Anda di halaman 1dari 17

A.

Sejarah Hukum Perikatan

Buku III BW berjudul van verbintenissen. Istilah verbintenis dalam

BW merupakan salinan istilah obligation dalam Code Civil Perancis, istilah

mana diambil dari hukum Romawi yang terkenal dengan istilah obligation.

Istilah verbintenis dalam BW ternyata diterjemahkan berbeda-beda

dalam kepustakaan hukum Indonesia. Ada yang menerjemahkan dengan

perutangan, ada yang menerjemahkan dengan perjanjian dan ada pula

yang menerjemahkan dengan perikatan. Penggunaan istilah perikatan

untuk verbintenis tampaknya lebih umum dipergunakan dalam

kepustakaan hukum Indonesia.1

Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa

Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang

yang satu dan orang yang lain. Hal yang mengikat itu adalah peristiwa

hukum yang dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli, hutang-piutang,

dapat berupa kejadian, misalnya kelahiran, kematian, dapat berupa

keadaan, misalnya pekarangan berdampingan, rumah bersusun. Peristiwa

hukum itu menciptakan hubungan hukum. 2

Dalam hubungan hukum itu tiap pihak mempunyai hak dan

kewajiban secara timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk

menuntut sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain itu wajib

1 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: PT Alumni,


2006, hlm. 195.
2 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Adytia Bakti,
1993, hlm. 198.

1
memenuhi tuntutan itu, dan sebaliknya. Pihak yang berhak menuntut

sesuatu disebut kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan

disebut debitur. Sesuatu yang dituntut disebut prestasi. 3

Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa perikatan itu adalah

hubungan hukum. Hubungan hukum itu timbul karena adanya peristiwa

hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, keadaan. Objek hubungan

itu adalah harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang. Pihak yang

berhak menuntut sesuatu disebut kreditur, dan pihak yang wajib

memenuhi tuntutan itu disebut debitur. Dengan demikian dapat

dirumuskan bahwa perikatan adalah hubungan hukum mengenai harta

kekayaan yang terjadi antara kreditur dan debitur. 4

B. Pengaturan Hukum Perikatan

Perikatan diatur dalam Buku KUH Perdata. Perikatan adalah

hubungan hukum yang terjadi karena perjanjian dan Undang-Undang.

Aturan mengenai perikatan meliputi bagian umum dan bagian khusus.

Bagian umum meliputi aturan yang tercantum dalam Bab I, Bab II, Bab III

(Pasal 1352 dan 1353), dan Bab IV KUH Perdata yang belaku bagi

perikatan umum. Adapun bagian khusus meliputi Bab III (kecuali Pasal

1352 dan 1353) dan Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata yang

berlaku bagi perjanjian-perjanjian tertentu saja, yang sudah ditentukan

namanya dalam bab-bab bersangkutan.

3 Ibid.
4 Ibid., hlm. 199.

2
Pengaturan nama didasarkan pada “sistem terbuka”, maksudnya

setiap orang boleh mengadakan perikatan apa saja, baik yang sudah

ditentukan namanya maupun yang belum ditentukan namanya dalam

Undang-Undang. Sistem terbuka dibatasi oleh tiga hal, yaitu :

1. Tidak dilarang Undang-Undang

2. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum

3. Tidak bertentangan dengan kesusilaan

Sesuai dengan penggunaan sistem terbuka, maka pasal 1233

KUH Perdata menetukan bahwa perikatan dapat terjadi, baik karena

perjanijian maupun karena Undang-Undang. Dengan kata lain, sumber

perikatan adalah Undang-Undang dan perikatan. Dalam pasal 1352 KUH

Perdata, perikatan yang terjadi karena Undang-Undang dirinci menjadi

dua, yaitu perikatan yang terjadi semata-mata karena ditentukan dalam

Undang-Undang dan perikatan yang terjadi karena perbuatan orang.

Perikatan yang terjadi karena perbuatan orang, dalam pasal 1353 KUH

Perdata dirinci lagi menjadi perbuatan menurut hukum (rechmatig daad)

dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).5

C. Sumber-Sumber Perikatan

Menurut ketentuan Pasal 1233 BW perikatan bersumber dari

perjanjian dan undang-undang. Perikatan yang bersumber dari

perjanjian diatur dalam titel II (Pasal 1313 s.d. 1351) dan titel IV s.d.

