Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH ASUHAN NEONATUS, BAYI

DAN BALITA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT , atas segala limpahan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul KEBUTUHAN
IMUNISASI.
Sholawat beriring salam juga tak lupa kami sampaikan kepada nabi Muhammad SAW yang telah
mengantarkan kehidupan ini menjadi lebih beradab. Dalam penyusunan makalah ini banyak
mengalami hambatan, namun berkat arahan dan bimbingan dari berbagai pihak maka kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Oleh sebab itu pada kesempatan ini kami
mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan semua masukan dan
arahan sehingga makalah ini dapat diselesikan.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan
dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu saran dan kritik kami harapkan demi
kesempurnaan dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat terutama kami sebagai
penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

Gresik, 15 November 2014


Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….2
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………..3
BAB I:PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang…………………………………………………………………4
1.2 Rumusan masalah…………………………………………………………….5
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………….5
BAB II :PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Imunisasi……………………………………………………6
2.2 Jenis jenis imunisasi……………………………………………………..7
2.3 Mengejar Keterlambatan Imunisasi……………………………………25
2.4 Jadwal Imunisasi…………………………………………………………31
2.5 Rantai Dingin…………………………………………………………….34
2.6 KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi)………………………………40
2.7 Mitos – Mitos Imunisasi………………………………………….44

BAB III: PENUTUP


3.1
kesimpulan………………………………………………………………………………………48
3.2
saran………………………………………………………………………………………………..
48
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Dalam bidang imunologi kuman atau racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Secara
khusus antigen tersebut merupakan bagian protein kuman atau protein racunnya. Bila antigen
untuk pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan
membentuk zat anti. Bila antigen itu kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebut antibodi. Zat anti
terhadap racun kuman disebut antioksidan. Berhasil tidaknya tubuh memusnahkan antigen atau
kuman itu bergantung kepada jumlah zat anti yang dibentuk.
Pada umumnya tubuh anak tidak akan mampu melawan antigen yang kuat. Antigen yang kuat
ialah jenis kuman ganas. Virulen yang baru untuk pertama kali dikenal oleh tubuh. Karena itu
anak anda akan menjadi sakit bila terjangkit kuman ganas.
Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh anak untuk membentuk antibodi/antitoksin terhadap
antigen, tidaklah terlalu kuat. Tubuh belum mempunyai “pengalaman” untuk mengatasinya.
Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat anti
yang cukup tinggi. Dengan cara reaksi antigen-anibody, tubuh anak dengan kekuatan zat antinya
dapat menghancurkan antigen atau kuman; berarti bahwa anak telah menjadi kebal (imun)
terhadap penyakit tersebut.
Dari uraian ini, yang terpenting ialah bahwa dengan imunisasi, anak anda terhindar dari ancaman
penyakit yang ganas tanpa bantuan pengobatan. Dengan dasar reaksi antigen antibodi ini tubuh
anak memberikan reaksi perlawanan terhadap benda-benda asing dari luar (kuman, virus, racun,
bahan kimia) yang mungkin akan merusak tubuh. Dengan demikian anak terhindar dari ancaman
luar. Akan tetapi, setelah beberapa bulan/tahun, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang,
sehingga imunitas tubuh pun menurun. Agar tubuh tetap kebal diperlukan perangsangan kembali
oleh antigen, artinya anak terseut harus mendapat suntikan/imunisasi ulangan. (Rulihari
Sri,2014)
Imunisasi merupakan cara atau transfer antibodi secara pasif. Imunisasi berfungsi untuk
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia
terpajan oleh antigen yang serupa tidak terjadi sakit. Tujuan imunisasi adalah mencegah
terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu pada
sekelompok masyarakat (populasi). (Sari Wahyuni. 2011)
Bidan sebagai salah seorang anggota profesi kesehatan memiliki tugas penting dalam konseling
dan pendidikan kesehatan, salah satunya adalah mengenai imunisasi pada anak.
1.1 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimakasud dengan Imunisasi?
2. Apa saja jenis-jenis imunisasi?
3. Bagaimana mengejar Imunisasi?
4. Kapan jadwal Imunisasi dilakukan?
5. Apakah yang dimaksud dengan rantai dingin?
6. Apa yang dimaksud dengan KIPI?
7. Apa saja mitos imunisasi?
1.2 Tujuan
1. Mengetahui tentang pengertian Imunisasi
2. Mengetahui jenis-jenis imunisasi dan jadwal Imunisasi
3. Mengetahui mengejar imunisasi
4. Mengetahui tentang KIPI
5. Mengetahui rantai dingin
6. Mengetahui mitos imunisasi

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Imunisasi


Imunisasi adalah suatu proses untuk membuat system pertahanan tubuh kebal terhadap invasi
mikroorganisme (bakteri dan virus) yang dapat menyebabkan infeksi sebelum mikroorganisme
tersebut memiliki kesempatan untuk menyerang tubuh kita. Dengan imunisasi tubuh kita akan
terlindung dari infeksi begitu pula orang lain karena tidak tertular ke kita
(Asuhan neonatus,bayi,balita dan anak prasekolah 396,2010)
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan antigen lemah agar
merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten terhadap penyakit tertentu.
(Proverawati,2010)
Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal untuk mencapai kadar kekebalan diatas
amabang perlindungan. (Depkes RI,2005)
Secara umum imunisasi adalah pemberian kekebalan tubuh terhadap suatu penyakit dengan
memasukkan sesuatu kedalam tubuh agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah
atau berbahaya bagi seseoorang. Imunisasi erasal dari kata imun yng berarti kebal atau resisten.
Imunisasi terhadap suatu penyakit hanya akanmemberikan kekebalan atau resisten pada penyakit
itu saja,sehingga untuk terhindar dari suatu penyakit imunisasi lainnya. Imunisasi biasanya lebih
focus diberikan kepada anak-anak karena system kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik
orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan suatu penyakit berbahaya. Imunisasi tidak
cukup diberikan 1 kali, tapi harus dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai
penyakit yang membahayakan kesehatan dan kehidupan anak.
Tujuan dari diberikan suatu imunitas dari imunisasi adalah untuk mengurangi angka penderita
suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada
penderitanya.
( Rulihari Sri. Imunisasi pada bayi.hal :5-6)
2.2 Jenis jenis imunisasi
2.2.1 Macam-macam Imunisasi Dasar
1. Imunisasi Polio
a. Pendahuluan
Bibit penyakit yang menyebabkan polio adalah virus
Vaksin berbentuk cairan
Kemasan sebanyak 1 cc / 2 cc dalam flacon dilengkapi dengan pipet untuk meneteskan vaksin.
Pemberian secara oral sebnyak 2 tetes langsung dari botol ke mulut bayi, tanpa menyentuh
mulut bayi.
Terdapat 2 macam vaksin polio:
IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah dimatikan
dan diberikan melalui suntikan
OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah dilemahkan
dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan.
Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer, sedangkan
dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibodi sampai pada tingkat
yang tertinggi.
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi dasar, kepada orang dewasa tidak perlu dilakukan
pemberian booster secara rutin, kecuali jika dia hendak bepergian ke daerah dimana polio masih
banyak ditemukan.
Kepada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio dan perlu menjalani
imunisasi, sebaiknya hanya diberikan IPV.
Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV,
streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV.
Kepada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV,
leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang
yang sedang menjalani terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan
lainnya.
IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare.
Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi
ditunda sampai mereka benar-benar pulih.
IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya
berlangsung hanya selama beberapa hari.
Vaksin polio sangat mudah rusak jika kena panas dibanding dengan yang lain.
Umur 2 – 11 bulan
Dosis 1 dosis adalah 2 (dua) tetes sebanyak
Cara Di berikan secara oral (melalui mulut)
Jumlah pemberian 4 kali (dosis) pemberian dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
Tunggu paling sedikit 4 minggu jarak antara pemberian 1 dan berikutnya, kalau tidak kekebalan
yang dihasilkan kurang baik.
Tidak perlu mengulang dosis 1, bila ada keterlambatan pemberian polio II.
Biasannya pemberian vaksin polio diberikan bersama – sama dengan vaksin DPT akan tetapi
pemberiannya dengan interval 2 jam.

b. Deskripsi
Vaksin oral polio hidup adalah vaksin polio trivalent yang terdiri dari suspense virus
poliomyelitis tipe 1, 2 dan 3 (strain sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan jaringan
ginjal karena akan distabilkan dengan sukrosa.
Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio,bentuk monovalen (MOPV) efektif
melawan 1 jenis polio. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)

c. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.

d. Cara Mempersiapkan Vaksin Polio


1) Menyiapkan Vaksin
• Bukalah tutup metal atau karet
• Pasanglah pipet plastic pada flacon
• Vaksin polio sipa diberikan
2) Mengatur posisi bayi dengan cara pemberian vaksin
• Ibu disuruh menelentangkan bayinya diatas pangkuannya dan memegangnya erat – erat.
• Mulut anak dibuka dengan menggunakan 2 jari sambil menekan kedua pipi anak sehingga
mulut terbuka.
• Teteskan vaksin polio langsung dari pipet kedalam mulut anak sebanyak 2 tetes.
3) Hal – hal yang perlu diperhatikan
• Dosis 2 tetes sebanyak 4X pemberian dengan selang waktu 4 minggu
• Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dropper) yang baru
e. Kontra Indikasi
a) Anak dengan diare berat
b) Anak sakit parah
c) Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid)
d) Kehamilan.

f. Efek Samping
• Pada umumnya tidak terdapat efek samping.
• Efek samping berupa paralisis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi (kurang dari
0,17 : 1.000.000 ; Bull WHO 66 : 1998)
• Kalau pun ada hanya bercak – bercak ringan (diare) karena kemungkinan vaksin tidak bekerja
dengan baik karena ada gangguan penyerapan vaksin oleh usus.
• Vaksin akan tetap diberikannya, kemudian dicoba lagi mengulanginya 4 minggu setelah
pemberian polio.
• mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.
2. Vaksin Campak
a. Pendahuluan
Bibit penyakit yang menyebabkan camapk adalah virus.
Kemasannya dalam flakon berbentuk gumpalan – gumpalan yang beku dan kering untuk
dilarutkan dalam 5 cc pelarut.
Sebelumnya vaksin dilaruitkan dengan aqua bidest.
Vaksin kering tidak akan rusak pada pembekuan.

Umur 9 – 11 bulan (pada umumnya vaksin pada bayi yang berumur kurang dari 9 bulan tidak
dapat menghasilkan kekebalan yang baik karena gangguan dari anty body / kekebalan yang
dibawa sejak lahir / diperoleh dari ibunya sewaktu bayi dalam kandungan sehingga harus
diulangi pada umur 25 bulan).
Pada usia 6 – 7 tahun (Kelas 1 SD) setelah catchup compaign campak pada anak Sekolah Dasar
Kelas 1 – 6 dilakukan imunisasi ulang (booster).
Dosis 0,5 ml
Cara Suntikan secara subkutan pada lengan kiri atas.
Jumlah Suntikan 1 X
Dapat diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin yang lain, tetapi tidak dicampur dalam 1
semprit dengan vaksin lain.

b. De
c. Deskrips
b. Definis
vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml)
mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih dari 100
mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)

d. Indiaksi
Untuk pemberian kekebalan aktif tehadap penyakit campak.

e. Cara Mempersipakan Vaksin Campak


1). Cara melarutkan vaksin campak
• Cek label flakon vaksin beberapa cc yang dibutuhkan.
• Ambillah semprit 5 cc dan jarum oplos yang steril.
• Semprit dan jarum hanya digunakan untuk oplos vaksin untuk menyuntik.
• Buka ampul / plakon pelarut yang diperlukan.
• Sedot pelarut kedalam semprit.
• Bersihkan tutup plakon dengan kapas basah dan masukkan pelarut dalam vaksin campak.
• Kocoklah sampai vaksin benar – benar telah bercampur.

