Nomor 001/PUU-IV/2006
Dalam hal ini memberi kuasa kepada Alberth M. Sagala dan Muhyar Nugraha,
SH., Advokat yang tergabung dalam Tim Hukum dan Advokasi, Badrul Kamal
2
dan KH. Shyihabudin Achmad, BA, yang berkantor di Kota Kembang Depok
Raya Sektor Anggrek blok A1 nomor 1 Depok, Telp. 021-9240960 Hp.
0811142469 dan 0811113169, berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 2
Januari 2006 masing-masing bertindak untuk dan atas nama diri sendiri
dan/atau bersama-sama sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota
Kota Depok, peserta Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok Tahun 2005;
DUDUK PERKARA
Keadilan yang dimaksud oleh Gustav Radbruch itu justru bersumber dan
berada diluar sistem hukum Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Jalan
pikiran atau pendapat Gustav Radbruch tidak seharusnya mengenyampingkan
undang-undang. Karena sudah secara tegas dan jelas Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 menyatakan final dan mengikat, yang bersumber dari Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.”, oleh sebab itu perlu pengujian secara formil;
Masalah timbul pada saat terhadap vonnis yang final dan mengikat
tersebut diajukan Peninjauan Kembali dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung,
walaupun secara nyata-nyata, bahwa melakukan peninjauan kembali itu adalah
melanggar peraturan perundangan yang berlaku termasuk peraturan yang
dibuatnya sendiri in casu Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005;
Lebih ironis lagi, para kepala daerah yang sedang bekerja berdasarkan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 akan terganggu,
manakala kepastian hukum khususnya Pasal 106 Undang-undang Nomor 32
Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah dilabrak oleh putusan a quo. Jika hal
ini terjadi, maka pemerintahan tidak akan kondusif mengelola jalannya
pemerintahan dan pada gilirannya akan mengganggu kepentingan bangsa dan
Negara;
karena putusan Mahkamah Agung tersebut nantinya dapat menjadi setara atau
lebih kuat dari sebuah Undang Undang namun tidak bersumber dan tidak sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945..
Hal ini berarti bahwa sesuai dengan Pasal 30 huruf a Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi
harus memeriksa dan memberi putusan atas putusan Mahkamah Agung Nomor
01 PK/Pilkada/2005, karena tidak bersumber dari Pasal 24 ayat (1) Undang
Undang Dasar 1945, melainkan bersumber dari pendapat Gustav Radbruch
sebagai alasan pembenar putusan tersebut.
1. Bukti P-1 : Foto copy Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/
Pilkada/PT.Bdg/2005, tanggal 04 Agustus 2005;
Keberatan;
MENGADILI:
DALAM EKSEPSI :
- Menolak Eksepsi Termohon tersebut;
DALAM POKOK PERK4RA :
- Mengabulkan permohonan dari Pemohon ,- menyatakan bata/hasil perhitungan
suara akhir yang diumumkan oleh KPUD Depok tanggal 6 Juli 2005;
- Menyatakan jumlah perhitungan yang benar adalah:
• untuk calon pasangan Nomor 3 perolehan suara menjadi 69.551
suara;
• untuk calon pasangan Nomor 5 perolehan suara menjadi 201.828
suara;
- Menghukum Termohon untuk membayar ongkos perkara yang
timbul dalam perkara ini sebesar Rp. 200.000.- (dua ratus ribu
rupiah);
MENGADILI
MENGADILI KEMBALI
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dan
terkadang perlu digunakan untuk melakukan koreksi terhadap putusan-
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Ketentuan di atas merupakan
ketentuan umum yang berlaku bagi setiap jenis perkara. Pengecualian atas
ketentuan umum ini harus didasarkan pada norma yang jelas, tegas dan
tidak memuat keraguan;
Pasal 106 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
menyatakan:
"Putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final dalam ketentuan ini adalah
putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum ";
Mengartikan upaya hukum dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (7) UU No. 32
Tahun 2004 dalam arti luas sehingga tercakup ke dalamnya upaya hukum
luar biasa, yang berarti menutup peluang dilakukannya upaya korektif
terhadap Putusan Pengadilan. Menurut hemat Termohon merupakan hal
yang sulit diterima akal sehat mengingat kualitas kepentingan yang
terkandung di dalam perkara sengketa hasil Pilkada bukan semata-mata
kepentingan individu, melainkan terkandung hak-hak politik rakyat yang
dijamin konstitusi, sehingga upaya koreksi terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Bandung melalui upaya peninjauan kembaii harus terbuka;
Bahwa dengan demikian, makna upaya hukum dalam ketentuan Pasal 106
ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 haruslah ditafsirkan secara sistematis
sebagai upaya hukum biasa, artinya terhadap putusan Pengadilan Tinggi
tersebut hanya tertutup untuk upaya banding maupun kasasi.
