitiannya menunjukan
terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata panjang bayi lahir normal
dengan panjang bayi lahir prematur. Pada kelompok panjang bayi lahir
normal dengan rata-rata panjang bayi 48,4 cm dan 43,9 cm untuk panjang
bayi lahir prematur.(Santos,et. al,2009) Penilaian status gizi pada bayi baru
lahir dilakukan melalui pengukuran antropometri panjang badan dan berat
badan bayi baru lahir.(Kemenkes,2010) Panjang dan berat bayi baru lahir
mencerminkan pertumbuhan janin dalam kandungan. Anak yang sehat
memiliki panjang badan, berat badan, perkembangan psikologi dan emosional
yang sesuai dengan umurnya.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri anak itu sendiri maupun dari luar
diri anak tersebut. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor
langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting
adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak
langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan,
faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (Bappenas R.I,
2013a)
a. Faktor Langsung
1. Asupan Gizi Balita
Saat ini Indonesia mengahadapi masalah gizi ganda, permasalahan
gizi ganda tersebut adalah adanya masalah kurang gizi dilain pihak
masalah kegemukan atau gizi lebih telah meningkat. Keadaan gizi dibagi
menjadi 3 berdasarkan pemenuhan asupannya yaitu:
1. Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan
asupan zat gizi yang lebih banyak dari kebutuhan seperti gizi lebih,
obesitas atau kegemukan.
2. Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan
asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan.
3. Kurang gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan
asupan zat gizi yang lebih sedikit dari kebutuhan seperti gizi kurang
dan buruk, pendek, kurus dan sangat kurus (Depkes R.I, 2009a).
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita
akan mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang
mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan
asupan yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan
perkembangannya. Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak
akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya yang disebut
dengan gagal tumbuh. Begitu pula dengan balita yang normal
kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima
tidak mencukupi. Dalam penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas
menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh terhadap
kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi
energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya
anak balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Dalam upaya penanganan masalah stunting ini, khusus untuk bayi dan
anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi dalam pemenuhan
kebutuhan gizinya yaitu 1) Inisiasi Menyusu Dini (IMD) yang harus
dilakukan sesegera mungkin setelah melahirkan; 2) Memberikan ASI
eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan tanpa pemberian makanan dan
minuman tambahan lainnya; 3) Pemberian makanan pendamping ASI
yang berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi
berusia 6 bulan; dan 4) Pemberian ASI diteruskan sampai anak berusia 2
tahun (Bappenas R.I, 2011).
Asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu
pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya asupan gizi yang
kurang dapat menyebabkan kekurangan gizi salah salah satunya dapat
menyebabkan stunting.

2. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung
stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi
tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk
keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang
gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi akan ikut
menambah kebutuhan akan zat gizi untuk membantu perlawanan terhadap
penyakit ini sendiri. Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai dengan
kebutuhan namun penyakit infeksi yang diderita tidak tertangani akan
tidak dapat memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak balita.
Untuk itu penanganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini
mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan
asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi
saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat
hubungannya dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya
imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas R.I,
2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit
infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan salah
satu faktor risiko kejadian stunting pada anak usia dibawah 5 tahun
(Taguri et all, 2007; Paudel et all, 2012).
Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik
seperti diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi
pernafasan (ISPA), malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan
infeksi, dan inflamasi
b. Faktor Tidak Langsung
1. Ketersediaan Pangan
Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas adalah kondisi
penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial/keuangan, alam, dan
manusia) yang cukup untuk memperoleh dan/atau ditukarkan untuk
memenuhi kecukupan pangan, termasuk kecukupan pangan di rumah
tangga. Masalah ketersediaan ini tidak hanya terkait masalah daya beli
namun juga pada pendistribusian dan keberadaan pangan itu sendiri,
sedangkan pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang
biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah dan frekuensi dan jangka
waktu tertentu. Aksesibilitas pangan yang rendah berakibat pada
kurangnya pemenuhan konsumsi yang beragam, bergizi, seimbang dan
nyaman di tingkat keluarga yang mempengaruhi pola konsumsi pangan
dalam keluarga sehingga berdampak pada semakin beratnya masalah
kurang gizi masyarakat (Bappenas R.I, 2011).
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya
pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan
kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan anak balita
perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata
tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada
standar rujukan WHO 2005 (Bappenas R.I, 2011). Oleh karena itu
penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan
saja namun juga melibatkan lintas sektor lainnya.
Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian stunting,
ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya yang
digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan
beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman,
2011). Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa
pendapatan perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian
stunting (Nasikhah dan Margawati, 2012). Selain itu penelitian yang
dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting
dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial
ekonomi yaitu defisit pangan dalam keluarga (Ramli et all, 2009; Paudel
et all, 2012).

2. Status Gizi Ibu Saat Hamil


Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor
tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan.
Beberapa indikator pengukuran seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang
menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah untuk menentukan
anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran
pemenuhan gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3)
hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan
selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil
(Yongky dkk, 2009; Fikawati dkk, 2011).

a. Pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui
status KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu keadaan yang
menunjukkan kekurangan energi dan protein dalam jangka waktu
yang lama (Kemenkes R.I, 2013). Faktor predisposisi yang
menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi yang kurang dan adanya
faktor medis seperti terdapatnya penyakit kronis. KEK pada ibu
hamil dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat
prsalinan dan keadaan yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering
dialami oleh ibu yang mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan
KIA, 2012)
Pada wanita hamil dan WUS digunakan ambang batas LILA <
23,5 cm dikategorikan risiko KEK (Kemenkes R.I, 2013).
Pengukuran LILA ini dilakukan dengan mengukur lengan atas ibu
hamil tangan yang jarang digunakan dengan menggunakan alat
pengukur LILA.
Kekurangan energi secara kronis menyebabkan cadangan zat
gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan tidak adekuat
sehingga dapat menyebabkan terjadinya gangguan baik pertumbuhan
maupun perkembangannya. Status KEK ini dapat memprediksi hasil
luaran nantinya, ibu yang mengalami KEK mengakibatkan masalah
kekurangan gizi pada bayi saat masih dalam kandungan sehingga
melahirkan bayi dengan panjang badan pendek (Najahah, 2013).
Selain itu, ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir rendah dan
BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak adekuat.
Hubungan antara stunting dan KEK telah diteliti di Yogyakarta
dengan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ibu hamil dengan
riwayat KEK saat hamil dapat meningkatkan risiko kejadian stunting
pada anak balita usia 6-24 bulan (Sartono, 2013).

b. Kadar Hemoglobin
Pemeriksaan darah dilakukan pada ibu hamil untuk
mengetahui kadar Hb ibu sehingga dapat diketahui status anemia
yang dialami ibu saat hamil. Anemia pada saat kehamilan merupakan
suatu kondisi terjadinya kekurangan sel darah merah atau hemoglobin
(Hb) pada saat kehamilan. Ada banyak faktor predisposisi dari
anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan asam
folat, adanya penyakit gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis
ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri (Moegni dan Ocviyanti,
2013).
Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat
kehamilan keperluan akan zat makanan bertambah dan terjadi
perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang (Wiknjosastro
dkk, 2005). Nilai cut-off anemia ibu hamil adalah bila hasil
pemeriksaan Hb < 11, 0 g/dl (Kemenkes R.I, 2013). Penyebab
anemia pada ibu hamil adalah karena gangguan penyerapan pada
pencernaan, kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan,
perdarahan akut maupun kronis, meningkatnya kebutuhan zat besi,
kekurangan asam folat dan vitamin, menjalankan diet miskin zat besi
dan pola makan yang kurang baik ataupun karena kelainan pada
sumsum tulang belakang.
Akibat anemia bagi janin adalah hambatan pada pertumbuhan
janin, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan BBLR, serta lahir
dengan cadangan zat besi kurang sedangkan akibat dari anemia bagi
ibu hamil dapat menimbulkan komplikasi, gangguan pada saat
persalinan dan dapat membahayakan kondisi ibu seperti pingsan,
bahkan sampai pada kematian (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Kadar hemoglobin saat ibu hamil berhubungan dengan panjang bayi
yang nantinya akan dilahirkan, semakin tinggi kadar Hb semakin
panjang ukuran bayi yang akan dilahirkan (Ruchayati, 2012).
Prematuritas, dan BBLR juga merupakan faktor risiko kejadian
stunting, sehingga secara tidak langsung anemia pada ibu hamil dapat
menyebabkan kejadian stunting pada balita.
c. Kenaikan Berat Badan Ibu Saat Hamil
Menurut Almatsier, Ibu hamil akan membutuhkan tambahan
energi dari pada ibu yang tidak hamil, penambahan tersebut
dibedakan berdasarkan umur kehamilannya yaitu: 1) Trimester I ibu
hamil membutuhkan tambahan energi 150- 200 kal/hari; 2) Trimester
II ibu hamil membutuhkan tambahan energi 250-350 kal/hari; 3)
Trimester III ibu hamil membutuhkan tambahan energi 400 kal/hari
dan jumlah cairan yang dibutuhkan minimal 1500 ml/hari (Minarti
dkk, 2013). Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan dengan
IMT saat sebelum ibu belum hamil. Apabila IMT ibu sebelum hamil
dalam status kurang gizi maka penambahan berat badan seharusnya
lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang status gizinya normal
atau status gizi lebih. Penambahan berat badan ibu selama kehamilan
berbeda pada masing–masing trimester. Pada trimester pertama berat
badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg dan trimester
ketiga berat badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu
selama hamil sekitar 9-12 Kg (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).