2). Mengatur posisi bayi


• Dudukkan bayi dipangkuan ibunya.
• Lengan kanan bayi dilipat keketiak ibunya.
• Ibu menopang kepala bayi.
• Tangan kiri ibu memegang tangan kiri bayi.
3). Mengisi semprit
• Ambil semprit 1 cc yang telah sedia dengan jarumnya ukuran no.23, gunakan jarum yang sama
untuk mengisi semprit + menyuntik anak.
• Bersihkan tutup karet flakon yang akan digunakan dengan kapas basah.
• Isap 0,6 cc vaksin kedalam semprit.
• Semprit ditegak luruskan keatas untuk melihat gelembung udara kalau ada.
• Gelembung udara di ketok – ketok pelan sehingga gelembung naik keatas, lalu dorong piston
agar udara keluar. Vaksin segera disuntikan kepada anak.
f. Cara Penyuntikan Vaksin Campak
• Tempat yang akan disuntikan adalah 1/3 bagian lengan atas.
• Ambil sedkit kapas yang telah dibasahi dengan air bersih dan bersihkan tempat penyuntikan.
• Jepitlah lengan yang akan disuntikan dengan jari – jari tangan kiri.
• Masukkan jarum kedalam kulit yang dijepit dengan sudut kira – kira 300 terhadap lengan, jika
memasukkan jarum terlalu dalam dan control jarumnya dengan cara menarik pistolnya untuk
meyakinkan jarum tidak mengenai pembuluh darah. Bila ada darah maka jarumnya dicabut dan
dipindahkan ketempat lain.
• Tekan piston perlahan – lahan sebanyak 0,6 cc.
• Cabut jarum dan usaplah bekas suntikan dengan kapas basah untuk membersihkan kulit.

g. Kontra Indikasi
• Anak yang sakit parah
Menderita TBC tanpa pengobatan
• Defisiensi gizi dalam derajat berat
• Anak yang mengidap immune deficiency atau anak yang diduga menderita gangguan respon
imun karena leukemia, limfoma.
• infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38°Celsius
• pemakaian obat imunosupresan
• alergi terhadap protein telur
• hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin
• wanita hamil.

h. Efek samping
a) Demam ringan
Demam ini terjadi selama 1 – 3 hari setelah 1 minggu penyuntikan, kadang disertai kemerahan
seperti penderita campak lainnya.
b) Bercak merah pada pipi, dibawah telingga pada hari ke 7 – 8 setelah penyuntikan
c) Mungkin terjadi pembekakan pada tempat penyuntikan
d) Kejang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke-10 sampai dengan hari ke-12 setelah
penyuntikan (sangat jarang terjadi)
e) Radang otak (Ensefalitis / Ensepolapati) dalam 30 hari setelah penyuntikan TTP, kejadian ini
jarang terjadi (1 : 1.000.000 orang)
Efek samping diatas harus diberitahukan kepada ibu agar setelah 1 minggu setelah penyuntikan
panasnya tinggi supaya diberikan ¼ tablet antiperetik dan beri keyakinan bahwa bila anak kena
penyakit campak akibatnya jauh lebih berat bila dibandingkan efek samping vaksinasi campak.

3. Vaksin BCG (Bacillus Calmette Guerine)


a. Pendahuluan
Ditemukan oleh Calmete Guerin
Vaksinnya adalah vaksin hidup yang berasal dari bakteri
Vaksin BCG berbentuk seperti bubuk, dilarutkan dengan 4 cc cairan pelarut (NaCl 0,9 %).
Vaksin yang telah dilarutkan harus dipakai dalam waktu 3 jam. Cahaya dan panas dapat merusak
vaksin BCG.

Umur 0 – 11 bulan
Dosis 0,05 cc
Cara Suntikan intrakutan
Tepatnya di insertion M.Deltoideus kanan
Jumlah Suntikan 1X

b. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberculosis

c. Cara Pemberian
1) Persiapan Alat Untuk Pemberian Imunisasi
• Ampul BCG
• Pelarut (NaCl 0,9 %)
• Gergaji Ampul
• Semprit untuk BCG + jarum
• Kapas lembab dan plastik
2) Cara Mempersiapkan Vaksin BCG
• Membuka ampul
Sebelum vaksin dibuka, ampul diketuk – ketuk dahulu supaya semua vaksin turun ke dasar
ampul, kemudian ampul digergaji
• Cara melarutkan vaksin
Zat pelarut dihisap dengan spuit 10 cc sebanyka 4 cc dan kemudian dimasukkan ampul vaksin
BCG tunggu sebentar sampai semua serbuk larut kemudian digoyang – goyang sampai vaksin ini
larut secara merata
• Mengatur posisi bayi
a) Bayi dipangku ibunya, pakaian bayi yang menutupi lengan kanan atas dibuka
b) Tempat penyuntikan 1/3 bagian kanan atas (inertion M.Deltoideus)
c) Isilah semprit dengan vaksin BCG sebanyak 0,05 cc
• Cara mengisi semprit
a) Sediakan semprit dengan jarum 0,05 cc untuk vaksin BCG
b) Masukkan jarum kedalam ampul yang sudah dibuka
c) Pada waktu mengisap vaksin dilebihkan sedikit (satu dosis) agar pada waktu buang
gelembung udara jumlah vaksin tetap satu dosis

3) Cara Penyuntikan Vaksin BCG


• Bersihkan lengan kanan atas dengan kapas yang dibasahi aiar matang
• Peganglah lengan kanan anak dengan tangan kiri sehingga tangan kiri berada di lengan anak.
Lingkarkan jari – jari tangan anda di bawah kulit lengan atas anak meregang
• Pegang semprit dengan tangan kanan dengan lobang jarum menghadap ke atas
• Masukkan ujung jarum ke dalam kulit, usahakan sedikit mungkin melukai kulit
a) Pertahankan jarum sejajar dengan lengan anak dan lobang tetap menghadap ke atas, sehingga
hanya bagian atas jarum saja yang masuk kedalam kulit
b) Jangan menekan jarum terlalu lama dan jangan meregangkan ujung jarum terlalu menukik
• Letakkan ibu jari tangan kiri anda di atas ujung barek
• Pegang pangkal barek antara jari telunjuk dengan jari tengah lalu doronglah piston dengan ibu
jari tengan kanan anda
• Setelah vaksin habis jarumnya dicabut
• Bila vaksinasi BCG tepat maka akan timbul benjolan dikulit mendatar dengan kulit kelihatan
pucat dan pori – pori jelas
4) Hal – Hal Yang Perlu Di Perhatikan Untuk Vaksin BCG
• Pelarut yang akan digunakan harus pada suhu 00C – 80C
• Suntikan di dalam kulit (intra cutan)
• Satu jarum dan semprit untuk setiap penyuntikan
• Sisa vaksin BCG yang sudah dilarutkan dan tidak digunakan harus dibuang

d. Kontra Indikasi
• Adanya penyakit kulit yang berat / menahun
Seperti : eksim, furunkolosis dan sebagianya.
• Anak yang telah dan yang sedang menderita TBC
• Penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita leukemia, penderita yang menjalani
pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV).
e. Efek Samping
1. Reaksi Normal
• Bakteri BCG di dalam tubuh bekerja dengan sangat lambat
• Setelah 2 minggu akan terjadi pembekakan kecil merah di tempat penyuntikan dengan garis
tengah 10 mm
• Setelah 2 – 3 minggu kemudian pembengkakan menjadi abses kecil yang kemudian menjadi
luka dengan garis tengah 10 mm
• Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu anak tersebut, agar tidak memberikan obat apaun pada
luka dan membiarkan terbuka atau bila akan ditutup, gunakan kain kasa kering
• Luka tersebut akan sembuh dengan sendirinya dan meninggalkan jaringan parut (scar) bergaris
tengah 3 mm – 7 mm
• Scar ini sangat berguna karena dapat menunjukkan bahwa anak tersebut telah mendapatkan
vaksin BCG
2. Reaksi Berat
• Kadang – kadang terjadi peradangan setempat yang agak berat atau abses yang lebih dalam
• Kadang – kadang juga terjadi pembengkakan di kelenjer limpe pada leher atau ketiak
• Ini mungkin disebabkan kesalahn penyuntikan yang terlalu dalam dibawah kulit, mungkin juga
disebabkan dosis yang diberikan terlalu banyak
Hal – hal yang perlu diberitahukan kepada ibu anak adalah :
a) Bila reaksi hanya bersifat local maka tak perlu di obati, cukup dibalut dengan pembalut kering
b) Bila luka besar atau pembengkakan pada kelenjer limpe dianjurkan supaya anak tersebut
dibawa ke Puskesmas untuk berobat

3. Reaksi Sedang
• Jika anak sudah mempunyai kekebalan terhadap tuberculosis, proses pembengkakan mungkin
terjadi lebih cepat dari 2 minggu
• Ini berarti anak tersebut telah mendapatkan BCG atau kemungkinan anak tersebut telah
mendapat infeksi TBC

f. Komplikasi yang mungkin timbul adalah:


• Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan yang
terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat penyembuhan,
bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan abses dengan menggunakan
jarum) dan bukan disayat.
• Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau dosisnya terlalu
tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.
4. Vaksin DPT (Dipteri Pertusis Tetanus)
a. Pendahuluan
Terdiri dari Toxoid difteri, bakteri pertusis dan tetanus toxoid
Kadang disebut “Triple” vaksin
Dapat disimpan pada suhu 20C – 80C
Vaksin difteri akan rusak bila dibekukan / kena panas
Dalam DPT, vaksin pertusis merupakan vaksin yang paling mudah rusak.
Umur 2 – 11 bulan
Dosis 0,5 cc
Tempat Penyuntikan Intra Muskuler / Sub Kutan dalam dibagian luar paha
Jumlah Pemberian 3 X
Selang Waktu Pemberian Minimal 4 minggu. Tidak perlu mengulang DPT 1 bila ada
keterlambatan DPT 2

b. Deskripsi
Vaksin mengandung DPT berupa toxoid difteri dan toxoid tetanus yang dimurnikan dan pertusis
yang inaktifasi serta vaksin Hepatitis B yang merupakan sub unti vaksin virus yang
menagandung HBsAg murni dan bersifat non infections. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)

c. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, tetanus, pertusis dan hepatitis B.

d. Cara Pemberian
1. Menyiapkan Vaksin
• Sebelum membuka vaksin lihatlah dahulu labelnya.
• Kocok terlebih dahulu flakonnya sehingga endapan tercampur.
2. Cara Mengisi Spuit DPT
• Buka tutup metal dengan menggunakan gergaji ampul
• Usaplah karet penutup flakon dengan kapas basah
• Ambil spuit 2 cc
• Pasanglah jarum DPT ke semprit
• Isaplah udara ke dalam spuit sebanyak 0,6 cc
• Tusuklah jarum ke dalam flakon melalui tutup karet
• Masukkan udara ke dalam flakon dan isaplah vaksin sebanyak 0,6 cc ke dalam semprit
• Cabut jarum dari flakon, semprit ditegak luruskan ke atas untuk melihat gelembung udara,
apabila ada gelembung ketuklah pelan – pelan supaya gelembung naik ke atas, lalu dorong piston
sampai ukuran 0,5 cc
• Gunakan 1 semprit steril dan 1 jarum untuk setiap satu suntikan
3. Mengatur Posisi Bayi
• Bayi dipangku oleh ibu
• Tangan kiri ibu merangkul bayi, menyangga kepala, bahu dan memegang sisi luar tangan kiri
bayi
• Tangan kanan bayi melingkar ke badan ibu
• Tangan kanan ibu memegang kaki bayi dengan kuat
4. Cara Penyuntikan
• Tempat yang paling baik untuk suntikan adalah paha sebelah luar
• Letakkan ibu jari dan telunjuk pada posisi yang akan disuntik
• Peganglah otot paha antara jari – jari telunjuk dan ibu jari
• Bersihkan lokasi suntikan dengan kapas basah
• Tusukkan jarum tegak lurus kebawah melalui kulit antara jari anda sampai ke dalam otot
• Tarik piston sedikit untuk meyakinkan behwa jarum tidak mengenai pembuluh darah
• Dorong pangkal piston dengan ibu jari untuk memasukkan vaksin
• Cabut jarumnya