5 Riduan Syahrani, Op.cit., hlm. 200-201.

3
XVIII (Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III BW. Sedangkan perikatan yang

bersumber dari undang-undang diatur dalam titel III (Pasal 1352 s.d.

1380) Buku III BW.

Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut Pasal

1352 BW dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja

(uit de wet allen) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena

perbuatan manusia (uit de wet door’s mensen toeden). Kemudian

perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia

menurut Pasal 1353 BW dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai

dengan hukum (rechmatige) dan perbuatan yang melawan hukum

(onrechtmatige).

Pada umumnya, para ahli hukum perdata sependapat bahwa

sumber perikatan sebagaimana disebut Pasal 1233 BW yaitu

perjanjian dan undang-undang adalah kurang lengkap. Sumber

perikatan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, hukum

tidak tertulis dan keputusan hakim (yurisprudensi).

Namun, sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian,

sebab dengan melalui perjanjian pihak-pihak mempunyai kebebasan

untuk membuat segala macam perikatan, baik perikatan bernama

maupun perikatan yang tidak bernama. Hal ini sesuai dengan asas

kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas

yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat

4
kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asal tidak

bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban

hukum.

Dengan adanya kebebasan berkontrak, kedudukan rangkaian

pasal-pasal Buku III BW khususnya pasal-pasal pada titel V s.d. XVIII

banyak yang hanya bersifat sebagai hukum pelengkap (aanvullens

recht) saja. Artinya, pasal-pasal tersebut boleh dikesampingkan

sekiranya para pihak pembuat perjanjian menghendakinya, dan pihak

pembuat perjanjian diperbolehkan menciptakan ketentuan sendiri

untuk mengatur kepentingan mereka sesuai dengan apa yang mereka

kehendaki. Pasal-pasal tersebut baru mengikat terhadap mereka, jika

mereka tidak mengatur sendiri kepentingannya atau mengaturnya

dalam perjanjian, tetapi tidak lengkap sehingga soal-soal yang tidak

diatur tersendiri itu diberlakukan pasal-pasal hukum perikatan. 6

D. Syarat-syarat Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum

perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata (civil law) yakni diatur dalam

Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat

syarat sahnya perjanjian, yaitu :

a. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian;

6 Ibid, hlm. 201-205

5
b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian atau perikatan;

c. Perjanjian yang diadakan harus mempunyai objek yang tertentu;

d. Yang diperjanjikan itu adalah suatu sebab yang halal. 7

Penjelasan syarat sahnya perjanjian diatas adalah sebagai berikut:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri

Sepakat maksudnya adalah bahwa kedua belah pihak yang

mengadakan perjanjian saling menghendaki sesuatu yang secara timbal

balik, adanya kemauan atas kesesuaian kehendak oleh kedua belah pihak

yang membuat perjanjian. Kesesuaian disini adalah pernyataannya, jadi

tidak boleh hanya karena kemauan satu pihak saja, ataupun terjadinya

kesepakatan karena tekanan salah satu pihak yang mengakibatkan

adanya cacat bagi perwujudan kehendak.

Kesepakatan itu artinya tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak

manapun. Perjanjian itu benar-benar atas kemauan sukarela pihak-pihak.

Hal ini berpedoman dengan ketentuan Pasal 1321 KUH Perdata bahwa

tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena:

1) Kekhilafan / kekeliruan (dwaling) ;

2) Pemerasan / paksaan (dwang) ;

7 Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hlm.

23.

6
3) Penipuan (bedrug).

Unsur kekhilafan / kekeliruan dibagi dalam dua bagian yakni,

kekhilafan mengenai orangnya dinamakan error in persona. Dan

kekhilafan mengenai barangnya dinamakan error in substantia. Mengenai

kekhilafan/kekeliruan yang dapat dibatalkan harus mengenai inti sari

pokok perjanjian. Jadi harus mengenai objek atau prestasi yang

dikehendaki. Sedangkan kekhilafan/kekeliruan mengenai orangnya tidak

menyebabkan perjanjian dapat batal (Pasal 1322 KUH Perdata).

Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan

persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Dalam hal ini

paksaan tersebut harus benar-benar menimbulkan suatu ketakutan bagi

yang menerima paksaan, misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka

rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian (Pasal 1324 KUH

Perdata).

Mengenai pengertian penipuan (bedrug) ini terjadi apabila

menggunakan perbuatan secara muslihat sehingga pada pihak lain

menimbulkan suatu gambaran yang tidak jelas dan benar mengenai suatu

hal. Untuk mengatakan bahwa telah terjadi suatu penipuan maka harus

ada kompleks dari muslihat-muslihat itu. R.Subekti mengatakan bahwa

“penipuan (bedrug) terjadi apabila suatu pihak dengan sengaja

memberikan keterangan yang tidak benar, disertai dengankelicikan-

7
kelicikan sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan

perizinan”.8

b. Kecakapan para pihak membuat perjanjian

Suatu penipuan adalah apabila ada keterangan-keterangan yang

tidak benar (palsu) disertai dengan kelicikan-kelicikan atau tipu muslihat

dan harus ada rangkaian kebohongan-kebohongan yang mengakibatkan

orang menjadi percaya, dalam hal ini pihak tersebut bertindak secara aktif

untuk menjerumuskan seseorang. Misalnya perbuatan memperjualbelikan

sebuah rumah yang bukan merupakan hak miliknya dengan memalsukan

surat-suratnya. Subjek yang melakukan perjanjian harus cakap

(bekwaam) merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum

secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak

dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan

perbuatan tertentu. Orang yang cakap dan berwewenang untuk

melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran

kedewasaan adalah telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau

sudah kawin. Adapun orang yang tidak berwenang untuk melakukan

perbuatan hukum :

1) Anak dibawah umur ;

2) Orang yang di taruh di bawah pengampunan ;

8 Ibid., hlm. 135.

8
3) Istri (Pasal 1330 KUH Perdata), yang dalam

perkembangannya sudah diatur dalam Pasal 31 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA Nomor 3 Tahun

1963.9

Subjek hukum terbagi dua, yaitu manusia dan badan hukum.

Menurut Pasal 1329 KUH Perdata “setiap orang adalah cakap untuk

membuat perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak

cakap”. Jadi menurut ketentuan pasal ini, semua orang dianggap mampu

atau cakap untuk mengikatkan diri untuk melakukan suatu perbuatan

hukum yang dinyatakan oleh undang-undang.

Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa

orang yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian

yang dibuatnya itu harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk

menjalankan segala tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena

perbuatan itu.10

Apabila dilihat dari sudut ketertiban umum, maka oleh karena orang

yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya,

sehingga sudah seharusnya orang itu sungguh-sungguh berhak berbuat

bebas terhadap harta kekayaannya.11

9 Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika,
2009, hlm. 34.
10 Achmad Ikhsan, Hukum Perdata I B, Jakarta: Pembimbing masa, 1969, hlm. 20.
11 R.Subekti, Op.Cit, hlm. 13.

9
Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat perjanjian

mengandung kesadaran untuk melindungi hak bagi dirinya maupun dalam

hubungannya dengan keselamatan keluarganya.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi

objek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata “barang yang

menjadi objek suatu perjanjian harus tertentu, setidak-tidaknya harus

ditentukan jenisnya sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan asalkan

saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan”.

Dalam Pasal 1332 KUH Perdata dikatakan bahwa “hanya barang-

barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi objek perjanjian”.

Dengan demikian barang-barang yang diluar diperdagangkan tidak dapat

menjadi objek perjanjian. Misalnya barang-barang yang dipergunakan

untuk keperluan orang banyak, seperti jalan umum, pelabuhan umum,

gedung-gedung umum dan bandara.12

Dengan demikian perjanjian yang objeknya tidak tertentu atau jenis

tidak tertentu maka dengan sendirinya perjanjian itu tidak sah. Objek atau

jenis objek merupakan syarat yang mengikat dalam perjanjian.

