Anda di halaman 1dari 12

ABSTRAK

BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI OSTEOARTHRITIS (OA)


Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak (Price dan Wilson,
2012). Disebut juga penyakit sendi degeneratif, merupakan ganguan sendi yang
tersering. Kelainan ini sering menjadi bagian dari proses penuaan dan merupakan
penyebab penting cacat fisik pada orang berusia di atas 65 tahun. Sendi yang paling
sering terserang oleh osteoarthritis adalah sendi-sendi yang harus memikul beban
tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan sevikal, dan sendi-sendi pada jari
(Price dan Wilson, 2012).
Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan
ditandai oleh adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang
baru pada permukaan persendian. Osteoarthritis adalah bentuk arthritis yang paling
umum, dengan jumlah pasiennya sedikit melampaui separuh jumlah pasien arthritis.
Gangguan ini sedikit lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki (Price dan
Wilson, 2012).

B. ETIOLOGI
Faktor resiko pada osteoarthritis, meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Peningkatan usia, OA biasanya terjadi pada usia lanjut, jarang dijumpai penderita
OA yang berusia di bawah 40 tahun. Di Indonesia, prevalensi OA mencapai 5%
pada usia < 40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia > 61 tahun
2. Obesitas, membawa beban lebih berat akan membuat sendi sambungan tulang
berkerja lebih berat, diduga memberi andil terjadinya AO. Serta obesitas
menimbulkan stres mekanis abnormal, sehingga meningkatkan frekuensi penyakit.
3. Jenis kelamin wanita. Perkembangan OA sendi-sendi interfalang distal tangan
(nodus Heberden) lebih dominan pada perempuan. Nodus Heberdens 10 kali lebih
sering ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki (Price dan Wilson,
2012). Kadar estrogen yang tinggi juga dilaporkan berkaitan dengan peningkatan
resiko. Hubungan antara estrogen dan pembentukan tulang dan prevalensi OA pada
perempuan menunjukan bahwa hormon memainkan peranan aktif dalam
perkembangan dan progresivitas penyakit ini (Price dan Wilson, 2012). Wanita
yang telah lanjut usia atau di atas 45 tahun telah mengalami menopause sehingga
terjadi penurunan estrogen. Estrogen berpengaruh pada osteoblas dan sel endotel.
Apabila terjadi penurunan estrogen maka TGF-β yang dihasilkan osteoblas dan
nitric oxide (NO) yang dihasilkan sel endotel akan menurun juga sehingga
menyebabkan diferensiasi dan maturasi osteoklas meningkat. Estrogen juga
berpengaruh pada bone marrow stroma cell dan sel mononuklear yang dapat
menghasilkan HIL-1, TNF-α, IL-6 dan M-CSF sehingga dapat terjadi OA karena
mediator inflamasi ini. Tidak hanya itu, estrogen juga berpengaruh pada absorbsi
kalsium dan reabsorbsi kalsium di ginjal sehingga terjadi hipokalasemia. Kedaan
hipokalasemia ini menyebabkan mekanisme umpan balik sehingga meningkatkan
hormon paratiroid. Peningkatan hormon paratiroid ini juga dapat meningkatkan
resobsi tulang sehingga dapat mengakibatkan OA.
4. Trauma, riwayat deformitas sendi yang diakibatkan oleh trauma dapat
menimbulkan stres mekanis abnormal sehingga menigkatkan frekuensi penyakit.
5. Faktor genetik juga berperan dalam kerentanan terhadap OA, terutama pada kasus
yang mengenai tangan dan panggul. Gen atau gen-gen spesifik yang bertanggung
jawab untuk ini belum terindentifikasi meskipun pada sebagian kasus diperkirakan
terdapat keterkaitan dengan kromosom 2 dan 11. Beberapa kasus orang lahir
dengan kelainan sendi tulang akan lebih besar kemungkinan mengalami OA.

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA
sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik adalah OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya
perubahan degeneratif yang terjadi pada sendi yang sudah mengalami deformitas, atau
degenerasi sendi yang terjadi dalam konteks metabolik tertentu. Selain dari jenis
osteoarthritis yang lazim, ada beberapa varian lain. OA peradangan erosif terutama
menyerang sendi pada jari-jari dan berhubungan dengan episode peradangan akut yang
menimbulkan deformitas dan alkilosis. Hiperostosis alkilosis menimbulkan penulangan
vertebra (Price dan Wilson, 2013).