Konsekuensi hukumnya, maka terhadap putusan a quo masih terbuka untuk
16
1. Penerapan Ketentuan Pasal 106 ayat (1) jo ayat (2) UU No. 32 Tahun
2004 jo.Pasal 94 ayat (1) jo. Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 6
Tahun 2005 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2005.
Mohon perhatian terhadap ketentuan Pasal 106 ayat (1) jo. ayat (2)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan:
Kemudian oleh Panwas Pilkada Kota Depok dikaji, dan apabila laporan
tersebut mengandung unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 115 jo Pasal 116 jo 117 jo 118 UU No. 32 Tahun 2004, diteruskan
ke Penyidik ( Pasal 66 ayat (4) huruf d UU No. 32 Tahun 2004 jo Pasal
111 ayat (5) PP No, 6 Tahun 2005) dan penanganan lebih lanjut
berdasarkan KUHAP, sampai mendapat putusan dari Pengadilan Negeri
setempat (ex Pasal 113 jo Pasal 114 PP No.6 Tahun 2005);
Putusan Pengadilan Negeri itulah yang seharusnya diajukan oleh pihak
Pemohon sebagai bukti yang sah kepada Mahkamah Agung Cq
Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang memeriksa dan mengadili keberatan
hasil penghitungan suara Pilkada Kota Depok tersebut.
2. Penerapan asas bebas dan rahasia (vide Pasal 56 jo Pasal 118 ayat
(1) UU No. 32 Tahun 2004.
Bahwa mohon perhatian, terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi pada alinea ke-satu dan kedua hlm 64, yaitu :
Menimbang bahwa dari surat bukti diatas jumlah suara yang hilang
(penggembosan) untuk calon pasangan No. 3 adalah sebanyak 62.770;
22
- Bukti P.16
Suara Pernyataan warga sebanyak 183 warga pendukung
pasangan calon No. 3. tidak dapat memilih karena tidak dapat kartu
pemilih dan tidak dapat surat undangan sebagaimana dijelaskan
oleh saksi Mohamad Hasan;
- Bukti P.17
Tim Pencari Fakta BKSA menemukan di Kecamatan Pancoran Mas
Depok antara lain ada 60.919 orang yang tidak menggunakan hak
pilihnya yang merupakan pendukung calon No.3: (catatan Pemohon
PK : BKSA adalah kependekan dari Badrul Kamal — Syihabuddin
Ahmad);
- Bukti P. I8
Keluhan dari warga Depok Ernawati yang menyatakan orang
warga Pancoran Mas Depok tidak mendapat surat undangan,
sehingga tidak jadi memilih padahal keempatnya pendukung No. 3;
- Bukti P.29
597 warga Kelurahan Sukatani, Kecamatan Cimanggis, pendukung
calon No. 3, tidak mendapat kartu pemilih dan tidak mendapat surat
pemberitahuan dari Panitia bahwa mereka bisa dapat surat
undangan sehingga tidak bisa menggunakan hak pilihnva;
- Bukti P.30.