12 Riduan Syahrani, Op.Cit., hlm. 219

10
d. Suatu sebab yang halal

Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian orzaak (kausa

yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata banyak disebutkan kausa

yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Sebab yang

halal inilah yang menjadi tujuan para pihak yang membuat perjanjian. 13

Perjanjian tanpa sebab yang halal adalah batal demi hukum, kecuali

ditentukan lain oleh undang-undang.

Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu

perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini

harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini

adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian

tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab

halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian

atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya

tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya

menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi

yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi

perjanjian itu sendiri. Perjanjian tanpa sebab yang halal adalah batal demi
14
hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

13 Salim, Op.Cit, hlm. 25.


14Ina Pane. “Syarat Sahnya Perjanjian”.< http://www.inapane-
hukum.com/2009/11/ringkasan-2-kuliah-hukum-perjanjian..html >. [20/10/2015].

11
Dari keempat syarat sahnya perjanjiian di atas tidak ada diberikan

suatu formalitas yang tertentu di samping kata sepakat para pihak

mengenai hal-hal yang di maksud dengan halal atau yang diperkenankan

oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah

“persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban

umum dan kesusilaan”. Akibat hukum terhadap perjanjian berkausa tidak

halal, maka perjanjian itu batal demi hukum atau perjanjian itu dianggap

tidak pernah ada. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut

pemenuhan perjanjian itu dimuka hakim. pokok perjanjian tersebut. Tetapi

ada pengecualiannya terhadap undang-undang yang dibutuhkan bahwa

formalitas tersebut untuk beberapa perjanjian baru dapat berlaku dengan

suatu formalitas tertentu yang dinamakan perjanjian formal. Misalnya

perjanjian perdamaian yang dilakukan secara formal.

E. Macam-macam Perikatan

Adapun jenis-jenis perikatan adalah sebagai berikut:

1. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)

Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang

digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih

belum tentu akan atau terjadi. Mungkin untuk memperjanjikan

bahwa perikatan itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang

belum tentu timbul itu. Suatu perjanjian yang demikian itu,

12
menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang

menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde).15

Menurut Pasal 1253 KUHperdata tentang perikatan

bersyarat “suatu perikatan adalah bersyarat mankala ia

digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan

yang masih belum terjadi, baik secara menangguhkan perikatan

hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara

membatalkan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa

tersebut”.

Pasal ini menerangkan tentang perikatan bersyarat yaitu

perikatan yang lahir atau berakhirnya digantungkan pada suatu

peristiwa yang mungkin akan terjadi tetapi belum tentu akan terjadi

atau belum tentu kapan terjadinya. Berdasarkan pasal ini dapat

diketahui bahwa perikatan bersyarat dapat dibedakan atas dua,

yakni:

a. Perikatan dengan syarat tangguh

Apabila syarat “peristiwa” yang dimaksud itu terjadi, maka

perikatan dilaksanakan (pasal 1263 KUHpdt). Sejak peristiwa itu

terjadi, kewajiban debitor untuk berprestasi segera dilaksanakan.

Misalnya, A setuju apabila B adiknya mendiami paviliun

rumahnya setelah B menikah. Nikah adalah peristiwa yang

masih akan terjadi dan belum pasti terjadi. Sifatnya

15 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, 2001, hlm. 128.

13
menangguhkan pelaksanaan perikatan, jika B nikah A wajib

menyerahkan paviliun rumahnya untuk didiami oleh B.

b. Perikatan dengan syarat batal

Perikatan yang sudah ada akan berakhir apabila “peristiwa” yang

dimaksud itu terjadi (pasal 1265 KUHpdt). Misalnya, K setuju

apabila F kakaknya mendiami rumah K selama dia tugas belajar

di Inggris dengan syarat bahwa F harus mengosongkan rumah

tersebut apabila K selesai studi dan kembali ketanah air. Dalam

contoh, F wajib menyerahkan kembali rumah tersebut kepada K

adiknya.16

2.      Perikatan Dengan ketetapan Waktu (tidjsbepaling)

Maksud syarat “ketetapan waktu” ialah bahwa pelaksanaan

perikatan itu digantungkan pada waktu yang ditetapkan. Waktu

yang ditetapkan itu adalah peristiwa yang masih akan terjadi dan

terjadinya sudah pasti, atau berupa tanggal yang sudah tetap.