D. PATOFISIOLOGI
Osteoartritis terjadi akibat kondrosit (sel pembentuk proteoglikan dan kolagen
pada rawan sendi) gagal dalam memelihara keseimbangan antara degradasi dan sintesis
matriks ekstraseluler, sehingga terjadi perubahan diameter dan orientasi serat kolagen
yang mengubah biomekanik dari tulang rawan, yang menjadikan tulang rawan sendi
kehilangan sifat kompresibilitasnya yang unik (Price dan Wilson, 2012). Selain
kondrosit, sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi
sinovitis, yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang
mengalami peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan
berbagai sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriks
rawan sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan
ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim proteolitik.
Perkembangan osteoarthritis terbagi atas tiga fase, yaitu sebagai berikut.
1. Fase 1
Terjadi penguraian proteolitik pada matrik kartilago. Metabolisme kondrosit
menjadi terpangaruh dan meningkatkan produksi enzim seperti metalloproteinases
yang kemudian hancur dalam matriks kartilago. Kondrosit juga memproduksi
penghambat protease yang akan mempengaruhi proteolitik. Kondisi ini
memberikan manifestasi pada penipisan kartilago.
2. Fase 2
Pada fase ini terjadi fibrilasi dan erosi dari permukaan kartilago, disertai adanya
pelepasan proteoglikan dan fragmen kolagen ke dalam cairan sinovia.
3. Fase 3
Proses penguaraian dari produk kartilago yang menginduksi respon inflamasi pada
sinovia. Produksi makrofag sinovia seperti interleukin 1 (IL 1), tumor necrosis
factor-alpha (TNFα), dan metalloproteinases menjadi meningkat.
Kondisi ini memberikan manifestasi balik pada kartilago dan secara langsung
memberikan dampak destruksi pada kartilago. Molekul-molekul pro-inflamasi
lainnya seperti nitric oxide (NO) juga terlibat. Kondisi ini memberikan manifestasi
perubahan arsitektur sendi, dan memberikan dampak terhadap pertumbuhan tulang
akibat stabilitas sendi. Perubahan arsitektur sendi dan stres inflamasi memberikan
pengaruh pada permukaan artikular menjadikan kondisi gangguan yang progresif.
Gambar. 3. Gambaran Osteoartritis (Price dan Wilson, 2013).

Osteoartritis pernah dianggap sebagai kelainan degeneratif primer dan kejadian


natural akibat proses ”wear and tear” pada sendi sebagai hasil dari proses penuaan.
Tetapi, temuan-temuan yang lebih baru dalam bidang biokimia dan biomekanik
telah menyanggah teoari ini. Osteoartritis adalah sebuah proses penyakit aktif pada
sendi yang dapat mengalami perubahan oleh manipulasi mekanik dan biokimia.
Terdapat efek penuaan pada komponen sistem muskuloskeletal seperti kartilago
artikular, tulang, dan jaringan yang memungkinkan meningkatnya kejadian
beberapa penyakit seperti OA (Price dan Wilson, 2012).
Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun
karena berbagai faktor risiko yang ada, maka terjadi erosi pada tulang rawan dan
berkurangnya cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi untuk menjamin
gerakan yang hampir tanpa gesekan di dalam sendi berkat adanya cairan sinovium
dan sebagai penerima beban, serta meredam getar antar tulang. Tulang rawan yang
normal bersifat avaskuler, alimfatik, dan aneural sehingga memungkinkan
menebarkan beban keseluruh permukaan sendi. Tulang rawan matriks terdiri dari
air dan gel (ground substansi), yang biasanya memberikan proteoglikan, dan
kolagen.
E. PENATALAKSANAAN
1. Pendidikan kesehatan mengenai hal berikut ini
a. Aktivitas yang menurunkan tekanan berulang pada sendi
b. Upaya dalam penurunan berat badan.
2. Terapi fisik.
Osteoarthritis pada lutut akan menyebabkan kondisi disuse atrofi pada otot
kuadriseps. Latihan kekuatan otot akan menurunkan kondisi disuse atrofi. Latihan
fisik juga akan membantu dalam upaya penurunan berat badan dan meningkatkan
daya tahan.
3. Terapi obat simtomatis
a. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) adalah obat-obat yang
digunakan untuk mengurangi nyeri dan peradangan pada sendi-sendi. Contoh-
contoh dari NSAIDs termasuk aspirin dan ibuprofen. Saat ini obat pilihan utama
yang digunakan dalam terapi osteoarthritis adalah natrium diklofenak.
Adakalanya adalah mungkin untuk menggunakan NSAIDs untuk sementara dan
kemungkinan menghentikan mereka untuk periode-periode waktu tanpa gejala-
gejala yang kambuh, dengan demikian mengurangi resiko-resiko efek samping.
1) Analgetik seperti tramadol.
2) Obat relaksasi otot (muscle relaxants).
3) Injeksi glukokortikoid intraartrikular.