3. Berat Badan Lahir


Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi
yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat
badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan
perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran fungsi
intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).

4. Panjang Badan Lahir


Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat
menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang
dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir
bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2010).
Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang
badan yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, usia
kehamilan dan pola asuh merupakan beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting. Panjang badan lahir merupakan salah
satu faktor risiko kejadian stunting pada balita (Anugraheni dan
Kartasurya, 2012; Meilyasari dan Isnawati, 2014).
Menurut Riskesdas tahun 2013 kategori panjang badan lahir
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu < 48 cm, 48 – 52 cm, >52 cm,
panjang badan lahir pendek adalah bayi yang lahir dengan panjang < 48
cm (Kemenkes R.I, 2013). Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh
pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam kandungan.

5. ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah
pemberian Air Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak
baru dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I, 2012a). Pemenuhan
kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat terpenuhi dengan pemberian ASI
saja. Menyusui eksklusif juga penting karena pada usia ini, makanan
selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam
usus selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa
dilakukan dengan baik karena ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I,
2012a). Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari
peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah,
bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara
ibu dan anak.

a. Beberapa Masalah dalam Pemberian ASI


Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi
Delayed Initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian
dini konsumsi ASI. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda
inisiasi menyusu (Delayed initiation) akan meningkatkan kematian
bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa
suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih,
jus, ataupun susu selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian
ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai tumbuh
kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan
pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24
bulan. Menyusui yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan
kontribusi signifikan terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.

6. MP –ASI
Kebutuhan anak balita akan pemenuhan nutrisi bertambah seiring
pertambahan umurnya. ASI eksklusif hanya dapat memenuhi kebutuhan
nutrisi balita sampai usia 6 bulan, selanjutnya ASI hanya mampu
memenuhi kebutuhan energi sekitar 60-70% dan sangat sedikit
mengandung mikronutrien sehingga memerlukan tambahan makanan lain
yang biasa disebut makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman
selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian
makanan peralihan yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang
diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi (Muhilal dkk,
2009).
Pemberian MP-ASI merupakan proses transisi dimulainya pemberian
makanan khusus selain ASI secara bertahap jenis, jumlah, frekuensi
maupun tekstur dan kosistensinya sampai seluruh kebutuhan gizi anak
dipenuhi oleh makanan keluarga. Jenis MP-ASI ada dua yaitu MP-ASI
yang dibuat secara khusus baik buatan rumah tangga atau pabrik dan
makanan biasa dimakan keluarga yang dimodifikasi agar mudah dimakan
oleh bayi. MP-ASI yang tepat diberikan secara bertahap sesuai dengan
usia anak baik jenis maupun jumlahnya. Resiko terkena penyakit infeksi
akibat pemberian MP-ASI terlalu dini disebabkan karena usus yang
belum siap menerima makanan serta kebersihan yang kurang (Meilyasari
dan Isnawati, 2014). Menurut Global Strategy for infant and Young
Child Feeding ada 4 persyaratan pemberian MP-ASI yaitu:
1. Tepat waktu yaitu pemberian MP-ASI dimulai saat kebutuhan energi
gizi melebihi yang di dapat dari ASI yaitu pada umur 6 bulan.
2. Adekuat yaitu pemberian MP-ASI harus cukup energi, protein, dan
mikronutrien sesuai dengan kebutuhan.
3. Tepat cara pemberian yaitu pemberian MP-ASI sejalan dengan tanda
lapar dan nafsu makan yang ditunjukkan serta frekuensi dan cara
pemberiannya sesuai dengan umur
Aman yaitu pemberian MP-ASI harus diawasi baik dari penyimpanan, persiapan,
dan saat diberikan MP-ASI harus higienis (Muhilal dkk, 2009).
2.2 Rokok

2.2.1 Definisi Rokok

Rokok adalah gulungan tembakau (kira – kira sebesar jari kelingking)


yang dibungkus daun nipah atau kertas (KBBI, 2016). Menurut PP. RI. No.
109, 2012) rokok adalah produk tembakau yang penggunaannya dengan cara
dibakar dan dihisap asapnya dan/atau dihirup asapnya yang dihasilkan dari
tanaman nicotiana tabacum, nicotinia rustica, dan spesies lainnya atau
sintesisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa
bahan tambahan.
Merokok masih merupakan masalah kesehatan dunia karena dapat
menyebabkan berbagai penyakit dan bahkan kematian, Merokok sudah
menjadi kebiasaan yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari dan
meluas di masyarakat. Data World Health Organization (WHO) tahun 2012
menunjukkan Indonesia menduduki peringkat ke tiga dengan jumlah perokok
terbesar di dunia setelah China dan India. WHO (World Health Organization)
telah menetapkan bahwa tanggal 31 Mei sebagai hari bebas tembakau
sedunia. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya perhatian dunia
terhadap akibat negatif rokok bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia
(WHO, 2012).

2.2.1.1 Kandungan Rokok


Rokok termasuk zat adiktif, yaitu zat yang dapat menyebabkan seseorang
menjadi ketergantungan dan membahayakan kesehatan dengan ditandai
adanya perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, berkeinginan
kuat untuk mengkonsumsi zat tersebut, meningkatnya toleransi, dan dapat
menyebabkan gejala putus obat (PP. RI. No. 109, 2012). Rokok mengandung
beberapa bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan dan bersifat
karsinogenik. Beberapa contoh zat berbahaya yang terkandung di dalam
rokok, yaitu :
a. Nikotin
Nikotin merupakan senyawa pyrrolidine yang terdapat dalam
nicotina tabacum, nicotina rustica dan spesies lainnya yang dapat
menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan pada rokok (PP. RI. No.
109, 2012). Nikotin mulai berkembang saat dosis pertama, oleh karena
itu perokok akan terus menambah dosis nikotin untuk mempertahankan
efek tenang dan rileks (Sudiono, 2008).
b. Karbon monoksida (CO)
Karbon monoksida adalah gas tidak berbau, tidak berwarna, tidak
berasa dan tidak mengiritasi, namun sangat berbahaya (beracun). Gas ini
merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna dari kendaran
bermotor, alat pemanas, peralatan yang menggunakan bahan api
berasaskan karbon dan nyala api. Gas CO akan sangat berbahaya jika
terhirup, karena hal gas CO akan menggantikan posisi oksigen untuk
berikatan dengan hemoglobin dalam darah (Infopom, 2015).
c. Tar
Tar adalah kondensat asap yang merupakan total residu yang
dihasilkan saat rokok dibakar setelah dikurangi nikotin dan air, yang
memiliki sifat karsinogenik (PP. RI. No. 109, 2012). Tar akan menempel
pada sepanjang saluran nafas perokok dan pada saat yang sama akan
mengurangi efektivitas alveolus (kantung udara dalam paru-paru),
sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah udara yang dapat dihirup
dan hanya sedikit oksigen yang terserap ke dalam peredaran darah
(Infopom, 2014).

2.2.1.2 Pembagian Rokok


Rokok dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Rokok berdasarkan bahan baku atau isinya, dibedakan menjadi:
a. Rokok Putih
Isi rokok ini hanya daun tembakau yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Mardjun, 2012). Rokok
putih mengandung 14 - 15 mg tar dan 5 mg nikotin (Alamsyah,
2009).
b. Rokok Kretek
Bahan baku atau isinya berupa daun tembakau dan cengkeh
yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu
(Mardjun, 2012). Rokok kretek mengandung sekitar 20 mg tar dan
44-45 mg nikotin (Alamsyah, 2009).
c. Rokok Klembak
Bahan baku atau isinya berupa daun tembakau, cengkeh, dan
kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan
aroma tertentu.
2. Rokok berdasarkan penggunaan filter menurut Mardjun (2012)
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
a. Rokok Filter: rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus
b. Rokok Non Filter: rokok yang pada bagian pangkalnya tidak
terdapat gabus.