5. Hal – Hal Yang Perlu Diperhatian


• Pemberian 3X dengan dosis 0,5 cc interval 4 minggu, IM
• Vaksin yang digunakan jangan sampai beku
• Sisa vaksin yang sudah dibuka harus dibuang

e. Kontra Indikasi
• Gejala – gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan
pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis.
• Anak yang mengalami gejala – gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus
dihindarkan pada dosis kedua, dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.
• Hipersensitif terhadap komponen vaksin
• Tidak boleh diberikan kepada anak dengan infeksi berat yang disertai kejang.
• Panas tinggi (> 380C)
• Penyakit gangguan kekebalan (distiscensi immunologik)

f. Efek samping
1. Panas
Kebanyakan anak menderita panas pada sore hari setelah mendapatkan vaksinasi DPT, tetapi
panas ini akan sembuh dalam 1 – 2 hari. Bila panas timbul setelah dari 1 hari sesudah pemberian
DPT, bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT, mungkin ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih
lanjut.
2. Rasa sakit didaerah suntikan
Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak, ditempat suntikan. Yakinkan ibu bahwa
keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan.
3. Peradangan
Bila pembengkakan sakit terjadi 1 mingu / lebih sesudah vaksinasi, mungkin disebabkan
peradangan.
Hal ini mungkin sebagai akibat :
• Jarum suntik tidak steril
• Penyuntikan kurang dalam
4. Kejang – kejang
Reaksi ini disebabkan oleh komponen P dan DPT.

g. Jadwal Pemberian
1. Bayi umur 2 – 11 bulan
2. Setelah umur 1 ½ – 2 tahun
3. Vaksin DT pada usia 5 – 6 tahun
4. Umur 10 tahun
• Anak sudah mendapatkan DPT pada waktu bayi diberi DT 1X saja 0,5 cc. IM
• Anak tidak mendapat DPT pada waktu bayi diberi DT 2 X, interval 4 minggu, 0,5 cc. IM
• Apabila meragukan tetap diberi suntikan.
• Bila bayi mempunyai riwayat kejang, maka DPT diganti dengan DT (pemberian sama dengan
DPT)

5. Vaksin Hepatitis B
a. Pendahuluan
Pada tahun 1991 WHO merekomendasikan imunisasi terhadap Hepatitis B secara universal.
Dosis pertama harus diberikan segera mungkin setelah kelahiran (dalam waktu 72 jam). Vaksin
Hepatitis B umumnya lebih stabil panasnya dari pada vaksinasi lain dan dilakukan dirumah
dengan menggunakan alat suntuk tunggal (unifet).
PATH (The Program For Appropiate Technology In Health) dalam proyek “Health Start” di
Indonesia memasukkan vaksinasi Hepatitis B saat kelahiran sebagai bagian dari intervensi yang
dilakukan dibidang setempat selama kunjungan dirumah itu.
Bibit penyakit yang menyebabkan Hepatitis B adalah virus yang merupakan penyebab hingga
80 % dari semua penyakit hati (arsinomas yang primer di seluruh dunia)
Vaksin berbentuk cairan
Dosis 0,5 cc interval 4 minggu, IM
Digunakan pada bayi yang berumur 2 – 11 bulan dengan 3 x pemberian 1 – 2 = 4 minggu, 2 – 3
= 5 bulan interval
Kemasannya menggunkan auto disamble syringe.

b. Deskripsi
Vaksin Hepatitis B adalah vaksin virus recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non –
infectious berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula Polymorpha)
menggunakan teknologi DNA rekombinan. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)

c. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B.

d. Cara Pemberian Dan Dosis


1. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspense menjadi homogeny.
2. Vaksin disuntikan dengan dosis 0,5 ml atau 1 buah HB PID, pemberian suntikan secara intra
muskuler, sebaiknya pada anterolateral paha.
3. Pemberian sebanyak 3 dosis
4. Dosis pertama diberikan pada usia 0 – 7 hari, dosis berikutnya dengan interval minimum 4
minggu (1 bulan).

e. Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksin – vaksin lain, vaksin ini
tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang.
f. Efek Samping
Reaksi local seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan.
Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.

6. Vaksin Tetanus
a. Deskripsi Vaksin Tetanus
Vaksin TT (Tatanus Toksoid) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang telah
didimurnikan dan terabsorbsi kedalam 3,g/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml
digunakan sebagai pengawet. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)
Tetanus disebabkan oleh bakteri yang memproduksi toksan (racun)
Vaksin tersebut dari toxoid (toksin tetanus yang telah dilemahkan)
Tetanus toxoid akan rusak bila dibekukan dan kena panas.
Anak Perempuan Kelas VI SDUmur
Wanita Calon Pengantin
Ibu Selama Kehamilan
Dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU.
Tempat Penyuntikan Suntikan IM / Subkutan Dalam, bisa dari :
Muskulus deltoideus
Paha
Bokong
Jumlah Suntikan 2 x (jika ada waktu untuk dosis ke-3, ibupun harus diberikan dosis ke-3 juga).
Selang Waktu Pemberian 2 dosis dengan jarak minimal 4 minggu sebelum atau selama
kehamilan.
Dosis I pada pemeriksaan kehamilan pertama kali.
Dosis II paling lambat diberikan 2 minggu sebelum melahirkan

b. Indikasi Vaksin Tetanus


Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tetanus.
c. Cara Pemberian Vaksin Tetanus
1. Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspensi menjadi homogeny.
2. Untuk mencegah tetanus / tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan secara
intramuskuler atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan interval 4 minggu.
Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk mempertahankan kekebalan
terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan diberikan 5 dosis. Dosis keemapt dan
kelima diberikan dengan interval minimal 1 tahun setelah pemberian dosis ketiga dan keempat.
Imunisasi TT dapat diberikan secara aman selama masa kehamilan bahkan pad periode trimester
pertama.

d. Manfaat Vaksin Tetanus


• Untuk melindungi bayi dari Tetanus Neonaturum
• Antibody ibu akan masuk ke tubuh bayi melalui ari – ari
• Melindungi tubuh ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka

e. Kontra Indikasi Vaksin Tetanus


Gejala – gejala berat karena dosis pertama TT

f. Jadwal Pemberian Suntikan Tetanus


Imunisasi Interval Durasi Perlindungan
TT 1
TT 2
TT 3
TT 4
TT 5 Selama kunjungan antenatal I
4 minggu setelah TT 1
6 bulan setelah TT 2
1 tahun setelah TT 3
1 tahun setelah TT 4 –
3 tahun
5 tahun
10 tahun
25 tahun / seumur hidup

g. Efek samping Vaksin Tetanus


Efek samping jarak terjadi dan bersifat ringan. Gejala – gejala seperti lemas dan kemerahan
(nyeri kemerahan dan bengkak untuk 1- 2 hari tempat penyuntikan, ini akan sembuh sendiri dan
tidak perlu pengobatan) yang bersifat sementara, dan kadang – kadang gejala demam
(http://www.sumbarsehat.com/2012/07/pengelolaan-vaksin_21.html)
2.2.2 Imunisasi Booster (ulang)
Imunisasi booster adalah imunisasi ulangan (refaksinasi)dari imunisasi dasar yang diberikan
pada waktu-waktu tertentu dan juga di berikan bila terdapat suatu wabah yang berjangkit atau
bila terdapat kontak dengan penyakit bersangkutan.imunisasi ulangan dapat meningikan secara
cepat kadar zat-zat anti dalam tubuh.
(Anik muryani. 2010)
Penelitian di Yogyakarta, Ambon, dan Palu, oleh badan Lingkes, Depkes dan Kesos mengenai
kadar igG pada 200 anak sekolah perprofinsi pad tahun 1998, menunjukkan bahwa status anti
bodi campak hanya mencapai 71,9% sehingga pada umur 6-11 tahun jumlah yang rentan pada
infeksi campak cukup tinggi yaitu 26-32,6%. Atas dasar penelitian tersebut, imunisasi campak
ulang diberikan pada usia masuk sekolah (umur 6-7 tahun) melalui program BIAS. Imunisasi
ulang di anjurkan dalam situasi seperti berikut ini :
1. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa potensi vaksin
yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan insiden kegagalan vaksinasi). Pada anak-anak
yang memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak disarankan mengulangi
imunisasinya,tetapi hal ini bukan merupakan kontraindikasi.
2. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkata kasus campak, maka anak SD.SMP,SMA
dapat dilakukan imunisasi ulang.
3. Setuap orang yang pernah imunisasi vaksin campak virusnya sudah dimatikan (vaksin in
aktif).
4. Setiap orang yang memperoleh imunoglobin.
5. Seseorang yang tidak dapat menjukkan catatan imunisasinya.
(Rulihari Sri.2014.imunisasi pada bayi.hal:42-43)

2.2.3 Imunisai yang tidak Diwajibakn, tetapi Dianjurkan


A. Imunisasi MMR
Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap campak, gondongan dan campak Jerman dan
disuntikkan sebanyak 2 kali.
Campak menyebabkan demam, ruam kulit, batuk, hidung meler dan mata berair. Campak juga
menyebabkan infeksi telinga dan pneumonia. Campak juga bisa menyebabkan masalah yang
lebih serius, seperti pembengkakan otak dan bahkan kematian.
Gondongan menyebabkan demam, sakit kepala dan pembengkakan pada salah satu maupun
kedua kelenjar liur utama yang disertai nyeri. Gondongan bisa menyebabkanmeningitis (infeksi
pada selaput otak dan korda spinalis) dan pembengkakan otak. Kadang gondongan juga
menyebabkan pembengkakan pada buah zakar sehingga terjadi kemandulan.
Campak Jerman (rubella) menyebabkan demam ringan, ruam kulit dan pembengkakan kelenjar
getah bening leher. Rubella juga bisa menyebakban pembengkakan otak atau gangguan
perdarahan.
Jika seorang wanita hamil menderita rubella, bisa terjadi keguguran atau kelainan bawaan pada
bayi yang dilahirkannya (buta atau tuli).
Terdapat dugaan bahwa vaksin MMR bisa menyebabkan autisme, tetapi penelitian membuktikan
bahwa tidak ada hubungan antara autisme dengan pemberian vaksin MMR.
Vaksin MMR adalah vaksin 3-in-1 yang melindungi anak terhadap campak, gondongan dan
campak Jerman.
Vaksin tunggal untuk setiap komponen MMR hanya digunakan pada keadaan tertentu, misalnya
jika dianggap perlu memberikan imunisasi kepada bayi yang berumur 9-12 bulan.
Suntikan pertama diberikan pada saat anak berumur 12-15 bulan. Suntikan pertama mungkin
tidak memberikan kekebalan seumur hidup yang adekuat, karena itu diberikan suntikan kedua
pada saat anak berumur 4-6 tahun (sebelum masuk SD) atau pada saat anak berumur 11-13 tahun
(sebelum masuk SMP).
Imunisasi MMR juga diberikan kepada orang dewasa yang berumur 18 tahun atau lebih atau
lahir sesudah tahun 1956 dan tidak yakin akan status imunisasinya atau baru menerima 1 kali
suntikan MMR sebelum masuk SD.
Dewasa yang lahir pada tahun 1956 atau sebelum tahun 1956, diduga telah memiliki kekebalan
karena banyak dari mereka yang telah menderita penyakit tersebut pada masa kanak-kanak.
Pada 90-98% orang yang menerimanya, suntikan MMR akan memberikan perlindungan seumur
hidup terhadap campak, campak Jerman dan gondongan.
Suntikan kedua diberikan untuk memberikan perlindungan adekuat yang tidak dapat dipenuhi
oleh suntikan pertama.
Efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh masing-masing komponen vaksin:
• Komponen campak
1-2 minggu setelah menjalani imunisasi, mungkin akan timbul ruam kulit. Hal ini terjadi pada
sekitar 5% anak-anak yang menerima suntikan MMR.
Demam 39,5° Celsius atau lebih tanpa gejala lainnya bisa terjadi pada 5-15% anak yang
menerima suntikan MMR. Demam ini biasanya muncul dalam waktu 1-2 minggu setelah
disuntik dan berlangsung hanya selama 1-2 hari.