755 warga Kelurahan Jatijajar tidak diberi kartu pemilih dan surat
pemberitahuam dikarenakan mereka diketahui adalah pemilih dan
pendukung pasangan calon No. 3;
- Bukti P. 31
221 warga Kelurahan Sukamaju Baru Cimanggis sengaja tidak
mengijinkan memilih karena diketahui mereka adalah pendukung
dan pemilih pasangan calon Nomor urut 3;
- Bukti P.32
84 warga di Kelurahan Abadi Java Kecamatan Sukma Jaya, warga
pendukung calon No. 3 yang tidak dapat kartu pemilih dan tidak
dapat surat undangan;
23
- Bukti P.33
Di TPS 06 25 warga Kelurahan Batujajar. Kecamatan Cimanggis
tidak dapat surat undangan mencoblos pada Pilkada Depok 2005,
karena diketahui sebagai pendukung pasangan calon No.3;
orang lain. Di samping itu tata cara pemberian suara juga telah
dilanggar;
• Bukti P.23.
Ditemukan kartu pemilih fiktif 18 orang, tidak terdaftar di DPT
menggunakan kartu pemilih dan C6 orang yang meninggal
dunia dan mencoblos untuk calon No. 5;
• Bukti P.24.
767 orang diijinkan ikut mencoblos pasangan calon Nomor 5
walaupun hanya pakai kartu fiktif;
• Bukti P.25.
di Kelurahan Beji Kecamatan Beji terdapat 26.936 orang di 11
Kecamatan yang tidak terdaftar di DPT. maupun di TPS yang
bersangkutan tetap ikut mencohlos untuk penggelembungan
suara bagi pasangan calon Nomor 5:
26
• Bukti P.26.
5 suara untuk calon pasangan calon No. 5. di Kelurahan
Pangasinan Kecamatan Sawangan Depok-Jawa Barat tanpa
KP7 Depok, tapi orang berasal dari luar Kota Depok mencoblos
No.5;
• Bukti P.34.
20 pendukung calon Nomor 5 tidak punya Kartu Pemilih hanya
dapat Kartu undangan dan bisa ikut mencoblos;
• Bukti P.35.
4 orang yang punya KTP DKI ikut mencoblos di Depok untuk
calon No. 5;
2. Bahwa mengacu kepada sistem hukum yang berlaku dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), putusan Mahkamah Agung No. 01 PK/PILKADA/
2005 tanggal 16 Desember 2005, adalah merupakan undang-undang baru
yang dibuat dan diberlakukan Mahkamah Agung terkait dengan
penyelenggaraan Pilkada/Pilwakada, khususnya menyangkut proses hukum
perkara sengketa hasil Pilkada/Pilwakada;
Demikian kami sampaikan keterangan tertulis ini dengan harapan menjadi bahan
pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan a quo
Pemohon;
Selanjutnya, dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasan. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang
adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. Dengan
demikian harus disimpulkan dan oleh karenanya tidak bisa ditafsirkan lain
bahwa undang-undang yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi
untuk mengadilinya adalah undang-undang yang dibentuk oleh DPR dalam
melaksanakan fungsi legislasi, dan undang-undang tersebut harus sudah
diundangkan.
Perlu juga Kami tandaskan, bahwa sistem hukum nasional Indonesia yang
mengacu pada sistem hukum Eropa Continental (Civil Law) berbeda dengan
36
sistem hukum di Amerika, Inggris dan semua negara bekas jajahannya yang
menganut sistem hukum Anglo Saxon. Perbedaan ini nampak dalam tempat,
kedudukan dan peran daripada Yurisprudensi. Dalam sistem hukum nasional
Indonesia, Yurisprudensi bukan merupakan undang-undang karena
yurisprudensi merupakan keputusan yang baru memiliki kedudukan sebagai
referensi (sumber hukum) bilamana telah menjadi yurisprensi tetap (paste
yurisprudensi). Namun hal itupun dapat, berubah sesuai dengan
perkembangan jaman, perubahan perkembangan, pemikiran hukum di
Mahkamah Agung. Berbeda halnya dengan sistem hukum Anglo Saxon yang
mengenal prinsip judge made law, yaitu hukum yang dibuat oleh hakim,
yurisprudensi memegang kedudukan dan peranan sebagai undang-undang.
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi". Oleh karena itu, produk dari Mahkamah Agung tidak
bisa diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,
Termohon berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili
permohonan Pemohon.