2.2.1.3 Jenis Rokok


Menurut Mustikaningrum (2010) jenis rokok dibagi menjadi delapan, yaitu:
1. Rokok
Merupakan sediaan tembakau yang banyak digunakan.
2. Rokok Organik
Merupakan jenis rokok yang dianggap tidak mengandung bahan adiktif
sehingga dinilai lebih aman dibanding rokok modern.
3. Rokok Gulungan atau “Lintingan”
Peningkatan penggunaan rokok dengan cara melinting sendiri ini
sebagian besar disebabkan oleh budaya dan faktor finansial.
4. Bidis
Bidis berasal dari India dan beberapa negara Asia Tenggara. Bidis
dihisap lebih intensif dibandingkan rokok biasa, sehingga terjadi
peningkatan pemasukan nikotin yang dapat menyebabkan efek
kardiovaskuler.
5. Kretek
Mengandung 40% cengkeh dan 60% tembakau. Cengkeh
menimbulkan aroma yang enak, sehingga kretek dihisap lebih dalam
daripada rokok biasa.
6. Cerutu
Kandungan tembakaunya lebih banyak dibandingkan jenis lainnya,
seringkali cerutu hanya mengandung tembakau saja.
7. Pipa
Asap yang dihasilkan pipa lebih basa jika dibandingkan asap rokok
biasa, sehingga tidak perlu hisapan yang langsung untuk mendapatkan
kadar nikotin yang tinggi dalam tubuh.
8. Pipa Air
Sediaan ini telah digunakan berabad-abad dengan persepsi bahwa cara
ini sangat aman. Beberapa nama lokal yang sering digunakan adalah
hookah, bhang, narghile, shisha.

2.2.1.4 Filter Rokok

Filter rokok yang terbuat dari asetat selulosa berfungsi untuk


menahan tar dan partikel rokok yang berasal dari rokok yang dihisap,
namun dalam jumlah sangat sedikit. Filter juga berfungsi untuk
mendinginkan rokok sehingga menjadi mudah dihisap (Mustikaningrum,
2010).

2.2.1.5 Dampak Rokok Bagi Kesehatan

Menurut Center of Desease Control (CDC) dalam Octafrida (2011)


merokok membahayakan setiap organ di dalam tubuh. Merokok
menyebabkan penyakit dan memperburuk kesehatan,seperti :
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
PPOK sudah terjadi pada 15% perokok. Individu yang merokok
mengalami penurunan pada Forced Expiratory Volume in second (FEV1),
dimana kira-kira hampir 90% perokok berisiko menderita PPOK (Saleh,
2011).
2. Pengaruh Rokok terhadap Gigi
Hubungan antara merokok dengan kejadian karies, berkaitan dengan
penurunan fungsi saliva yang berperan dalam proteksi gigi. Risiko
terjadinya kehilangan gigi pada perokok, tiga kali lebih tinggi dibanding
pada bukan perokok (Andina, 2012).
3. Pengaruh Rokok Terhadap Mata
Rokok merupakan penyebab penyakit katarak nuklear, yang terjadi
di bagian tengah lensa. Meskipun mekanisme penyebab tidak diketahui,
banyak logam dan bahan kimia lainnya yang terdapat dalam asap rokok
dapat merusak protein lensa (Muhibah, 2011).
4. Pengaruh Terhadap Sistem Reproduksi
Merokok akan mengurangi terjadinya konsepsi, fertilitas pria
maupun wanita. Pada wanita hamil yang merokok, anak yang dikandung
akan mengalami penuruan berat badan, lahir prematur, bahkan kematian
janin (Anggraini, 2013).

2.2.2 Merokok
2.2.2.1 Definisi Merokok
Merokok merupakan kegiatan yang sering kita Jumpai di
masyarakat. Tidak hanya masyarakat di Indonesia tetapi juga masyarakat
di dunia. World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa pada
tahun 2008 terdapat satu miliar orang pengguna produk tembakau di
seluruh dunia (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013).
Sedangkan di Vietnam hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS)
tahun 2010 menunjukkan bahwa proporsi orang dewasa laki-laki yang
merokok mencapai 47,4% (An, D.T.M, 2013). Berdasarkan Riskesdas
tahun 2007, persentase penduduk umur 10 tahun ke atas 23,7% merokok
setiap hari, 5,5% merokok kadang-kadang, 3,0% adalah mantan perokok
dan 67,8% bukan perokok.
Prevalensi perokok di Indonesia terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Jumlah perokok pria meningkat 14%, sedangkan perokok
wanita meningkat sebanyak 2,8% dari tahun 1995 sampai tahun 2011.
Pada tahun 1995 jumlah perokok pria di Indonesia sebanyak 53,4%
sedangkan tahun 2011 menjadi 67,4%. Untuk perokok wanita meningkat
dari 1,7% pada tahun 1995 menjadi 67,4% pada tahun 2011 (Aliansi
Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013). Data dari GATS tahun 2011
menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara ketiga dengan jumlah
perokok tertinggi di dunia setelah Cina dan India dengan prevalensi
perokok sebanyak 36,1% (Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia,
2013).

2.2.2.2 Perilaku Merokok

Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan


atau lingkungan (KBBI, 2016). Dalam bukunya Notoatmodjo (2012)
menyebutkan bahwa perilaku adalah suatu kegiatan yang dikerjakan oleh
seseorang, baik itu dapat diamati secara langsung maupun secara tidak
langsung. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan)
dan lingkungan. Faktor keturunan merupakan merupakan konsepsi dasar
atau modal untuk perkembangan perilaku seseorang, sedangkan
lingkungan mearupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku
(Notoatmodjo, 2012). Skinner dalam Notoatmodjo (2012) menyebutkan
bahwa perilaku dibentuk karena adanya suatu kondisi tertentu atau operant
conditioning yang melalui beberapa prosedur sebagai berikut :
1. Melakukan indetifikasi tentang hal – hal yang merupakan penguat
atau reinforce berupa pengahargaan bagi perilaku yang akan dibentuk.
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen – komponen
kecil yang dapat membentuk perilaku yang diinginkan. Kemudian
komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk membentuk
perilaku yang dimaksud.
3. Menggunakan urutan komponen – komponen itu sebagai tujuan
sementara, mengidentifikasi reinforce atau hadiah untuk masing –
masing komponen tersebut.
4. Melakukan pembentukan perilaku, dengan menggunakan urutan
komponen yang telah disusun. Apabila komponen pertama telah
dilakukan, maka hadiahnya diberikan dan begitu seterusnya sampai
seluruh perilaku yang diinginkan terbentuk.
Secara operasional perilaku dapat diartikan suatu respon seseorang
terhadap rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut. Respon ini
berbentuk pasif dan aktif. Bentuk pasif (covert behavior) adalah respon
internal, yaitu terjadi di dalam diri seseorang dan tidak secara langsung
dapat terlihat oleh orang lain, seperti berpikir, tanggapan atau sikap batin
dan penegtahuan. Sedangkan bentuk aktif (overt behavior) adalah perilaku
yang dapat terlihat atau diobservasi secara langsung oleh orang lain
(Notoatmodjo, 2012).
Perilaku merokok merupakan kegiatan yang dilakukan seseorang
dengan cara membakar tembakau dan menghisap asapnya, baik
menggunakan rokok atau pipa (Sitepoe dalam Sari, 2016). Perilaku
merokok adalah perilaku yang dipelajari. Tahapan perilaku merokok
menurut Leventhal & Clearly dalam (Komasari & Helmi tahun 2000) :
1. Tahap Preparatory. Seseorang mendapatkan gambaran yang
menyenangkan terhadap merokok dengan cara melihat,
mendengarkan, atau dari hasil bacaan. Hal tersebut akan
memunculkan minat seseorang untuk merokok.
2. Tahap Initiation. Tahap apakah seseorang akan meneruskan atau tidak
terhadap perilaku merokok, tahap ini juga disebut tahap perintisan
merokok.
3. Tahap Becoming a Smoker. Apabilah seseorang mengkonsumsi rokok
sebanyak 4 batang per hari, orang tersebut mempunyai kecenderungan
menjadi perokok.
4. Tahap Maintenance of Smoking. Pada tahap ini merokok sudah
menjadi salah satu cara dari pengaturan diri (self regulating),
merokok dilakukan untuk memenuhi efek fisiologis yang
menyenangkan.
Perokok dibagi menjadi dua yaitu perokok aktif dan perokok pasif.
Perokok aktif adalah seseorang yang langsung melakukan aktivitas
merokok atau menghisap rokok, sedangkan perokok pasif adalah
seseorang yang tidak memiliki kebiasaan merokok, namun terpaksa harus
menghisap asap rokok yang dihembuskan oleh orang lain (Thayyarah,
2013).