Efek samping tersebut jarang terjadi pada suntikan MMR kedua.


• Komponen gondongan
Pembengkakan ringan pada kelenjar di pipi dan dan dibawah rahang, berlangsung selama
beberapa hari dan terjadi dalam waktu 1-2 minggu setelah menerima suntikan MMR.

• Komponen campak Jerman


Pembengkakan kelenjar getah bening dan atau ruam kulit yang berlangsung selama 1-3 hari,
timbul dalam waktu 1-2 mingu setelah menerima suntikan MMR. Hal ini terjadi pada 14-15%
anak yang mendapat suntikan MMR.

Nyeri atau kekakuan sendi yang ringan selama beberapa hari, timbul dalam waktu 1-3 minggu
setelah menerima suntikan MMR. Hal ini hanya ditemukan pada 1% anak-anak yang menerima
suntikan MMR, tetapi terjadi pada 25% orang dewasa yang menerima suntikan MMR. Kadang
nyeri/kekakuan sendi ini terus berlangsung selama beberapa bulan (hilang-timbul).
Artritis (pembengkakan sendi disertai nyeri) berlangsung selama 1 minggu dan terjadi pada
kurang dari 1% anak-anak tetapi ditemukan pada 10% orang dewasa yang menerima suntikan
MMR. Jarang terjadi kerusakan sendi akibat artritis ini.
Nyeri atau mati rasa pada tangan atau kaki selama beberapa hari lebih sering ditemukan pada
orang dewasa.
Meskipun jarang, setelah menerima suntikan MMR, anak-anak yang berumur dibawah 6 tahun
bisa mengalami aktivitas kejang (misalnya kedutan). Hal ini biasanya terjadi dalam waktu 1-2
minggu setelah suntikan diberikan dan biasanya berhubungan dengan demam tinggi.
Keuntungan dari vaksin MMR lebih besar jika dibandingkan dengan efek samping yang
ditimbulkannya. Campak, gondongan dan campak Jerman merupakan penyakit yang bisa
menimbulkan komplikasi yang sangat serius.
Jika anak sakit, imunisasi sebaiknya ditunda sampai anak pulih.
Imunisasi MMR sebaiknya tidak diberikan kepada:
• anak yang alergi terhadap telur, gelatin atau antibiotik neomisin
• anak yang 3 bulan yang lalu menerima gamma globulin
• anak yang mengalami gangguan kekebalan tubuh akibat kanker, leukemia, limfoma maupun
akibat obat prednison, steroid, kemoterapi, terapi penyinaran atau obati imunosupresan.
• wanita hamil atau wanita yang 3 bulan kemudian hamil.
(http://nursepuspa.blogspot.com/2013/05/penyimpanan-vaccine-yang-benar.html)

B. Imunisasi Hepatitis A
Hepatitis A adalah masuknya virus Hepatitis A ke dalam tubuh, terutama menyerang hati,
sehingga bisa menimbulkan gejala-gejala hepatitis. Virus Hepatitis A sangat mudah menular dan
menyebabkan 20% – 40% dari semua infeksi hepatitis. Waktu pemberian dimulai umur 2 tahun.
Satu kali suntikan pertama, dan 6 bulan berikutnya suntikan penguat (booster) dapat memberikan
perlindungan sekurang-kurangnya 10 tahun.

C. Imunisasi Varisella (Cacar Air)


Cacar air disebabkan oleh virus varicella-zoster merupakan penyakit sangat menular. Infeksi
akibat cacar air ringan dan tidak berakibat fatal, tetapi pada sejumlah kasus, penyakit bisa sangat
serius sehingga penderitanya dirawat dan diantaranya meninggal.
Imunisasi varisella berfungsi memberikan perlindungan terhadapa cacar air. Suntikan diberikan
pada anak yang berumur 10-12 tahun dan belum pernah menderita cacar air. Suntikan varisella
sebelum berumur 13 tahun hanya memerlukan 1 dosis vaksin.
Kepada anak-anak yang berumur 13 tahun atau lebih, yang belum pernah mendapatkan vaksinasi
varisella dan belum pernah menderita cacar air, sebaiknya diberikan 2 dosis vaksin dengan
selang waktu 4-8 minggu.
D. Vaksinasi Typhoid
Demam Typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonela thypi. Dari lambung
manusia, kuman ini kemudian menyebar ke seluruh organ tubuh lainnya. Penderita infeksi
bakteri typhoid akan mengalami gejala awal berupa demam, badan mengiggil, sakit kepala,
nyerit otot, anoreksia, mual, muntah diare dan aneka gangguan perut lainnya.
Komplikasi demam typhoid dapat menyebabkan penyakit serius dan kematian. Pemberian
vaksinasi atau merupakan cara efektif untuk mencegah derita demam typhoid. Vaksin typhoid
dapat diberikan pada anak usia 2 tahun. Satu kali suntikan menjamin perlindungan terhadap
Salmonella paratyphi A dan B, dan melindungi penyakit ini sekurang-kurangnya 3 tahun.
Efek samping yang mungkin terjadi: :
reaksi alergi
demam (terjadi pada 1 dari 100 orang)
Sakit kepala (terjadi pada 3 dari 100 orang)
Indikasi
• para traveller ( pelancong ) yang berpergian menuju daerah ( negara ) epidemik.
• mereka yang berinteraksi dekat dengan penderita typhoid karier.
• tinggal / merawat anggota keluarga yang sedang terkena tipes.
• para pekerja laboratorium yang bekerja dengan materi yang berkaitan dengan bakteri
salmonella typhi.
• Dokter yang memegang bangsal dan memeriksa pasien typhoid
• anak – anak usia sekolah ( rentang usia 5 – 15 tahun ) merupakan kelompok usia yang paling
sering terkena typhoid.
• Orang yang ingin mendapat perlindungan terhadap penyakit Tipes

(http://fitrivai.wordpress.com/2007/10/23/imunisasi-lengkap-bentengi-anak-dari-penyakit-
berbahaya/)

E. HIB (Meningitis)
Imunisasi ini dapat melindungi tubuh dari virus haemophilus influenza tipe B. virus tersebut
dapat menyebabkan meningitis (peradangan selaput otak), pneumonia dan juga epiglotitis. Dalm
pemberian imunisasi dapat dilakukan pada usia 2,4,6 dan 15 bulan. Pada pemberian imunisasi ini
dapat diberikan secara terpisah atau secara kombinasi.

F. PCV (Pneomokokus)
Vaksin ini dapt melindungi tubuh dari bakteri, bakteri yang sering menyerang adalah jenis
bakteri pneomokokus yang dapat menyebabkan meningitis, infeksi telinga dan pneumonia.
Dalam pemberian vaksin ini sama halnya dengan HIB akan tetapi pada pemberian terakhir dapat
dilakukan pada usia antara 12-15 bulan. Sedangkan apabila anda baru memberikannya pada usia
anak diatas 1 tahun maka vaksin ini akan diberika 2 kali dan interval 2 bulan sedangakan apabila
diberikan pada antara usia 2-5 tahun maka akan diberikan vaksin 1 kali.

G. Influenza
Pemberian vaksin influenza dapat melindungi tubuh dari virus influenza yang sering menyerang.
Dalam pemberian vaksin ini dapat diberika 1 tahun sekali sejak usia anak anda 6 bula bahakan
bisa diteruskan hingga usia dewasa. Dan pemberian imunisasi ini diatas 2 tahun maka vaksin
diberikan dalam bentuk semprotan pada saluran pernafasan anak anda.

H. HPV (Human Papiloma Virus)


Vaksin HPV dapat melindungi tubuh dari paparan virus human papiloma yang dapat menyerang
wanita yaitu bagian kanker mulut rahim. Pada pemberian umur 10 tahun dan diberikan 3 kali
dengan jadwal dapa usia 1-2 bulan kemudian pada 6 bulan selanjutnya.
(Rulihari Sri.2014.imunisasi pada bayi.hal:44-45)

2.3 Mengejar Keterlambatan Imunisasi


Bayi sering sakit saat jadwal imunisasi dan tidak bisa mendapatkan imunisasi selama tahun
pertama kehidupannya. Bagaimana bila bayi mengalami keterlambatan imunisasinya?
Bagaimana mengejar ketinggalannya?
Pertama-tama, penting untuk kita ketahui bahwa dasar pemberian imunisasi dasar sampai usia 1
tahun bertujuan untuk mendapatkan kekebalan pertama kalinya. Pada saat sang anak berusia 1-4
tahun, imunisasi yang diberikan merupakan imunisasi ulangan yang bertujuan untuk
memperpanjang masa kekebalan imunisasi dasarnya. Masa ini juga ditujukan bagi mereka yang
mengalami keterlambatan imunisasi, untuk melengkapi imunisasinya (catch-up).
Selanjutnya, pemberian imunisasi yang terlambat masih bisa dilanjutkan hingga anak usia
sekolah (5-12 tahun ) dan remaja (13-18 tahun) , sebagai persiapan menuju masa dewasa.
Beberapa imunisasi diberikan setelah anak menginjak masa remaja, seperti imunisasi HPV.
Beberapa imunisasi harus diulang saat seseorang menjadi dewasa, seperti varicella dan hepatitis
B, bahkan pada usia dewasa tua atau usia lanjut, seperti pneumokokus dan influenza.
Imunisasi yang telah diberikan tidak akan ‘mubazir’. Banyak orang berpikir bila imunisasi
terlambat diberikan, maka pemberian imunisasi yang pertama menjadi ‘mubazir’. Berapa kalipun
banyaknya, imunisasi yang sudah diterima tubuh kita akan memberikan respons kekebalan,
walaupun kadarnya belum mencapai batas ambang proteksi dan belum memberikan
perlindungan untuk jangka waktu yang panjang. Pemberian imunisasi ulangan maupun lanjutan
(catch-up) ditujukan untuk memastikan kadar antibodi tubuh kita mencapai kadar proteksi yang
optimal, sehingga keterlambatan imunisasi bukan halangan untuk melanjutkan imunisasi.
Beberapa rekomendasi untuk imunisasi lanjutan yang terlambat:
1. BCG
Imunisasi BCG sebaiknya pertamakali diberikan pada saat bayi berusia 2-3 bulan. Pemberian
BCG pada bayi berusia < 2 bulan akan meningkatkan risiko terkena penyakit tuberkulosis karena
daya tahan tubuh bayi yang belum matang. Apabila bayi telah berusia > 3 bulan dan belum
mendapatkan imunisasi BCG, maka harus dilakukan uji tuberkulin (tes mantoux dengan
PPD2TU/PPDRT23) terlebih dulu. Bila hasilnya negatif, imunisasi BCG dapat diberikan.
Imunisasi BCG tidak membutuhkan booster.

2. Hepatitis B
Idealnya dosis pertama imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir (jika
memungkinkan < 12 jam), kemudian dilanjutkan dengan interval 4 minggu dari dosis pertama
dan interval imunisasi kedua dan ketiga yang dianjurkan adalah minimal 2 bulan dan terbaik
setelah 5 bulan. Apabila sang anak belum mendapatkan imunisasi hepatitis B semasa bayi, maka
imunisasi hepatitis B tersebut dapat diberikan kapan saja, sesegera mungkin, tanpa harus
memeriksakan kadar AntiHBs-nya. Kecuali jika sang ibu memiliki hepatitis B ataupun sang anak
pernah menderita penyakit kuning, maka ia dianjurkan untuk memeriksakan kadar HBsAg dan
antiHBs terlebih dahulu.

