Anda di halaman 1dari 46

Kata Pengantar

Materi ajar untuk Sejarah Filsafat Barat Medioevo (Abad


Pertengahan) dalam bahasa Indonesia masih amat minim. Hal
itu merupakan kekurangan besar bagi mahasiswa-mahasiswi
yang berkeinginan mempelajari sejarah pemikiran filsafat baik
yang berkembang selama Abad Pertengahan maupun yang
muncul kemudian.
Kita sudah sering mendengar tuduhan dan prasangka dari
pihak-pihak yang mengambil posisi tertentu terhadap sejarah
pemikiran dan situasi kehidupan Abad Pertengahan. Mereka
berpendapat bahwa Abad Pertengahan merupakan suatu abad
kegelapan dan ajarannya berciri obscurantis, karena hanya
menampilkan upaya sistematis untuk membenarkan iman dan
melegitimasi kekuasaan Gereja. Namun, apakah tuduhan dan
prasangka ideologis tersebut memiliki landasan dan bukti yang
dapat dipertanggung-jawabkan?
Untuk mengatasi kekurangan besar dalam materi ajar dan
sekaligus memberi konteks sejarah secara lebih obyektif, maka
diupayakan untuk menerjemahkan dan menyadur dua buah
buku yang sangat berbobot tentang sejarah pemikiran Abad
Pertengahan. Kedua buku tersebut adalah La filosofia nel
Medioevo. Dalle origini patristiche alla fine del XIV Secolo,
(Firenze: La Nuova Italia, 1998 ) karya Etienne Gilson dan
Storia della Filosofia, Vol. II: La filosofia mediovale, (Milano:
TEA, 1995) karangan Nicola Abbagnano. Kedua karya ini
menjadi bahan dasar bagi materi ajar ini. Selain itu, bahan ajar
ini dilengkapi dengan dua karya lain yang tak kalah berbobot,
yaitu History of Philosophy, Vol. II-III, (New York dll: Image
Books, 1993) buah pena P Frederick Copleston, SJ dan Storia
della Filosofia, (Brescia: La Scuola, 1966) seorang pemikir
kondang Italia, Vittorio Mathieu.
Semoga bahan ajar ini bermanfaat bagi mahasiswa untuk
memahami dan menggali ide-ide orisinil dan besar dari para
pemikir Abad Pertengahan serta membantu siapa saja untuk
mengetahui secara lebih mendalam dan obyektif alam berpikir
Abad Pertengahan dan menyadari sumbangsih mereka bagi
pemikiran modern kontemporer.

Dr. Valentinus, CP
Malang, 23 Februari 2017
Pesta St. Polikarpus

2
Bab I
Periode Greco-Romano & Patristik

Bangsa Yunani klasik merupakan soko guru filsafat dan


pengaruhnya akan terus dirasakan oleh manusia sepanjang
jaman. Bangsa Yunani merupakan kalangan yang pertama-
tama memulai dan mewujudkan filsafat sebagai sebuah
pencaharian, penelitian, pendalaman dan pencaharian terhadap
realitas secara rasional dan otonom. Rasional berarti bahwa
dasar dan hukum pencaharian filosofis adalah rasio itu sendiri.
Filsafat Yunani klasik telah membuktikan bahwa filsafat
merupakan sebuah pencaharian dan pencaharian memuat serta
mengandaikan kebebasan atau otonomi. Kebebasan memuat
arti bahwa metode dan tujuan yang dipergunakan dalam
permenungan, pencaharian dan pencaharian realitas dinilai dan
ditentukan oleh dan dalam permenungan dan pencaharian
tersebut tanpa campur tangan otoritas lain.
1.1.Filsafat Yunani & Kekristenan
Kemunculan agama kristen membawa sebuah arah baru
dalam filsafat, karena an sich membawa iman-kepercayaan.
Kepercayaan tersebut merupakan penerimaan terhadap
rangkaian kebenaran yang bertumpu pada wahyu. Agama
merupakan suatu institusi yang mendasarkan diri pada
kepercayaan akan kebenaran yang diterima manusia berkat
kesaksian dari otoritas yang lebih tinggi. Dalam konteks ini
agama kristen muncul sebagai agama wahyu yang lahir dari
Yesus yang mengajarkan penebusan, penyelamatan dan kasih.
Ajarannya lebih sebagai jalan, suatu jalan menuju Allah yang
mesti diwujud-nyatakan dalam kehidupan nyata daripada
sebuah doktrin atau sistim pemikiran abstrak. Agama kristen
memperhatikan baik teori maupun praktek dari ajaran-
ajarannya.
Pada fase permulaan kekristenan terdapat dua sikap yang
saling bertentangan tentang pemikiran filsafat, a) menolak dan
memvonisnya sebagai “kebijaksanaan kafir” yang an sich
bertentangan, bahkan mengancam iman kristen; b) menerima,

3
mengolah dan mengintegrasikannya dengan kekristenan guna
melindungi, membela dan mengelaborasikan iman kristiani.
Sikap mendua ini terus berlangsung dan dinyatakan dalam dua
terminologi yang berciri oposisional: filsafat dan kekudusan
guna menggambarkan perbedaan substansial tentang visi misi
terhadap dunia. Filsafat digunakan untuk menjelaskan konsep
semesta/dunia yang dielaborasi oleh kaum non-kristiani atau
aktivitas tanpa bantuan iman kristen, sedangkan kekudusan
menunjukkan konsepsi tentang alam semesta yang digagas
oleh Bapa-bapa Gereja berdasarkan terang iman dan rivelasi
kristiani.
Perbedaan konsepsi tentang filsafat dan iman kristen
mengalir dari persepsi yang keliru tentang makna dan peran
kedua bidang tersebut dalam keseluruhan hidup manusia. Bagi
kalangan filosof, sepintas lalu agama tampak mengucilkan
peran pencaharian, penelisikan dan penelitian dalam proses
beragama dan mengambil sikap yang berlawanan dengan
filsafat karena mendasarkan diri pada penerimaan kebenaran
yang diberikan dari atas. Namun, kebenaran dari atas itu
memberikan ruang terbuka bagi pendalaman dan pencaharian
yang tulus dan jujur.
Pada saat orang-orang mulai mempertanyakan makna
kebenaran wahyu, bertanya tentang cara memahaminya secara
tepat dan mengupayakannya supaya mendarah daging, maka
dari pertanyaan demikian akan menimbulan pencaharian dan
penelisikan. Tuntutan untuk makin mendekatkan diri dengan
kebenaran wahyu, memahami arti dasariahnya agar sanggup
menghayatinya dengan baik dapat dilaksanakan secara
memuaskan hanya dengan pencaharian filosofis. Jadi,
pencaharian filosofis lahir dari kodrat kebenaran wahyu yang
diarahkan kepada manusia dan tuntutan manusia untuk
memahaminya secara penuh dan utuh.
Bagi kalangan agamawan, filsafat Yunani merupakan
semacam kebijaksanaan yang melulu bersifat manusiawi dan
bertumpu pada lumen rationis belaka, sehingga secara prinsipil
tidak memiliki daya penyelamatan, daya penebusan dan
pengharapan sejati. Maka, mereka beranggapan bahwa filsafat

4
mesti dihindari sejauh mungkin supaya penghayatan iman
terhindar dari kerancuan, kekaburan dan kesesatan.
Berkat semakin banyak kalangan cerdik pandai fasik yang
memeluk iman kristen peran filsafat dalam pemikiran kristiani
perlahan-lahan bertumbuh dan berkembang. Para pemikir baru
ini mencoba menjelaskan iman kepercayaan kristen melawan
kelompok nonkristen yang bersikap curiga dan menghina
dengan menggunakan argumentasi filosofis dan argumen-
argumen filsafat Yunani. Perlahan tapi pasti filsafat semakin
menancap dalam mentalitas para pemikir kristen di masa-masa
berikutnya.

1.2. Karakter Pemikiran Patristik Abad I-II


Ketika agama kristen mulai tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat, timbul kecurigaan dan permusuhan dari
berbagai pihak, baik dari kalangan Yahudi dan otoritas politik
maupun kaum terpelajar dan penulis non-kristen. Beberapa
serangan yang dilancarkan kepada kaum kristiani berasal dari
ketidaktahuan, kecurigaan, ketakutan atas sesuatu yang tidak
diketahui, kekeliruan dalam memahami ajarannya maupun
bersifat teoretis dan berlatar belakang filosofis.
Guna menjawab serangan, hinaan dan tuduhan kelompok
nonkristen, kalangan pemikir kristen dipaksa mengerahkan
segenap kemampuan untuk menjawabnya. Dalam arti bahwa
argumentasi filosofis dimanfaatkan bersama-sama dengan
argumentasi teologis. Argumentasi filosofis dan teologis ini
dijumpai dalam tulisan-tulisan para apologet dan Bapa Gereja.
Secara hakiki dan substansial, interes utama mereka
dalam berbagai tulisan bersifat teologis untuk membela iman
kristiani. Kemudian, ketika agama kristen mulai stabil dan
dikenal secara lebih baik dan kesempatan bagi pemikir kristen
untuk mengembangkan pemikirannya menjadi terbuka, unsur-
unsur filosofis dalam pemikiran mereka menjadi jauh lebih
kuat, khususnya ketika muncul polemik dengan para filsuf
non-kristen.
Selain alasan membela iman dari serangan kelompok luar,
perkembangan pemikiran filosofis pemikir kristen didasarkan

5
atas kebutuhan internal iman kristen itu sendiri. Para pemikir
berusaha masuk dan memahami secara lebih komprehensif
kebenaran wahyu, pandangan tentang dunia dan manusia
dalam iman kristiani. Mereka berupaya menyempurnakan
sekaligus menjaga keutuhan diri dengan memperjelas landasan
teoretis dan organisatoris dalam sebuah sistem doktrinal yang
baku dan melihat kebenaran ajaran kristen sebagai yang utama
dan definitif. Puncak dari usaha ini dalam periode patristik
ditemukan dalam diri santo Agustinus. Usaha yang serius ini
merupakan antisipasi dari sikap Credo ut intelligam St.
Anselmus.
Dalam pandangan kristen kebenaran yang telah diraih
oleh pemikiran filosofis Yunani bersifat tak-sempurna dan
parsial. Filsafat Yunani merupakan persiapan dan terarah pada
kebenaran kristiani. Bagi pemikir kristiani agama kristen
merupakan jawaban dan sekaligus kepenuhan dari filsafat
Yunani. Dengan demikian, secara rasional terdapat satu
kesinambungan antara pemikiran Yunani dan ajaran iman
kristen. Kesinambungan ini dibenarkan dengan menunjukkan
kesatuan akal budi (Logos) yang telah diciptakan Tuhan dan
adadalam setiap manusia sepanjang jaman yang menjadi dasar
utama dan pertama bagi agama kristen.
Dalam kaca mata pemahaman ini ditegaskan secara
tersamar mengenai kesatuan antara filsafat dan agama, fides et
ratio. Bagi kalangan penulis kristen awali kesatuan ini
merupakan anugerah yang menuntun dan mengarahkan
seluruh pencaharian mereka dan bukan sebuah persoalan.
Maka, ketika menemukan sebuah antitesis yang bersifat
polemik antara doktrin non-kristen dan agama kristen, antitesis
ini ditempatkan dalam ranah umum filsafat sehingga
diandaikan kesinambungan antara kristianisme dan filsafat.
Dari sudut pandang di atas merupakan hal yang alamiah
sekali bila terdapat dua perspektif dan pendekatan yang
berkembang dalam dunia pemikiran kristen. Dari satu sisi
terdapat kalangan yang berusaha menafsirkan kristianisme
melalui konsep-konsep yang diambil dari filsafat Yunani dan
membawa kristianisme untuk berkontak dengan filsafat

6
Yunani. Dari sisi lain kalangan yang lain ingin membawa
makna filsafat Yunani dalam terang kristianisme.
Dua usaha ini menentukan hakikat elaborasi doktrinal
yang dilakukan oleh para pemikir kristen awali. Dalam
elaborasi tersebut misalkan, para Bapa Gereja baik dari Gereja
Barat maupun Gereja Timur secara berkelanjutan dibantu dan
diinspirasikan oleh doktrin-doktrin dari sekolah-sekolah besar
filsafat non-kristen masa itu, terutama dari aliran Stoa.
Periode Bapa Gereja (Patristik) dibedakan ke dalam tiga
bagian. Pertama ialah periode Bapa Apostolis (200 M) dan
tendensi doktrinal diarahkan pada pembelaan agama kristen
melawan musuh-musuh nonkristen dan kaum gnostik. Periode
kedua (200-400 M) difokuskan pada perumusan doktrin iman
kristiani dan periode ketiga (450-[735 Gereja Latin] 754)
terarah pada pendalaman ulang dan sistematisasi doktrin-
doktrin yang telah dirumuskan.
Para Bapa Apostolis dari abad I adalah para penulis surat
yang mengilustrasikan poin-poin tertentu dalam doktrin
kristiani dan mengarahkan hal demikian untuk tata praksis dan
religius. Yang terhitung sebagai bapa Apostolis adalah penulis
surat Barnabas, Clemen Romanus dan Hennas. Namun mereka
belum menghadapi problem-problem filosofis.
Aktivitas berfilsafat yang sungguh filosofis dalam tradisi
kristen dimulai oleh para Bapa Apologetis pada abad II. Para
Bapa Gereja ini menulis pembelaan iman kristen melawan
serangan dan penganiayaan yang dilakukan atas jemaat
kristen. Pada masa itu kelompok kristen dimusuhi kaum
Yahudi sebagai orang asing dan dianiaya oleh kaum beragama
tradisional. Penulis-penulis non kristen memakai gaya satire
dan ejekan menyerang kristianisme. Orang-orang kristen
menjadi obyek kebencian rakyat rendahan, kaum beragama
tradisional dan sasaran penganiayaan sistematis oleh negara.
Apologi kuno yang masih ditemukan catatannya ialah
pembelaan Quadratus, murid seorang rasul yang ditujukan
kepada kaisar Adrianus sekitar tahun 124 M saat terjadi
penganiayaan terhadap jemaat kristen. Dari apologi itu, yang
tersisa hanyalah sebuah fragmen dan disimpan oleh Eusebius.