2.2.2.3 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Merokok


Perilaku merokok seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Teori
pengaruh triandis menyebutkan perilaku merokok dapat dipengaruhi oleh
tiga agen, yaitu lingkungan budaya, situasi sosial, dan personal (Liem,
2014). Menurut hasil penelitian Liem (2014) dan Hasanah & Sulastri
(2011) teman sebaya serta dukungan keluarga memiliki pengaruh yang
besar terhadap perilaku merokok. Selain itu persepsi tentang merokok dan
paparan media iklan juga berpengaruh terhadap perilaku merokok
seseorang (Nurmayunita dkk, 2015; Ayuningtyas, 2011). Hasil penelitian
yang dilakukan Laksana (2011) menyebutkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara tipe kepribadian seseorang dengan perilaku merokok
terutama kepribadian introvert.
Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan
dewasa.dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa
perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka
bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau
bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang (Hariyanto,
2010). Berdasarkan sifat atau ciri perkembangannya, menurut Wodyastuti
dkk (2009, dalam satria.2008) masa (rentang waktu) remaja ada tiga tahap
yaitu :
1. Masa remaja awal (10-12 tahun)
a. Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.
b. Tampak dan merasa ingin bebas.
c. Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan
tubuhnya dan mulai bepikir yang khayal (abstrak).
2. Masa remaja tengah (13-15 tahun)
a. Tampak dan ingin mencari identitas diri.
b. Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan
jenis.
c. Timbul perasaan cinta yang mendalam.
3. Masa remaja akhir (16-19 tahun)
a. Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.
b. Dalam mencari teman sebaya lebih seletif.
c. Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.
d. Dapat mewujudkan perasaan cinta.
e. Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

2.2.2.4 Perubahan Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007) teori perubahan perilaku dibagi menjadi


empat teori yaitu :
a. Teori Stimulus Organisme Respon (S-O-R)
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan
perilaku tergantung pada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi
dengan organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikai (souces)
misalnya, krediblitas, kepemimpianan, gaya bicara sangat menentukan
keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok atau masyarakat.
b. Teori Festinger (Dissonance theory)
Teori Festinger (1957) telah banyak pengaruhnya dalam psikologi
sosial. Teori ini sebenarnya sama dengan teori konsep ‘Imbalance’ (=tidak
seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan ‘cognitife dissonance’ merupakan
keadaan ketidakseimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri
yang berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali. Apabila terjadi
keseimbagan dalam diri individu, maka berarti sudah tidak terjadi
ketegangan diri lagi, dan keadaan ini disebut ‘conconance’ (keseimbangan).
c. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapambahwa perubahan perilaku individu itu
tergantung kepada keutuhan. Hal ini berarti stimulus yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku seseorang apanila stimulus tersebut
dapat dimengerti dalam kontek kebutuhan orang tersebut.
d. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia itu adalah
suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong
(Driving Force) dan kekuatan-kekuatan penahan (Restrining Forces).
Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut didalam diri seseorang.
Perilaku adalah suatu bentuk respon organisme atau seseorang terhadap
rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut (Notoatmodjo, 2007).
Adapun bentuk respon dari perilaku tersebut dibagi menjadi dua yaitu :
1. Bentuk pasif adalah respon internal, yaitu yang terjadi di dalam diri
manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain misalnya
berfikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan.
2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas di observasi secara
langsung.
Awal 1980-an James Prochaska dan Carlo Di Clemente mengenalkan
teori untuk memahami perubahan perilaku khususnya perilaku adiktif, teori
itu dinamakan Transtheoretical Model. Konsep ini terdiri dari tahapan-
tahapan, sehingga model transtheoretical juga dikenal sebagai tahap
perubahan (Fertman, 2010). Tahapan ini terdiri dari:

1. Prekontemplasi
Seseorang belum merencanakan perubahan perilaku dalam enam
bulan kedepan.
2. Kontemplasi
Seseorang mulai mempertimbangkan perubahan perilaku dan berniat
mengubah perilaku dalam enam bulan.
3. Preparasi atau Persiapan
Setelah berencana mengubah perilakunya dalam enam bulan
kemudian.
4. Aksi
Seseorang telah melakukan perubahan selama lebih kurang enam
bulan.
5. Pemeliharaan
Seseorang telah mempertahankan perubahan perilaku selama
setidaknya enam bulan tetapi kurang dari lima tahun.
Tahun 1998 konsep ini dikembangkan oleh beberapa pakar seperti
Velicer, Fava, Norman, dan Redding, menjadi konsep yang lebih spesifik
untuk memahami perubahan perilaku perokok atau disebut tahapan smoking
cessation (berhenti merokok) (Syafiie, 2009).

2.2.2.5 Dampak Perilaku Merokok


Menurut Tobacco Atlas 5th edition (2015) merokok merupakan
penyebab bagi hampir 90% kanker paru, 75% penyakit paru obstruktif
(PPOK), dan 25% dari penyebab serangan jantung. Pada perokok aktif,
bahaya merokok mengancam seluruh oragan tubuh, mulai dari gangguan
fungsi sampai kanker, seperti pada jantung dan pembuluh darah (penyakit
jantung koroner dan stroke), saluran pernafasan (PPOK, asma, dan kanker
paru), saluran cerna (kanker mulut, kanker lidah, dah kanker nasofaring),
dan gangguan system reproduksi dan kehamilan (kecacatan janin,
keguguran, infeksi panggul dan kanker serviks). Dampak dari rokok tersebut
tidak hanya timbul pada perokok aktif, perokok pasif juga terancam
mengalami gangguan fungsi dan kanker pada organ tubuh (Kemenkes RI,
2014).

2.2.2.6 Tahapan Berhenti Merokok


Berikut tahapan-tahapan dalam upaya berhenti merokok sebagai
perubahan perilaku perokok yang mengacu pada teori Prochaska:
1. Prekontemplasi
Perokok belum merencanakan berhenti merokok.
2. Kontemplasi
Perokok mulai mempertimbangkan untuk berhenti merokok dan
berniat untuk berhenti merokok.
3. Preparasi atau Persiapan
Perokok berencana berhenti merokok dan sudah mempersiapkan diri
untuk berhenti merokok.
4. Aksi
Perokok sudah mulai berhenti merokok.
5. Pemeliharaan
Perokok telah mempertahankan perubahan perilaku (berhenti
merokok) selama minimal enam bulan.

2.2.2.7 Metode Berhenti Merokok


Ada dua metode yang selama ini dikembangkan para ahli dalam dunia
rokok untuk menghentikan kecanduan terhadap rokok (Syafiie, 2009).
Metode tersebut yaitu:
1. Metode yang Mengandalkan Perubahan Perilaku Perokok berubah tanpa
bantuan obat-obatan, terdiri dari:
a. Metode ’Cold Turkey’
Perokok hanya perlu berhenti merokok. Metode ini tidak
menggunakan perencanaan yang panjang. Perokok cukup menentukan
kapan dia akan melakukannya.
b. Terapi Perilaku Kognitif
Perokok hanya akan merubah perilaku buruk merokok kalau dia
tahu bahwa merokok itu buruk.
c. Pengondisian Berbalik
Teknik ini sangat unik, yaitu memasangkan sebuah stimulus negatif
dengan perilaku yang ingin dirubah.
2. Metode yang Mengandalkan Terapi dan Obat-Obatan
a. Terapi Penggantian Nikotin
Nikotin yang biasanya didapat dari rokok diganti sumbernya
dengan nikotin yang didapat dari kulit (susuk nikotin), mukosa hidung
(nikotin sedot hidung), dan mukosa mulut (permen karet nikotin).
b. Pemberian obat-obatan
Obat yang digunakan untuk membantu keberhasilan berhenti
merokok antara lain :
1. Vareniklin
Vareniklin menghalangi nikotin menempel pada reseptor dan
mengurangi rasa nikmat yang ditimbulkan dari rokok. Efekivitas
obat ini sudah teruji dalam studi terhadap 2.000 perokok. Dosis yang
digunakan untuk terapi adalah 1 mg, diberikan dua kali sehari. Efek
samping yang ditimbulkan adalah mual, sakit kepala, insomnia, dan
mimpi buruk, namun hanya terjadi pada kurang dari 10% pasien
(Larasaty, 2009).
2. Bupropion
Obat ini memiliki efek poten untuk berhenti merokok, bahkan
melebihi khasiat vareniklin. Efek samping bupropion tersering
adalah insomnia, mulut kering, mual dan dapat menyebabkan kejang
dengan risiko 1:1.000, maka tidak boleh digunakan pada pasien
dengan riwayat epilepsi .
3. Klonidin
Klonidin efektif menurunkan gejala putus obat pada pasien yang
berhenti merokok atau berhenti minum alkohol. Efek samping utama
klonidin adalah mulut kering dan sedasi. Klonidin berguna bagi
pasien yang memiliki kontraindikasi dengan farmakoterapi lainnya.
c. Metode Hipnotis
Perokok diberi intervensi oleh penghipnotis bahwa merokok itu
buruk dan dia harus berhenti, maka pada saat dia sadar kembali,
besar kemungkinan dia akan berhenti, sekalipun dia tidak tahu siapa
yang menyuruhnya berhenti.

2.2.2.8 Program Berhenti Merokok

Menurut Sadikin (2008) langkah awal dalam PBM dikenal sebagai


intervensi singkat yang dalam guideline dari US Departement of Health and
Human Service disebut sebagai langkah 5A yaitu:
1. Ask (tanyakan)
Merupakan langkah untuk memastikan apakah klien/pasien anda
merokok dan menggali motivasinya untuk berhenti merokok, termasuk
identifikasi dan dokumentasi klien setiap kontrol (Sabri, 2011).
2. Advise (anjurkan)
Menasehati klien untuk berhenti merokok. Gunakan pendekatan secara
personal, kuat, dan jelas dalam menganjurkan klien untuk berhenti merokok
(Sabri, 2011).
3. Assess (evaluasi)
Nilai kesiapan klien untuk berhenti merokok, gunakan daftar tanya
yang dimaksudkan untuk melihat kesiapan klien untuk berhenti merokok.
Klien yang sedang dan tengah merokok, evaluasi keinginan untuk berhenti
saat ini (Sabri, 2011).
4. Assist (bantu)
Membantu klien berhenti merokok. Klien yang berniat berhenti
merokok, tawarkan pengobatan dan konseling yang bisa membantu klien
berhenti merokok. Klien yang belum berniat untuk berhenti, berikan
motivasi untuk meningkatkan keinginan berhenti merokok, begitu juga
klien yang baru berhenti merokok dan menghadapi kendala, untuk
mencegah klien merokok kembali (Sabri, 2011).
5. Arrange (susun)
Susunlah semua langkah yang sudah dan akan dilakukan oleh pasien
untuk menghentikan kebiasaan merokoknya.

2.2.2.9 Kendala Berhenti Merokok

Menurut Sadikin (2008) kendala yang menyebabkan perokok sulit


berhenti merokok,yaitu:
1. Gejala putus nikotin
Nikotin dari rokok secara langsung merangsang reseptor asetilkolin
pada neuron yang berisi dopamin. Stimulasi reseptor asetilkolin inilah yang
menyebabkan timbunan dopamin di otak. Aktivasi ini menimbulkan
perasaan senang. Kadar puncak nikotin, aktivasi otak yang sementara,
diikuti dengan turunnya kadar nikotin secara bertahap, sampai pada suatu
titik “putus” yang hanya dapat dihilangkan dengan menghisap rokok
selanjutnya.
2. Pasien tidak mau berhenti merokok Menurut Sabri (2011) untuk kasus
seperti ini, dapat dilakukan pendekatan 5R, yaitu:
a. Relevance (Relevan)
Kaitkan merokok dengan dampak negatif terhadap kesehatan dan
manfaat ekonomi.
b. Risk (Risiko)
Minta pasien untuk menjabarkan sendiri bahaya merokok, baik
risiko akut maupun jangka panjang.
c. Reward (Keuntungan)
Pasien diajak mengidentifikasi manfaat yang dapat diperoleh dari
merokok.
d. Roadblock (Hambatan)
Tanyakan dan jelaskan kepada pasien mengenai kemungkinan
hambatan yang dapat muncul dari upaya berhenti merokok.
e. Repetition (Pengulangan)
Berikan motivasi secara terus menerus pada saat pasien
melakukan kontrol.

2.3 Sampah

2.3.1 Definisi Sampah

Menurut definisi dari World Health Organization (WHO) sampah adalah


sesuatu yang tidak dipakai, tidak digunakan, tidak disenangi atau sesuatu
yang dibuang berasal dari kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan
sendirinya (WHO, 2012).

Sampah adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh yang punya dan
sifatnya padat. Menurut Azwar (1990) berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan sampah adalah sebagian kecil dari sesuatu yang tidak digunakan,
tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang yang
umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk
kegiatan industri) tetapi bukan biologis karena kotoran manusia (human
waste) tidak termasuk kedalamnya, maka sampah tentu saja sebaiknya
dikelola dengan sebaik-baiknya, sedemikian rupa sehingga hal-hal yang
bersifat negatif bagi kehidupan tidak sampai terjadi (Jumar, 2014) .

Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 Tentang iPengelolaan


Sampah, disebutkan bahwa sampah adalah kegiatan sehari-hari yang
dilakukan oleh manusia atau proses alam, yang dapat berbentuk padat atau
semi padat yang berupa zat organik maupun zat anorganik, ataupun bersifat
dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang ke
lingkungan (Undang-Undang Nomor 18, 2008).

Sampah adalah suatu limbah atau buangan yang bersifat padat, setengah
padat atau semi padat yang merupakan hasil dari kegiatan perkotaan atau
siklus kehidupan manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Para ahli kesehatan masyarakat Amerika membuat batasan, sampah


(waste) adalah sesuatu yang tidak dapat digunakan lagi, tidak dapat dipakai,
tidak disenangi, atau sesuatu yang telah dibuang, berasal dari kegiatan
manusia, dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sampah adalah hasil kegiatan
manusia yang dibuang karena sudah tidak berguna lagi. Dengan demikian
sampah dapat mengandung prinsip sebagai berikut :

1. Adanya sesuatu benda ataupun bahan padat

2. Adanya hubungan langsung/tidak langsung dengan kegiatan dari


manusia

3. Benda atau bahan tersebut yang tidak dipakai lagi (Notoatmojo, 2015).

2.3.2 Klasifikasi Sampah

Sampah juga dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai golongan; dan


pengklasifikasian sampah dapat dilakukan berdasarkan beberapa tinjauan,
yaitu :
1. Berdasarkan Jenisnya

a. Sampah Organik

Sampah organik yang tersusun oleh senyawa-senyawa organik, dan


berasal dari sisa-sisa tumbuhan (sayur, buah, daun, kayu, dan lain-lain.),
hewan (bangkai, kotoran, bagian tubuh seperti tulang, dan lain-lain)
Sampah bersifat dapat terurai (degradable) sehingga dalam waktu
tertentu akan berubah bentuk serta dapat menyatu kembali dengan alam.

b. Sampah an-organik

Sampah an organik yang tersusun oleh senyawa-senyawa an-organik,


dan berasal dari sisa-sisa industri, seperti plastik, botol/kaca, kaleng,
logam, dan lain-lain. Sampah an-organik umumnya bersifat sukar
terurai/sukar lapuk dan tidak lapuk (non-degradable) sehingga akan
selalu dalam bentuk aslinya di alam (Notoatmojo, 2015).

2. Berdasarkan Tingkat Kelapukan

a. Sampah lapuk (garbage)

Sampah lapuk merupakan bahan-bahan organik; berupa sayuran,


buah, makanan. Pelapukan jenis sampah ini terjadi dalam waktu
tertentu, sehingga akan berubah bentuk dan dapat menyatu kembali
dengan alam dengan sendirinya.

b. Sampah susah lapuk dan tidak lapuk (rubbish)

Sampah ini merupakan dari bahan organik maupun an-organik;


seperti; kertas dan kayu (susah lapuk; pelapukan dapat terjadi tetapi
dalam waktu yang cukup lama, namun dapat dibakar); kaleng, kawat,
kaca, mika (tidak lapuk dan tidak dapat dibakar), serta plastik (tidak
lapuk tetapi dapat dibakar) (Notoatmojo, 2012).
3. Berdasarkan Bentuknya

a. Sampah Padat

Sampah padat dapat berupa makhluk hidup (tumbuhan, hewan)


yang merupakan sampah organic dan benda-benda tak hidup (besi,
kaleng dan plastik). Komposisi dari sampah padat sebagian besar
merupakan sampah organik yang berasal dari berbagai sumber disekitar
manusia.

b. Sampah cair

Sampah cair dapat bersumber dari pabrik/industri,


pertanian/perikanan atau peternakan dan dapat berupa limbah rumah
tangga.

c. Gas

Sampah dalam bentuk gas dapat bersumber dari pabrik/industri,


dari alat transportasi, rumah tangga, pembakaran, dan efek lanjutan
terurainya sampah padat dan cair (Notoatmojo, 2012).

4. Berdasarkan Sumbernya

sumber-sumber timbulnya sampah sebagai berikut :

a. Sampah dari pemukiman penduduk (domestic wastes)

Pada suatu pemukiman biasanya sampah yang dihasilkan oleh suatu


keluarga yang tinggal di suatu bangunan atau asrama. Jenis sampah
yang dihasilkan juga biasanya cenderung organik, bisa juga seperti sisa
makanan atau sampah yang  bersifat basah, kering, abu plastik dan
lainnya (Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994).

b. Sampah dari tempat-tempat umum dan perdagangan


Tempat-tempat umum merupakan tempat yang dimungkinkan
banyaknya orang berkumpul dan melakukan banyak aktivitas. Tempat-
tempat tersebut mempunyai potensi yang cukup besar dalam
memproduksi sampah termasuk tempat perdagangan seperti pertokoan
dan pasar. Jenis sampah yang dihasilkan berupa sisa-sisa makanan,
sampah kering, kertas dan kaleng-kaleng serta sampah lainnya (Badan
Standarisasi Nasional (BSN), 1994).

c. Sampah dari sarana pelayanan masyarakat milik pemerintah

Yang dimaksud disini misalnya tempat hiburan umum, pantai,


masjid, rumah sakit, bioskop, perkantoran, dan sarana pemerintah
lainnya yang menghasilkan sampah kering dan sampah basah (Badan
Standarisasi Nasional (BSN), 1994).

d. Sampah dari industri (industrial wastes)

Dalam hal ini termasuk pabrik-pabrik sumber alam, perusahaan


kayu dan lain-lain, kegiatan industri baik yang termasuk distribusi
ataupun  proses suatu bahan mentah. Sampah yang dihasilkan dari
tempat ini  biasanya sampah basah, sampah kering, sisa-sisa makanan
dan sisa bahan bangunan.

e. Sampah dari Pertanian

Sampah yang dihasilkan dari tanaman atau binatang daerah pertanian


misalnya sampah dari kebun, ladang atau sawah yang dihasilkan berupa
bahan makanan pupuk maupun bahan pembasmi serangga tanaman.
Berbagai macam sampah yang telah disebutkan diatas hanyalah sebagian
kecil saja dari sumber-sumber sampah yang dapat ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari kita. Hal ini menunjukan bahwa kehidupan
manusia tidak akan pernah terlepas dari sampah.

f. Sampah yang berasal dari jalan raya


Sampah yang berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdiri
dari : kertas-kertas, kardus-kardus, debu, batu-batuan, pasir, sobekan ban,
onderdil-onderdil kendaraan yang jatuh, daun-daunan, plastik, dan lain
sebagainya.

g. Sampah yang berasal dari pertambangan

Sampah yang berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya


tergantung dari jenis usaha pertambangan itu sendiri, maisalnya: batu-
batuan, tanah/cadas, pasir, sisa-sisa pembakaran(arang), dan lain-lain
(Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994).