Pasal 51 ayat (1) UU MK pada pokoknya menyatakan bahwa Pemohon yang dapat
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang
diatur dalam UUD 1945. Hak konstitusional warga negara Indonesia yang ditentukan
dalam UUD 1945 antara lain tercantum dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A sampai
dengan Pasal 28J, Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1) dan (2), Pasal 32, Pasal 33
dan Pasal 34;
Selanjutnya Pemohon menyebutkan bahwa "Lebih ironis lagi, para. kepala daerah yang
38
sedang bekerja berdasarkan undang--undang Nomor 32 Tahun 2004 j.o. Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 j.o. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 akan terganggu,
manakala kepastian hukum khususnya Pasal 106 undang--undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang
Pemerintahan Daerah dilabrak oleh putusan a quo. Jika hal ini terjadi, maka pemerintahan tidak akan
kondusif mengelola jalannya pemerintahan dan pada gilirannya akan mengganggu kepentingan
bangsa dan negara".
4.Dengan mempertimbangkan:
4.1. Bahwa putusan uji materiil Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dalam
bentuk putusan MA No.01 PK/PILKADA/2005 telah mempunyai
kekuatan hukum mengikat sejak diberlakukan tanggal 16 Desember
2005.
4.2. Bahwa putusan uji materiil Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dalam
bentuk putusan MA No.01 PK/PILKADA/2005 secara formil dan
materiil telah menggeser dan/atau telah mengganti ketentuan Pasal
106 ayat (5) dan ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004.
4.3. Bahwa putusan uji materiil Undang-undang No. 32 Tahun 2004 dalam
bentuk putusan MA No.01 PK/PILKADA/2005, telah diakui secara
resmi oleh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan pusat
dan daerah seperti:
a. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia (Mendagri) dengan
menerbitkan Surat Keputusan Pengangkatan dan Pengesahan
Pasangan Calon Terpilih Pilkada Kota Depok Tahun 2005 atas
nama Dr. Ir. Nur Mahmudi IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra
sebagai Walikota dan Wakil Walikota Depok.
b. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat (Gubernur) yang
merespon SK Mendagri dengan mengirim radiogram kepada
Pemkot dan DPRD Kota Depok tentang persiapan pelantikan
Walikota dan Wakil Walikota Depok terpilih atas nama Dr. Ir. Nur
Mahmudi IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra.
c. Pemerintah Kota Depok dan DPRD Kota Depok yang merespon
SK Mendagri tersebut dengan menyiapkan acara pelantikan
Walikota dan Wakil Walikota Depok atas nama Dr. Ir. Nur Mahmudi
IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra.
d. Lembaga Kepolisian Resort Metro Depok beserta Muspida Depok
yang merespon SK Mendagri tersebut dengan mempersiapkan
pengamanan acara pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Depok
atas nama Dr.Ir. Nur Mahmudi IsmailIsmail dan Drs. Yuyun
Wirasaputra.
e. Sejumlah Ormas, LSM, OKP yang merespon SK Mendagri tersebut
dengan turut mempersiapkan pengamanan acara pelantikan
y
42
Walikota dan Wakil Walikota Depok atas nama Dr.Ir. Nur Mahmudi
IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra.
f. Sejumlah media massa yang telah menyebarluaskan jadwal acara
pelantikan Walikota dan Wakil Walikota Depok atas nama Dr.Ir.
Nur Mahmudi IsmailIsmail dan Drs. Yuyun Wirasaputra.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka Panitia
Pengawas Pilkada (Panwasda) Kota Depok telah menetapkan keyakinan bahwa
Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005 Tanggal 16 Desember
2005 dengan amar putusan mengabulkan pengajuan permohonan upaya hukum
Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final dan
mengikat adalah ketentuan hukum baru hasil uji materiil Mahkamah Agung
terhadap ketentuan Pasal 106 ayat (5) dan ayat (7) Undang-undang No. 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Dan oleh karena ketentuan hukum
baru yang diciptakan Mahkamah Agung tersebut telah menggeser dan
menggantikan ketentuan Pasal dan ayat sebuah undang-undangt maka
kedudukan hukum baru itu sejajar dan/atau lebih tinggi dari undang-undang
yang direvisinya.
kedudukan hukum yang sah menurut hukum tata negara sebagai pihak dalam
perkara ini.