7
Sementara itu, apologi filsuf Marcianus Aristides ditemukan
kembali tahun 1878 dan ditujukan kepada kaisar Antoninus
Pius (138-161).
Dalam apologi tersebut ditegaskan mengenai prinsip
bahwa hanya kristianisme merupakan filsafat yang sejati dan
hanya jemaat kristen memiliki konsep tentang Allah, konsep
yang berasal secara niscaya dari pengertian tentang alam
semesta. Dalam penalarannya, pembuktian (demonstratio)
yang digunakan oleh kalangan apolog kristiani mengadopsi
konsep-konsep Platonis. Tatanan alam semesta, yang tampak
pada langit dan bumi, membuat orang berpikir bahwa
semuanya digerakkan secara niscaya dan yang menggerakkan
dan memerintah semuanya adalah Allah sendiri.
Aristides menekankan hakikat ilahi yang tak terjangkau
dan tak-terkatakan untuk membela monoteisme. Tulisannya
melawan kepercayaan kaum fasik yang menyembah unsur-
unsur material, bangsa Yunani yang yakin bahwa dewa-dewi
memiliki kelemahan dan hasrat-perasaan manusiawi, agama
Yahudi, yang meski mengakui satu Allah, dalam praktek lebih
melayani para malaikat daripada Dia Yang Mahatinggi. Figur
utama dari para apologis dan pendiri patristik adalah Yustinus
(St. Yustinus Martir).

A. Yustinus Martir
Yustinus lahir di Flavia Neapolis (Nablus) dari keluarga
fasik dan menjadi kristen sekitar tahun 123 dan wafat sebagai
martir semasa Prefek Yunius Rusticus (163-167). Beberapa
karyanya adalah Apologi I (150) yang ditujukan kepada kiasar
Adrianus dan Apoligi II yang diperuntukkan bagi kaisar
Marcus Aurelius serta Dialogus cum Tryphone (160). Adapun
gagasan-gagasan dasar dalam pemikiran Yustinus Martir ialah
sebagai berikut.
1. Filsafat dan Kekristenan
Yustinus memahami filsafat sebagai “sesuatu yang
menuntun kita kepada Allah dan menyatukan kita dengan
DiriNya”. Pengertian Yustinus tentang hakikat filsafat sebagai
disiplin ilmu yang memuat fungsi dan makna religius bukanlah

8
hal yang mengejutkan jika dicermati filsafat apa yang digeluti
dan diyakininya. Pada permulaan Yustinus tertarik dan
mengikuti aliran Stoa, tetapi kelompok ini tidak tertarik
dengan segala hal yang berkaitan dengan Allah. Kemudian,
Yustinus mengikuti kaum Peripatetis atau Aristotelisme, tetapi
ia diasuh oleh seorang guru yang “mata duitan” dan bukan
seorang filosof sejati. Keluar dari kelompok Peripatetis,
Yustinus bermaksud mempelajari Pitagorisme, namun sayang
sekali bahwa guru yang ditemuinya menuntutnya agar lebih
dulu mempelajari musik, astronomi dan geometri. Pada saat
terakhir Yustinus menggeluti dan mengikuti Neo-platonisme.
Secara umum alam pemikiran Yunani memberikan ruang
yang luas sekali bagi hal ihwal yang berkaitan dengan
kehidupan religius, terutama sekali dalam ajaran Platon dan
Neo-platonisme. Karena itu, Yustinus merasa menemukan apa
yang dicarinya selama hidup dalam doktrin Platon.
Inteligensi dari segala sesuatu yang nirbadani telah
menaklukkan diriku pada suatu tingkatan tertinggi;
permenungan tentang ide-ide memberikan sayap pada
batinku, sehingga dalam waktu singkat, saya yakin
menjadi orang bijak; bahkan secara agak keterlaluan,
saya berharap melihat Allah sesegera mungkin, karena
hal itu merupakan tujuan akhir filsafat Platon .
Intisari yang dicari Yustinus dalam filsafat tiada lain
adalah agama alamiah. Hal itu mempermudah peralihan
keyakinannya dari Platonisme ke kristianisme tahun 130.
Peralihan keyakinan merupakan perubahan haluan dari suatu
filsafat yang dijiwai oleh semangat religius ke sebuah agama
yang sanggup memberikan prospek filosofis. Diceritakan
bahwa Yustinus menyendiri di suatu tempat yang terisolir
untuk bermeditasi dan saat itu dia bertemu dengan seorang tua
yang mempertanyakan soal Allah dan jiwa.
Menjawab pertanyaan Si Tua itu, Yustinus menggunakan
argumentasi Platon tentang transmigrasi jiwa, tetapi orang tua
itu segera memperlihatkan inkoherensi Platon. Jika jiwa yang
telah melihat Allah kemudian harus melupakannya, maka
kebahagiaanya hanyalah kesengsaraan belaka dan bagi mereka

9
yang tak pantas melihatNya terpaksa terkurung dalam badan
sebagai hukuman tanpa menyadarinya, maka hukuman itu
mubazir sama sekali.
Atas sanggahan itu Yustinus segera membalasnya dengan
argumen yang dikatakan Platon dalam Timeus. Namun si Tua
berkata bahwa dia tak peduli dengan Timeus maupun ajaran
Platon tentang immortalitas jiwa. Jika jiwa hidup kekal bukan
karena jiwa adalah hidup seperti diajarkan Platon, melainkan
karena menerima hidup seperti diajarkan kristianisme. Jiwa
hidup karena Allah menghendakinya dan selama IA berkenan.
Yustinus bertanya di mana dapat membaca ajaran demikian
dan si Tua menunjuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Yustinus merasakan dorongan yang luar biasa untuk
segera membaca Kitab Suci: “Segera suatu api menyala dalam
jiwaku, saya jatuh cinta dengan para Nabi dan sahabat-
sahabat Kristus dan dengan merefleksikan semua sabda itu,
saya temukan bahwa filsafat ini adalah yang teraman dan
berguna”.
Pengakuan Yustinus mengenai isi Kitab Suci secara jelas
menunjukkan hubungan erat antara filsafat dan iman kristiani.
Kristianisme menawarkan suatu solusi baru bagi berbagai
persoalan filosofis yang telah digeluti oleh para filosof dan
sanggu memecahkan persoalan-persoalan tersebut jauh lebih
baik daripada filsafat. Jadi, para pemikir kristen berhak disebut
filosof seperti para pemikir lain yang bertualang dalam filsafat
melulu atas kemampuan nalar.
2. Allah dan Rivelasi
Persoalan utama yang dihadapi oleh Yustinus adalah jika
Allah telah mewahyukan kebenaran kepada manusia melalui
Yesus Kristus, bagaimana riwayat orang-orang yang hidup
sebelum Kristus? Yustinus menggarap persoalan ini dalam
Apologi I. Dalam karya ini Yustinus mendefiniskan hakikat
rivelasi kristiani dan tempatnya dalam sejarah umat manusia.
Jawaban Yustinus terhadap persoalan di atas merupakan
tafsiran terhadap prolog Injil Yohanes, “Kami telah belajar
bahwa Sang Sabda menerangi semua manusia yang lahir ke

10
dunia ini dan karena itu semua orang ambil bagian dalam
Sabda”.
Tanggapan Yustinus secara eksplisit mengakui rivelasi
umum Sang Sabda ilahi sebelum inkarnasi Sabda. Kebenaran
Sang Sabda adalah seperti ratio seminalis, yang telah diterima
oleh setiap manusia. Semua orang yang telah hidup menurut
Sang Sabda dengan berbagai cara berarti hidup menurut Yesus
Kristus yang adalah Sabda menjadi daging tak peduli asal
usulnya. Sedangkan mereka yang telah hidup bertentangan
dengan Sang Sabda dengan cara mengikuti semua cacat
celanya sama dengan berlawanan dengan Kristus. Karena itu,
sebelum Kristus, telah hidup jemaat kristen dan anti-kristen.
Dalam terang rasio seminalis, maka para filosof terdahulu
seperti Sokrates, menurut Yustinus, secara parsial sudah
mengenal Kristus. Sokrates telah menemukan kebenaran
dengan bantuan daya nalar dan penemuan demikian berarti
suatu partisipasi dengan Sabda, sehingga dia pun masuk dalam
bilangan para murid Kristus. Karena itu, “segala kebenaran
yang telah kita katakan merupakan bagian dari kita”.
Bagi Yustinus Allah adalah Ada tunggal dan mustahil
ternamakan alias anonim. Sebutan Bapa, Pencipta, Tuhan dan
Guru tidak menyatakan secara tuntas hakikat Allah in se dan
segala sesuatu yang telah diperbuatNya bagi kita. Allah yang
tersembunyi adalah Bapa. Pencipta Dunia, yang tidak pernah
dilihat maupun disapa oleh manusia “telah membuat DiriNya
dapat dikenal manusia dengan cara mengutus Allah yang
berbeda dari Allah yang menjadikan semua ciptaan, saya
katakan berbeda dalam bilangan bukan dalam pengertian”.
Allah yang lain itu adalah Sang Sabda, Putra tunggalNya yang
dilahirkan dan diposisikan sebelum segala sesuatu diciptakan
dan Roh Kudus adalah Allah “di tempat ketiga”.
Penjelasan Yustinus mengenai Trinitas memang masih
mengambang dan temaram. Namun yang jelas, Yustinus
belum bermaksud mendefinisikan hakikat, tempat maupun
peran masing-masing pribadi ilahi dalam tatanan ilahi. Intensi
dasar adalah menunjukkan bahwa iman kristen tidak
bertentangan dengan filsafat, malah mampu mengasimilasi,

11
mengadopsi dan memberi solusi bagi aneka macam persoalan
filosofis.
Yang jelas dalam pemahaman Yustinus, rivelasi kristiani
merupakan puncak dari segala rivelasi Sabda, karena Dia telah
berinkarnasi dalam Kristus. Pengurbanan Kristus menjamin
otentisitas kekristenan dengan kebenaran dan kebaikan yang
sempurna. Berkat keyakinan yang teguh ini Yustinus berani
dan rela mengurbankan nyawanya sebagai wujud kecintaannya
kepada Kebenaran kristen sama seperti Sokrates yang rela
meneguk racun demi mempertahankan kebenaran yang
diyakininya. Karena itu, Sokrates pun masuk dalam bilangan
para murid Kristus dan sahih pula bila kaum humanis berkata
“Santo Sokrates, doakanlah kami”.
3. Manusia
Gagasan Yustinus tentang manusia berpusat pada jiwa:
manusia adalah jiwanya. Hal itu diungkapkan dalam Dialogus
cum Tryphone:
Manusia tidak berada selamanya dan tubuh tidak selalu
berpadu dengan jiwa, tetapi ketika harmoni itu harus
terpecah belah, jiwa meninggalkan badan dan manusia
sudah tidak ada lagi, begitu pula ketika jiwa harus berhenti
berada, roh kehidupan meninggalkannya; jiwa tidak ada
lagi dan kembali ke tempat awalinya.
Dalam konsepsi yang temaram ini, tampak jelas bahwa
Yustinus melihat ada tiga bagian konstitutif manusia, yaitu
tubuh, jiwa dan roh. Konsep tripartit manusia diambil dari
filsafat Stoa maupun konsep teologi rasul Paulus. Jiwa
bukanlah hidup, melainkan karunia Allah yang diberikan
kepada manusia dan bukan pula bersifat abadi selamanya,
melainkan hidup sejauh Allah menghendaki keberadaannya
(Dialogus V.3). Meski demikian, jiwa memperoleh ganjaran
dan hukuman dari Allah tergantung pada kebaikan atau
kejahatan yang dilakukannya selama hidup. Ganjaran atau
hukuman itu mengalir dari kehendak bebas, sehingga manusia
bertanggung jawab penuh terhadap segala tindakannya. Jadi,
kehendak bebas merupakan fondasi niscaya dan memadai bagi
ganjaran atau hukuman yang dialami jiwa.

12
Hal yang luput dari perhatian Yustinus berkaitan dengan
hidup manusia adalah dosa asal dan peranan rahmat dalam
hidup orang beriman. Mengingat keterbatasan tentang sumber-
sumber yang ditulis sendiri oleh Yustinus, maka sulit sekali
untuk membuat suatus sintesis mengenal bagaimana dia
memahami dosa asal dan rahmat dalam sejarah keselamatan
umat manusia.