II. KONSEP KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/istirahat
Gejala : nyeri sendi karena pergerakan, nyeri tekan, yang memburuk dengan stress
pada sendi, kekakuan sendi pada pagi hari.
Tanda : malaise, keterbatasan ruang gerak, atrofi otot, kulit kontraktur atau kelainan
pada sendi dan otot.
2. Kardiovaskular
Gejala : fenomena Raynaud jari tangan/kaki, missal pucat intermitten, sianotik
kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal.
3. Integritas ego
Gejala : faktor-faktor stress akut/kronis missal finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, factor-faktor hubungan social, keputusasaan dan
ketidakberdayaan. Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas diri missal
ketergantungan pada orang lain, dan perubahan bentuk anggota tubuh.
4. Makanan / cairan
Gejala : ketidakmampuan untuk menghasilkan atau mengonsumsi makanan atau
cairan adekuat, anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.
Tanda : penurunan berat badan, dan membrane mukosa kering.
5. Hygiene
Gejala : berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara
mandiri, ketergantungan pada orang lain.
6. Neurosensory
Gejala : kebas/ kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
Tanda : pembengkakan sendi asimetri
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : fase akut dari nyeri ( disertai/ tidak disertai pembengkakan jaringan lunak
pada sendi ), rasa nyeri kronis dan kekakuan ( terutama pada pagi hari)
8. Keamanan
Gejala : kulit mengkilat, tegang, nodus subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki, kesulitan
dalam menangani tugas/ pemeliharaan rumah tangga, demam ringan menetap,
kekeringan pada mata, dan membrane mukosa.
9. Interaksi social
Gejala : kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain, perubahan peran, isolasi.