- bahwa Pemohon yang diputus menang oleh Pengadilan Tinggi berhak
mengajukan uji materil agar proses selanjutnya tidak merugikan atau menyimpang
dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
1. PENGERTIAN YURISPRUDENSI
Saya dapat memahami pendapat Tim Ahli Pihak Terkait, khususnya pendapat
Denny lndrayana dengan catatan sebagai berikut :
a. Suatu keputusan Mahkamah Agung dapat disebut yurisprudensi,
apabila keputusan Mahkamah Agung mengenai sesuatu materi
tersebut telah dirunut, dipakai sebagai acuan keputusan-keputusan
Mahkamah Agung mengenai materi yang sama paling sedikit 5(lima)
keputusan Mahkamah Agung. Lebih banyak kali iebih mapan sehingga
menjadi yurisprudensi tetap, dan sebagai sumber hukum
b. Secara formal memang kurang yang berpendapat bahwa eksistensi
dan derajad serta kekuatan hukumnya sama dengan undang-undang,
namun secara substantif Ahli berpendapat dapat disamakan, setelah
merupakan atau menjadi sumber hukum.
c. Sementara itu perlu kiranya dikemukakan bahwa apabila yurisprudensi
hanya mengenai atau menyangkut dan mengikat subyek hukum
tertentu, satu subyek hukum saja. Sedangkan UU menyangkut dan
mengikat secara umum.
47
4. HAK MENGUJI
a. MA berhak melakukan uji materiel peraturan perundang-undangan
dibawah UU terhadap UUD.
b. MK berhak melakukan uji materiel UU terhadap UUD.
c. Hak menguji materiel berkaitan denga materi muatan peraturan
perundangan.
d. Hak menguji formai berkaitan dengan kewenangan badan/lembaga
pembentuknya.
Mahkamah Agung tersebut, dan itu bukan semangat yang diinginkan oleh
undang-undang dasar;
- Argumen diatas menguatkan pikiran Ahli bahwa Mahkamah Konstitusi
tidak berwenang untuk menguji permohonan tentang pengujian
yurisprudensi putusan Mahkamah Agung dalam Pilkada Depok terhadap
Undang-Undang Dasar 1945;
- Ahli berpendapat Mahkamah Agung adalah penginterpreter undang-
undang. Kalau Mahkamah Konstitusi merupakan the guardian the
constitution bisa mengartikan apa itu undang-undang dasar, maka
Mahkamah Agung pada tingkat level tertentu diberi kewenangan untuk
mengartikan, menginterpretasikan undang-undang. Mahkamah Agung
menguji undang-undang terhadap undang-undang yang ada di bawahnya,
arrtinya dia mempunyai hak untuk menginterpretasikan apa itu artinya final.
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, bahwa Mahkamah Konstitusi
dalam Pilpres putusannya final, memang demikian yang diartikan oleh
undang-undang Pemilu, tetapi kata final dalam undang-undang Pilkada
yang bisa menginterpretasikan adalah Mahkamah Agung. Putusan
Mahkamah Konstitusi sendiri telah mengatakan Pilkada memang ranahnya
pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memang
memberikan solusi, dispute, penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah
Agung;
- Putusan Mahkamah Agung yang sudah direspon oleh lembaga negara,
pemerintahan daerah, dan sudah memiliki hukum mengikat yang diikuti
oleh Mendagri, Gubernur dan DPRD, hal tersebut tidak bukan merupakan
yurisprudensi. Yurisprudensi bukan diikuti oleh para pejabat-pejabat
tersebut, namun diikuti oleh lembaga peradilan. Pejabat wajib mengikuti,
tunduk kepada Mahkamah Agung, hal itu dalam bentuk penghormatan
terhadap hukum sebagai lembaga paling tinggi dalam proses peradilan;
- Putusan peninjaun kembali Mahkamah Agung dalam Pilkada Depok, tidak
bisa disipkan dalam aturan baru dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004. Bahwa Mahkamah Agung telah menginterpretasi Pasal 106 ayat (7)
yang menyebutkan “final dan mengikat”. Undang-Undang Dasar 1945 telah
memberikan dua proses judicial revie, yaitu pengujian undang-undang
terhadap UUD adalah merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.