3. Diptheria, Pertusis, dan Tetanus (DPT)


Imunisasi DPT diberikan 3 kali sebagai imunisasi dasar dan dilanjutkan denganbooster 1 kali
dengan jarak 1 tahun setelah DPT3. Pada usia 5 tahun (sebelum masuk SD) diberikan imunisasi
DPT (DPaT/Tdap) dan pada usia 12 tahun berupa imunisasi Td. Pada wanita, imunisasi TT perlu
diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu hamil, yang bertujuan untuk mencegah
tetanus pada bayi baru lahir.
Apabila Imunisasi DPT terlambat diberikan, maka berapa pun interval keterlambatannya jangan
mengulang dari awal, namun langsung lanjutkan imunisasi sesuai jadwal. Bila anak Anda belum
pernah diimunisasi dasar pada usia < 12 bulan, maka imunisasi dasar DPT dapat diberikan pada
usia anak sesuai jumlah dan interval yang seharusnya.
Bagaimana dengan pemberian imunisasi DPT keempatnya?
munisasi DPT keempatnya tetap diberikan dengan jarak 1 tahun dari yang ketiga, dengan catatan
sebagai berikut:
a. Bila imunisasi DPT keempat diberikan sebelum ulang tahun keempatnya, maka pemberian
imunisasi DPT kelima dapat diberikan sesuai jadwal, paling cepat 6 bulan sesudahnya.
b. Bila imunisasi DPT keempat diberikan setelah ulang tahun keempatnya, maka pemberian
imunisasi DPT kelima tidak diperlukan lagi.

4. Polio
Ada dua macam imunisasi polio yang tersedia:
Imunisasi polio oral (OPV) dengan jadwal pemberian: saat lahir, usia 2, 4, 6, dan 18 bulan
Imunisasi polio suntik (IPV) dengan jadwal pemberian: usia 2, 4, 6, 18-24 bulan dan 6 – 8
tahun
Bila imunisasi polio terlambat diberikan, Anda tidak perlu mengulang pemberiannya dari awal
lagi. Cukup melanjutkan dan melengkapinya sesuai jadwal tidak peduli berapa pun interval
keterlambatan dari pemberian sebelumnya.

5. Campak
Imunisasi Campak sebaiknya diberikan pada usia 9 bulan dan dosis penguatan(second
opportunity pada crash program campak) pada usia 24 bulan serta saat SD kelas 1-6. Terkadang
terdapat program PIN (Pekan Imunisasi Nasional) campak yang bertujuan sebagai penguatan
(strengthening). Program ini bertujuan untuk mencakup sekitar 5% individu yang diperkirakan
tidak memberikan respons imunitas yang baik saat diimunisasi dulu.
Untuk anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi campak, bila saat itu anak berusia 9-12
bulan, berikan kapan pun saat bertemu. Bila anak berusia > 1 tahun, berikan MMR. Jika sudah
diberi MMR usia 15 bulan, tidak perlu campak di usia 24 bulan.
6. Measles, Mumps, dan Rubella (MMR)
Imunisasi MMR diberikan pada saat anak berusia 15-18 bulan dengan jarak minimal dengan
imunisasi campak 6 bulan. Imunisasi MMR merupakan imunisasi dengan virus hidup yang
dilemahkan, sehingga harus diberikan dalam kondisi anak yang sehat dan dengan jarak minimal
1 bulan sebelum atau sesudah penyuntikan imunisasi lain.
Booster perlu diberikan saat anak berusia 6 tahun. Bila lewat 6 tahun dan belum juga
mendapatkannya, berikan imunisasi campak/MMR kapan saja saat bertemu. Pada prinsipnya,
pemberian imunisasi campak 2 kali atau MMR 2 kali.
7. Haemophillus influenzae B (HiB)
Mirip dengan DPT , Imunisasi HiB diberikan diberikan pada usia 2,4, dan 6 bulan, dan diulang
pada usia 18 bulan. Vaksin HiB juga dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi. Apabila
anak datang pada usia 1-5 tahun, HiB hanya diberikan 1 kali. Untuk anak di atas usia 5 tahun,
tidak perlu diberikan, karena penyakit ini hanya menyerang anak di bawah usia 5 tahun

8. PCV
Tidak seperti imunisasi yang lain, jadwal kejar imunisasi terhadap pneumokokus ini diberikan
tergantung usia bayi/anak Anda. Bila bayi/anak Anda terlambat mendapatkannya, maka jadwal
imunisasi pneumokokusnya adalah sebagai berikut:

Imunisasi pneumokokus diberikan tergantung usia pasien:


• 2-6 bulan –> 3 dosis, interval 6-8 minggu (Ulangan 1 dosis, usia 12-15 bulan)
• 7-11 bulan –> 2 dosis, interval 6-8 minggu (Ulangan 1 dosis, usia 12-15 bulan)
• 12-23 bulan –> 2 dosis, interval 6-8 minggu
• >24 bulan –> 1 dosis

9. Rotavirus
Ada dua imunisasi Rotavirus yang terdapat di Indonesia:
Rotateq diberikan 3 dosis. Pertama pada usia 6-14 minggu, pemberian ke dua 4-8 minggu
kemudian, dan dosis ke-3 maksimal pada usia 8 bulan.
Rotarix diberikan 2 dosis: dosis pertama pada usia 10 minggu, dan dosis kedua pada usia 14
minggu (maksimal pada usia 6 bulan).
Apabila bayi belum diimunisasi pada usia lebih dari 6-8 bulan, maka tidak perlu diberikan
karena belum ada studi keamanannya.

10. Influenza
Vaksin influenza diberikan dosis tergantung usia anak. Pada usia 6-35 bulan ( atau <3tahun )
dosis yang diberikan cukup separuh dosis dewasa yaitu 0,25 ml. Pada Anak > 3 tahun diberikan
0,5 ml. Pada anak berusia < 8 tahun, untuk pemberian pertama diperlukan 2 dosis dengan
interval minimal 4-6 minggu, sedangkan bila anak berusia > 8 tahun, maka dosis pertama cukup
1 dosis saja satu kali setahun dan diulang setiap tahun.

11. Varisela
Vaksin varisela diberikan pada anak > 1 tahun sebanyak 1 kali. Untuk anak berusia > 13 tahun
atau pada dewasa, diberikan 2 kali dengan interval 4-8 minggu. Apabila terlambat, berikan kapan
pun saat pasien datang, karena imunisasi ini bisa diberikan sampai dewasa.
12. Hepatitis A dan Tifoid
Imunisasi hepatitis A dan tifoid diberikan pada usia lebih dari 2 tahun. Imunisasi hepatitis A
diberikan sebanyak 2 dosis dengan interval 6-12 bulan. Imunisasi tifoid diberikan pada usia lebih
dari 2 tahun, dengan ulangan setiap 3 tahun. Vaksin tifoid merupakan polisakarida sehingga
hanya diberikan di atas 2 tahun. Kalau anak Anda terlambat mendapatkannya, maka keduanya
dapat diberikan kapan saja hingga usia dewasa.
13. Human Papilloma Virus (HPV)
Vaksin HPV diberikan sejak anak berusia 10 tahun sebelum menikah/berhubungan seksual, dan
dapat diberikan hingga anak berusia 26 tahun. Vaksin ini bertujuan untuk mencegah kanker
cervix, mengingat prevalensinya lebih tinggi daripada kanker payudara. Suntikan vaksin HPV
dilakukan sebanyak 3 kali, dengan interval pemberian 0-1-6 bulan atau 0-2-6 bulan.
Imunisasi sebaiknya telah dilengkapi pemberiannya pada masa remaja, sehingga pada saat anak
beranjak remaja akhir dan dewasa, tubuhnya telah memiliki semua perlindungan yang
diperlukannya terhadap berbagai penyakit-penyakit menular yang berisiko tinggi. Imunisasi pada
masa remaja pertengahan, misalnya imunisasi hepatitis B, polio, MMR, varisela, hepatitis A,
pneumokokus polisakarida, serta vaksin untuk remaja tertentu yang berisiko tinggi harus
diberikan jika sebelumnya belum diberikan. Demikian juga, pada masa remaja akhir, semua jenis
vaksin sudah harus dilengkapi pemberiannya. Apabila Anda tidak ingat akan status imunisasi
anak Anda dan tidak memiliki catatan imunisasinya, maka anak Anda harus dianggap belum
pernah diimunisasi dan harus memulainya kembali sesuai jadwal.
(http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/mengejar-keterlambatan-imunisasi-anak.html)
2.4 Jadwal Imunisasi
Vaksin
Umur pemberian imunisasi
Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 2 3 5 6 10 12
Program Pengembangan Imunisasi (PPI, diwajibkan)
BCG

Hepatitis B
123
Polio
012345
DTP
1 2 3 4 5 6 dT atau TT
Campak
12
Program Pengembangan Imunisasi Non PPI (non PPI, dianjurkan)
Hib
1234
MMR
12
Tifoid
Ulangan, tiap 3 tahun
Hepatitis A
diberikan 2x, interval 6-12 bulan
Varisela
Kete rangan jadwal imunisasi rekomendasi IDAI, periode 2004:

Umur Vaksin Keterangan


Saat lahir Hepatitis B-1 • HB-1 harus diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dilanjutkan
pada umur 1 dan 6 bulan. Apabila status HbsAg-B ibu positif, dalam waktu 12 jam setelah lahir
diberikan HBlg 0,5 ml bersamaan dengan vaksin HB-1. Apabila semula status HbsAg ibu tidak
diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu HbsAg positif maka
masih dapat diberikan HBlg 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.
Polio-0
• Polio-0 diberikan saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS polio oral diberikan
saat bayi dipulangkan (untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain)

1 bulan Hepatitis B-2 • Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1
bulan.
0-2 bulan BCG
• BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur > 3 bulan sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.