B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Nyeri kronis berhubungan dengan proses inflamasi
2. Risiko cidera berhubungan dengan hilangnya kekuatan otot
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan rentang gerak
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
N Diagnosa NOC NIC
O
1. Nyeri Kriteria hasil : (1400) Manajemen Nyeri
Kronis 1. Lakukan pengkajian nyeri
Setelah dilakukan tindakan
(001330) secara komprehensif termasuk
keperawatan 3x24 jam diharapkan
Domain 12 : lokasi, karakteristik, durasi,
pasien mampu untuk:
Kenyamanan frekuensi, kualitas dan faktor
1. Menunjukkan kontrol nyeri
Kelas 1 : presipitasi
dengan indikator :
Kenyamanan 2. Observasi reaksi nonverbal dari
a. Mengenali factor penyebab dari
Fisik ketidaknyamanan
sekala 2 jarang menjadi sekala 4
3. Gunakan teknik komunikasi
sering melakukan
terapeutik untuk mengetahui
b. Mengenali onset lamanya sakit
pengalaman nyeri pasien
dari sekala 2 jarang menjadi
4. Kaji kultur yang mempengaruhi
sekala 4 sering melakukan
respon nyeri
c. Menggunakan metode
5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
pencegahan dari sekala 2 jarang
menentukan intervensi
menjadi sekala 4 sering
6. Ajarkan tentang teknik non
melakukan
farmakologi
d. Menggunakan metode
7. Berikan analgetik untuk
nonanalgetik untuk mengurangi
mengurangi nyeri
nyeri dari sekala 2 jarang menjadi
8. Evaluasi keefektifan kontrol
sekala 4 sering melakukan
nyeri
e. Menggunakan analgetik sesuai
9. Kolaborasikan dengan dokter
kebutuhan dari sekala 2 jarang
jika ada keluhan dan tindakan
menjadi sekala 4 sering
nyeri tidak berhasil
melakukan
2. Risiko Kriteria hasil: 1. Identifikasi faktor yang
Cidera Setelah dilakukan tindakan mempengaruhi kebutuhan
(00035) keperawatan 3x24 jam diharapkan keamanan, misalnya perubahan
Domain : 11 Pasien mampu untuk: status mental, keletihan, usian
(Keamanan/ 1. Menunjukkan Risiko kematangan, pengobatan dan
Perlindungan Cedera menurun dengan defisi motorik atau sensorik
) indikator : (misalnya, berjalan dan
Kelas : 2 a. Keamanan personal dari sekala 2 keseimbangan).
(Cedera jarang menjadi sekala 4 sering 2. Identifikasi faktor lingkungan
Fisik) menunjukkan yang memungkinkan resiko
b. Pengendalian resiko dari sekala 2 terjatuh (misalnya, lantai licin,
jarang menjadi sekala 4 sering karpet yang sobek, anak tangga
menunjukkan tanpa pagar pengaman, jendela,
c. Lingkungan rumah yang aman dan kolam renang).
dari sekala 2 jarang menjadi 3. Bantu ambulasi pasien, jika
sekala 4 sering menunjukkan perlu.
4. Sediakan alat bantu berjalan
(seperti tongkat dan walker).
5. Bila diperlukan gunakan
restrain fisik untuk membatasi
resiko jatuh.
6. Ajarkan pasien untuk berhati-
hati dengan alat terapi panas.
7. Berikan materi edukasi yang
berhubungan dengan strategi
dan tindakan untuk mencegah
cedera.
3. Hambatan Kriteria hasil: (0221) Terapi: Ambulasi
Mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Monitoring vital sign
Fisik keperawatan 3x24 jam diharapkan sebelum/sesudah latihan dan
(00085) Pasien mampu untuk: lihat respon pasien saat latihan
Domain : 4 1. Menunjukkan 2. Kaji kemampuan pasien dalam
(Aktivitas/ Ambulasi dengan indikator : mobilisasi
Istirahat) a. Berjalan dengan langkah efektif 3. Dampingi dan Bantu pasien saat
dari skala 2 jarang dilakukan mobilisasi dan bantu penuhi
Kelas 2 :
menjadi skala 4 sering dilakukan kebutuhan ADLs pasien.
Aktivitas
b. Berjalan dengan langkah lambat 4. Berikan alat Bantu jika klien
/latihan
dari skala 2 jarang dilakukan memerlukan
menjadi skala 4 sering dilakukan 5. Latih pasien dalam pemenuhan
c. Berjalan dengan langkah sedang kebutuhan ADLs secara mandiri
dari skala 2 jarang dilakukan sesuai kemampuan
menjadi skala 4 sering dilakukan 6. Ajarkan pasien atau tenaga
d. Berjalan dengan cepat dari skala 2 kesehatan lain tentang teknik
jarang dilakukan menjadi skala 4 ambulasi
sering dilakukan 7. Ajarkan pasien bagaimana
e. Berjalan dengan langkah naik dari merubah posisi dan berikan
skala 2 jarang dilakukan menjadi bantuan jika diperlukan
skala 4 sering dilakukan (0224) Terapi Latihan: Mobilitas
f. Berjalan dengan langkah turun Sendi
dari skala 2 jarang dilakukan 1. Tentukan keterbatasan dalam
menjadi skala 4 sering dilakukan melakukan gerakan
g. Berjalan dengan jarak jauh dari 2. Kolaborasi dengan ahli terapi
skala 2 jarang dilakukan menjadi fisik dalam melakukan program
skala 4 sering dilakukan latihan
3. Tentukan tingkat motivasi
pasien untuk mempertahankan
atau megambalikan mobilitas
sendi dan otot
4. Dukung pasien dan keluarga
untuk memandang keterbatasan
dengan realitas
5. Pantau lokasi dan
ketidaknyamanan selama
latihan
6. Berikan analgesic sebelum
memulai latihan fisik
7. Pantau pasien terhadap trauma
selama latihan
8. Dukung latihan ROM aktif
datau pasif jika perlu

D. IMPLEMENTASI
Melaksanakan tindakan sesuai dengan intervensi yang telah di rencanakan dan
di lakukan sesuai dengan kebutuhan klien/pasien tergantung pada kondisinya. Sasaran
utama pasien meliputi peredaan nyeri, mengontrol ansietas, pemahaman dan
penerimaan penanganan, pemenuhan aktivitas perawatan diri, termasuk pemberian obat,
pencegahan isolasi sosial, dan upaya komplikasi.

E. EVALUASI
Melakukan pengkajian kembali untuk mengetahui apakah semua tindakan yang
telah dilakukan dapat memberikan perbaikan status kesehatan terhadap klien sesuai
dengan kriteria hasil yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges E Marilyn.1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed3. Jakarta: EGC.

NANDA International. (2015). Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi Edisi


10, 2015-2017. Jakarta : EGC.

Pearce, Evelin C. 2011. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2001. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI : Jakarta.

Price & Wilson. 2012. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :
EGC.
Sudoyo, A.,dkk. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing, Jakarta.

Smeltzer c Suzanne.2002. Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and


Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai