PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang kompleks. Penyakit ini dapat menularkan kepada masyarakat sekitar yang
ditentukan oleh faktor lingkungan dan imunitas. Hal ini dikarenakan penyakit kusta atau
disebut juga penyakit Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis dan menular
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, sehingga dapat menularkan kepada orang lain.
Penyakit ini dapat berdampak pada kecacatan yang permanen jika tidak ditangani
dengan baik. Tidak hanya bagi segi medis saja, kusta juga berpengaruh terhadap masalah
sosial dan ekonomi (Depkes, 2007). Para penderita kusta akan cenderung kehilangan
produktivitas dalam bekerja. Selain itu, sikap dan perilaku masyarakat yang negatif akan
menyebabkan penderita kusta merasa tidak mendapatkan tempat di keluarga maupun
lingkungan masyarakat (Halim, 2008).
Secara global jumlah kasus baru kusta pada tahun 2015 adalah sekitar 210.758.
Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat diregional Asia Tenggara (156.118) diikuti
regional Amerika (28.806) dan Afrika (20.004), dan sisanya berada diregional lain.
Pada tahun 2000 Indonesia telah mencapai status eliminasi kusta, yaitu prevalensi
kusta <1 per 10.000 penduduk (< 10 per 100.000 penduduk). Setelah itu Indonesia masih
bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relative lambat. Angka prevalensi kusta
di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus per 10.000 penduduk dan angka
penemuan kasus baru sebesaar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa
provinsi yang prevalensinya masih diatas 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi ini
belum bisa dinyatakan bebas kusta dan terjadi di provinsi di Indonesia. Sedangkan pada
anak, selama periode 2013 sampai 2017, angka penemuan kasus baru pada tahun 2013
merupakan tertinggi yaitu sebesar 11,88 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan bebannya, kusta dibagi menjadi 2 kelompok yaitu beban kusta tinggi
(high burden) dan beban kusta rendah (low burden). Provinsi disebut high burden NCDR
(new case detection rate : angka penemuan kasus baru) > 10 per 100.000 penduduk dan
atau jumlah kasus baru lebih dari 1.000, sedangkan low burden jika NCDR <10 per
100.000 penduduk dan atau jumlah kasus baru kurang dari 1.000 kasus.
Pada tahun 2015 sampai 2016 sebanyak 11 provinsi (32,35%) termasuk dalam
beban kusta tinggi . sedangkan 23 provinsi lainnya (67,65%) termasuk dalam beban kusta
rendah. Hampir seluruh provinsi dibagian timur Indonesia merupakan daerah dengan
beban kusta tinggi. Selama periode 2015-2016 Jawa Timur merupakan satu-satunya
daerah di Indonesia dengan angka beban kusta tinggi. Kemudian pada tahun 2017 Jawa
Timur mengalami penurunan menjadi kategori angka beban kusta rendah sehingga hanya
10 provinsi yang termasuk kategori beban kusta tinggi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang kulit, membran
mukosa dan saraf perifer yang disebabkan oleh bakteri aerob dan tahan asam yaitu
Mycobacterium lepra (Soedarto,2002). Penyakit kusta adalah penyakit yang menyerang
kulit dan saraf tepi yang disebabkan oleh bakteri (Chin,2006).
Kusta adalah penyakit bakteri kronis pada manusia yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf perifer dan mukosa kulit. Kusta
apabila tidak didiagnosis dan tidak diobati secara dini dapat mnyebabkan cacat pada
mata, tangan dan kaki.
B. Etiologi dan Patogenesis
Mycobacterium leprae merupakan parasit obligat intraseluler dan terutama berada
pada makrofag. M. leprae mempunyai ukuran panjang 2-7 mikrometer dan lebar 0,3-0,4
mikrometer. M. leprae mempunyai dinding sel yang banyak mengandung lemak dan
lapisan lilin, sehingga mengakibatkan bakteri ini tahan asam. Penentuan M. leprae tahan
asam atau tidak, dengan cara perwarnaan teknik ZiehlNeelsen dengan menggunakan
larutan Karbol Fuhsin, Asam Alkohol dan Metilen Blue.