2 bulan DTP-1 • DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp
atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)
Hib-1 • Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan
secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.
Polio-1 • Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1
4 bulan DTP-2 • DTP-2 (DTwp atau DTap) dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan
dengan Hib-2 (PRP-T).
Hib-2 • Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2
Polio-2 • Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2
6 bulan DTP-3 • DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).
Hib-3 • Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.
Polio-3 • Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3
Hepatitis B-3 • HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal,
interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
9 bulan Campak-1 • Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program
BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan,
campak-2 tidak perlu diberikan.
15-18 bulan MMR
• Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan
pada umur 12 bulan.
Hib-4 • Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
18 bulan DTP-4 • DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.
Polio-4 • Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.
2 tahun Hepatitis A • Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali
dengan interval 6-12 bulan.
2-3 tahun Tifoid • Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2 tahun.
Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.
5 tahun DTP-5 • DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DT ap)
Polio-5 • Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.
6 tahun. MMR
• Diberikan untuk catch-up immunization pada a nak yang belum mendapatkan MMR-1.
10 tahun dT/TT • Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT a tau TT) diberikan untuk
mendapatkan imunitas selama 25 tahun.
Varisela • Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Jadwal_imunisasi)

2.5 Rantai Dingin


Rangkaian sejuk (Cold Chain) adalah satu system untuk penyimpanan dan penghantaran vaksin
dalam keadaan daripada pengeluar sehingga kepada individu yang diimunisasikan.
Rantai dingin merupakan cara menjaga agar vaksin dapat digunakan dalam keadaan baik atau
tidak rusak, sehingga mempunyai kemampuan atau efek kekebalan bagi penerimanya. Jika
vaksin di luar temperatur yang dianjurkan maka akan mengurangi potensi kekebalannya.
Rantai Dingin Imunisasi
Seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya di atas, rantai vaksin atau Cold Chain adalah
Pengelolaan vaksin sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin tersimpan pada suhu dan
kondisi yang telah ditetapkan.
1. Peralatan Rantai Vaksin
Peralatan rantai vaksin adalah seluruh peralatan yang digunakan dalam pengelolaan vaksin
sesuai dengan prosedur untuk menjaga vaksin pada suhu yang telah ditetapkan. Sarana rantai
vaksin atau cold chain dibuat secara khusus untuk menjaga potensi vaksin dan setiap jenis sarana
cold chain mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing.
a. Lemari Es
Setiap puskesmas harus mempunyai 1 lemari es sesuai standar program (buka atas) Pustu
potensial secara bertahap juga dilengkapi dengan lemari es.
b. Mini Freezer
Sebagai sarana untuk membekukan cold pack di setiap puskesmas diperlukan 1 buah freezer.
c. Vaccine Carrier
Vaccine carrier biasanya di tingkat puskesmas digunakan untuk pengambilan vaksin ke
kabupaten/kota. Untuk daerah yang sulit vaccine carrier sangat cocok digunakan ke lapangan,
mengingat jarak tempuh maupun sarana jalan, sehingga diperlukan vaccine carrier yang dapat
mempertahankan suhu relatif lebih lama.
d. Thermos
Thermos digunakan untuk membawa vaksin ke lapangan/posyandu. Setiap thermos dilengkapi
dengan cool pack minimal 4 buah @ 0,1 liter. Mengingat daya tahan untuk mempertahankan
suhu hanya kurang lebih 10 jam, maka thermos sangat cocok digunakan untuk daerah yang
transportasinya mudah dijangkau.
e. Cold Box
Cold Box di tingkat puskesmas digunakan apabila dalam keadaan darurat seperti listrik padam
untuk waktu cukup lama, atau lemari es sedang mengalami kerusakan yang bila diperbaiki
memakan waktu lama.
f. Freeze Tag/Freeze Watch
Freeze Tag untuk memantau suhu dari kabupaten ke puskesmas pada waktu membawa vaksin,
serta dari puskesmas sampai lapangan/posyandu dalam upaya peningkatan kualitas rantai vaksin.
g. Kotak dingin cair (Cool Pack)
Kotak dingin cair (Cool Pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat, besar ataupun kecil
yang diisi dengan air yang kemudian didinginkan pada suhu +2ºC dalam lemari es selama 24
jam. Bila kotak dingin tidak ada, dibuat dalam kantong plastik bening.
h. Kotak dingin beku (Cold Pack)
Kotak dingin beku (Cold pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat, besar ataupun kecil
yang diisi dengan air yang kemudian pada suhu -5ºC − 15ºC dalam freezer selama 24 jam. Bila
kotak dingin tidak ada, dibuat dalam kantong plastik bening.

2. Pengelolaan Vaksin
a. Penerimaan /pengambilan vaksin (transportasi)
1) Pengambilan vaksin dari Puskesmas ke kabupaten/kota dengan menggunakan peralatan rantai
vaksin yang sudah ditentukan. Misalnya: cold box atau vaccine carrier.
2) Jenis peralatan pembawa vaksin disesuaikan dengan jumlah vaksin yang akan diambil.
3) Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, periksa indikator vaksin (VVM).
Vaksin yang boleh digunakan hanya bila indikator VVM tingkat A atau B. Sedangkan bila VVM
pada tingkat C atau D tidak usah diterima karena tidak dapat digunakan lagi.
4) Masukkan kotak cair dingin (cool pack) ke dalam alat pembawa dan di bagian tengah
diletakkan thermometer Muller, untuk jarak jauh bila freeze tag/watch tersedia dapat dimasukkan
ke dalam alat pembawa.
5) Alat pembawa vaksin yang sudah berisi vaksin, selama perjalanan dari kabupaten/kota ke
puskesmas tidak boleh kena sinar matahari langsung.
6) Catat dalam buku stok vaksin : tanggal menerima vaksin, jumlah, nomor batch dan tanggal
kadaluarsa.

b. Penyimpanan Vaksin
1) Vaksin disimpan pada suhu +2ºC − +8ºC.
2) Bagian bawah lemari es diletakkan kotak dingin cair (cool pack) sebagai penahan dingin dan
kestabilan suhu
3) Vaksin TT diletakkan lebih jauh dari evaporator.
4) Beri jarak antara kotak vaksin minimal 1-2 cm atau satu jari tangan agar terjadi sirkulasi udara
yang baik.
5) Letakkan 1 buah thermometer Muller di bagian tengah lemari es. Penyimpanan vaksin harus
dicatat 2 kali sehari pada grafik suhu yaitu saat datang pagi hari dan menjelang pulang siang/sore
hari.
c. Pemantauan Suhu
Tujuan pemantauan adalah untuk mengetahui suhu vaksin selama pendistribusian dan
penyimpanan, apakah vaksin pernah terpapar/terkena panas yang berlebih atau suhu yang terlalu
dingin (beku). Sehingga petugas mengetahui kondisi vaksin yang digunakan dalam keadaan baik
atau tidak. Adapun alat pemantau suhu vaksin antara lain :
1) VVM (Vaccine Vial Monitor )
2) Setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer Dial/Muller
3) Sebuah freeze tag atau freeze watch
4) Sebuah buku grafik pencatatan suhu.

Vaccine Vial Monitors (VVM)


VVM secara detail, menurut Getting started With Vaccine Vial Monitors (WHO, 2002) dapat
dilihat pada tabel berikut :
Penting untukdiperhatikan, bahwa kualitas vaksin hanya dapat dipertahankan jika vaksin
disimpan dan ditangani dengan tepat mulai dari pembuatan hingga penggunaan. Dan monitoring
kualitas vaksin dapat dilakukan secara cepat dengan melihat indikator VVM dan freeze tag atau
freeze watch. Selain itu, untuk menjaga rantai dingin vaksin tetap terjaga di perlukan termometer
sebagai alat pemantau suhu pada lemari es (baik dipasang didalam maupun diluar lemari)
(http://www.indonesian-publichealth.com/2012/09/penyebab-kerusakan-vaksin.html)

3. Pemeriksaan Vaksin dengan Uji Kocok


Bila vaksin tersangka beku maka untuk meyakinkan apakah vaksin masih layak atau tidak untuk
digunakan maka dilakukan pemeriksaan dengan Uji Kocok (Shake Test).
Langkah-langkah shake test sebagai berikut :
a) Periksa freeze watch, freeze tag, catatan/grafik suhu lemari es untuk melihat tanda-tanda
bahwa suhu lemari es tersebut pernah turun di bawah titik beku.
b) Freeze watch : Apakah kertas absorban berubah menjadi biru.
c) Bila menggunakan freeze tag : Apakah tanda √ telah berubah jadi tanda X.
d) Termometer : Apakah suhu turun hingga di bawah titik beku ?
e) Bila salah satu atau ketiga jawabannya YA.
4. LAKUKAN UJI KOCOK (SHAKE TEST)
a) Pilih satu contoh dari tiap tipe dan batch vaksin yang dicurigai pernah beku, utamakan yang
dekat dengan evaporator dan bagian lemari es yang paling dingin. Beri label .Tersangka beku..
Bandingkan dengan vaksin dari tipe dan batch yang sama yang sengaja dibekukan hingga beku
padat seluruhnya dan beri label .Dibekukan.
b) Biarkan contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. sampai mencair seluruhnya.
c) Kocok contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. Secara bersamaan.
d) Amati contoh .Dibekukan. dan vaksin .Tersangka beku. Bersebelahan untuk membandingkan
waktu pengendapan. (Umumnya 5-30 menit).
e) Bila terjadi :
• Pengendapan vaksin .Tersangka beku. lebih lambat dari contoh .Dibekukan., vaksin dapat
digunakan.
• Pengendapan vaksin .Tersangka beku. sama atau lebih cepat daripada contoh .Dibekukan.
jangan digunakan, vaksin sudah rusak.

Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyai
ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Untuk menghindari hal hal yang
tidak diinginkan , dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu
dan pemahaman rantai vaksin (cold-chain). Selain itu perlu pula mengenali kondisi vaksin yang
sudah tidak dapat dipergunakan lagi antara lain dari tanggal kadaluarsa, warna cairan,
kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang
sudah dilarutkan.
Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan
menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari
pabrik sampai diberikan pada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di
kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin, pentingnya
alat alat untuk mengukur dan mempertahankan vaksin.

• Suhu Optimum Untuk Vaksin Hidup


Vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +8 C , diatas suhu + 8 C vaksin hidup akan mati.
Vaksin hidup ( polio oral, BCG, campak, MMR, variccela, dan demam kuning).

• Suhu Optimum Untuk Vaksin Mati


Vaksin mati ( inaktif) sebaiknya disimpan dalam suhu +2 s/d +8C juga, pada suhu dibawah + 2C
vaksin mati akan cepat rusak.
Vaksin mati (DPT, hib, pneumukokus, typhoid, influenza, polioinaktif, meningokokus )

• Kamar Dingin Dan Kamar Beku


Suhu kamar dingin berkisar +2 s/d +8C, terutama untuk menyimpan vaksin vaksin yang tidak
boleh beku. Suhu kamar beku berisar antara -25 s/d -15 C, untuk menyimpan vaksin yang boleh
beku, terutama vaksin polio.
Suhu ruangan harus selalu dikontrol setiap hari dari data suhu yang tercatat secara otomatis.
Pintu tidak boleh sering dibuka tutup. Kamar dingin dan kamar beku tidak boleh digunakan
untuk membuat cool pack atau cold pack, atau meletakkan benda benda lain.
• Lemari Es Dan Freezer
Jarak lemari es dengan dinding belakang 10- 15 cm, kanan kiri 15 cm, sirkulasi udara harus baik,
jangan terkena sinar matahari langsung.
Suhu dalam lemari es harus berkisar +2 C s/d +8C, digunakan untuk menyimpan vaksin hidup
ataupun vaksin mati, dan untuk membuat cool pack (kotak dingin cair), sedangkan suhu dalam
freezer berkisar antara -25 s/d -15 C, khusus untuk menyimpan vaksin polio dan pembuatan cold
pack(kotak es beku).
Pintu lemari es ada 2 jenis : terbuka ke depan dan terbuka ke atas , lemari es yang terbuka ke atas
lebih dianjurkan untuk menyimpan vaksin.

• Susunan Vaksin Di Dalam Lemari Es


Vaksin hidup kita letakkan dekat dengan bagian yang paling dingin, sedangkan vaksin mati kita
letakkan di area yang jauh dari area dingin. Diantara kotak kotak vaksin kita beri jarak selebar 2
jari tangan ( 2cm) agar udara dingin bisa menyebar merata ke semua kotak vaksin.
Pelarut vaksin jangan disimpan dalam lemari es atau freezer, karena kan mengurangi ruang untuk
vaksin, dan akan pecah bila beku. Penetes ( dropper) juga jangan diletakkan di dalam freezer
karena akan menjadi rapuh dan mudah pecah.

• Lemari Es Dengan Pintu Membuka Kedepan


Rak tepat dibawah freezer digunakan untu menyimpan vaksin hidup, karena tidak mati pada suhu
rendah. Rak ke 2 dan 3 digunakan untuk meletakkan vaksin mati. Thermometer dial atau muller
diletakkan di rak ke 2.

• Lemari Es Dengan Pintu Membuka Ke Atas


Bagian yang paling dingin pada lemari es model ini adalah bagian tengah( evaporator) vaksin
hidup diletakkan di kanan kiri bagian evaporator, dan vaksin mati diletakkan jauh dari tengah,
thermometer dial atau muller diletakkan di dekat vaksin mati.

