Anda di halaman 1dari 5

Analisis Efektivitas Metode Pembelajaran Small Group

Discussion Pada Mahasiswa Kedokteran FK UNS


Elisabeth Yuaninda Usmani
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
elisabethyu@student.uns.ac.id

Abstract. Currently the Problem Based Learning (PBL) and Student Centered
Learning (SCL) learning models are starting to be applied in universities with
the aim of involving students actively in learning, one of which are Medical
students of the UNS FK. One method of these learnings is Small Group
Discussion (SGD). This study aims to assess the effectiveness of the SGD
learning method that has been applied to Medical students of the UNS FK. The
method used in this research is qualitative method. The result was found that the
SGD learning method that had been applied was still less effective, but it was
more effective compared to conventional learning methods. Therefore, it is
necessary to make some improvements to this learning method so that it is more
effective and the goal can be achieved.

Keywords: Problem Based Learning (PBL), Student Centered Learning (SCL),


Small Group Discussion (SGD)

1. PENDAHULUAN

Banyak penelitian yang mengemukakan bahwa model pembelajaran Problem Based


Learning (PBL) efektif untuk membantu meningkatkan kemampuan belajar siswa. Hal yang
penting dalam pelaksanaan model pembelajaran ini adalah pengetahuan dan pengalaman
individu. Model pembelajaran ini adalah salah satu model yang sangat penting untuk
mengaplikasikan teori konstruktivisme di dalam kelas karena mempelajari informasi baru
dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki untuk mengoreksi
pemahaman yang keliru (Celik, Onder, & Silay, 2011).
Penelitian tentang ekeftivitas PBL memunculkan hasil yang beragam. Secara garis besar,
murid yang menggunakan model pembelajaran PBL mendapatkan pengetahuan jangka
pendek yang hampir sama atau kurang dibandingkan dengan murid yang menggunakan model
pembelajaran konvensional. Meskipun demikian, murid yang menggunakan model
pembelajaran PBL lebih unggul dalam pengetahuan jangka panjang. Oleh karena itu, PBL
menjadi strategi yang unggul dan efektif untuk melatih keterampilan dan meningkatkan
kemampuan pengetahuan jangka panjang selama proses belajar (Yew & Goh, 2016).
Ada sebuah model pembelajaran yang berjalan beriringan dengan model pembelajaran
PBL, yaitu Student Centered Learning (SCL). Menurut Weimer (dikutip dalam Wright,
2011), poin utama dalam SCL adalah bahwa peran dari pengajar dan murid berubah seiring
kebutuhan. Guru bukan lagi sebagai “orang bijaksana di atas panggung” melainkan
“pembimbing dari samping” yang melihat murid bukan sebagai wadah kosong untuk diisi
dengan pengetahuan tetapi pencari pengetahuan untuk dibimbing bersama dalam perjalanan
perkembangan intelektual mereka.
PBL pertama kali digunakan dalam bidang kedokteran pada tahun 1950-an. Mahasiswa
akan mendapatkan kasus skenario pasien yang nyata, kemudian diminta untuk memecahkan
masalah yang diberikan. Pembelajaran seperti ini biasanya dipandu oleh seorang ahli dalam
bidangnya yang biasanya diperankan oleh dosen. Pertama, mahasiswa akan diberikan pemicu
yang dapat berupa video, rekaman, plakat, label, gambar, kartun, postur, dan lain sebagainya.
Hal ini disebut sebagai brainstorming atau langkah untuk memacu mahasiswa. Kemudian
mahasiswa akan mencari materi dari sumber yang telah direkomendasikan supaya dapat
memecahkan masalah. Setelah itu mahasiswa secara individu maupun kelompok diminta
untuk memaparkan solusi, berbagi pengetahuan dengan melakukan diskusi, dan menyajikan
hasilnya dalam sebuah seminar (Kandi & Basireddy, 2018).
Salah satu metode pembelajaran yang menggunakan PBL dan SCL adalah Small Group
Discussion (SGD). Tujuan dari SGD adalah untuk mendiskusikan suatu topik kemudian
menganalisis dan mengevaluasi informasi yang digunakan sebagai bukti yang mendukung
untuk mencapai kesepakatan dalam kelompok. Menurut U.S Professional Teacher Training
1983 (dikutip dalam Brewer, 1997), kelebihan dari metode ini dibandingkan dengan metode
konvensional adalah semua partisipan dapat berpartisipasi aktif dalam diskusi, topik yang
didiskusikan dapat menarik partisipan, partisipan mungkin lebih mudah memahami
penjelasan partisipan lain dibandingkan mendengarkan penjelasan seorang pengajar,
fasilitator dapat mengidentifikasi partisipan mana yang membutuhkan tuntunan, fasilitator
dapat mengidentifikasi opini setiap partisipan, dan partisipan dapat melihat hubungan antara
pengetahuan dan kasus yang nyata.
Secara konvensional, pengajaran pada mahasiswa sarjana dilakukan dengan kuliah
didaktik, praktis, tutorial, dan klinik. Metode pembelajaran seperti ini sangat pasif,
pengembangan keterampilan pemecahan masalah atau penalaran pada murid kurang
(Annamalai, Manivel, & Palanisamy, 2015). Semua dosen hampir selalu menyampaikan
kuliah sebagai monolog di depan mahasiswa. Hanya dosen tertentu yang mampu menarik
perhatian mahasiswa dari awal sampai akhir kuliah (Aryani & Supriyadi, 2018). Saat ini
profesi medis telah menjadi sangat kompleks sehingga pendekatan sistematis terhadap etika
medis sangat penting. Itu sebabnya mahasiswa perlu dipersiapkan untuk menghadapi
tantangan dan perjuangan ke depan (Afandi et al., 2009). SGD membantu mahasiswa untuk
mengembangkan keterampilan komunikasi dan dengan antusias mengasah pengetahuan
melalui diskusi yang dinamis dan bersemangat melalui berbagai sudut pandang (Thotakura &
Anuradha, 2018).