53
I. Posisi Kasus
Tim Hukum dan Advokasi Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok Drs.
Badrul Kamal, MM dan KH. Syihabudin Ahmad, BA melalui surat tanggal 08
Januari 2006 mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
UUD 1945. Yang menjadi obyek permohonan pengujian adalah Putusan
Mahkamah Agung No. 01 PK/Pilkada/2005;
Argumentasi Pemohon menyangkut obyek permohonan pengujian adalah
pada saat putusan Mahkamah Agung nomor 01/PK/Pilkada/2005 menjadi
yurisprudensi maka kekuatannya dan kedudukannya setara dengan undang-
undang atau bahkan lebih tinggi dari undang-undang dengan cara
menunjuk/merujuk yurisprudensi itu dan menyampingkan undang-undang.
Dengan titik tolak ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 seperti yang
dikutip di atas, isu utama adalah :
Apakah Putusan Mahkamah Agung (no. 01 PK/Pilkada/2005) adalah
undang-undang dalam konteks Pasal 24C ayat (1) UUD 1945?
Berdasarkan isu hukum tersebut, dua pertanyaan hukum terkait adalah :
1.Apakah konsep undang-undang menurut ketentuan UUD 1945?
2.Apakah putusan Mahkamah Agung termasuk kategori undang-undang
menurut sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan apakah putusan
Mahkamah Agung termasuk konsep undang-undang dalam konteks Pasal
24C ayat (1) UUD 1945?
III. Analisis
Langkah analisis dilakukan dengan pendekatan konseptual untuk
menjelaskan konsep undang-undang dalam konteks Pasal 24C ayat (1) UUD
1945. Langkah ini dilakukan dengan analisis isi undang-undang dasar
(analysing the context).
Pendekatan perbandingan digunakan untuk menjelaskan apakah
putusan Mahkamah Agung termasuk obyek pengujian konstitusionalitas oleh
Mahkamah Konstitusi.
Pertanyaan satu: apakah konsep undang-undang menurut ketentuan
UUD 1945?
1 ..........................
4b .........................
5
(2)The Federal Constitutional Court shall Edson rule on any other
cases referred to by federal legislation.
IV. Kesimpulan
Analisis atas isu hukum dengan dua pertanyaan tersebut melahirkan
kesimpulan bahwa konsep undang-undang dalam sistem ketatanegaraan kita
adalah legislation. Oleh karena itu makna undang-undang dalam konteks
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 haruslah didasarkan pada ketentuan Pasal 20
ayat (1) UUD 1945, yaitu legislation. Dengan demikian putusan Mahkamah.
Agung sebagai judicial decision jelas bukan undang-undang dalam konteks
ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang menguji konstitusionalitas putusan Mahkamah
Agung (No. 01 PK/Pilkada/2005).
adalah keputusan yang tidak dapat dilakukan upaya hukum lagi, baik upaya
hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa. Hal ini adalah rumusan yang
disepakati dengan suara bulat oleh Pansus Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, yang disetujui dengan suara bulat oleh Rapat Paripurna DPR RI.