B. Clemen dari Aleksandria


Clemen dari Aleksandria lahir tahun 150 dan wafat sekitar
tahun 215. Clemen adalah seorang fasik yang masuk menjadi
kristen dan sejarah pertualangannya dalam dunia pemikiran
diperkaya oleh berbagai macam aliran dari beberapa guru yang
diikutinya. Salah satu guru yang dikagumi dan diikutinya
adalah Pantenus. Pada waktu penganiayaan jemaat kristen
tahun 202, Clemen meninggalkan Aleksandria dan mengungsi
ke Cesarea di Cappadocia. Karya-karya pentingnya ialah
Nasihat kepada Bangsa Yunani (Προτεπτιϰός) yang ditulis
sekitar tahun 195, lalu Paedagogus dan Stromata.
1. Kristianitas: Kebenaran Sejati
Dalam Nasihat, Clemen mengajak bangsa Yunani untuk
melepaskan diri dari kultus yang menyembah berhala dan adat-
tradisi leluhur yang keliru serta mencari dan mengamini
kepercayaan yang benar. Yang dicari dan dipertahankan
bukanlah kultus dan tradisi leluhur yang telah dihidupi turun
temurun, melainkan kebenaran sejati dan kebaikan. Karena
kebenaran dan kebaikan sejati, yaitu Allah, ditemukan dalam
sabda para nabi dan Logos yang berinkarnasi dalam Kristus,
maka orang Yunani hendaklah sudi mengikuti dan meneladani
Dia sebagai guru kehidupan.
Kalau orang-orang fasik sudah beralih kepercayaan dan
menjadi pengikut Tuhan maka perlu sekali mereka mengubah
kebiasaannya. Perubahan pola hidup dan tata laku dilakukan
oleh seorang pedagog. Siapakah pedagog itu?
Pedagog adalah Logos, Sabda yang bertugas membatasi
dan memperkecil peluang bagi semua manusia untuk berbuat
dosa. Pedagog memperbaiki dan menyempurnakan jiwa kita

13
dengan mengajarkan cara hidup yang baik. Berbeda dari credo
kaum gnostis yang berpendapat bahwa pengetahuan yang
menyelamatkan hanya dikhususkan bagi kalangan aristokrat
belaka, Clemen meyakini bahwa semua manusia dan semua
orang kristen akan dididik dan dibekali dengan pengetahuan
untuk memperoleh keselamatan.
Semua orang kristen adalah sederajad di depan karya
penyelamatan begitu sudah menerima baptisan entah dia
adalah orang yang rendah hati maupun yang terpelajar. Bahkan
anak yang baru lahir telah masuk ke dalam terang keselamatan,
apabila menerima iman kepercayaan. Karena itu, orang kristen
adalah kalangan gnosis sejati, sebab mereka memiliki iman
dan pengetahuan tentang Allah serta karya keselamatannya.
Jadi, iman yang dalam dirinya adalah penuh dan sempurna atau
dalam bahasa biblis “melakukan kehendak Bapa” ialah prinsip
pertama dan utama dalam kekristenan.
Bagaimana pedagog mendidik semua orang yang lahir ke
dunia? Sabda mendidik dengan murah hati dan keadilan.
Kemurahan hati merupakan dasar pengajaran dan pendidikan
sang Pedagog, karena tujuan yang hendak digapai adalah
keselamatan. Namun, sang Pedagog dapat juga menggunakan
pola pendidikan yang disiplin, ketat dan keras untuk
mencapai tujuan yang hendak diraih. Pengajaran Clemen
tentang prinsip-prinsip moral praktis yang harus diketahui dan
dipraktekkan oleh jemaat kristen merupakan reaksi terhadap
kecenderungan dalam masyarakat masa itu, termasuk umat
kristiani yang mengidolakan kemewahan rumah tangga,
pakaian hingga wangi-wangian.
Clemen hendak mengingatkan umat bahwa kristianisme
sudah memadai dan cukup untuk memenuhi segala keinginan.
Dalam arti bahwa pengetahuan yang benar merupakan
pengenalan tentang diri sendiri, karena dengan mengenal diri,
manusia mengenal Allah yang telah menciptakannya. Melalui
pengenalan akan Allah, manusia mendapati dirinya semakin
serupa denganNya, sehingga ia sungguh cantik dan tampan
bahkan melebih aneka perhiasan. Setiap orang yang telah
dibaptis adalah orang kaya, karena memiliki kekayaan rohani

14
yang mustahil dirampas darinya. Dengan mengikuti sang
Pedagog sejati, manusia akan lahir kembali, menjadi cantik
dan tampan serta tidak pernah kekurangan apapun dan bukan
budak siapapun. Maka, hal terpenting yang harus dilakukan
oleh segenap orang kristen adalah mengendalikan hasrat yang
berseberangan dengan rasio, mengarahkan diri kepada hal-
ihwal yang sederhana, alami, moderat, nyaman, sesuai dengan
kesehatan, umur, pribadi, figur, karakter dan aktivitas.
Kristianisme alà Clemen bertentangan dengan asketisme
gnostis dan permisivisme moral yang berkembang di kalangan
jemaat, bahkan di kalangan pejabat gereja yang menjadi
rekannya atau penganut kristianisme superfisial. Kristianisme
sejati selalu berpusat pada kedalaman batin dan ketajaman
nalar yang menjadi penyaring bagi semua hasrat dan tata laku
individu. Karena itu, yang akan diselamatkan adalah orang-
orang yang memiliki kebeningan nurani, ketajaman budi dan
kemurahan hati. Dalam Quis dives salvetur – Siapa yang
diselamatkan Clemen menegaskan bahwa setiap orang kaya
dapat diselamatkan, jika kekayaan tidak menguasai jiwanya,
tetapi hanya dipandang sebagai stimulus atau sarana yang
berguna untuk hidup.
Bila dibandingkan dengan kebijaksanaan Yunani seperti
yang digagas oleh para filosofnya, Clemen berpendapat bahwa
kebijaksanaan kristiani lebih mendalam dan hakiki. Roh yang
menyemangati moral kristiani adalah menjaga jarak dengan
dunia demi kasih ilahi. Agama kristen mengajarkan kepada
orang miskin bahwa mereka kaya seperti para hartawan dan
mengajarkan kepada orang kaya bahwa mereka miskin. Maka,
moderasi dan mortifikasi merupakan tuntutan niscaya, sebab
materi perbuatan manusia bukanlah akar tertinggi dalam
moralitasnya, melainkan ditentukan pula oleh motivasi dan
intensi subyek.
2. Filsafat dan Iman
Persoalan utama yang harus dihadapi Clemen di kota
kelahirannya adalah persepsi negatif umat terhadap aktivitas
filosofis-spekulatif yang dilakukannya. Seperti yang umum

15
terjadi, kaum terdidik lebih sedikit dari kalangan biasa. Umat
dari kalangan sederhana mencela Clemen dan menganggap
aktivitas berfilsafatnya mubazir atau membuang-buang waktu.
Yang mereka tuntut dan tekankan ialah sola fides, iman murni
(Stromata I, 43), yang terlepas dari semua hal yang berbau
spekulatif. Bagi kalangan sancta semplicitas seorang kristen
sejati dan kristianisme hendaklah melepaskan diri dari semua
kontak dengan segala hal dan aktivitas yang dapat menggiring
pada perlawanan terhadap Allah.
Namun Clemen berusaha sekuat tenaga membuktikan
bahwa antara filsafat dan iman tidak ada pertentangan apapun.
Menurutnya filsafat merupakan hal yang baik, karena Allah
sendiri menghendakiNya. Dalam kitab Keluaran 28:3 Allah
telah memberikan roh keahlian kepada orang-orang tertentu
sehingga mereka menjadi ahli di bidangnya.
Roh keahlian ini dapat ditafsirkan dalam dua cara:
pertama, menggambarkan ketrampilan para tukang dalam hal
merasakan sesuatu yang dikerjakannya (5 pengindraan: bau
parfum, suara musik, rasa anggur, tampilan potongan permata,
kehalusan patung), kedua roh keahlian itu mengacu pada
keahlian orang-orang yang membhaktikan diri bagi studi, yang
harus mempunyai rasa atau kepekaan intelektual untuk
memahami bahasa gambaran dari penyair, kalimat dari orator
dan silogisme dari para ahli dialektika. Mengingat keahlian
demikian merupakan rahmat atau pemberian Allah, maka
adalah mustahil bila filsafat adalah sesuatu yang jahat dan
menjadi terdakwa di hadapanNya.
Aktivitas penyelamatan manusia dan rahmat keselamatan
yang diajarkan oleh sang Pedagog ilahi melalui proses yang
bertahap dan berkesinambungan. Perjanjian Lama yang berisi
hukum Taurat dan tradisi Ibrani telah menyiapkan Perjanjian
Baru; Perjanjian Baru sama sekali tidak menghapus, tetapi
menyempurnakan Perjanjian Lama. Dalam yang lain, bangsa
Yunani, yang tidak mempunyai iman maupun hukum ilahi,
bukanlah tanpa sumber inspirasi seperti yang disangkakan.
Mereka mengikuti agama tradisional yang mempersiapkan dan

16
mengadili tata laku hidup di dunia seperti tertulis dalam karya
Platon dan para penyair.
Nalar Yunani mempunyai nabinya tersendiri, yaitu para
filosof. Walaupun Allah tidak berbicara langsung dengan
mereka (rivelasi), tapi Dia menuntun para filosof dengan nalar,
cahaya ilahi. Kalau Allah menghendaki nalar berarti nalar
berguna untuk sesuatu; begitu pula jika Dia menginginkan para
filosof, maka Allah telah memilih domba terbaik untuk berada
di garda terdepan kawanan.
Mereka yang memusuhi filsafat Yunani hendaklah mulai
memahami dan mengerti diri sendiri, karena seluruh sejarah
pengetahuan manusia berjalan dalam dua arus besar, yaitu
Taurat Israel dan filsafat Yunani, yang menjadi dua sumber air
bagi kemunculan dan perkembangan kristianisme. Jadi,
sejarah umat manusia memiliki dua wasiat kuno, yaitu Taurat
dan Filsafat serta satu wasiat terbaru: iman kristen.
Iman kristen sama sekali tidak mengosongkan filsafat.
Filsafat merupakan sarana niscaya bagi bangsa Yunani untuk
justifikasi diri dan sekaligus mempersiapkan mereka bagi iman
kristen. Tatkala mereka sudah mengimani Kristus, filsafat
bermanfaat untuk membela dan memperdalam ajaran iman
kepercayaan kepada Allah. Jadi, iman dan filsafat dapat
berjalan beriringan dalam perziarah umat kristen menuju Bapa.
Ilmu-ilmu kemanusiaan mempersiapkan secara efektif sabda
Allah dan memuat segala sesuatu yang diberikan kepada setiap
generasi seturut kepentingannya dalam waktu yang berbeda-
beda.Terjadi bahwa beberapa orang terbius oleh sesuatu yang
diminum oleh para budak, mereka mengabaikan tuannya, yaitu
filsafat. Sebagian lagi ada yang sampai uzur belajar musik,
geometri, gramatika dan retorika. Kini seperti artes liberalis
atau yang dinamakan ensiklopedia mensyaratkan filsafat
sebagai tuannya, filsafat memiliki sasaran guna mempersiapkan
kebijaksanaan.
Secara hakiki filsafat merupakan aplikasi kebijaksanaan, suatu
pengetahuan mengenai hal ihwal yang ilahi, manusiawi dan
sebab-sebabnya. Kebijaksanaan merupakan tuan atas filsafat
sama seperti filsafat ialah disiplin ilmu yang mendahului
kebijaksanaan… Dari apa yang telah dikatakan, Kitab Suci
memberi kesaksian. Sara, istri Abraham adalah mandul. Karena
alasan itu, ia mengizinkan Abraham mengambil salah seorang

17
hamba mereka, Hagar, supaya mendapatkan keturunan.
Kebijaksanaan (Sara) yang hidup dengan orang setia – karena
dikatakan bahwa Abraham adalah setia dan adil -, masih mandul
dan tanpa keturunan pada generasi pertama, sebab belum
memberikan bukti-bukti kepadanya. Dan kebijaksanaan [Sara]
menghendaki si adil, yang harus terus maju pesat, berpadu
dengan pengetahuan dunia, karena dunia secara alegoris
digambarkan dengan Mesir, guna melahirkan darinya Isak atas
kehendak ilahi…
Seseorang yang terlatih dalam aneka pengetahuan mampu
berdiri hingga mencapai kebijaksanaan…Sebagai akibatnya,
kebijaksanaan dapat digapai dengan belajar, karena Abraham
telah melakukannya, beralih dari kebenaran tertinggi kepada
iman dan keadilan ilahi. Selain itu, terungkap pula dari kata-
kata Abraham (yang adil) kepada Sara (kebijaksanaan): “Inilah
hambamu, dia berada di bawah kekuasaanmu, lakukan apa yang
kau kehendaki”. Ia tidak menghargai filsafat dunia jikalau
mubazir”. Dengan kata lain, Abraham hendak berkata: tentu
saja saya mengambil pengetahuan dunia karena dia masih muda
dan akan kujaga dia, tetapi menyangkut kebijaksanaanmu, saya
kagumi dan hormati sebagai tuan absolut.
Secara sederhana saya katakan bahwa filsafat berkutat dengan
pencaharian kebenaran dan pemahaman alam semesta. Kini
Tuhan berkata tentang kebenaran, “Saya adalah kebenaran”.
Saya menambahkan bahwa pengetahuan yang mendahului
ketenangan yang dijumpai dalam pengetahuan akan Kristus
melatih pikiran, membangunkan budi, menajamkan roh untuk
melatih diri dalam filsafat sejati yang dimiliki oleh umat berkat
Kebenaran tertinggi.
Gagasan Clemen mengenai tempat dan fungsi filsafat
dalam sejarah pemikiran spekulatif kekristenan mendapat
rumusan final di era skolastik: philosophia ancilla theologiae
dan credo ut intelligam. Filsafat merupakan hamba teologi dan
bertugas untuk mengantar orang-orang kepada iman serta
mempertanggungjawabkan imannya secara rasional.
3. Manusia
Setiap manusia menurut Clemen mempunyai fakultas
pengetahuan (φρόνησις) yang membedakannya dari binatang.
Sejauh ia mampu mengenal prinsip-prinsip pertama dan tak
dapat dibuktikan dengan bertumpu pada sumber yang ada
padanya belaka, kemampuan itu disebut pikiran (νόησις).

