Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PERANAN NU DALAM PERJUANGAN KEMERDEKAAN

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. KISAH HASYIM ASYARI
B. FATWA atau RESOLUSI JIHAD HASYIM ASYARI
BA B III PENUTUP
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt, yang telah memberikan rahmatnya sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah ini yang mencakup PERANAN NU DALAM PERJUANGAN
KEMERDEKAAN.
Kami mengharapkan makalah ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mempelajari
keNUan terutama pada sub materi peran NU dalam perjuangan kemerdekaan.
Dan saya selaku penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ada pada makalah ini.
oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca khususnya pada dosen
bidang studi ini.
Demi kesempurnaan dalam membuat makalah (Karya tulis) pada waktu mendatang. Untuk
itu saya selaku penulis mengucapkan terima kasih.

Bagu, 26 November 2019


BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
A. KISAH HASYIM ASYARI
Hasyim Asyari, pahlawan nasional dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama (NU). Kiai
karismatik berjuluk Hadratus Syaikh yang berarti Maha Guru, ini dikenal sebagai ahli ilmu
agama, khususnya tafsir, hadits dan fiqih.
Dia mengabdi kepada umat dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir,
Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Hasyim juga berdakwah ke daerah-daerah
pada masanya.
Sedangkan gelar pahlawan dia dapat karena pada masa penjajahan belanda, Hasyim Asyari
ikut mendukung upaya kemerdekaan dengan menggerakkan rakyat melalui fatwa jihad yang
kemudian dikenal sebagai resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945.
Akibat fatwa itu, meledaklah perang di Surabaya pada 10 November 1945.
Menurut Ishom Hadzik (2000) dalam buku yang ditulis Zuhairi Misrawi berjudul
"Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari: moderasi, keumatan, dan kebangsaan", pada masa penjajahan
Belanda, Hasyim senantiasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh muslim dari berbagai penjuru
dunia untuk melawan penjajahan. Misalnya dengan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi
(Maroko), Sultan Pasha Al-Athrasi (Suriah), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina),
Dhiyauddin al-Syairazi, Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah
(Pakistan).
Hasilnya pada 22 Oktober 1945, Hasyim dan sejumlah ulama di kantor NU Jatim
mengeluarkan resolusi jihad itu. Karena itulah Hasyim diancam hendak ditangkap Belanda.
Namun Hasyim tak bergeming, dia memilih bertahan mendampingi laskar Hizbullah dan
Sabilillah melawan penjajah. Bahkan ketika Bung Tomo meminta Kiai Hasyim mengungsi dari
Jombang, Hasyim berkukuh bertahan hingga titik darah penghabisan. Hingga muncul sebuah
kaidah (rumusan masalah yang menjadi hukum) populer di kalangan kelompok tradisional; hubb
al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
B. FATWA atau RESOLUSI JIHAD HASYIM ASYARI
Fatwa atau resolusi jihad Hasyim berisi lima butir. Seperti ditulis Lathiful Khuluq berjudul
"Fajar Kebangunan Ulama, Biografi Kiyai Hasyim Asyari" yang diterbitkan LKiS pada 2000
lalu,
1. butir Pertama resolusi jihad berbunyi; kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan
pada 17 Agustus wajib dipertahankan.
2. Butir ke dua; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus
dijaga dan ditolong.
3. Ke tiga; musuh republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan
bantuan sekutu inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk
menjajah kembali Indonesia.
4. Ke empat; umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan
penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali.
5. Ke lima; kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi
setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal
di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang
berjuang.

Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diri Hasyim sejak belajar di
Makkah, ketika jatuhnya dinasti Ottoman di Turki. Menurut Muhammad Asad Syihab (1994),
Hasyim pernah mengumpulkan kawan-kawannya, lalu berdoa di depan Multazam, berjanji
menegakkan panji-panji keislaman dan melawan berbagai bentuk penjajahan.
Semangat itu dia bawa tatkala kembali ke Indonesia dan dia tularkan kepada anaknya, Wahid
Hasyim. Kelak, Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama pertama pada era
Presiden Soekarno.
Sikap anti penjajahan juga sempat membawa Hasyim masuk bui ketika masa penjajahan
Jepang. Waktu itu, kedatangan Jepang disertai kebudayaan 'Saikerei' yaitu menghormati Kaisar
Jepang "Tenno Heika" dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo
setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB.
Budaya itu wajib dilakukan penduduk tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai
pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Bisa ditebak, Hasyim
Asyari menentang karena dia menganggapnya 'haram' dan dosa besar. Membungkukkan badan
semacam itu menyerupai 'ruku' dalam sholat, hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT.
Menurut Hasyim, selain kepada Allah hukumnya haram, sekalipun terhadap Kaisar Tenno Heika
yang katanya keturunan Dewa Amaterasu, Dewa Langit.
Akibat penolakannya itu, pada akhir April 1942, Hasyim Asyari yang sudah berumur 70
tahun dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Kemudian dipindah ke Mojokerto, lalu ke
penjara Bubutan, Surabaya. Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim disiksa hingga jari-jari
kedua tangannya remuk tak lagi bisa digerakkan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :

Hasyim Asyari lahir di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur, 10 April
1875 dengan nama lengkap Mohammad Hasyim Asyari. Mendirikan Pondok Pesantren
Tebuireng dan organisasi NU. Kakek almarhum Gus Dur ini meninggal di Jombang, 25 Juli 1947
pada umur 72 tahun.
Dalam buku lain, 'Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakkan
Indonesia (1945-1949)' yang ditulis oleh Zainul Milal Bizawie ingin menunjukkan bahwa sejarah
seharusnya mengkaji dengan jernih adanya kepentingan politik yang terdapat dalam relasi kuasa
(power relation), atau yang dikenal dengan politik pengetahuan (politic of knowledge). Dengan
kata lain, perlunya kesadaran akan saling berkelindannya atau berjalan seiring antara penulisan
sejarah dengan kekuasaan.
Bagian pertama buku ini mengungkapkan kajian mistifikasi yang dibangun secara simbolik
sebagai dasar perjuangan ulama-santri. Bagi santri dan masyarakat, seorang ulama atau Kyai
dianggap sebagai pengawal agama dan penunjuk jalan kebaikan. Posisi ulama atau Kyai sangat
penting menjadi symbol perlawanan atau perjuangan. Kemampuannya dan kesaktiannya yang
luar biasa akan memperteguh daya kohesi dan motivasi bagi santri dan masyarakat untuk
memposisikan ulama sebagai panutan.
Dari bagian pertama hingga keenam, nampak bahwa ulama-santrilah yang mampu secara
konsisten mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama dan pesantren
menjadi simbol perlawanan kolonial. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa satu-satunya
elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial adalah ulama-santri dan pesantren,
bahkan menjadi garda depan dalam menumpas kolonialisme.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR HADIR DISKUSI KELOMPOK

NO HARI/TGL NIM NAMA PARAF


1. SENIN, 13 1346219004 DEWI SAFITRI
NOVEMBER 2019
2. 1346219013 FEBRIAN
NURIMANSYAH
3. 1346219004
4. 1346219004
5. 1346219004
6. 1346219004
7. 1346219004
8. 1346219004
9. 1346219004
10. 1346219004
11. 1346219004
DOKUMENTASI

Anda mungkin juga menyukai