Sehingga, upaya melakukan perlawanan hukum melalui PK (peninjauan
kembali) adalah bertentangan dengan prinsip dasar penyelesaian
sengketa Pilkada berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
PERTIMBANGAN HUKUM
menolak untuk mengadili suatu perkara, lagi pula untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus permohonan, Mahkamah harus menyelenggarakan persidangan
dalam rangka proses persidangan yang jujur dan adil (processual fairness, een
goede process);
• Bahwa dalam pemeriksaan suatu permohonan tidak jarang masalah
kewenangan Mahkamah berhimpitan dengan masalah kedudukan hukum
(legal standing) Pemohon, sehingga kedua hal tersebut baru dapat ditentukan
setelah memeriksa hubungannya satu dengan yang lain atau bahkan setelah
menghubungkannya dengan pokok perkara;
1. Kewenangan Mahkamah
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945) dan Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UUMK juncto Pasal 12 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358, selanjutnya
disebut UU Kekuasaan Kehakiman), Mahkamah memiliki kewenangan sebagai
berikut:
a. menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945;
61
ayat (7) UU Pemda dan tidak menyangkut kewenangan Mahkamah dan legal
standing Pemohon, maka Mahkamah tidak mempertimbangkannya lebih lanjut;
Menimbang pula bahwa Pihak Terkait KPU Kota Depok telah memberikan
keterangan lisan dan tertulis yang intinya menolak dalil-dalil Pemohon dan
menyatakan Mahkamah tidak berwenang mengadili permohonan a quo, serta
Pemohon tidak memiliki legal standing. Keterangan lengkap KPU Kota Depok
seperti tercantum dalam uraian mengenai Duduk Perkara dan selain itu KPU Kota
Depok juga mengajukan keterangan tertulis ahli Prof. Dr. RM. Sudikno
Mertokusumo, S.H. yang pada pokoknya sebagai berikut:
• Undang-undang merupakan produk lembaga legislatif yang bersifat
abstrak/umum, berlaku umum menurut waktu, umum menurut tempat, dan
umum menurut orang, sedangkan putusan pengadilan bersifat individual konkrit
yang hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan;
• Dari tata urutan sumber hukum kedudukan undang-undang lebih tinggi dari
pada putusan pengadilan;
• Upaya hukum terhadap putusan pengadilan hanya ada tiga cara yaitu banding,
kasasi, dan peninjauan kembali; putusan pengadilan tidak dapat dilakukan
judicial review;
Menimbang pula bahwa Pihak Terkait Nur Mahmudi Ismail dan Yuyun
Wirasaputra melalui kuasa hukumnya mengajukan keterangan lisan dan tertulis
yang selengkapnya tercantum dalam uraian mengenai duduk perkara, tetapi pada
pokoknya menolak dalil-dalil Pemohon, serta meminta Mahkamah menyatakan
tidak berwenang mengadili permohonan a quo dan Pemohon tidak memiliki legal
standing. Selain itu, pihak terkait juga mengajukan 2 (dua) orang ahli yang
memberikan keterangan lisan di bawah sumpah dan seorang ahli yang
memberikan keterangan tertulis sebagai berikut:
1. Topo Santoso, S.H., M.H. memberikan keterangan lisan di bawah sumpah
yang pada intinya menyatakan bahwa yurisprudensi tidak sama dengan
64
MENGADILI
Bahwa hak warga negara untuk menjadi walikota dan wakil walikota adalah
hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang
menyebutkan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.”
dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan
hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
(3) Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.
(4) Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
diterimanya permohonan keberatan oleh Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi/
Mahkamah Agung.
(5) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat final
dan mengikat.
(6) Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi
untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota.
(7) Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) bersifat
final.”
Dalam penjelasan Pasal 106 UU Pemda, disebutkan, “Ayat (1) cukup jelas; Ayat
(2) cukup jelas;
Ayat (3) dalam hal daerah tersebut belum terdapat pengadilan negeri, pengajuan
keberatan dapat disampaikan ke DPRD;
Ayat (4) cukup jelas; Ayat (5) cukup jelas; Ayat (6) cukup jelas;
Ayat (7) putusan pengadilan tinggi yang bersifat final dalam ketentuan ini adalah
putusan pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak
bisa lagi ditempuh upaya hukum.
Bahwa walaupun nampak terdapat ketidakkonsistenan perumusan Pasal
106 ayat (5) UU Pemda yang menyebutkan putusan MA bersifat final dan
mengikat, sedangkan pada ayat (7) menyebutkan putusan pengadilan tinggi
bersifat final; saya berpendapat hal tersebut tidak menyebabkan adanya
ketidakpastian hukum karena dalam penjelasannya disebutkan putusan
74
pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi
ditempuh upaya hukum;
Bahwa dari surat-surat bukti yang diajukan yang berupa Salinan Putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.BDG
tanggal 04 Agustus 2005 dan Salinan Putusan MA Nomor 01 PK/PILKADA/2005
tanggal 16 Desember 2005, ternyata Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung
dalam memutuskan sengketa a quo didasarkan atas alat-alat bukti yang
berkenaan dengan teknis dalam penyelenggaraan pemilihan, yang untuk
memeriksa dan memutuskan bukan menjadi wewenang MA maupun pengadilan
tinggi sebagai penerima delegasi wewenang untuk memutuskan sengketa hasil
penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 106 UU Pemda tersebut di atas;
sengketa hasil penghitungan suara Pilkada Kota Depok Tahun 2005 sesuai
wewenang yang diberikan oleh ketentuan Pasal 106 UU Pemda a quo.