18
Ketika menalar dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip
tersebut guna mengembangkan muatannya secara dialektis, hal
itu dinamakan pengetahuan atau scientia (γνῶσις, ἐπιστήμη).
Manakala kemampuan serupa diterapkan pada aneka problem
dalam praksis dan aksi, ia menjadi kecakapan (arte, τέχνη).
Pada tahap terakhir saat orang membuka diri pada belas-
kasihan (pietas), percaya kepada Sabda dan menuntunnya
dalam mempraktekkan perintah-perintahNya, ia tidak berhenti
menjadi diri sendiri; kesatuan nalar yang bertumbuh, yang
menuntun tindakan dan mencari pengetahuan, menjamin
kesatuan pengetahuan yang melingkupi semua aktivitas
demikian.
Manusia diciptakan Allah menurut citra-Nya sendiri,
sehingga ia dilengkapi dengan jiwa yang hakikatnya lebih
murni daripada jiwa makhluk yang lain. Karena manusia
adalah makhluk rasional dan sanggup mencapai pengetahuan,
dalam tiap orang terdapat eksistensi daya kehendak bebas
(libero arbitrio). Kehendak bebas berdampingan dengan
rahmat ilahi menjadi dua prinsip yang sangat penting bagi
semua orang untuk bertindak baik secara moral dan
bermanfaat demi keselamatannya.
Dalam masyarakat terdapat dua kelompok besar semata,
yaitu kaum fasik dan umat kristiani, dan bukan seperti yang
dikatakan selama ini terdiri atas tiga kelompok, yakni kalangan
fasik, umat beriman dan kaum gnostis. Dua kelompok
masyarakat itu merupakan bagian dari rencana ilahi. Filosof
fasik merupakan pohon liar kecil yang mengkonsumsi sedikit
dan berbuah sedikit pula. Lalu datanglah seorang tukang kebun
dan mencangkokkan pada pohon kecil itu sebuah ranting oliv.
Dari saat itu pohon itu memerlukan banyak asupan nutrisi, tapi
akan menghasilkan minyak zaitun (Stromata VI,15).
Tukang kebun adalah Allah sendiri yang mencangkokkan
iman pada nalar manusia. Ada yang dicangkokkan di
permukaan, yaitu mereka yang belajar katekismus, kemudian
berhenti di situ saja. Yang lain dicangkok dengan cara
membelah kayunya dan menempelkan cangkokan: iman
menerobos ke ruang batin sang filosof dan bersemayam di

19
sana. Yang lain, yaitu kaum heretis memerlukan cara yang
lebih energik dan dinamis dengan pola pendekatan.
Mata iman mengantikan mata nalar dan sang pemikir
memandang dengan mata iman tersebut. Dari jiwa lahir
beraneka jenis buah yang baik: pengetahuan dan keutamaan:
rasa takut menghina Allah, harapan bertemu Tuhan, sikap
tobat dari dosa. Penguasaan diri berpadu dengan kesabaran
untuk mengatasi kejahatan dan rahasianya terletak pada cinta
kasih (caritas) yakni Allah sendiri. Karena itu, iman adalah
hidup Allah dalam manusia.

4. Allah
Iman berlaku sebagai prinsip seleksi yang memberikan
peluang untuk memahami setiap doktrin filosofis sejauh
pengajarannya memuat hal yang benar dan berguna. Dalam
konteks ini terdapat dua guru ekselen: Pitagoras, manusia yang
dicerahkan oleh Allah dan Platon yang memusatkan semuanya
pada pietas. Sedangkan teologi kaum Stoa adalah keliru karena
memahami Allah secara jasmaniah dan imanen dalam dunia,
walaupun dari sudut ajaran moral, kaum Stoa patut diapresiasi,
karena beberapa sungguh bagus dan bukanlah keliru jika
memanfaatkannya.
Menurut Clemen Allah mustahil dikenal oleh manusia.
Dalam Paedagogus (I 8), ia mengatakan bahwa Allah berada
di seberang manusia dan mengatasi Kesatuan itu sendiri.
Manusia mengenal Allah hanya dengan melalui PutraNya,
Kebijaksanaan dan Kekuatan Bapa. Sang Sabda adalah abadi
seperti Bapa dan memiliki hakikat yang sama. Sang Putra yang
disabdakan Bapa tanpa terpisah dari diriNya adalah sekaligus
Dia yang telah menciptakan dunia dan penyelenggaraanNya
merupakan sumber terang bagi intelek manusia.

1.3. Karakter Filsafat Patristik Abad III -IV


Pendalaman ajaran-ajaran kristiani yang dimulai oleh para
apologet dalam rangka membela komunitas Gerejani dari
penganiayaan dan kaum bidaah diteruskan dan diperdalam

20
pada abad-abad berikut seturut kebutuhan internal Gereja dan
dilihat semakin lebih penting. Dalam elaborasi kemudian, hal-
hal yang bermotif heresis menjadi berkurang dan pusat
perhatian lebih tercurah pada tuntutan untuk membangun
doktrin Gereja dalam suatu organisme yang utuh-menyeluruh,
sejalan dengan zaman dan dibangun di atas dasar logika yang
mantap. Bagian filsafat terus mendapat porsi yang semakin
besar.
Kontinuitas antara filsafat Yunani dan kristianisme yang
telah distabilisasikan oleh para apologet Timur dibuat lebih
hidup dan diperdalam. Kristianisme dihadirkan sebagai filsafat
sejati, menyerap serta menuntun pengetahuan kuno pada
kebenaran sejati. Melalui aktivitas ini ajaran dasar kristen
menemukan sistimatisasi yang definitif. Periode dari tahun
200-450 merupakan masa yang menentukan bagi konstruksi
bangunan doktrinal agama kristen secara komprehensif.
Harapan eskatologis dari sekian banyak sekte kristiani
yang mendominasi priode terdahulu terus berkurang. Logislah
bahwa saat kedatangan kembali Kristus diyakini sudah
diambang pintu, sehingga aktivitas pencaharian doktrinal yang
lama dan rumit menjadi hal yang mubazir dan yang lebih
utama adalah ritus-ritus persiapan dan pengampunan.
Sedangkan ketika harapan akan kedatanganNya kembali
menjadi berkurang, pencaharian doktrinal menjadi tuntutan
utama dan dasariah bagi Gereja demi menjamin kesatuan dan
keutuhannya dalam sejarah.
A. Origenes
Origenes lahir di Mesir (kemungkinan di Aleksandria)
tahun 184 dari keluarga fasik yang beralih menjadi kristen.
Formasi intelektual Origenes cukup lengkap, karena sempat
menjadi murid Clemen dari Aleksandria dan memperoleh
formasi filsafat di bawah bimbingan Ammonius Saccas, yang
adalah guru Plotinus. Origenes pernah membuka sebuah
sekolah dan mengajar. Selain itu, ia melakukan perjalanan ke
Roma (221), lalu ke Yunani (230) dan dalam perjalanan ke
tanah air para filosof, Origenes ditahbiskan menjadi imam.

21
Kemudian, Origenes berpindah ke Cesarea dan mendirikan di
situ sebuah sekolah serta lengkap dengan perpustakaan.
Sebagai salah satu bentuk keinginan Origenes mengikuti
Kristus secara radikal ialah keputusannya memutilasi alat
kelaminnya untuk hidup dalam kemurnian injili. Pada jaman
Decius jemaat kristen mengalami penganiayaan dan Origenes
pun ditangkap serta disiksa pada tahun 250. Akibat siksaan
yang dialaminya Origenes pun meninggal dunia di Tirus tahun
253.
Karya-karya sebagai buah refleksi genial Origenes ialah
Contra Celsum dan De Principiis (Περὶ ἀρχῶν). Dalam buah
karya tersebut Origenes berupaya mempertemukan dan
merekonsiliasikan pemikiran filosofis, terutama Neo-platonis
dengan iman kristiani. Misalkan, De principiis ditujukan
kepada dua kelompok pembaca, yaitu mereka yang telah
menerima iman dan berniat memperdalam pengajaran Kitab
Suci dan tradisi kristiani serta para filosof, heretis maupun
musuh iman.
Sasaran utama dari tulisan Origenes adalah jemaat kristen
dengan tujuan membuat suatu kesepakatan tentang pengakuan
terhadap sabda Kristus sebagai sumber utama kebenaran yang
menyelamatkan, justru karena di kalangan umat terdapat
divergensi konseptual dan keyakinan tentang sabdaNya. Agar
terbebas dari divergensi serupa, langkah pertama dan utama
adalah kembali kepada tradisi yang hidup di tengah jemaat dan
juga berkonsultasi dengan oang-orang yang telah menerima
karunia pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam Contra
Celsum VI 13 Origenes menegaskan,
Kebijaksanaan ilahi, yang berbeda dari iman, merupakan
karisma pertama dari segala karisma ilahi; sesudahnya
menyusul pengertian yang tepat tentang segala sesuatu yang
disebut pengetahuan (γνῶσις); dan ketiga adalah iman, karena
orang sederhana perlu juga diselamatkan jikalau sejauh
mereka mampu hidup saleh. Karena itu, rasul Paulus berkata,
“kepada seseorang dikaruniakan oleh Roh Kudus
kebijaksanaan, yang lain diberi pengetahuan, kepada yang lain
lagi iman.

22
Secara implisit Origenes mengakui eksistensi kelas
tertentu yang unggul dalam hidup beragama/aristokratisme
religius yang telah digagas juga oleh Clemen dari Aleksandria.
Prinsip-prinsip utama yang digagas Origenes dan tawarkannya
kepada mereka yang bukan kristen meliputi Allah, dunia,
manusia dan rivelasi.
1. Allah
Allah adalah tunggal, sederhana, tidak-terpahami dan
sempurna. Kodratnya adalah rohani alias immaterial, karena
apa yang sempurna adalah tetap (immutabile) dan yang tetap
ialah rohaniah (immaterial). Maka, mustahil bagi manusia
menggambarkanNya secara tepat dan benar, mengingat
hakikat Allah melampaui tatanan material dan roh manusia
yang terkurung dalam badan.
Fakta bahwa Allah adalah tiga pribadi: Bapa, Putra dan
Roh Kudus bukanlah suatu halangan bagi ketunggalanNya.
Ketiga Pribadi ilahi adalah abadi absolut. Berkaitan dengan
relasi ketiga Pribadi ilahi, Origenes mengalami kesulitan untuk
menjelaskanNya, sehingga secara implisit ada subordinasi di
antara ketigaNya, terutama ketika menjelaskan peran Putra
dalam penciptaan. Origenes memposisikan Sabda sebagai
pengantara, jembatan penghubung (intermediario) antara
Allah dengan ciptaan yang lain. Sabda adalah Allah, yang
pertama dari segala ciptaan yang melahirkan sabda-sabda yang
lain (makhluk rohani lainya, termasuk para malaikat?).
2. Dunia
Allah telah menciptakan dunia ex nihilo melalui Sang
Sabda yang memuat dalam diriNya semua forma hidup dari
segala sesuatu. Kebaikan ilahi telah berikrar menciptakan alam
semesta menurut kebijaksanaanNya dan kekuasaannya telah
menghasilkan dunia sejak dalam materi.
Persoalan besar yang digarap Origenes adalah apakah
penciptaan alam semesta dan manusia diputuskan secara
mendadak? Bagaimana memahami eksistensi Penguasa segala
penguasa yang tidak menggunakan kekuasaanNya? Dengan