• Wadah Pembawa Vaksin


Untuk membawa vaksin sedikit dan tidak terlalu jauh menggunakan cool box ( kotak dingin )
atau vaccine caries ( termos ). Cold box berukuran lebih besar, dengan ukuran 40 – 70 liter,
dengan penyekat suhu dari poliuretan.

• Cold Pack Dan Cool Pack


Cool pack berisi air dingin tidak beku, biasanya di dalam wadah plastic berwarna merah atau
biru.
Cold pack berisi air yang dibekukan dalam suhu -15 s/d -25 C, biasanya di dalam wadah plastic
berwarna putih.
Cold pack dimasukkan dalam termos untuk mempertahankan suhu vaksin ketika membawa
vaksin hidup sedangkan cool pack (cair) untuk mmembawa vaksin hidup dan vaksin
mati(inaktif).
Menilai Kualitas Vaksin

Kualitas Rantai Vaksin Dan Tanggal Kadaluarsa


Mempertahankan kualitas vaksin maka penyimpana dan transportasi harus memenuhi syarat
rantai vaksin antara lain : disimpan dalam lemari es atau freezer, transportasi di dalam kotak
dingin aau termos yyang tertutup rapat dan tidak terendam air, terlindung dari sinar matahari
langsung, belum melewati yanggal kadaluarsa, indikator suhu berupa VVM atau freeze watch.

VVM ( Vaccine Vial Monitor)


Alat ini digunakan untuk memantau apakah vaksin sudah pernah terpapar suhu diatas batas yang
diperbolehkan, dengan membandingkan kotak segi 4 dengan warna lingkaran disekitarnya.
Berikut ini tandanya :
segi empat lebih terang dari lingkaran sekitar maka vaksin dapat digunakan.
segi empat berubah gelap dari lingkaran sekitar maka vaksin segera digunakan.
segi empat sama warna gelap dengan dengan lingkaran sekitar, dan segi empat lebih gelap maka
jangan gunakan vaksin.
Freeze Watch Freeze Tag
Alat ini untuk mengetahui apakah vaksin ini pernah terpapar suhu dibawah 0 C. bila dalam
freeze watch berwarna biru yang melebar ke sekitarnya atau dalam freeze tag ada tanda silang,
beratti vaksin pernah terpapare suhu di bawah 0 C yang berarti vaksin mati (inaktif).

Warna Dan Kejernihan Vaksin


Vaksin polio harus berwarna kuning orange. Bila warnanya berubah menjadi pucat atau
kemerahan berarti pH nya telah berubah, sehinnga tidak stabil dan tidak boleh diberikan kepada
pasien.
Vaksin toksoid, rekombinan dan polisakarida umumnya berwarna putih jernih sedikit berkabut.
Bila menggumpal atau banyak endapan berarti sudah pernah beku, tidak boleh digunakan.
Untuk menyakinkan gunakan uji kocok, dan apabila tetap menggumpal atau mengendap maka
vaksin tidak boleh digunakan karena sudah rusak.

Pemilihan Vaksin
Vaksin yang harus segera digunakan adalah vaksin yang belum dibuka tetapi telah dibawa ke
lapangan, sisa vaksin yang telah dibuka(digunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengan
tanggal kadaluarsa sudah dekat, vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera.

Sisa Vaksin Di Sarana Kesehatan


Masa pemakaian vaksin dari vial yang telah dibuka di sarana kesehatan.

Vaksin Masa pemakaian


Polio 2 minggu
DPT 4 minggu
DT 4 minggu
TT 4 minggu
Hepatitis 4 minggu
Sisa Vaksin Di Sarana Pelayanan Luar Gedung
Vaksin yang belum dibuka tetapi sudah dibawa ke lapangan harus diberi tanda khusus untuk
segera digunakan pada pelayanan berikutnya, sisa vaksin yang telah dibuka di lapangan
sebaiknya dimusnahkan dengan membakar di dalam ineserator bersama alat suntik bekas atau
dikubur sedalam 2-3 meter.
Beberapa faktor, dapat menjadi penyebab timbulnya kerusakan vaksin, seperti penyimpanan
pada suhu yang tidak sesuai, adanya perubahan fisik vaksin, serta pengaruh sinar matahari.
Faktor Suhu: Pada prinsipnya masing-masing vaksin mempunyai kepekaan yang berbeda
terhadap suhu yang tidak tepat. Paparan suhu yang tidak tepat menyebabkan umur penggunaan
vaksin berkurang. Sebagai contoh vaksin Hepatitis B-PID dan vaksin DPT-HB pada suhu 0,5o C,
dapat bertahan selama maksimal 30 menit.

Perubahan Fisik: Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Pada
vaksin DPT misalnya akan terlihat gumpalan antigen yang tidak bisa larut lagi walaupun dikocok
sekuat-kuatnya. Vaksin lain tidak akan berubah penampilan fisik walaupun potensinya sudah
hilang / berkurang. Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak. Dengan demikian kita harus
yakin betul bahwa cara penyimpanan yang kita lakukan sudah benar dan menjamin potensi
vaksin tidak akan berubah.

Sinar matahari dan sinar ultraviolet : Semua vaksin akan rusak jika terkena sinar matahari
langsung serta sinar ultra violet. Vaksin yang tidak habis pada pelayanan statis, seperti di
Puskesmas, rumah sakit, atau pada praktek swasta, dapat dipergunakan lagi pada pelayanan hari
berikutnya, dengan beberapa syarat, antara lain vaksin belum kadaluarsa, vaksin disimpan dalam
suhu 2 o C – 8o C, tidak pernah terendam air, sterilitasnya terjaga, serta VVM masih dalam
kondisi A atau B.
(http://aldosugiharto.blogspot.com/2012/04/penyimpanan-dan-transportasi-vaksin.html)

2.6 KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi)


1. Definisi
Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penanggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI adalah
semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada
umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events),
atau kejaian lain yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin.
Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects),
interaksi obat, intoleransi, reaksi idoinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis susah
dibedakan. Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idoinkrasi umumnya terjadi karena
potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan terhadap unsur vaksin
dengan latar belakang genetic. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin
campak,gondong,influenza dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin,
merkuri) atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena kesalahan tehnik
pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan tehnik
pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah
laporan KIPI oleh Vacine safety komite, institute of medicine (IOM) USA menyatakan bahwa
sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian yang memang akibat imunisasi
tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).

2. Etiologi
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada
hubungannya dengan imunisasi. KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok
faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pasicif (1999), yaitu :
a. Kesalahan program atau tehnik pelaksanaan (programic errors)
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya :
• Dosis antigen (terlalu banyak)
• Lokasi dan cara menyuntik
• Sterilisasi semprit dan jarum suntik
• Jarum bekas pakai
• Tindakan aseptik dan antiseptik
• Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
• Penyimpana vaksin
• Pemakaian sisa vaksin
• Jenis dan jumlah pelarut vaksin
• Tidak memperhatikan petunjuk prosedur

b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntuk baik langsung maupun tidak
langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit,
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.

c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)


Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu
karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian
dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian

d. Faktor kebetulan (koinsiden)


Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbulini terjadi secara kebetulan saja
setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang
sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karateristik serupa tetapi tidak
mendapatkan imunisasi.

e. Penyebab tidak diketahui


Bila terjadi kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah
satu penyebab maka unruk sementara dimaksudkan kedalam kelompok ini sambil menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan
kelompok penyebab KIPI.
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah anak yang akan di
imunisasi termasuk dalam resiko, criteria yang masuk dalam kelompok adalah:
Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunissasi terdahulu
Bayi berat lahir rendah
Pada resipient yang mendapatkan human immunoglobulin

Gejala klinis KIPI


Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala
lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat serta reaksi lain-lainnya.
Tabel Reaksi KIPI
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokasi Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yan berat, misalnya selulitis, BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
Lain-lain Reaksi alergi : urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi > 38,5 ͦC
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menagis menjerit yang terus menerus (3 jam)
Sindrom syok septik

Tabel jenis Vaksin dan Gejala KIPI


Jenis vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid
Tetanus (DPT, DT,TT) Syok anafilaksis
Neuritis brakhial
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
2-18 hari
Tidak tercatat
Pertusis whole cell (DPwT) Syok anafilaksis
Ensofalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
72 jam
Tidak tercatat
Campak Syok anafilaksis
Ensofalopati
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
5-15 hari
Tidak tercatat
Tromositopenia
Klinis campak pada resipien
Imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 7-30 hari
6 bulan

Tidak tercatat
Polio hidup
(OPV) Polio paralisis
Polio paralisis pada resipien
Imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 30 hari
6 bulan
Hepatitis B Syok anafilaksis
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
Tidak tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu

Reaksi KIPI berat terjadi bila ditemukan gangguan fungsi system syaraf pusat seperti ensefalitis
dan ensefalopati pasca imunisasi. Landringan dan wittle memperkirakan resiko terjadinya kedua
efek samping tersebut selama 30 hari sesudah iuinisasi sebanyak 1 diantara 1 miliar dosis vaksin.
1. Rekomendasi untuk imunisasi BCG:
a. Imunisasi BCG diberikan pada saat bayi berusia kurang dari 2 bulan
b. Pada bayi yang kontak erat dengan penderita, dan melalui pemeriksaan sputum didapati BTA
(+3) maka sebaiknya diberikan INH Profilaksi terlebih dahulu, dan jika kontak sudah tenang
dapat diberi BCG.
c. Jangan melakukan imunisasi BCG pada bayi atau anak dengan imunodeffisiensi misalnya
HIV, gizi buruk,dll
2. Rekomendasi Untuk imunisasi Hepatitis :
Tanggap kebal yang rendah pasca imunisasi dapt disebabkan hal-hal seperti berikut :
a. Usia tua
b. Pemberian vaksinasi didaerah bokong
c. Pada anak yang gemuk
d. Pasien hemodialis / transplantasi
e. Pasien yang mendapat obat-obatan Imunosuperesif.
f. Pasien leukemia dan penyakit keganasan lain
g. Pasien DM dengan insulin dependent
h. Infeksi HIV
i. Pecandu Alkohol
Pada keadaan diatas, imunisasi perlu diulangi dengan meningkatkan dosis 2 kali setelah
melakukan koreksi seperlunya terhadap penyakit dasar.
3. Rekomendasi untuk imunisasi polio
a. Berikan imunisasi primer untuk bayi dan anak
b. Vaksin polio oral diberkan pada BBL sebagai dosis awal, sesuia dengan PPJ dan program
erabikasi polio (ERAPO) tahun 2000. Kemudian diteruskan denga imunisasi dasar mulai umur 1-
3 bulan yang diberikan 3 dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. 1 dosis
sebanyak 2 tetes (0,1 ml) diberkan per oral pada umur 2-3 bulan, yang pemberiannya dapat
diberikan bersamman dengan suntikan vaksin DPT dan Hepatitis B. bila OPV yang diberikan
dimuntahkan dalam wkt 10 menit maka dosis tersebut perlu di ulan.
c. Pemberian ASI tidak berpengaruh pada respon antibody terhadap OPV dan imunisasi tidak
boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak denangan imunosuperesi dan mereka yang kontak
ddengan penderita harus di imunisasi.
d. Anak yang mendapat imunisasi OPV dapat memberikan eskresi virus vaksin selama 6 minggu
dan akan melakukan infeksi pada kontak yang di imunisasi. Untuk mereka yang berhubungan
(kontak) dengan bayi yang baru saja di beri OPV, dihimbau untuk menjaga kebersihan dengan
mencuci tangan setelah mengganti popok.
4. Vaksinasi terhadap orangtua yang anaknya di imunisasi
Anggota keluarga yang belum pernah divaksin atau belum lengkap vaksinnya dan mendapat
kontak dengan anak yang mendapat vaksin OPV, harus ditawarkan vaksin dasar OPV pada
waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini tidak boleh diberikan IPV,
mengingat resiko infeksi yang didapat dari anak terjadi sebelum imunisasi terbentuk sebagai
respon imun terhadap IPV. Kepada orang dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya
tidak diperlikan iminisasi penguat (booster). Interval minimal antara 2 dosis vaksinasi dapat
diperpanjang dan diselesaikan tanpa mengulang kembali.