Yang menjadi pertanyaan pertama yang harus dijawab, apakah dengan analogi
yang diutarakan pemohon tentang kedudukan putusan MA sebagai jurispudensi
benar setara dengan UU, karenanya menjadi tunduk pada wewenang pengujian
MK?
Interpretasi UUD sebagai hukum dasar merupakan tugas yang wajar dan khas
dari MK. Karenanya terletak pada mereka untuk menentukan artinya maupun
untuk menentukan arti dari tindakan tertentu yang dibuat badan atau lembaga
Negara. Jikalau terjadi perbedaan yang tidak dapat diperdamaikan, maka MK yang
memiliki kewajiban secara absah, harus menentukan bahwa yang lebih tinggi
harus diutamakan. Dengan kata lain Konstitusi harus diutamakan, dan maksud
atau kehendak rakyat harus lebih utama daripada wakilnya. MK mendasarkan
putusannya pada hukum dasar. Fungsi utama MK untuk mengawal UUD l945
78
Tugas dari pada satu Pemerintah yang dibentuk rakyat, menurut UUD 1945
adalah melindungi segenap bangsa, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban
dunia, dalam satu Negara RI yang berdasar hukum yang berkedaulatan rakyat dan
didasarkan Pancasila. Ketentuan UUD 1945 yang jelas, maupun pembukaan
UUD, yang membentuk sejumlah prinsip-prinsip umum, akan merupakan batu
ujian yang harus digunakan MK dalam menjalankan fungsi utamanya untuk
menegakkan Konstitusi dan prinsip Negara hukum, dalam rangka menjaga agar
Konstitusi dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak
rakyat. Oleh karena tugas dan fungsi utama MK yang demikian, kewenangan MK
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU 24
tahun 2003 tentang MK, harus ditafsir dalam semangat pembukaan dan prinsip
perlindungan Konstitusi yang dapat ditarik dari UUD 1945, sehingga keluhan atau
gugatan atas sikap, perlakuan dan putusan setiap lembaga Negara yang
mendapat mandat dari UUD, yang didalilkan melanggar hak-hak dasar (basic
rights/fundamental rights) dan prinsip yang dimuat dalam UUD harus boleh diuji,
79
apakah yang dilakukan lembaga Negara tersebut sesuai atau menyimpang dari
kehendak rakyat yang dirumuskan dalam Konstitusi, agar pelayan tidak menjadi
lebih besar dari majikannya. Karenanya kami melihat bahwa individual
constitutional complaint seperti permohonan a quo merupakan upaya hukum yang
luar biasa yang harus disediakan bagi orang/perorangan untuk mempertahankan
hak-hak konstitusionalnya, tapi juga dengan tujuan untuk memelihara Hukum
(Tata Negara) secara objektif melalui interpretasi dalam pengembangannya.
Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24/2003 juncto Pasal
51 ayat (1) UU 24/2003, yang memberi legal standing pada perorangan
mengajukan pengujian konstitusionalitas UU, sesungguhnya harus ditafsir
termasuk pengujian perbuatan lembaga Negara yang menjalankan UU yang
melanggar hak dasar yang kemudian menimbulkan kerugian Konstitusi bagi
perorangan dan masyarakat, karena legal standing bagi perorangan untuk menguji
UU, tidak banyak ditemukan dalam UUD maupun UU tentang MK di banyak
Negara di dunia, tapi memberikan kepada perseorangan legal standing untuk
menggugat pelanggaran hak-hak dasar (basic rights) yang diatur Konstitusi, yang
dikeluhkan telah dilakukan dalam lembaga-lembaga negara baik eksekutif,
legislatif maupun judikatif.
********
KETUA,
ANGGOTA-ANGGOTA
PANITERA PENGGANTI
Sunardi, S.H.