23
cara apa mendamaikan suatu perubahan dalam tatanan ciptaan
dengan immutabilitas Allah sendiri sebagai pencipta?
Dalam perspektif Origenes alam semesta telah diciptakan
dari keabadian, yaitu bahwa dimunculkan ke tahap berada
(eksistensi) secara abadi dari kemahakuasaan Allah. Alam
semesta adalah abadi dalam durasi, namun terbatas dalam
ruang, karena Allah telah mengadakan segala sesuatu dalam
timbangan dan bilangan atau dengan ukuran dan jumlah yang
terbatas. Tanpa menyangkal apa yang tertulis dalam kitab
Kejadian, Origenes hendak menegaskan bahwa dunia yang
didiami manusia bukanlah yang pertama maupun yang
terakhir; terdapat banyak dunia yang lebih dahulu ada dan
akan muncul banyak dunia yang lain, secara tak berhingga
setelah penghancurannya pada hari terakhir.
Diciptakan dengan kebijaksanaan tertinggi, dunia yang
dihidupi manusia adalah manifestasi Sabda. Terlingkup dalam
Bapa, Sang Sabda mengenal Bapa secara tuntas dan sempurna
dan dari pengenalan demikian Dia menciptakan secara bebas
sabda-sabda yang lain lagi dalam kemiripan absolut satu sama
lain dan sabda-sabda tersebut adalah roh dan bebas. Dunia
berhutang pada kebebasan mereka sebagai ciptaan Sang
Sabda.
Dengan menggunakan kehendak bebasnya, beberapa dari
sabda-sabda itu mengikat diri dengan Allah secara sangat kuat
atau kurang kuat, sementara yang lain menjauhkan diri dari
Allah entah sesaat atau untuk jangka waktu yang lama.
Perbedaan derajad kesetiaan atau kejatuhan yang dilakukan
oleh para sabda yang diciptakan Sang Sabda menandakan
secara tepat hirarki roh-roh yang menempati alam semesta,
dari hirarki tertinggi malaikat hingga yang yang kurang murni
dalam menata gerak bintang-bintang. Bagi manusia, yang
terpenjara dalam tubuh, setiap orang menduduki posisi yang
telah dipilihnya secara bebas dan merdeka.
Gagasan kosmologis Origenes menjadi semakin jauh.
Menurutnya, dari serpihan-serpihan dunia yang telah hancur
Allah akan menciptakan dunia yang lain dan begitu susul-
menyusul untuk seterusnya. Sejarah dunia dengan segala isinya

24
bergantung pada keputusan bebas makhluk-makhluk yang
dilengkapi dengan nalar. Roh-roh akan berdiam di dalam dunia
yang diciptakan dan ambil bagian dalam sejarahnya masing-
masing serta terus berupaya mempertahankan statusnya pada
dunia-dunia berikutnya agar tidak kehilangan jatidiri. Dunia
terus berproses – demikian pula karya penebusan Kristus –
dari satu dunia ke dunia yang lain sampai saat terakhir, di
mana semua kekuatan jahat akan lenyap oleh karya kebaikan.
Jadi, masih adakah hantu dan jiwa yang tersiksa dari Allah
selamanya?
3. Manusia
Manusia terdiri atas badan, jiwa dan roh. Selaras dengan
tripartit bagian manusia, Gereja terdiri atas a) umat sederhana
yang mengikuti iman yang sederhana dan kebenaran dalam
pengertian historis Alkitab, b) umat kristen yang lebih
sempurna berkat interpretasi alegoris atas teks-teks sampai
pada gnosis, yakni pengetahuan sebagai persekutuan dan c)
umat kristiani yang jauh lebih sempurna lagi dalam meraih
makna spiritual Kitab Suci serta berkat kontemplasi yang lebih
tinggi (ϑεωρια) mampu menemukan bayangan kesucian masa
depan (mengantisipasi) dalam hukum ilahi itu sendiri.
Jiwa manusia terpenjara dalam badan akibat dari
pemberontakan awali yang telah dilakukannya. Namun
demikian, jiwa manusia dapat membebaskan diri dari penjara
badan dan memulihkan kondisi awalinya. Jiwa manusia secara
asali bukanlah roh murni dan bukan pula didestinasi untuk
menjiwai badan. Untuk membenarkan pendapatnya Origenes
membedakan 2 makna dalam sebutan anima (ψυχή): dengan
akar kata yang berarti dingin (ψυχρόν), yaitu roh yang dingin
dan roh kehidupan. Sejarah personal jiwa merupakan suatu
sejarah tentang upaya jiwa untuk menemukan kembali
kehangatan dan terang awali yang telah dimiliki sedari awal
penciptaan.
Dalam pandangan Origenes asal usul jiwa tetap tinggal
sebagai misteri. Ia melihat bahwa ajaran gereja memberi ruang
bagi umat kristen untuk memilih di antara 2 hipotesis tentang

25
transmisi jiwa atau melalui orangtua atau disisipkan dari luar.
Immaterialitas jiwa manusia terbukti dari kemampuannya
untuk pengetahuan intelektual yang obyek studinya berciri
immaterial pula. Untuk melengkapi pembebasannya menuju
kondisi asali, pertama-tama jiwa harus meninggikan diri dari
pengetahuan tentang segala sesuatu yang indrawi ke
pengetahuan tentang kebenaran intelektual dan moral
dengan bantuan dialektika. Beberapa roh berhenti pada
kebenaran intelektual dan moral belaka dan tidak sampai pada
Kebenaran sejati, karena untuk mencapaiNya diperlukan
keutamaan ilahi yang menerangi jiwa dan menghangatkannya
dengan sinarNya.
Sama seperti penyebab kejatuhan awali jiwa, pelaku
kebangkitan atau peninggian jiwa tiada lain adalah kehendak
bebas (libero arbitrio). Berbeda dari semua makhluk hidup
yang lain, manusia dianugerahi dengan nalar yang memberi
kemungkinkan bahkan untuk mengkritik berbagai gambaran
dan sensasi yang terjadi pada dirinya. Semua sepakat bahwa
setiap orang dapat membuktikan bahwa segala keputusan nalar
adalah bebas paling kurang dalam artian bahwa masing-
masing orang sadar sebagai pelaku yang bertanggung jawab.
Saya adalah subyek yang menghendaki, bertindak dan menilai;
banyak hal yang turut berpengaruh entah dalam artian positif
atau negatif terhadap diriku akibat pengaruh yang dibuat oleh
kehendakku. Jadi, subyek adalah sebab dari keputusannya.
Kehendak bebas merupakan kesempatan pertama untuk
kejahatan, namun tetap tersisa kondisi niscaya bagi kebaikan.
Kemungkinan untuk tidak memilih Allah berkorelasi dengan
peluang untuk memilihNya. Kemampuan untuk memilih
kebaikan atau keburukan dipersyaratkan karena kebaikan
dapat menjadi kebaikan manusia atau keburukannya. Jadi,
peluang manusia untuk berbalik (conversio) dari kejahatan
atau meneruskan kecenderungan jahat (adversio) melulu
karena pilihan bebas subyek.
Peluang untuk berbalik arah secara hakiki masih tetap
terbuka dalam diri manusia. Keterkungkungan dalam badan
akibat kekeliruan yang dilakukan jiwa tidak menghapus semua

26
ingatan tentang eksistensinya terdahulu. Jiwa per natura
merupakan roh yang dibuat seturut gambar dan rupa Allah,
sehingga mampu mengenalNya dengan mengenali diri sendiri
serta mengenal Allah dengan semakin baik lewat askese dan
purifikasi manakala memulihkan terus menerus keserupaan
denganNya yang telah melenyap perlahan-lahan. Proses
pemulihan kemiripan dengan Allah merupakan bantuan
rahmat Kristus. Jadi, jiwa yang masuk ke dalam badan tidak
pernah kehilangan kemiripannya dengan Allah
4. Rivelasi
Manusia mengenal Allah karena Dia mewahyukan diri.
Puncak pewahyuan Allah terungkap dalam misteri inkarnasi.
Allah beringkarnasi untuk menyelamatkan jiwa manusia dari
kungkungan badan dan kuas setan. Kristus mempersembahkan
jiwaNya sebagai sebuah tebusan untuk mendapatkan kembali
hak-hak kita yang telah dirampas setan sebagai akibat dosa
yang telah dilakukan manusia.
Dari pengurbanan Kristus mengalirlah rahmat, bantuan
cuma-cuma dan sebab utama peninggian manusia dan rahmat
itu harus bekerjasama dengan kehendak bebas manusia, agar
peninggian manusia dialami secara nyata. Kurban Kristus
merupakan titik tolak bagi keselamatan manusia, para malaikat
maupun seluruh alam semesta. Alam semesta merupakan
ciptaan Allah yang terjadi karena kebaikanNya, termasuk di
dalamnya adalah materi.
Materi adalah baik karena merupakan ciptaan Tuhan,
meskipun membiarkan diri dikuasainya merupakan tindakan
buruk. Badan manusia bukanlah saja penjara jiwa, melainkan
juga sarana peninggian jiwa, di atas mana berpijak tindakan
asketis dan purifikasi. Tatkala kejahatan melampaui batas yang
telah ditetapkan Allah, maka dunia akan binasa oleh air bah
atau api.
Dengan kembali menjadi roh murni, orang-orang benar
diangkat ke tingkatan para malaikat, sementara orang-orang
jahat direndahkan setingkat hantu. Dengan demikian segala
sesuatu akan ditaklukkan kepada Kristus, dan melalui Kristus

27
kepada Allah Bapa, dengan memulihkan kembali tatanan awali
penciptaan.

B. Plotinos
Refleksi filosofis Plotinos merupakan sebuah sintesis dari
aneka ragam permenungan filosofis yang sudah berlangsung
selama 8 abad sejak Tales. Karena itu, jejak-jejak dari berbagai
tipe permenungan, baik perseorangan, kelompok maupun
kontinental (Timur dan Barat) dapat dilihat dengan cukup jelas
dalam karya Plotinos.
1. Riwayat Hidup
Plotinos lahir di Lycopolis, Mesir tahun 205 M [yang
masa itu merupakan bagian dari kekaisaran Roma] dan wafat
tahun 270 M di Campania, Italia. Pada tahun 232 Plotinos
mulai mempelajari filsafat di Alexandria dari banyak guru dan
aliran, seperti Alexander dari Aphrodisias, Numenius dan
kaum Stoa. Salah seorang tokoh yang berpengaruh besar
dalam refleksi filosofis Plotinos adalah Ammonius Saccas.
Namun, tahun 243 ia meninggalkan Alexandria untuk ambil
bagian dalam ekspedisi yang dipimpin oleh kaisar Yordanus
III ke negeri-negeri di Timur dalam rangka memperluas
wawasan filosofis dengan pemikiran Persia dan India. Namun
ekspedisi tersebut gagal akibat kematian kaisar Yordanus III
dan Plotinos berada dalam bahaya besar di negeri antah
berantah. Dengan bantuan dari beberapa orang-orang dan
tekad baja, Plotinos sampai di Antiokia. Tahun 244 ia tiba di
Roma dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di kota
Abadi ini sebelum di masa tuanya ia berpindah ke Campania
dalam rangka mewujudkan cita-citanya mendirikan sebuah
polis ideal.
2. Metode Refleksi
Dari sudut metode berpikir Plotinos menyempurnakan
dialektika Platon. Dialektika bagi Platon bukan sekedar cara
kerja, melainkan mengacu pada praksis hidup yang sarat
dengan keutamaan atau kebajikan. Hal ini diperoleh melalui
distingsi yang tegas tentang dunia indrawi dan dunia ide serta

28
kemampuan individu untuk keluar dari pengaruh badan dan
dunia indrawi menuju ke dunia ide.
Ada dua tahapan dialektika Plotinos. Tahap pertama
terletak pada proses peralihan dari yang indrawi ke hal yang
rasional. Tahap kedua berada pada gerak naik secara moral-
intelektual, peninggian atau conversio secara bertahap dalam
dunia rasional hingga mencapai puncak inteligibilitas. Ketika
manusia mencapai fase akhir atau puncak (fase ketiga), maka
ia berada pada status ekstasi
3. Intisari Pemikiran
Bila menyimak secara saksama Enneadi, maha karya
Plotinos, maka kita dapat menemukan enam pemikiran yang
fundamental atau enam intisari dari refleksi filosofisnya.
Semua penjelasannya yang rumit dan berbelit-belit dalam
Enneadi berkisar pada enam tema dasar tersebut.
1. Plotinos membedakan secara tegas antara dunia indrawi dan
dunia batiniah-inteligibilis, antara yang badaniah dan nir-
badaniah, materia dan forma.
2. Dunia inteligibilis-spiritual berada dalam relasi triadis atau
teori hipostasis (ὑπόστασις dari akar kata ὑπό «di bawah»
dan στάσις «berada») atau substansi, subsistensi,
suppositum, yang mengacu pada hal yang tinggal tetap di
balik fenomen yang berubah. Ketiga hipostasis itu ialah
Satu (Unum), Roh (Nous) dan Jiwa (Psykhe).
3. Pola relasi di antara ketiga hipostasis itu bersifat emanatif-
hirarkis: substansi pertama memancarkan (emanasi)
substansi kedua dan substansi kedua memunculkan
substansi ketiga (Satu ► Roh ► Jiwa). Hipostasis yang
tertinggi memunculkan yang rendah dari dirinya atau
memberikan dirinya tanpa kekurangan apapun.
4. Materi fisik-indrawi merupakan sebuah prinsip yang
mengalir dari hipostasis ketiga (jiwa) dan bukan prinsip
yang berdiri sendiri. Eksistensi materi disimpulkan dari
eksistensi entitas inteligibilis-batiniah.
5. Dunia inteligibilis dan dunia indrawi merupakan sebuah
kesatuan realitas. Semua mengalir dari Sang Satu dan Sang
Satu berada di dalam semua realitas. Yang lebih rendah