2.3.3 Pengelolaan Sampah

Pemerintah atau pemerintah daerah dalam hal ini menjamin


terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan
sesuai dengan tujuan sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2008 Tentang Pengelolan Sampah. Adapun tugas pemerintah dan
pemerintahan daerah sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang  Nomor 18
Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, yang terdiri atas sebagai berikut:

a. Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan


pentingnya pengelolaan sampah.

b. Melakukan penelitian, pengembangan teknologi pengurangan, dan


penanganan sampah yang baik.

c. Memfasilitasi, mengembangkan dan melaksanakan upaya  pengurangan,


penanganan dan pemanfaatan sampah yang ada.

d. Melaksanakan pengelolaan sampah dan memfasilitasi penyediaan sarana


dan prasarana pengelolaan sampah.

e. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan dan manfaat hasil


pengelolaan sampah.
f. Memfasilitasi penerapan teknologi spesifik lokal yang berkembang ada
masyarakat setempat untuk mengurangi dan menangani sampah.

g. Melakukan koordinasi antar lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia


usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengelolaan sampah (Suwarto,
2006).

Wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan pengelolaan sampah


adalah sebagai berikut:

a. Menetapkan kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah yang baik


dan benar

b. Menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan sampah.

c. Memfasilitasi dan mengembangkan kerja sama antar daerah, kemitraan dan


jejaring dalam pengelolaan sampah.

d. Menyelenggarakan koordinasi, pembinaan dan pengawasan kinerja


pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah; dan

e. Menetapkan kebijakan penyelesaian perselisihan antar daerah dalam


pengelolaan sampah.

f. Berdasarkan penjabaran-penjabaran diatas dapat ditarik penjelasan  bahwa


pemerintah maupun pemerintah daerah memegang tanggungjawab yang
sangat penting terhadap penanganan persampahan agar terciptanya suatu
kenyamanan di dalam suatu lingkungan yang baik (Suwarto,2006).

Adapun mekanisme dalam pengelolaan sampah dalam UU Nomor 18


tahun 2008 tentang pengelolaan sampah meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut :

1. Pengurangan Sampah
Yaitu kegiatan untuk mengatasi timbulnya sampah atau mengurai sampah
sejak dari produsen sampah (rumah tangga, pasar, dan lain-lainnya) mendaur
ulang sampah dari sumbernya dan atau di tempat pengolahan dan daur ulang
sampah di sumbernya. Pengurangan yang termasuk ke dalam pengurangan
sampah antara lain :

a. Menetapkan sasaran pengurangan sampah yang optimal

b. Mengembangkan teknologi bersih dan label produk

c. Menggunakan bahan produksi yang dapat di daur ulang atau di guna


ulang

d. Mengembangkan program kesadaran guna ulang atau daur ulang

2. Penanganan Sampah

Penangan sampah yaitu rangkaian kegiatan penanganan sampah yang


mencakup pemilihan (pengelompokan dan pemisahan sampah menurut jenis
dan sifatnya),  pengumpulan (memindahkan sampah dari sumber sampah ke
TPS atau tempat  pengelolaan sampah terpadu), pengangkutan (kegiatan
memindahkan sampai dari sumber TPS atau tempat pengelolaan sampah
teropadu, pengelolaan hasil akhir (mengubah bentuk, komposisi, karakteristik
dan jumlah sampah agar di  proses lebih lanjut, dimanfaatkan atau
dikembalikan alam dan pemprosesan aktif kegiatan pengolahan sampah atau
residu hasil pengolahan sebelumnya agar dapat dikembalikan ke media
lingkungannya (Widiena, 2017).

2.3.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas dan Kualitas Sampah

Sampah yang baik kualitas maupun kuantitasnya sangat dipengaruhi oleh


berbagai kegiatan dan taraf hidup dari masyarakat. Beberapa faktor yang
penting antara lain :
a. Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk dapat dipahami bahwa semakin banyak penduduk


semakin banyak pula sampah tentunya. Pengelolaan sampah pun berpacu
dengan laju pertambahan penduduk masyarakat

b. Keadaan sosial ekonomi

Semakin tinggi keadaan sosial ekonomi suatu masyarakat, semakin


banyak jumlah sampah yang dibuang. Kualitas sampahnya pun semakin
banyak bersifat tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini,
tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta
kesadaran masyarakat akan persoalan persampahan. Kenaikan kesejahteraan
ini pun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan pembaharuan
bangunan-bangunan, transportasi pun bertambah, dan produk pertanian,
industri dan lain-lain akan bertambah dengan konsekuensi bertambahnya
volume dan jenis sampah.

c. Kemajuan teknologi

Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kualitas sampah,


karena pemakaian bahan baku yang beragam, cara pengepakan dan produk
manufaktur yang semakin beragam pula.

d. Tingkat pendidikan

Untuk meningkatkan mutu lingkungan, pendidikan mempunyai peranan


penting karena melalui pendidikan, manusia semakin mengetahui dan sadar
akan bahaya limbah rumah tangga terhadap lingkungan, terutama bahaya
pencemaran terhadap kesehatan manusia dan dengan pendidikan dapat
ditanamkan berpikir kritis, kreatif dan rasional. Semakin tinggi tingkat
pendidikan selayaknya semakin tinggi kesadaran dan kemampuan
masyarakat dalam pengelolaan sampah (Suwarto, 2006).

2.3.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengelolaan Sampah


Kenyataan yang ada pada saat ini, sampah menjadi cukup sulit dikelola
oleh karena berbagai hal sebagai berikut :

1. Pesatnya akan perkembangan teknologi yang ada, lebih cepat dari


kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memahami masalah
persampahan yang ada

2. Meningkatnya tingkat hidup masyarakat yang tidak baik disertai dengan


keselarasan pengetahuan tentang persampahan yang minim

3. Meningkatnya akan biaya operasi, pengelolaan dan konstruksi di segala


bidang termasuk bidang persampahan

4. Kebiasaan pengelolaan sampah yang tidak efisien dan efektif, tidak


benar, dapat menimbulkan pencemaran air, udara dan tanah, sehingga
juga memperbanyak populasi vector pembawa penyakit seperti lalat dan
tikus yang akan menjadi wabah penyakit

5. Kegagalan dalam mendaur ulang sampah maupun pemanfaatan kembali


barang bekas juga ketidakmampuan masyarakat dalam memelihara
barangnya sehingga cepat rusak, ataupun produk manufaktur yang sangat
rendah mutunya, sehingga cepat menjadi sampah

6. Semakin sulitnya mendapatkan lahan sebagai Tempat Tembuangan Akhir


(TPA) sampah, selain tanah serta formasi tanah yang tidak cocok bagi
pembuangan sampah juga terjadi kompetisi yang semakin rumit akan
penggunaan tanah

7. Semakin banyaknya masyarakat yang berkeberatan bahwa daerahnya


dipakai sebagai tempat pembuangan sampah

8. Kurangnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan yang ada

9. Sulitnya akan menyimpan sampah sementara yang cepat busuk, karena


cuaca yang semakin hari semakin panas
10. Sulitnya mencari partisipasi masyarakat untuk membuang sampah pada
tempatnya dan memelihara kebersihan agar lebih sehat

11. Pembiayaan yang tidak memadai, mengingat bahwa sampai saat ini
kebanyakan sampah dikelola oleh pemerintah, seharusnya pemerintah
lebih produktif lagi

12. Pengelolaan sampah di masa lalu dan saat sekarang kurang


memperhatikan faktor teknis dan non teknis seperti partisipasi
masyarakat dan penyuluhan tentang hidup sehat dan bersih yang kurang
memadai (Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994).

2.3.4 Hubungan Sampah Terhadap Masyarakat dan Lingkungan Sekitar

Menurut Chandra, Budiman (2006) pengelolaan sampah di suatu daerah


atau tempat akan membawa pengaruh bagi masyarakat maupun lingkungan
daerah itu sendiri. Pengaruhnya tentu saja beraneka ada yang positif dan juga
ada yang bersifat negatif. Pengaruh positif dari pengelolaan sampah ini
terhadap masyarakat dan lingkungan, antara lain sebagai berikut:

a. Sampah dapat dimanfaatkan kembali untuk menimbun lahan semacam


rawa-rawa dan dataran rendah

b. Sampah dapat dimanfaatkan untuk pupuk kandang

c. Sampah dapat juga diberikan untuk makanan ternak setelah menjalani


proses pengelolaan yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk
mencegah pengaruh buruk sampah terhadap ternak yang ada

d. Pengelolaan sampah dapat menyebabkan berkurangnya tempat untuk


berkembang biak serangga atau binatang pengerat

e. Menurunkan insidensi kasus penyakit menular yang buruk berkaitam erat


hubungannya dengan sampah
f. Keadaan estetika lingkungan yang bersih menimbulkan kegairahan hidup
dalam masyarakat

g. Keadaan lingkungan yang baik dapat mencerminkan kemajuan budaya


masyarakat

h. Keadaan lingkungan yang baik akan menghemat pengeluaran dana agar


kesehatan suatu Negara sehingga dana itu dapat digunakan untuk
keperluan lain yang lebih penting lagi.

Sedangkan pengaruh negatif dari sampah yaitu terhadap kesehatan,


lingkungan maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakat, antara lain
sebagai berikut :

1. Pengaruh terhadap kesehatan

a. Pengolahan sampah yang kurang baik akan menyebabkan sampah


sebagai tempat perkembangbiakan sektor penyakit seperti lalat atau
tikus bahkan vektor lainnya

b. nsidensi penyakit Demam Berdarah dengue akan meningkat karena


vector penyakit hidup dan berkembang biak dalam sampah kaleng
maupun ban bekas yang berisi air hujan, karena nyamuk senang
bersarang ditempat yang lembab atau basah

c. Terjadinya sebuah kecelakaan akibat pembuangan sampah secara


sembarangan contohnya luka akibat benda tajam seperti besi, kaca
dan sebagainya

d. Gangguan psikosomatis, misalnya sesak nafas, insomnia, stress dan


lain-lain.

2. Pengaruh terhadap lingkungan sekittar

a. Proses pembusukan sampah oleh mikroorganisme dapat


menghasilkan gas-gas tertentu yang dapat menimbulkan bau busuk
yang menyengat. Pembakaran sampah dapat juga dapat
menimbulkan pencemaran udara dan bahaya kebakaran yang lebih
luas

b. Estetika lingkungan sekitar yang kurang sedap dipandang oleh mata

c. Pembuangan sampah ke dalam saluran pembuangan air akan


menyebabkan aliran air terganggu ataupun tersumbat dan saluran air
akan menjadi dangkal

d. Apabila musim hujan datang, sampah semakin menumpuk dapat


menyebabkan banjir dan dapat mengakibatkan pencemaran pada
sumber air permukaan atau sumur dangkal

e. Air banjir dapat mengakibatkan kerusakan pada fasilitas masyarakat


seperti jalan, jembatan dan saluran air.

3. Pengaruh terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat

a. Pengelolaan akan sampah yang kurang baik mencerminkan keadaan


sosial budaya masyarakat setempat

b. Keadaan lingkungan yang kurang baik dan jorok, dapat menurunkan


minat dan hasrat orang lain (turis) untuk datang berkunjung ke
daerah tersebut

c. Dapat menyebabkan terjadinya perselisihan antara penduduk


setempat dan pengelolaan

d. Angka kasus kesakitan meningkat dan mengurangi hari kerja dan


produktifitas masyarakat semakin menurun

e. Kegiatan perbaikan lingkungan yang rusak memerlukan dana yang


cukup besar sehingga dana untuk sektor lain berkurang
(Suwarto,2016).
2.3.5 Metode Pengolahan Sampah

2.3.5.1 Penerapan prinsip 3-R, 4-R atau 5-R

Prinsip-prinsip yang dapat kita diterapkan dalam penanganan sampah


misalnya dengan menerapkan prinsip 3-R, 4-R ataupun 5-R. Penanganan
sampah 3-R adalah konsep yang baik dalam penanganan sampah dengan cara
Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), Recycle (mendaur
ulang sampah), sedangkan 4-R ditambah Replace (mengganti) mulai dari
sumbernya. Prinsip 5-R selain 4 prinsip tersebut di atas ditambah lagi dengan
Replant (menanam kembali). Penanganan sampah 4-R sangat penting untuk
dilaksanakan dalam rangka pengelolaan sampah padat perkotaan yang efisien
dan efektif, sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pengelolaan sampah
(Sari, 2016).

1. Reduce

Prinsip dari Reduce dilakukan dengan cara sebisa mungkin melakukan


minimalisasi barang atau material yang telah digunakan. Semakin banyak
kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dapat dihasilkan.

Menurut Suyoto (2008) tindakan yang dapat dilakukan berkaitan


dengan program reduce yaiti:

a. Hindari hal dalam pemakaian dan pembelian produk yang


menghasilkan sampah dalam jumlah yang cukup besar

b. Gunakan kembali wadah/kemasan yamg telah digunaka untuk fungsi


yang sama atau fungsi lain

c. Gunakan baterai yang dapat di charge kembali atau dimamfaatkan


kembali

d. Jual atau berikan sampah yang terpilah kepada pihak yang


membutuhkan
e. Ubah pola makan (pola makan sehat : mengkonsumsi makanan segar,
kurangi makanan kaleng/instan) agar menjadi lebij sehat

f. Membeli barang dalam kemasan besar (versus kemasan sachet)-


Membeli barang dengan kemasan yang dapat di daur ulang (kertas,
daun dan lain-lain)

g. Bawa kantong/tas belanja sendiri ketika berbelanja dipasar

h. Tolak penggunaan kantong plastik - Gunakan rantang untuk tempat


membeli makanan - Pakai serbet/saputangan kain pengganti tisu agar
mengurangi sampah

i. Kembali kepemakaian popok kain bagi para ibu yang mempunyai


balita

2. Reuse

Prinsip dari reuse dilakukan dengan cara sebisa mungkin memilih


barang-barang yang bisa dipakai kembali, juga menghindari pemakaian
barang-barang yang hanya sekali pakai saja. Hal ini bakk karena dapat
memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah yang
terbuang saja(Sari, 2016).

Tindakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan program reuse


sebagai berikut:

a. Pilihlah produk dengan pengemas yang dapat didaur ulang kembali

b. Gunakan produk yang dapat diisi ulang (refill)

c. Kurangi penggunaan bahan sekali pakai atau pastik kresek digunakan


untuk tempat sampah

d. Kaleng/baskom besar digunakan untuk pot bunga atau tempat sampah

e. Gelas atau botol plastik untuk pot bibit, dan macam-macam kerajinan
untuk anak-anak
f. Bekas kemasan plastik tebal isi ulang digunakan sebagai tas yang
cantik

g. Styrofoam digunakan untuk alas pot atau lem dan lain-lainnya

h. Potongan kain/baju bekas untuk lap, keset, dan lain-lain

i. Majalah atau buku untuk perpustakaan atau kertas koran digunakan


untuk pembungkus makanan (Sari, 2016).

3. Recycle

Prinsip dari recycle dilakukan dengan cara sebisa mungkin, barang-


barang yang sudah tidak berguna lagi atau tidak dipakai lagi, bisa didaur
ulang kembali. Karena tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat
ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang
memanfaatkan sampah menjadi barang lain atau barang yang bermanfaat
(Sari, 2016).

Menurut Suyoto (2008) tindakan yang dapat dilakukan berkaitan


dengan program recycle yaitu:

a. Mengubah sampah plastik menjadi souvenir yang cantik atau menjadi


kontak pensil untuk anak-anak

b. Lakukan pengolahan sampah organik menjadi kompos atau lainnya


yang lebih bermanfaat

c. Mengubah sampah kertas menjadi lukisan atau mainan miniatur

4. Replace

Prinsip dari replace dilakukan dengan cara lebih memperhatikan barang


yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari juga mengganti barang-barang
yang hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang dapat lebih tahan lama.
Prinsip ini mengedepankan penggunaan bahan-bahan yang ramah dalam
lingkungan seperti mengganti kantong plastik dengan keranjang saat
berbelanja, atau hindari penggunaan styrofoam karena dapat mengandung
zat kimia yang dapay berbahaya bagi tubuh (Sari, 2016).

5. Replant

Prinsip dari replant dapat dilakukan dengan cara membuat hijau


lingkungan sekitar baik dari lingkungan rumah, perkantoran, pertokoan,
bahkan lahan kosong dan lain-lain. Penanaman kembali ini sebagian
menggunakan barang atau bahan yang diolah dari sampah (Sari, 2016).

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional (BSN), 1994, Standar Nasional Indonesia (SNI),


1994, SIN 03-3241-1994, tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi
Tempat Pembuangan Akhir Sampah, Departemen Pekerjaan Umum,
Jakarta.

BAPPENAS. 2011. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta: 10.
Kemenkes. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak. Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.
Jakarta : 4.