Contonya: ”K berjanji pada anak laki-lakinya yang telah kawin itu

untuk memberikan rumahnya, apabila bayi yang sedang dikandung

isterinya itu telah dilahirkan”. Menurut KUHperdata pasal 1268

tentang perikatan-perikatan ketetapan waktu, berbunyi “suatu

ketetapan waktu tidak, menangguhkan perikatan, melainkan hanya

menangguhkan pelaksanaanya”. Pasal ini menegaskan bahwa

ketetapan waktu tidak menangguhkan lahirnya perikatan, tetapi

hanya menangguhkan pelaksanaanya. Ini berarti bahwa perjajian


16 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 249.

14
dengan waktu ini pada dasarnya perikatan telah lahir, hanya saja

pelaksanaanya yang tertunda sampai waktu yang ditentukan. 17

3.      Perikatan mana suka (alternatif)

Pada perikatan mana suka objek prestasinya ada dua macam

benda. Dikatan perikatan mana suka karena debitur boleh memenuhi

presatasi dengan memilih salah satu dari dua benda yang dijadikan

objek perikatan. Namun, debitur tidak dapat memaksakan kreditur

untuk menerima sebagian benda yang satu dan sebagian benda yang

lainnya. Jika debitur telah memenuhi salah satu dari dua benda yang

ditentukan dalam perikatan, dia dibebaskan dan perikatan berakhir.

Hak milik prestasi itu ada pada debitor jika hak ini tidak secara tegas

diberikan kepada kreditor.18

4.      Perikatan tanggung menanggung atau tanggung renteng (hoofdelijk

atau solidair)

Ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-

sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang

yang menghutangkan atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-

sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan

semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

Bebrapa orang yang bersama-sama mengahadapi orang berpiutang

atau penagih hutang, masing-masing dapat dituntut untuk membayar

hutang itu seluruhnya. Tetapi jika salah satu membayar, maka

17 Amadi Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 31.
18 Abdulkadir Muhammad, Op.cit., hlm. 250-251.

15
pembayaran ini juga membebaskan semua teman-teman yang

berhutang. Itulah yang dimaksud suatu perikatan tanggung-

menanggung. Jadi, jika dua A dan B secara tangggung-menanggung

berhutang Rp. 100.000, kepada C maka A dan B masing-masing

dapat dituntut membayar Rp. 100.000. 19

5.   Perikatan yang dapat dibagi dan perikatan yang tidak dapat dibagi

Suatu perikatan dapat dikatakan dapat dibagi atau tidak dapat

dibagi jika benda yang menjadi objek perikatan dapat atau tidak dapat

dibagi menurut imbangan lagi pula pembagian itu tidak boleh

mengurangi hakikat dari prestasi tersebut. Persoalan dapat dibagi

atau tidak dapat dibagi itu mempunyai arti apabila dalam perikatan itu

terdapat lebih dari seorang debitor atau lebih dari sorang kreditor. Jika

hanya seorang kreditor perikatan itu dianggap sebagai tidak dapat

dibagi.

6.    Perikatan dengan penetapan hukuman (strabeding)

Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah

saja melalaikan kewajibannya dalam praktek banyak dipakai

perjanjian diamana siberhutang dikenakan suatu hukuman apabila ia

tidak menepati janjinya. Hukuman itu, biasanya ditetapkan dalam

suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu

pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri

oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Menurut pasal 1304

tentang mengenai perikatan-perikatan dengan ancaman hukuman,


19 Subekti, Op.cit, hlm. 130.

16
berbunyi “ancaman hukuman adalah suatu ketentuan sedemikian

rupa dengan mana seorang untuk imbalan jaminan pelaksanaan

suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu

tidak dipenuhi”.20

20 Amadi Miru dan Sakka Pati, Op.cit. hlm. 55.

17

Anda mungkin juga menyukai