29
berada di dalam yang lebih tinggi dan yang lebih tinggi
menghasilkan dan menyangga yang lebih rendah. Kalau
diterapkan pada relasi badan dan jiwa, maka Plotinos
menegaskan bahwa badan berada di dalam jiwa dan bukan
kebalikannya.
6. Semua mengalir dari Sang Satu sebagai Prinsip pengada
dan akan kembali lagi bersatu dengannya. Kesatuan dengan
Sang Satu pada tataran manusiawi dapat dicapai oleh setiap
orang tatkala ia masuk ke dalam dirinya dan mengalami
persatuan mistik dengan Sang Satu dalam ekstasi.
Hipostasis Satu
Plotinos berpendapat bahwa prinsip tertinggi ada adalah
Satu. Sang Satu itu berada di seberang ada, hakikat dan
inteligensi. Sang Satu juga melampaui substansi (ousia) dan
Roh (nous). Sang Satu merupakan prinsip absolut dan fondasi
tunggal realitas. Semua berada dalam satu kesatuan dengan
Sang Satu, karena semua berasal dari-Nya dan Dia berada
dalam semua. Jadi akar dari kesatuan semua realitas baik yang
berada pada tataran spiritual (nous dan psykhe-jiwa) maupun
pada tataran entitas fisik adalah Sang Satu.
Karakter dasariah Sang Satu adalah ketidakberhinggaan-
infinitus. Ketakberhinggaan Sang Satu dipahami sebagai
aktivitas pengadaan-pemunculan yang nirmaterial, nirbatas,
nirhabis. Sang Satu adalah sumber dari segala sumber energi
spiritual yang memiliki daya cipta tanpa batas.
Perlu diingat bahwa Sang Satu yang dimaksudkan Plotinos
bukan dalam pengertian kesatuan yang tertentu. Sang Satu
merupakan sebab dan alasan berada dari semua. Sang Satu
adalah keabsolutan tanpa batas (simplicitas absolut), daya
cipta tak berhingga, kebaikan in se yang melampaui semua
kebaikan. Dalam cara pandang yang demikian kita dapat
mengerti afirmasi Plotinos bahwa Sang Satu melampaui ada,
pikiran dan hidup. Sang Satu adalah Pikiran Super, Ada Super
dan Hidup Super serta Kehendak Super.
Mengapa Sang Satu adalah Dia yang berada demikian?
Karena pada Sang Satu berada dan beraktivitas adalah
identik. Dia menciptakan dirinya sendiri secara bebas. Pikiran

30
dan kehendaknya adalah sama; Sang Satu adalah penyebab
dirinya sendiri (causa sui).
Bagaimana segala sesuatu mengalir dari Sang Satu? Pada
fase pertama, dari Sang Satu mengalir Roh. Fase kedua, dari
Roh mengalir Jiwa dan fase ketiga, dari jiwa mengalir semua
entitas material. Meski semua mengalir dari Sang Sumber,
namun Sang Satu tidak menjadi miskin. Dia tetap tinggal
secara sempurna dalam dirinya.
Sang Satu memiliki dua aktivitas yang berbeda. Aktivitas
pertama adalah aktivitas Sang Satu itu sendiri dalam dan untuk
dirinya sendiri. Aktivitas kedua merupakan aktivitas yang
berasal dari Sang Satu untuk memunculkan yang lain.
Hipostasis Roh
Roh mengalir dari Sang Satu dan aktivitasnya ialah
memandang dan mengkontemplasi Sang Satu sebagai sumber
dirinya. Roh disebut dengan istilah alteritas inteligibel,
materialitas inteligibel dan gerak inteligibel.
Ketika memandang Sang Satu, Roh dipenuhi oleh daya
cipta Sang Satu dan lahirlah substansi, esensi dan ada.
Manakala Roh itu melakukan kontemplasi tentang Sang Satu
maka, muncullah pikiran yang benar dan sejati. Itulah dua sisi
dari aktivitas Roh.
Kemunculan hipostasis Roh merupakan kelahiran
kemajemukan. Roh merupakan inteligensi dan inteligibel serta
inteligibel merupakan kemajemukan yang berada dalam
kesatuan.
Pada tataran pemikiran, Roh tidak memikirkan Sang Satu,
tetapi memikirkan dirinya sendiri yang telah dipenuhi dan
buahi oleh Sang Satu. Ketika melihat Sang Satu, Roh
melihatnya sebagai Satu, tetapi ketika melihat dirinya sendiri
Roh memandang diri sebagai pluralitas. Roh adalah segala
sesuatu, tempat bersemayam semua ada rohaniah. Ada dan
pikiran adalah identik; ide adalah roh dan roh adalah ide
Roh merupakan hidup, hidup yang sempurna dan tak-
berhingga. Hidup hipostasis kedua merupakan hidup dalam
dimensi spiritual, sehingga berada di luar jangkauan ruang dan

31
waktu. Karena itu, roh tiada lain adalah semesta inteligibel,
semesta ide.
Ide bagi Plotinos mengacu pada daya inteligensi, daya
hidup intelek. Ide adalah roh yang menentukan ada dan
sekaligus pluralitas roh yang menentukan roh itu sendiri.
Dalam arti itu Ide adalah ide-ide dan Roh merupakan roh-roh,
sehingga Roh adalah tunggal dan plural, satu unitas yang
majemuk dan kemajemukan yang tunggal.
Karakter ide adalah a) nirmaterial atau nirbadani dan b)
infinitus. Sejauh nirbadani ada dan roh tidak dapat dipahami
sebagai jamak, melainkan alteritas inteligibel atau diferensiasi
yang murni spiritual. Jadi, ide-ide merupakan kemajemukan
yang sederhana dan tunggal.
Roh bersifat tak-berhingga, memiliki setiap hal dan dalam
setiap hal terdapat semua hal yang lain. Selain itu, roh bersifat
abadi. Di dalam roh ada masa lalu dan masa depan. Telah dan
nanti berada dalam sekarang-kini.
Roh adalah sebab keberadaan dirinya dan ide adalah
sebab dari eksistensi dirinya sendiri. Maka dalam dunia roh,
berada dan alasan berada adalah identik.
Karena Roh mengunci semua hal dalam dirinya, maka di
dalam roh terdapat semesta ide dari segala realitas sebagai
realitas individual. Maka prinsip individuasi bagi Plotinos
bukanlah materi, melainkan ide atau roh.
Roh merupakan dunia yang tertata dan harmonis,
sehingga layak disebut sebagai dunia yang indah. Keindahan
mengacu pada forma. Sesuatu disebut indah bila memiliki
forma. Roh sebagai dunia forma dan ide merupakan keindahan
tertinggi dan absolut.
Kategori dunia roh adalah: a) ada atau substansi, b)
stabilitas atau perhentian, c) gerak, d) identik, e) berbeda.
Dalam dunia roh, realitas adalah ada, pikiran roh berarti gerak
roh, tetapi pada saat yang sama, aktivitas berpikir roh
mensyaratkan stabilitas terkait muatannya. Roh adalah identik
dengan dirinya sendiri; roh adalah roh, tetapi pada saat yang
sama roh berbeda dari apa yang dipikirkannya.

32
Hipostasis Jiwa
Roh memiliki aktivitasnya sendiri dan sekaligus aktivitas
yang mengalir darinya. Dari aktivitas yang mengalir atau
terarah keluar, lahirlah hipostasis jiwa. Jiwa adalah pikiran roh
atau rangkaian aksi dan hidup yang diproyeksikan roh untuk
memunculkan yang lain.
Dengan mengarahkan diri dan mengkontemplasikan Roh,
jiwa melihat Sang Satu dengan perantaraan Roh. Jadi Sang
Satu merupakan landasan terakhir dari semua realitas jiwa.
Esensi jiwa tidak hanya terletak pada berpikir, melainkan
menghasilkan dan memberikan hidup kepada semua realitas,
mengatur, menata dan memerintah realitas. Jiwa menata,
menyangga dan memerintah dan tugas itu sejajar dengan
menghasilkan, melahirkan dan membuat hidup segala sesuatu.
Jiwa merupakan sebab produsen utama, prinsip pencipta dan
penghidup segala sesuatu. Jadi jiwa bukan hanya prinsip gerak,
melainkan gerak itu sendiri.
Melihat peran jiwa sebagai penata, penyangga dan
pemerintah serta penghasil, pelahir dan penghidup realitas,
maka jiwa berfungsi sebagai jembatan antara realitas
inteligibel dan realitas indrawi. Jadi, jiwa memiliki dua rupa,
rupa nirbadani dan badani, spiritual dan material, terpisah dan
utuh, tunggal dan jamak, berbeda dan identik.
Semesta jiwa berciri hirarkis. Pertama, ada jiwa tertinggi,
jiwa universal, jiwa murni dan utuh yang berada pada dunia
inteligibel dan berpadu dengan roh. Kedua, ada jiwa dari
keseluruhan, jiwa dunia dan semesta indrawi yang menyangga
dan memerintah semesta raya. Jiwa dunia memiliki relasi
dengan yang fisik-badani, tetapi belum masuk dan merasuk ke
dalam entitas fisik. Ketiga ada jiwa-jiwa partikular yang
menjiwai dan memerintah setiap benda, yaitu jiwa bintang-
bintang, jiwa manusia dan jiwa semua makhluk hidup. Jiwa
partikular ini merasuk di dalam entitas fisik dan memiliki
relasi yang erat dengan jiwa dunia.
Perbedaan dari jiwa dunia dan jiwa-jiwa partikular
bergantung pada besar dan kecil derajad kontemplasinya dan

33
keterarahannya pada roh. Jika terarah pada tubuh, maka
derajad kontemplasinya lebih rendah dari yang lain.
Aktivitas jiwa mengarah pada sudut yang berlawanan. Di
satu sisi aktivitas jiwa terarah pada kontemplasi dunia roh. Di
sisi lain jiwa terarah pada produksi dan penciptaan dunia
indrawi.
Tatkala jiwa memproduksikan dunia fisik-badani, maka
pada fase itu jiwa membentuk alam semesta (physis). Alam
merepresentasi sudut terjauh dunia spiritual-inteligibel. Pada
taraf ini, alam bukanlah hasil dari aktivitas penciptaan yang
irasional, melainkan aktivitas penciptaan yang disertai nalar
dan berasal dari logos. Dengan demikian, alam merupakan
eidos dan logos, satu forma rasional yang menghasilkan forma
rasional yang lain. Jadi, alam semesta merupakan kontemplasi,
penghasil forma-forma dalam materi.
Kelahiran Dunia Fisik
Pertanyaan penting adalah bagaimana dunia fisik dapat
muncul dari hipostasis ketiga (jiwa), yang hakikatnya adalah
rohaniah-spiritual? Materi – dunia fisik merupakan tahapan
terakhir atau titik penghabisan dari daya produksi jiwa. Maka
materi merupakan kekurangan, keabsenan dari daya Sang Satu
atau Sang Baik (hipostasis pertama). Privatio kebaikan atau
daya Sang Satu merupakan sebuah keburukan (malum), tetapi
bukan dalam arti kekuatan jahat melainkan ketakhadiran yang
positif belaka. Karena itu, materi disebut juga bukan ada (non
essere) atau berbeda dari ada.
Mengapa materi bukan ada dan berada di bawah ada? Hal
itu disebabkan oleh fakta bahwa materi tidak berasal dari jiwa
tertinggi, melainkan dari sudut terjauh jiwa. Jauh dari jiwa
tertinggi berarti materia berada di luar kontemplasi, sehingga
untuk membuatnya mampu mengarahkan diri pada dunia atas
atau asal usulnya, materi perlu dituntun, diperbaiki, diberitahu,
ditata dan diikatkan pada ada.
Dunia fisik lahir secara demikian. Pertama-tama jiwa
meletakkan materi. Pada proses peletakan tersebut jiwa sedang
menjadi temaram, gelap, habis. Fase berikut, jiwa memberikan
forma kepada materi. Memberikan forma berarti mengusir

34
kegelapan dan memulihkan kembali cahaya yang temaram,
supaya materi terarah pada asal-usulnya. Jika pada tahapan
pertama jiwa melemah dalam kontemplasi, pada tahap kedua
jiwa mengarahkan diri pada kontemplasi. Jadi, materi adalah
cermin forma, gema ide, sehingga semua merupakan forma
dan logos.
Kelahiran Waktu
Bagaimana waktu muncul di alam semesta? Waktu lahir
dari aktivitas jiwa tatkala menciptakan materi. Jiwa hendak
membagikan keabadian kepada segala yang ada dan karena itu
keluar dari kesatuan ilahirnya, bergerak terus dalam beragam
aksi yang saling berurutan. Dari gerak dan aksi yang berurutan
demikian lahirlah suksesi sebelum dan sesudah.