5. Tuberkolosis ( vaksin BCG)


Pada Negara dengan prefalensi TBC yang tinggi, seperti Indonesia, berikan imunisasi BCG
segera mungkin setelah lahir, tapi :
a. Jika bayi sakit, berikan imunisasi setelah bayi sembuh dan tepat sebelum di pulangkan dari
rumah sakit.
b. Jika ibu bayi menderita TBC paro aktif dan telah di obati selama kurang 2 bulan sebelum
kelahiran bayi atau di diagnosis TBC setelah persalinan

6. Rekomendasi umum
Dibawah ini adalah pedoman umum untuk dan harus disesuaikan dengan kebijakan nasional
yang ada.
a. Beri vaksinasi bayi terhadap TBC (jika prefalensi tinggi), poliomyelitis dan hepatitis B
b. Berikann imunisasi sesuai pedoman sesuai berikut, tanpa memandang apakah bayi:
• Kecil (berat lahir <2500 gr atau umur kehamilan < 37 minggu) berikan imunisasi pada usia
seperti biasa (guna usia kronologi dan bukan usia koreksi) dan jangan mengurangi dosis
vakasinasi
• Telah dirawat dalam jangka waktu yang lama. Jika bayi masih dirumah sakit pad usia 60 hari,
lengakapi 1 rangkaian imunisasi ( dijelakan dibawah) dan juga diberikan DPT 0,5 ml IM pada
paha diatas bagian atas, pada saat bayi dipulangkan dari rumah sakit
• Mempunyai kondisi neurologi yang stbil secara klinik (missal trauma otak)
• Di lahirakan dari HIV positif
• Mendapat terapi antibiotik mengalami ikterus
c. Pastikan memakai spuit dan jarum yang baru dan steril untuk imunisasi bagi setiap bayi.
(Rulihari Sri.2014.imunisasi pada bayi.hal: 96-100)

2.7 Mitos – Mitos Imunisasi


IMUNISASI sangat penting diberikan untuk bayi, untuk mencegah kemungkinan terjangkit
berbagai penyakit. Sayangnya meski telah diperkenalkan sejak abad ke-20, masih banyak bayi di
dunia yang belum mendapatkan imunisasi.
Dr. Widodo Judarwanto, SpA dari Children Grow Up Clinic: Allergy Clinic Online – Picky
Eaters Clinic menyebutkan, setiap tahun ada sekitar 2,4 juta anak usia kurang dari 5 tahun di
dunia yang meninggal karena penyakit-penyakit yang dapat dicegah vaksinasi.
Di Indonesia sendiri, sekitar 7 persen anak belum mendapatkan vaksinasi. Salah satu masalah
utama yang menghambat keberhasilan program imunisasi adalah penyebaran informasi yang
tidak benar dan menyesatkan mengenai imunisasi.
Di luar sana, ada banyak sekali mitos mengenai imunisasi yang dapat menyesatkan para orang
tua. Agar Anda tak ikut termakan mitos, berikut kami uraikan beberapa mitos populer seputar
imunisasi dan bagaimana fakta sesungguhnya.

a. Vaksin MMR (measles, mumps, rubella) menyebabkan autisme


Mitos ini muncul ketika dr. Andrew Wakefield dan timnya membuat jurnal berjudul “The
Lancet”, yang menyatakan 8 dari 12 anak dalam penelitian yang mendapatkan imunisasi MMR
mengalami gangguan autisme. Alhasil para orang tua panik, yang berakibat pada penurunan
drastis jumlah bayi yang mendapat imunisasi MMR. Akan tetapi pendapat ini dipatahkan
penelitian Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, yang menyatakan tidak ada kaitan antara
vaksin MMR dan autisme. Yang membuat MMR menjadi kambing hitam autisme, karena gejala
autisme umumnya terlihat ketika bayi berusia 12 sampai 18 bulan, tepat saat bayi mendapatkan
imunisasi MMR. Yang jelas, autisme kebanyakan dipengaruhi faktor genetik. Jadi, jangan takut
memberi vaksin MMR kepada bayi Anda.

b. Vaksin tidak halal


Banyak orang tua, terutama kaum Muslim, memercayai mitos bahwa semua vaksin mengandung
enzim tripsin pankreas babi. Yang benar, induk bibit vaksin kini telah dicuci dan dibersihkan
total dari tripsin babi. Pun sangat sedikit vaksin yang pembuatannya menggunakan enzim dan
lemak babi. Vaksin yang beredar di Indonesia sendiri dibuat di Indonesia di bawah pengawasan
Majelis Ulama Indonesia dan BPOM.

c. Anak sakit dilarang imunisasi


Banyak orang tua menggagalkan imunisasi sang anak dengan alasan anak sedang sakit. Padahal,
jika hanya sakit flu ringan dan demam yang tidak tinggi, imunisasi masih bisa dilakukan. Jika
anak demam tinggi dan sangat rewel, pemberian imunisasi bisa ditunda satu hingga dua minggu
ke depan.

Berikut ini, kondisi yang membuat bayi tidak boleh menerima imunisasi:
Bayi yang sedang menjalani perawatan penyakit kanker dalam 6 bulan terakhir.
Bayi yang baru menjalani operasi transplantasi organ tubuh.
Bayi yang baru menjalani transplantasi sumsum tulang.

d. Vaksin membuat anak sehat menjadi sakit
Anggapan ini muncul karena bayi mengalami berbagai reaksi pascaimunisasi. Demam, merah-
merah, bengkak, dan gatal di area sekitar suntikan merupakan reaksi wajar setelah injeksi vaksin.
Demam merupakan reaksi paling umum yang muncul pascaimunisasi. Kondisi ini bisa diatasi
dengan memberikan obat penurun panas dan kompres. Tenang, gejala ini akan hilang dalam satu
dua hari.

e. Imunisasi hanya dilakukan saat masih bayi


Banyak orang tua yang merasa, tugas memberi imunisasi selesai ketika telah memberikan
imunisasi campak pada bayi usia sekitar 9 bulan. Padahal ada beberapa imunisasi yang harus
diulang saat anak memasuki SD, seperti imunisasi campak, DT (difteria), dan TT (tetanus).
Kurangnya pengetahuan soal jadwal imunisasi ulang membuat orang tua tidak mengimunisasi
ulang anak-anak mereka. Padahal vaksin yang diberikan saat bayi kekebalannya jelas sudah
berkurang.
f. Vaksin Tidak Efektif Mencegah Infeksi Penyakit
Ada beberapa orangtua yang memiliki kekhawatiran besar terhadap vaksin. Bahkan banyak di
antara mereka yang meragukan keefektifan imunisasi dalam mencegah penyakit karena mereka
menganggap dengan diimunisasi bisa saja bayi mereka justru terkena penyakit lain.
Faktanya: Pakar kesehatan mengatakan bahwa vaksin sebagai sumbangan terbaik yang pernah
diberikan para ilmuwan di dunia. Pernyataan itu memang benar, bukan sebuah sebutan yang
dilebih-lebihkan.
Sejak teknik vaksinasi sederhana untuk penyakit cacar (smallpox) diperkenalkan oleh Edward
Jenner pada 1796, status kesehatan di seluruh dunia semakin membaik. Jenner adalah orang
pertama yang memerkenalkan prosedur vaksinasi secara ilmiah dan mendorong para ilmuwan
melakukan penelitian lebih lanjut terhadap vaksin cacar. Hingga pada 8 Mei 1980, World Health
Assembly mengumumkan bahwa dunia sudah bebas dari cacar dan menyarankan penduduk di
seluruh dunia untuk menghentikan imunisasi cacar.
Penyakit cacar hanyalah sebagian cerita sukses imunisasi. Menurut WHO, UNICEF, dan Bank
Dunia, berkisar tiga juta nyawa terselamatkan setiap tahun berkat imunisasi yang dilakukan
terhadap anak-anak. Angka penderita polio turun drastis dari 300.000 kasus per tahun pada 1980-
an menjadi tinggal 2.000 kasus pada 2002.
Angka kematian akibat penyakit campak di seluruh dunia juga turun dari berkisar 873.000
kematian pada 1999 menjadi 345.000 pada 2005. Pada 2007-2008 diadakan “Measles
Campaign” untuk memerangi penyakit campak. Kejadian batuk rejan (pertusis) dan difteri juga
turun drastis berkat imunisasi.

g. Vaksin Mengandung Zat Pengawet Berbahaya


Isu tentang bahaya vaksin ini merebak beberapa tahun lalu ketika dalam tubuh sekelompok anak
autisme di Amerika Serikat ditemui kandungan merkuri di atas kadar normal. Dari mana merkuri
ini berasal? Vaksin menjadi tersangka karena beberapa vaksin mengandung bahan pengawet
thimerosal. Hampir separuh kandungan senyawa ini terdiri dari etilmerkuri.
Faktanya: Pendapat tentang thimerosal dan MMR ini tidak sepenuhnya diterima pakar kesehatan
anak. Tidak semua anak yang mendapatkan vaksin, baik MMR maupun vaksin yang
mengandung thimerosal, mengalami autis. Pihak-pihak yang tidak menerima pendapat ini tetap
memercayai dan menjadikan vaksin sebagai solusi kesehatan global. Sebab hanya dengan
memberikan vaksinasi, penyebaran penyakit menular yang mengancam kesehatan umat manusia
bisa dituntaskan.

h.
Dalam hal ini, vaksin tetap harus diberikan pada semua anak dengan dasar manfaat yang
diberikannya lebih banyak ketimbang kerugian yang masih bersifat rumor. Kontroversi seputar
penggunaan thimerosal dan pemberian vaksin MMR mendorong para ahli melakukan penelitian
lebih dalam agar didapatkan informasi yang benar tentang masalah ini.
(http://lifestyle.okezone.com/read/2014/06/21/483/1002139/mitos-fakta-seputar-imunisasi-1)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Imunisasi merupakan cara atau transfer antibodi secara pasif. Imunisasi berfungsi untuk
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen.
Tujuan imunisasi adalah mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi).
Jenis-Jenis Imunisasi adalah Imunisasi Dasar (meliputi : BCG, DPT, Polio, Campak dan
Hepatitis B) ; Imunisasi Booster (Revaksinasi) ; Imunisasi yang tidak diwajibkan tapi dianjurkan
(MMR, Typhoid, Hib [meningitis], Hepatitis A dan Varicella [cacar air])

3.2 Saran
Bidan sebagai salah seorang anggota profesi kesehatan memiliki tugas penting dalam konseling
dan pendidikan kesehatan, salah satunya adalah mengenai imunisasi pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta. Trans Info Media
Wahyuni, Sari. 2011.Asuhan Neonatus, Bayi & Balita. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC
Sulistyawati, Ari, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta : Salemba Medika
Nanny, Lia Dewi Vivian, dkk. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta : Salemba
Medika
Marmi, dkk. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Maryunani, Auiu, dkk. 2008. Asuhan Bayi Baru Lahir Normal (Asuahan Neonatal). Jakarta :
Trans Info Medika
Kristiyanasari, Weni.2010. Asuhan Keperawatan Neonatus dan Anak. Yogyakarta : Nusa
Medika
Muslihatun, Wafi Nur.2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya
Rulihari, Sri.2014.Imunisasi Pada Bayi.Surabaya : LP2i Press
http://lifestyle.okezone.com/read/2014/06/21/483/1002139/mitos-fakta-seputar-imunisasi-1
http://www.indonesian-publichealth.com/2012/09/penyebab-kerusakan-vaksin.html
http://nursepuspa.blogspot.com/2013/05/penyimpanan-vaccine-yang-benar.html

Anda mungkin juga menyukai