Mycobacterium leprae mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3
minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh
manusia kemudian membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa inkubasi 2 hingga 5
tahun bahkan lebih. Setelah 5 tahun, tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta
mulai muncul.
M. leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah. Bakteri ini
masuk ke dalam tubuh biasanya melalui system pernafasan. Patogenisitas yang rendah
menyebabkan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi yang menimbulkan tanda-tanda
penyakit. Setelah memasuki tubuh, bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk ke
dalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot, dan sel-
sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Peningkatan jumlah bakteri dalam tubuh dan
infeksi akan memicu system imun berupa limfosit dan histiotit (makrofag) untuk
menyerang jaringan yang terinfeksi. Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul
sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi. Apabila tidak didiagnosis
dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon
imun pasien.
Sistem imun seluler (SIS) memberikan perlindungan terhadap penderita kusta.
Ketika SIS spesifik efektif dalam mengontrol infeksi dalam tubuh, lesi akan menghilang
secara spontan atau menimbulkan kusta dengan tipe pausabasiler (PB). Apabila SIS
rendah, infeksi menyebar tidak terkendali dan menimbulkan kusta dengan tipe
multibasiler (MB). Dalam perjalanan kronis, penyakit dapat timbul peningkatkan respon
imun secara tiba-tiba karena efek pengobatan atau peruabahan status imunitas sehingga
menghasilkan peradangan kulit dan atau saraf serta jaringan lainnya.
C. Epidemiologi kusta
1. Distribusi penyakit kusta di Indonesia menurut geografi
Indonesia berada di peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan
jumlah Penderita Kusta baru pada tahun 2017 mencapai 15.910 Penderita Kusta (angka
penemuan Penderita Kusta baru 6,07 per 100.000 penduduk). Eliminasi Kusta telah
dicapai di 24 provinsi (Gambar 2.1) dan 142 Kab/Kota (Gambar 2.2). Walaupun
demikian, Penderita Kusta masih tersebar di ± 7.548 desa/kelurahan/kampung, mencakup
wilayah kerja ± 1.975 Puskesmas, di ± 341 Kab/Kota di seluruh Provinsi di Indonesia.
E. Pencegahan
Dengan pemberian Kemoprofilaksis Kusta yaitu pemberian obat yang ditujukan
untuk pencegahan Kusta. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada daerah yang memiliki
Penderita Kusta yang tinggi, atau berdasarkan hasil Surveilans di daerah yang memiliki
Penderita Kusta yang rendah pada situasi khusus. Kemoprofilaksis Kusta dilakukan pada
penduduk yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
1) penduduk yang menetap paling singkat 3 (tiga) bulan pada daerah yang memiliki
Penderita Kusta;
2) berusia lebih dari 2 (dua) tahun;
3) tidak dalam terapi rifampisin dalam kurun 2 (dua) tahun terakhir;
4) tidak sedang dirawat di rumah sakit;
5) tidak memiliki kelainan fungsi ginjal dan hati;
6) bukan suspek tuberkulosis;
7) bukan suspek Kusta atau terdiagnosis Kusta;
8) bukan lanjut usia dengan gangguan kognitif.
Pemberian Kemoprofilaksis Kusta dilaksanakan 1 (satu) kali dan dapat diulang
kembali setelah 2 (dua) tahun dari pemberian sebelumnya apabila di antara kontak
serumah/kontak tetangga/kontak sosial ditemukan lagi Penderita Kusta baru.
Kemoprofilaksis Kusta yang diberikan oleh petugas kesehatan wajib diminum langsung
di depan petugas pada saat diberikan.
Dengan matinya bakteri maka sumber penularan dari pasien, terutama tipe MB ke
orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki
dengan MDT. Bila pasien kusta tidak meminum obat secara teratur, maka bakteri kusta
dapat menjadi resisten terhadap MDT, sehingga gejala penyakit menetap bahkan
memburuk. Gejala baru dapat timbul pada kulit dan saraf.