C. Gregorius dari Nyssa


Gregorius dari Nyssa lahir pada tahun 335 dan wafat 394.
Kerap kali orang salah kaprah menyamakan Gregorius dari
Nyssa dengan Gregorius Nazianze yang dijuluki Gregorius
Sang Teolog (329-389). Formasi intelektualnya berada di
bawah bimbingan Basilius. Karya-karyanya meliputi De
hominis opificio atau Tentang Formasi Manusia, Komentar
tentang Kidung Agung dan 8 Sabda Bahagia, Dialog dengan
Macrinus tentang Jiwa dan Immortalitas. Ada beberapa
gagasan dasar Gregorius yang cukup menarik diperhatikan.
1. Manusia
Dunia terpisah ke dalam dua wilayah, yaitu dunia
yang kelihatan dan dunia yang tidak kelihatan. Manusia
ambil bagian dalam dunia yang kelihatan dengan tubuhnya dan
dengan jiwa berpartisipasi pada dunia yang tidak kelihatan.
Karena posisi yang demikian, manusia menduduki posisi
puncak dalam dunia yang kelihatan sejauh sebagai makhluk
yang dilengkapi dengan nalar.
Sesudah manusia disusul dengan makhluk hidup lain yang
memiliki hanya pengindraan, gerak dan hidup, kemudian
diikuti oleh tumbuh-tumbuhan tidak memiliki jiwa yang

35
sempurna, karena hanya mampu bertumbuh dan makan dan
terakhir adalah benda-benda mati. Manusia mempunyai semua
tingkatan hidup: nabati seperti tumbuhan, bergerak dan
mengindrai bagai binatang dan menalar karena manusia.
Dalam nalarnya sudah terkandung kemampuan hidup dan
melayani. Lalu, bagaimana menjelaskan kesatuan badan jiwa?
Jiwa ialah prinsip penghidup (animator) badan. Jiwa
manusia merupakan substansi tercipta, hidup dan dibekali
dengan nalar yang memadukan hidup dan sensibilitas dengan
badan yang telah tertata dan mampu merasakan. Gregorius
menolak tesis Origenes yang mengakui pre-eksistensi jiwa
dan transmigrasi jiwa, karena bertentang dengan distingsi
kelas makhluk hidup seakan semua sehakikat dan sekodrat dan
bertolak belakang dengan iman kristen. Mengakui bahwa jiwa
belum ada sebelum badan sama saja mengatakan bahwa jiwa
diciptakan sesudah badan, yang secara logis adalah absurd,
karena badan tanpa jiwa bukanlah badan, melainkan sekedar
mayat. Dengan demikian, eksistensi badan secara niscaya
mengandaikan kehadiran jiwa, sehingga jiwa dan badan
diciptakan secara simultan oleh Allah. Menciptakan kesatuan
jiwa dan badan berarti menciptakan manusia.
Hidup manusia yang dihasilkan dari persetubuhan sudah
memuat manusia dalam ketulusannya. Jiwa yang telah hadir
sejak semula membentuk tubuhnya secara progresif dan
memperjelas semua kemampuannya sehingga memberikan
latihan kepada organ-organ penting. Tubuh hidup dalam
semua bagiannya dan jiwa hadir dalam semua secara
bersamaan. Kehadiran dan aksi jiwa menyatakan diri dalam
semua bagian tubuh yang dijiwainya, sehingga jikalau ada
organ yang sakit atau lemah, jiwa tidak bisa menggunakannya.
Jadi, jiwa mustahil terpisah dari badan.
Gregorius dari Nyssa berkeyakinan pula bahwa jiwa tak
pernah terpisah dari unsur-unsur yang membentuk tubuh pun
setelah mati. Memang benar terjadi bahwa unsur-unsur
demikian pada waktu itu melenyap, namun jiwa adalah
nirmaterial dan karena itu tetap berada dalam kesatuan dengan
tubuh. Keyakinan tersebut merupakan tafsiran atas dua ide

36
kristiani, yaitu doktrin kebangkitan badan dan kesatuan badan-
jiwa yang membentuk manusia yang melawan dualisme
Platonis. Manusia adalah makhluk rasional karena mempunyai
nalar (νοῦς) yang dinyatakan dalam kata-sabda (λόγος).
Eksistensi pikiran terungkap dalam tata perilaku manusia dan
caranya menciptakan perangkat aturan seputar hidupnya serta
menyesuaikan diri dengan tatanan dunia yang dihidupinya.
2. Allah
Upaya untuk membuktikan eksistensi Allah bertitik tolak
dari manusia yang dalam dirinya memiliki λόγος sebagai
ekspresi rasional νοῦς-nya. Eksistensi pikiran merupakan
landasan bagi proses penyimpulan bahwa manusia serta alam
semesta pasti diciptakan dan dituntun oleh satu Pikiran-Allah.
Allah hendaklah dipahami pertama-tama sebagai NOUS,
pikiran tertinggi yang melahirkan LOGOS sebagai penyataan
diriNya. Logos adalah subsisten dan hidup dalam keabadian.
Karena hidup Logos memiliki kehendak dan karena ilahi,
kehendakNya itu mahakuasa dan sekaligus baik secara absolut.
Manakala sabda nalar manusia (verbum mentis) meniru
kelahiran abadi LOGOS ilahi dan keterikatannya dengan
pikiran manusia, maka terungkaplah consubstansialitas sabda
dan pikiran. Dalam hal ini, bukti eksistensi jiwa (di mana nalar
merupakan bagian integralnya) menjamin eksistensi Allah dan
eksistensi Allah menjamin eksistensi jiwa.
Bagaimana hubungan Trinitas dijelaskan secara nalariah?
Gregorius dari Nyssa menjelaskannya dengan berangkat dari
nafas manusia. Nafas yang dihembuskan tubuh yang berjiwa
meniru gerak Roh Kudus. Sama seperti pernafasan mengalir
dari kesatuan badan dan jiwa, demikian pula Roh Kudus
bergerak keluar secara bersamaan dari Bapa dan Putra. Dengan
demikian, nalar memberikan kesaksian mengenai kebenaran
dogma Trinitas dan menegaskan superioritas konsep kristen
tentang Allah dibandingkan dengan konsepsi Ibrani dan fasik.
Bangsa Yahudi sudah mengenal kesatuan kodrat ilahi, namun
mengabaikan distingsi pribadiNya, sementara kaum fasik telah

37
memperbanyak pribadi ilahi, tetapi mereka mengenal kesatuan
kodratNya.
3. Misteri Kejahatan
Allah menciptakan dunia dari ketiadaan dengan tindakan
bebas kebaikanNya. Fakta bahwa alam semesta berasal dari
ketiadaan setali dengan mutabilitas-tunduk pada perubahan.
Mutabilitas demikian terungkap jelas pada manusia dan libero
arbitrio-nya. Dengan kemampuan memilih yang baik atau
yang buruk, manusia telah lebih memilih kejahatan daripada
kebaikan. Mengingat bahwa kejahatan bukanlah realitas
positif yang dapat dipilih, maka kejahatan merupakan hal
yang negatif murni yang secara hakiki tidak dipilih manusia.
Pada titik ini manusia merupakan pencipta dan demiurgo
kejahatan.
Akibat langsung dari dosa tersebut adalah gambaran cerah
Allah dalam manusia tertutup oleh karat. Manusia yang
diciptakan menurut gambar dan rupa Allah menjadi tidak dapat
dikenal dan keberbedaan dari jiwa demikian mengimbas pada
tubuh. Kekeliruan manusia terletak pada preferensi terhadap
yang indrawi dan bukan yang ilahi, sehingga yang dominan
menguasai ruang kesadaran manusia adalah yang indrawi
tersebut. Akibat terkontaminasi oleh noda jiwa, tubuh menjadi
dapat binasa.
Allah telah melihat terlebih dahulu kekeliruan dan segala
konsekwensinya bagi manusia. Guna menjamin keabadian ras
manusia, Allah telah menciptakan manusia pria dan wanita.
Pembagian jenis kelamin merupakan akibat dosa atau paling
sedikit lahir dari penglihatan antisipatif Allah terhadap dosa.
Tanpa dosa asal manusia akan bertambah banyak secara
rohaniah murni seperti para malaikat. Pola reproduksi
kebinatangan yang dilakukan manusia menjadi penanda
derajat penjauhan dan kehilangan manusia dari kemiripan
dengan Allah. Jadi, gerak kembali kepada Allah merupakan
tindakan yang harus dilakukan untuk menghapus salah satu
dari akibat dosa.

38
Conversio ad Deum melingkupi juga badan manusia.
Persoalan dasar dan krusial adalah ciri dasar badan sebagai
materi: bagaimana materi dapat berasal dari Allah yang
nirmateri? Gregorius dari Nyssa menanggapinya dengan
mengatakan bahwa kesulitan dasar berasal dari pengertian
umum tentang makna materi. Gagasan materi tidak bersangkut
paut dengan dimensi dan batasan. Berat-ringan, kuantitas-
kualitas, figura dan batas merupakan konsep murni (ἔννοιαιϰαὶ
ψιλὰ νοήματα).
Kajian tentang materi oleh nalar dituntaskan dalam
elemen-elemen yang merupakan obyek pengetahuan rasional,
namun kombinasi atau percampuran dari berbagai elemen itu
menimbulkan kebingungan yang disebut materi. Saat Musa
mengatakan bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi,
ia berbicara tentang langit dan bumi sebagai obyek indrawi,
namun ekspresi demikian digunakan karena dia sedang
berhadapan dengan orang biasa yang hanya mengerti hal
indrawi.
Perlu dimengerti bahwa hal yang inteligibel merupakan
substansi yang dari mana berasal tampilan indrawi. Apa yang
diceritakan dalam Kitab Kejadian pertama-tama adalah
penciptaan hal ihwal inteligibel yang menjadi dasar realitas.
Dengan penjelasan ini orang mengerti bahwa keselamatan
dapat dan harus mencakup manusia secara keseluruhan (badan
dan jiwa) dan bukan jiwa semata. Gregorius dari Nyssa
menegaskan bahwa keselamatan merupakan adalah karya
rahmat, walau tetap dituntut usaha keras kehendak manusia.
Manusia diselamatkan dengan cara memulihkan kemiripannya
dengan Allah yang tidak dihancurkan secara tuntas, tetapi
hanya dibatal oleh dosa. Jadi, karya keselamatan merupakan
sebuah penciptaan baru oleh Allah sendiri melalui Logos yang
berinkarnasi.
Mengingat bahwa kejahatan muncul dari kelenyapan cinta
manusiawi, yang telah menyimpang dari Allah dan tertuju
hanya kepada ciptaan, maka pemulihannya tiada lain adalah
restaurasi kesatuan intim manusia dengan Allah melalui cinta,
seperti terungkap dalam Kidung Agung dalam bentuk alegori.

39
Iman merupakan momen pertama dari reuni Allah dengan
manusia, namun karitas yang menyertai iman mendorong
kaum beriman untuk melakukan penyempurnaan moral dan
kontemplasi spiritual yang menjadi intisari kehidupan setiap
orang kristen.
Hasil dari upaya meraih kesempurnaan moral dan
kontemplasi spiritual adalah purifikasi jiwa, sehingga terjadi
restaurasi kemiripan ilahi yang terhapus oleh dosa. Seorang
kristiani dituntut hanya untuk mengenal diri sendiri, karena
dengan mengenal diri sendiri, ia mengenal Allah, seperti
ditegaskan oleh Sokrates. Tatkala kemiripan itu semakin
mencapai taraf tertinggi, kehidupan mistik mulai memberikan
hasil yang terindah dan sungguh membahagiakan. Dengan
demikian, eskatologi Gregorius dari Nyssa mengakui bahwa
seluruh dunia yang sudah disucikan dari segala noda dosa akan
menemukan lagi kesempurnaan awalinya setelah penderitaan
niscaya yang membebaskan dan malam gelap gulita batin
(ἀνελπιστια) atau via negativa.
D. Nemesius
Salah seorang tokoh penting dalam refleksi filosofis pada
abad IV dan V sesudah Gregorius dari Nyssa adalah Nemesius,
uskup di Emesa, dengan nama Latin: Nyssenus, karena ia
memperkenalkan diri di bawah otoritas Gregorius dari Nyssa.
Nilai penting pemikiran Nemesius dibuktikan dari berbagai
argumentasinya yang dikutip oleh Gregorius Magnus, guru
Thomas Aquinas dan kutipan-kutipan dengan judul secara
enigmatik dalam Metalogicon karya John dari Salisbury.
Karya utama Nemesius ialah De natura hominis yang ditulis
sekitar tahun 400-an.
1. Manusia
Dalam ranah pengetahuan manusia pengetahuan tentang
hakikat manusia, terutama jiwa merupakan titik pusatnya.
Studi tentang manusia merupakan bagian dari ilmu fisika dan
dari ilmu fisika ini muncul berbagai cabang ilmu pengetahuan
tentang alam semesta. Nemesius memberi nama kepada fisika
sebagai pohon pengetahuan alam (Πρέμνονφυσϰόν).

40
Hakikat manusia menjelaskan posisi sentral pengetahuan
yang mempelajari dan mendalaminya. Manusia adalah mikro-
cosmos, terdiri atas badan dan jiwa rasional yang berfungsi
sebagai jembatan bagi dunia jasmaniah dan dunia batiniah.
Dalam alam semesta terdapat suatu kontinuitas di antara forma
vegetatif (tumbuhan), forma sensitif (hewan) dan forma
intelektif (manusia). Kesatuan tatanan alam semesta ini
merupakan bukti paling nyata bagi eksistensi Allah.
Posisi sebagai pengantara atau jembatan bagi dunia
badaniah dengan dunia rohaniah menjelaskan problem masa
depan manusia: atau akan semakin mirip dengan Allah atau
semakin berbeda denganNya akibat pilihan hidup yang terarah
atau pada kebaikan spiritual atau aneka keinginan badani.
Nemesius yakin bahwa pemahaman manusia tentang hakikat
dirinya dan jiwa, benar atau keliru berpengaruh besar terhadap
hidup pribadi baik dalam artian positif maupun negatif.
Dalam sejarah pemikiran terdapat dua doktrin utama
tentang jiwa, yaitu a) Platon dan beberapa filosof lainnya yang
memandang jiwa sebagai substansi, b) Aristoteles dan
Dinarcus yang menyangkal jiwa sebagai substansi. Menurut
Aristoteles jiwa merupakan “aktus pertama badan alami yang
mempunyai hidup dalam potensi”. Dinarcus berpendapat
bahwa jiwa merupakan “harmoni dari empat elemen dasar
yang bersaing untuk membentuk tubuh manusia”. Dari kedua
doktrin tersebut, Nemesius lebih berpihak kepada Platonisme
yang dianggapnya sebagai filsafat quasi kristiani: jiwa
merupakan substansi nirbadani yang sempurna dalam dirinya
sendiri, substantia incorporea suimet expletiva.
Platon menegaskan bahwa manusia bukanlah jiwa dan badan,
melainkan sebuah jiwa yang memerlukan badan tertentu.
Dalam hal ini Platon mengenal manusia lebih baik daripada
Aristoteles dan mengarahkan kita pada studi tentang jiwa
belaka dan keilahiannya. Maka, yakin sebagai jiwa, kita
mencintai dan mencari hanya kebaikan-kebaikan rohani, yakni
keutaman dan kebahagiaan; dan kita tidak mencintai hasrat-
hasrat badani, karena bukan hal-ihwal yang khas manusia,
melainkan kekhasan binatang; serta hanya akibat turunan bagi
manusia, sebab ia adalah juga binatang.

41
Pendirian doktrinal Nemesius yang cenderung pada ajaran
Platon berpengaruh besar dalam Abad Pertengahan dan
dipakai oleh kalangan Agustinian untuk melawan pemahaman
Aristotelian tentang manusia sebagai kesatuan substansial
badan-jiwa. Karena pemahaman demikian, Aristotelianisme
dianggap sebagai filsafat kaum fasik yang berbahaya bagi
kepercayaan kristen, terutama berkaitan dengan kebangkitan
badan.
Di satu sisi, dengan memahami jiwa sebagai substansi
sempurna (Platonisme-neoplatonisme), maka lebih mudah
mengerti dan membuktikan keabadian jiwa, tetapi lebih sulit
bagi pihak yang mengertinya sebagai forma badan, karena
harus menjelaskan mengapa jiwa sebagai forma badan tidak
menderita bersama badan. Di sisi lain, mengartikan jiwa
sebagai forma (aktus) badan (Aristoteles) membuat mudah
mengerti mengapa Allah akan membangkitkan badan, karena
tanpa badan, jiwa bukanlah manusia sejati.
Para pendukung jiwa sebagai forma harus membuktikan
bagaimana jiwa adalah forma dan sekaligus sebagai substansi.
Sementara kalangan yang mendukung jiwa sebagai substansi
mesti menjelaskan bagaimana jiwa sebagai sebuah substansi
sempurna mampu berperan sebagai forma. Bagi penganut
aristotelianisme titik lemahnya terletak pada upaya untuk
menjelaskan bagaimana sesudah kematian jiwa dapat hidup
tanpa badan selama menanti kebangkitan. Sedangkan untuk
Platonisme kesulitannya adalah bagaimana perpaduan kedua
substansi dapat memiliki satu-kesatuan. Nemesius menelisik
persoalan tersebut:
Platon tidak hendak mengatakan bahwa ada berjiwa terdiri dari
satu jiwa dan satu badan, tetapi ada berjiwa merupakan jiwa
yang memerlukan satu badan seperti pakaian. Namun terdapat
pula ketidakserasian didalamnya: bagaimana jiwa bisa bersatu
dengan badan? Non enim est unum vestis con vestito: pakaian
tidak bersatu (identik) dengan orang yang mengenakannya?
Untuk menjawab persoalan itu Nemesius menggunakan
argumentasi Ammonius Sacca dalam Didascalus Plotini dan
doktrin Plotinus yang menegaskan bahwa hal ihwal yang

42
intelligibel memiliki hakikat yang mampu menyatukan diri
dengan semua badan yang sanggup menerimanya, tetapi tetap
tinggal berbeda dari badan itu: ut unita maneant inconfusa et
incorupta, ut adjacentia.
Ketika berbicara tentang badan, perpaduan senantiasa
menyebabkan kebingungan; unsur-unsur melenyap dalam
percampuran, santapan menjadi darah yang menyesuaikan diri
dengan daging dan semua anggota badan. Sementara itu,
substansi inteligibel hanya dapat hidup secara demikian atau
berhenti hidup. Karena itu, problem perpaduan jiwa dengan
badan dapat dipecahkan dengan cara mencerap modifikasi dari
kesatuannya: quod autem uniatur, compassion demonstrate.
Jika pada saat membahas tentang hakikat jiwa Nemesius
menjauh dari Aristoteles, maka ketika berbicara tentang badan
ia mengikuti alur deskripsi Aristotelian. Nemesius menerima
teori Aristoteles tentang empat elemen dasar (tanah, air, udara
dan api) dan empat kualitas (panas, dingin, lembab, kering).
Hakikat beragam unsur ini diciptakan dari ketiadaan dan
Nemesius tidak tertarik dengan kontroversi antara Platon dan
Aristoteles tentang materi, karena Kitab Suci tidak menyebut
istilah materi, tetapi hanya menegaskan creatio ex nihilo.
2. Kemampuan Jiwa dan Moral
Menurutnya jiwa mempunyai 3 kemampuan (fakultas):
imaginasi, memoria dan intelektus. Imaginasi merupakan
fakultas nir-rasional dan digerakkan oleh hal-ihwal yang
dapat diimaginasi. Yang dapat diimaginasi (φανταστόν, hoc est
imaginabile) merupakan sesuatu yang tunduk pada imaginasi.
Secara hakiki subyek sanggup menghasilkan gambaran yang
tidak bersangkut paut dengan obyek apapun atau tanpa dapat
diimaginasikan, yaitu fantasma (φαντασμα).
Pada langkah berikut, Nemesius membahas klasifikasi
Stoisme tentang fakultas imaginasi yaitu φαντασίa, φανταστόν,
φανταστιϰόν, φαντασμα dan distingsi ini hanya bersifat verbal.
Nemesius membuktikan dengan jelas bahwa sarana-sarana
imaginasi adalah bilik belakang otak, roh-roh binatang dan
panca indra.

43
Memoria adalah fakultas penyimpan dan penghasil
ingatan. Reproduksinya sesudah periode lupa ialah kenangan
(rememoratio) dan gagasan ini mirip dengan gagasan Platon
tentang penemuan setiap pengetahuan bawaan (connaturale)
dalam nalar. Tempat kemampuan demikian adalah bilik tengah
otak, karena terbukti bahwa luka pada bilik ini mengakibatkan
lecet pada memoria.
Intelektus merupakan fakultas pengenalan jiwa. Jiwa
terdiri atas dua bagian, yakni bagian rasional dan bagian
irrasional. Berbeda dari Platon dan beberapa filosof lain serta
Apollinaris, Uskup Laodicea (392) untuk menafsirkan 1 Tes.
5:23 yang membagi manusia menjadi tiga bagian: intelektus
(πνεῦμα), jiwa (ψυχή), badan (σῶμα), Nemesius mengikuti
tafsiran Aleksander dari Afrodisia atas doktrin Aristoteles
yang menganggap intelek atau nalar sebagai in potentia secara
kodrati dalam diri manusia, tetapi berada in actu berkat
pengaruh dari luar. Jadi, bila argumentasi Platon tentang
manusia sebagai sebuah jiwa yang secara hakiki memerlukan
badan diteruskan ke titik kesimpulan, maka jiwa dibekali
secara kodrati dengan pengetahuan intelektif, dalam artian
jiwa adalah nalar.
Berkaitan dengan jiwa irrasional, Nemesius mengertinya
sebagai bagian integral dari jiwa, yakni sebuah fakultas,
partem et virtutem, yang tunduk pada nalar dan tidak tunduk
padanya. Bagian irrasional yang tunduk pada nalar dibedakan
dalam dua bagian, yaitu appetitif-selera (desiderabilis) dan
gelora semangat (irascibilis)-wilayah kekuasaan semua hasrat
(passio). Secara umum hasrat merupakan arus perubahan yang
timbul dalam suatu subyek akibat sesuatu yang berasal dari
luar (passio = patire = menderita). Tubuh manusia merupakan
wilayah untuk perubahan demikian, tetapi yang disebut passio
hanyalah kehadiran sesuatu yang cukup penting untuk dicerap
oleh sensibilitas. Dalam artian sempit passio merupakan
modifikasi tubuh yang tercerap akibat kehadiran sesuatu yang
baik atau buruk.
Hasrat-hasrat appetitif utama ialah kesenangan dan
kesakitan. Mengikuti Epikurus Nemesius mengelompokkan

44
kesenangan ke dalam a) alamiah dan niscaya, b) alamiah tapi
tidak niscaya, c) bukan alamiah dan bukan pula niscaya. Di
atas semua hasrat kebinatangan ini terdapat aneka kesenangan
spiritual murni atau lebih tepat kegembiraan, karena suatu
kesenangan ialah passio, sedangkan kegembiraan merupakan
aksi. Adapun kesakitan dan afeksi, seperti kemarahan dan
ketakutan tiada lain adalah hasrat kebinatangan. Di bawah
hasrat kebinatangan ini terdapat bagian irrasional jiwa yang
tidak tunduk pada nalar, seperti fungsi nutritif, generatif dan
vital.
Nemesius membedakan tindakan manusia ke dalam
perbuatan yang dikehendaki (voluntarium) dan yang tidak
dikehendaki (involuntarium), terlepas dari apakah perbuatan
itu dilakukan dengan ignoransi maupun kekerasan. Prinsip
aktus involuntarium berada di luar kewenangan pelaku dan
sering disertai ignoransi tentang keadaan yang mengitarinya.
Prinsip aktus voluntarium terdapat secara hakiki dalam
kewenangan pelaku dan disertai dengan pengetahuan yang
rinci terhadap keadaan yang mengitarinya.
Dari pemahaman tentang dua prinsip tindakan Nemesius
membuat definisi bahwa aktus disebut perbuatan voluntarium
jikalau mempunyai prinsipnya dalam subyek yang mengenal
semua keadaan. Sementara tindakan yang bukan voluntarium
maupun involuntarium seperti pencernaan dan asimilasi,
membentuk kategori non voluntarium murni.
Aktus voluntarium terdiri dari tiga momen berikut ini:
pertimbangan (consilium-deliberatio), keputusan (iudicium)
dan pilihan (praeelectio). Pilihan merupakan aktus campuran
dari keputusan dengan hasrat dalam determinasi yang terpadu,
seperti kesatuan jiwa dan badan yang membentuk manusia.
Dengan kata lain, pilihan merupakan pertimbangan yang
menginginkan atau keinginan yang dipertimbangkan.
Pertimbangan tersebut tidak berpijak di atas tujuan, yang
adalah obyek keinginan, melainkan sarana-sarana untuk
memperolehnya. Pertimbangan menjamin atau membuktikan
realitas kehendak bebas, karena individu yang memberikan
pertimbangan merupakan prinsip aktus. Karena nalar adalah

45
sumber deliberasi atau dasar membuat suatu pertimbangan,
jelaslah sekali bahwa akar kebebasan manusia terletak pada
rasionya.
Manusia merupakan ada yang berubah sebagai akibat
dari statusnya sebagai ciptaan, namun mampu memilih secara
rasional bermacam obyek kehendak. Allah telah menciptakan
manusia secara demikian dan harus demikian bertindak seturut
hakikatnya. Dalam arti bahwa tindakan manusia bergantung
pada dirinya, kebiasaannya entah baik atau buruk tergantung
pada tindakannya. Jadi, manusia memegang tanggung jawab
terhadap hidup yang bergantung secara penuh pada dirinya
sendiri.
Distingsi dan klasifikasi yang dibuat Nemesius bersumber
dari metafisika Platon dan epistemologi Aristoteles. Gagasan-
gagasan dasar yang telah dimunculkan Nemesius akan menjadi
bahan penting dalam elaborasi kemudian oleh para pemikir
medioevo. Di bawah otoritas Gregorius dari Nyssa, refleksi
Nemesius dapat diterima oleh hampir semua pemikir kristen
dan berpengaruh cukup besar dalam perdebatan teologis-
filosofis yang mewarnai pemikiran medioevo. Pengaruhnya
berkaitan terutama dengan posisi Gereja yang lebih memilih
Neo-platonisme daripada Aristotelianisme dalam upaya fides
quaerens intellectum kekristenan. Sikap positif terhadap
Aristotelianisme hanya terjadi sejak era Thomas Aquinas yang
berhasil membuat sintesis jenial antara pemikiran Aristoteles
dan ajaran iman kristen.

46

Anda mungkin juga menyukai