Kemenkes RI. 2012. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Kementerian Kesehatan dan
JICA. Jakarta.

http://eprints.undip.ac.id/53775/3/Annisa_Nailis_FR_22010112130136_Lap.K
TI_Bab2.pdf

Ambarwati, et al., 2014. Media leaflet, Video, dan Pengetahuan Siswa SD (Studi
pada Siswa SDN 78 Sabrang Lor, Mojosongo, Surakarta), Jurnal
Kemas. 10 (1): 7 -13. http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas.
ISSN 1858-1196. di akses pada tanggal 1 Juli 2018

Alamsyah, R. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Merokok dan


Hubungannya dengan Status Penyakit Periodontal Remaja di Kota
Medan Tahun 2007. (Thesis). Universitas Sumatera Utara. Medan
Aliansi Pengendalian Tembakau Indonesia, 2013. Peta Jalan Pengendalian
Produk Tembakau Indonesia. Surakarta, Muhammadiyah University
Press.

Andina, 2012. Pengaruh Merokok Terhadap Kesehatan Gigi Dan Rongga Mulut.
Online:http://etd.ugm.ac.id/index.php?
mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&
buku_id=58938&obyek_id=4, di akses tanggal 5 Agustus 2015.

Anggraini, F.D. 2013. Hubungan Larangan Merokok di Tempat Kerja dan


Tahapan Smoking Cessation Terhadap Intensitas Merokok pada
Kepala Keluarga di RT 1, RT 2, RT 4, RT 6, RT 7, RT 11, RT 12, dan
RT 13 Kelurahan Labuhan Ratu Raya Kota Bandar Lampung Tahun
2012. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
An, D.T.M., et.al. 2013. Knowledge of The Health Consequences of Tobacco
Smoking: a CrossSectional Survey of Vietnamese Adult. Glob Health
Action, 6:18707. http://dx.doi.org/10.3402/gha.v6i0.18707
Asiking,Wulandari, dkk., 2016. Hubungan Merokok Dengan Kesehatan Gigi Dan
Mulut Pada Pria Dewasa Di Desa Poyowa Kecil Kecamatan
Kotamobagu Selatan Kota Kotamobagu. ejournal Keperawatan (e-Kp)
Volume 4 Nomor 1, Februari 2016

Fertman, C.I. dan Allensworth, D.D. 2010. Health Promotion Programs from
Theory to Practice. United States of America: Jossey-Bass.
Hariyanto. (2010). Pengertian Remaja Menurut Para Ahli.
http://belajarpsikologi.com/pengertian-remaja/. di akses pada tanggal
23 Februari 2013

Ikhsan, H. 2013. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Bahaya Merokok terhadap


Perilaku Mengurangi Konsumsi Rokok pada Remaja (Studi Kasus di
Dukuh Kluweng Desa Kejambon Kecamatan Taman kabupaten
Pemalang). Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan, 2 (1).
http://www.e-jurnal.com/2013/10/pengaruh-pendidikan-kesehatan-
bahaya.html. di akses pada tanggal 1 Juli 2018

Infopom. (2015). Keracunan Karbon Monoksida.


http://ik.pom.go.id/v2015/artikel/KARACUNAN_KARBON_MONO
KSIDA.pdf di unduh pada tanggal 3 Juni 2016

Infopom. (2014). Remaja, Rokok, dan Tembakau.


http://ik.pom.go.id/v2014/artikel/REMAJAROKOK-Infopom.pdf
diunduh pada tanggal 3 Juni 2016
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). (2016). Rokok. [Internet]. [dikutip pada
06 Juni 2016]. Tersedia pada http://kbbi.web.id/rokok
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Petunjuk Teknis Upaya Berhenti
Merokok.Pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta :
Kementrian Kesehatan RI
Komasari, Dian & Helmi, Avin Fadilla. (2000). Faktor – Faktor Penyebab
Perilaku Merokok Pada Remaja. Jurnal Psikologi, 2000 No. 1, 34 – 37
Jumar, dkk. 2014. Strategi Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Di Kelurahan
Lok Bahu Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda. Jurnal
Administrative Reform, Vol.2 No.1. http://e-
journals.unmul.ac.id/index.php/JAR/article/view/503/456. diakses
pada tanggal 2 juli 2018

Larasaty, E.D. 2009. Obat Anti Rokok Bebas Candu dengan Obat.
http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/common/stofriend.aspx?
x=Health+News &y=cybermed|0|0|61|4121. Di akses pada tanggal 2
Oktober 2014.
Liem, A., 2014. Pengaruh Media Massa, Keluarga, dan Teman terhadap Perilaku
Merokok, Makara Hubs-Asia,18 (1): 41-52.
Lousia,M & Sadikin, Z.D., 2008. Program Berhenti merokok. Majalah
Kedokteran Indonesia. Hal.131-137.
Mardjun, Y. 2012. Perbandingan Keadaan Tulang Alveolar Antara Perokok dan
Bukan Perokok. (Skripsi). Universitas Hasannudin. Makasar.
Muhibah, F.A.B. 2011. Tingkat Pengetahuan Pelajar Sekolah Menengah Sains
Hulu Selangor Mengenaik Efek Rokok Terhadap Kesehatan. (KTI).
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Mustikaningrum, S. 2010. Perbedaan Kadar Trigliserida Darah pada Perokok dan
Bukan Perokok. (Skripsi). Universitas Sebelas Maret. Semarang.
Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka
Cipta. di akses pada tanggal 18 November 2013

Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.


Jakarta : Rineka Cipta
Nurmayunita, Dwi dkk. (2015). Hubungan Antara Pengetahuan, Paparan Media
Iklan Dan Persepsi Dengan Tingkat Perilaku Merokok Siswa SMK.
[Internet]. [diunduh pada : 26 Mei 2016]. Tersedia pada :
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/6173/01_Dw
i%20Nurmayunita.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Octafrida M, D. 2011. Hubungan Merokok dengan Katarak di Poliklinik Mata
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. (KTI).
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Rulyana, Chandra, dkk. 2017. Variasi Konsentrasi EM4 Dalam Proses Pembuatan
Kompos Lindi. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal) Volume 5,
Nomor 5, Oktober 2017 (ISSN: 2356-
3346).https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/19175/
18204. diakses pada tanggal 2 juli 2018

Sabri, Y.S. 2011. Berhenti Merokok. Padang: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Sadikin, Z.D dan Louisa, M. 2008. Program Berhenti Merokok. Jakarta :


Departemen Farmakologi dan Terapeutik, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Salawati, dkk., 2016. Analisis Kebutuhan Untuk Merancang Komik Anak
“Asetaro” (Aku Akan Tetap Sehat Tanpa Asap Rokok), Jurnal
Kemas. 11 (2): 96 – 105.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas. ISSN 1858-1196. di
akses pada tanggal 1 Juli 2018

Saleh, K.N.B. 2011. Prevalensi Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis


(PPOK) dengan Riwayat Merokok di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik (RSUP HAM) Medan Periode Januari 2009 – Desember
2009. (KTI). Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sari, Dian Puspita. (2016). Hubungan Antara Pengaruh Keluarga, Teman, Iklan
Terhadap Perilaku Merokok Di SMP N 6 Wonogiri.[Naskah
Publikasi]. [diunduh pada 31 Mei 2016] tersedia pada :
http://eprints.ums.ac.id/42106/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Sari, Putri Nilam. 2016. Analisis Pengelolaan Sampah Padat di Kecamatan
Banuhampu Kabupaten Agam. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Andalas, 10(2)157-
165.http://jurnal.fkm.unand.ac.id/index.php/jkma/article/view/201/215
. diakses pada tanggal 2 Juli 2018
Satria. (2008). Tahap-tahap Perkembangan Remaja. http://id.shvoong.com.
Diperoleh tanggal 20 Februari 2013

Sudiono, Janti. (2008). Pemeriksaan Patologi Untuk Diagnosis Neoplasma Mulut.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Suwarto, dkk. 2006. Model Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sampah:
Studi Kasus di Kawasan Perumahan Tlogosari, Kota Semarang.
Tesis, Program Pasca Sarjana Magister Pembangunan Wilayah dan
Kota. Inoversitas Diponegoro, Semarang.

Syafiie, R. 2009. Stop Smoking ! Studi Kualitatif Terhadap Pengalaman Mantan


Pecandu Rokok dalam Menghentikan Kebiasaannya. (Thesis).
Universitas Diponegoro. Semarang.
Tharayyah, Nadiah. (2013). Sains Dalam Al – Qur’an. [eBook Google]. Jakarata :
Zaman
Tobacco Control Center Indonesia, 2010. Profil tembakau Indonesia

WHO (World Health Organization), 2012. Improving Health System for tobacco
and oral health: WHO Library Cataloguing-inpublication data.

Widiena, dkk. 2017. Perencanaan Sistem Pengelolaan Sampah Terpadu Studi


Kasus Kelurahan Banyumanik Kecamatan Banyumanik Kota
Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan, Vol. 6, No. 1.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/tlingkungan/article/view/15699
/15180. diakses pada tanggal 2 Juli 2018

Anda mungkin juga menyukai