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode ini
bersifat deskriptif, menggunakan analisis, mengacu pada data, dan memanfaatkan teori yang
ada sebagai bahan pendukung. Peneliti melakukan analisis dengan pengamatan proses edukasi
dan melakukan wawancara dengan mahasiswa Kedokteran FK UNS.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan data yang diperoleh peneliti melalui wawancara dengan mahasiswa
Kedokteran FK UNS tentang keefektifan metode pembelajaran SGD yang telah mereka jalani
selama satu tahun ini, didapatkan data delapan dari dua belas mahasiswa mengatakan bahwa
SGD yang telah dilaksanakan belum efektif. Tiga mahasiswa lainnya mengatakan cukup
efektif dan hanya satu mahasiswa yang mengatakan sudah efektif. Bahkan beberapa
mahasiswa merasa bahwa SGD tidak terlalu penting dan tidak perlu diadakan atau diganti
dengan metode yang lain. Pelaksanaan SGD yang masih dirasa belum efektif ini disebabkan
oleh banyak faktor. Faktor utama yang menghambat ada yang berasal dari mahasiswa itu
sendiri, fasilitas yang disediakan oleh kampus, dan juga fasilitator yang adalah dosen dari
Kedokteran UNS.
Dalam pelaksanaan SGD, dari faktor yang pertama, masih banyak mahasiswa yang
belum mempersiapkan diri dengan baik. Dari dua belas mahasiswa yang diwawancarai, hanya
satu yang merasa sudah mempersiapkan diri dengan baik setiap akan melaksanakan SGD.
Kebanyakan dari mereka tidak mencari informasi yang lengkap sebelum SGD dilaksanakan.
Padahal sudah disediakan buku panduan SGD yang berisi kasus, pertanyaan-pertanyaan yang
akan didiskusikan saat SGD, dan bahkan referensi untuk bahan diskusi. Hal ini terkadang
mengakibatkan diskusi berhenti beberapa saat. Selain itu, ada beberapa mahasiswa yang
mengambil informasi untuk bahan diskusi dari sumber yang tidak berbasis Evidence Based
Medicine (EBM) sehingga kurang dapat dipercaya kebenarannya. Kemudian peran dari ketua
diskusi juga menentukan kelancaran jalannya diskusi.
Faktor yang kedua adalah fasilitas yang disediakan oleh kampus. SGD yang
dilaksanakan di Kedokteran UNS menggunakan fasilitas kampus berupa ruangan seluas 4m x
5m, tiga buah meja yang dibentuk huruf U, kursi untuk sejumlah mahasiswa dan seorang
fasilitator, dan white board. Pada saat SGD berlangsung, akan ada seorang scriber yang
bertugas untuk menulis jawaban partisipan selama diskusi berlangsung. Hal ini dirasa kurang
efektif bagi sebagian besar mahasiswa karena membuang-buang waktu. Seorang mahasiswa
yang diwawancara memberikan saran untuk menyediakan fasilitas TV sebagai pengganti
papan tulis. Dengan menggunakan TV, materi yang disampaikan oleh partisipan dapat
langsung ditayangkan tanpa harus menunggu seorang scriber selesai menulis di papan tulis.
Fasilitas lainnya yang dirasa masih kurang memadai adalah pendingin ruangan dan internet
yang dirasa kurang bekerja maksimal. Internet termasuk fasilitas yang dianggap penting
karena terkadang pada saat diskusi berlangsung, terjadi kemacetan atau fasilitator
memberikan pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan kasus sehingga partisipan
perlu mencari bahan yang lebih dalam lagi melalui jurnal-jurnal ilmiah.
Faktor yang ketiga berasal dari fasilitator yang merupakan dosen Kedokteran UNS.
Delapan dari dua belas mahasiswa mengatakan bahwa belum semua fasilitator melaksanakan
tugasnya dengan baik. Ada fasilitator yang acuh tak acuh dan hanya memperhatikan diskusi
dari samping tanpa memberikan masukan maupun pemacu saat diskusi berlangsung. Ada juga
yang tidak memedulikan waktu dan hanya mendampingi diskusi di awal saja. Bahkan ada
seorang mahasiswa yang mengaku di kelompoknya sering mendapat fasilitator yang bukan
seorang dokter, sehingga timbal balik yang diberikan kurang. Dari sini terlihat bahwa peran
fasilitator sangat memengaruhi kelancaran berlangsungnya diskusi. Mahasiswa masih
memerlukan bimbingan dan arahan tentang kasus yang dibahas.
Selain ketiga faktor utama tersebut, ada beberapa faktor lain seperti hari pelaksanaan
SGD. Seorang mahasiswa mengatakan bahwa hari pelaksanaan SGD seharusnya tidak hari
Senin karena ia memerlukan waktu untuk mencari materi yang akan didiskusikan, sehingga
mengganggu istirahat di hari Minggu. Ada juga mahasiswa yang mengatakan bahwa
Learning Objective (LO) yang terdapat pada buku panduan SGD kurang jelas, sehingga
seringkali mahasiswa bingung harus membahas suatu kasus seberapa dalam.
Di samping faktor-faktor penghambat yang telah dipaparkan di atas, banyak manfaat dari
SGD yang telah dirasakan oleh para mahasiswa. Hal yang mendasar adalah mahasiswa
dibiasakan untuk berpikir kritis tentang suatu kasus yang nantinya akan mereka hadapi secara
nyata di lapangan. Mereka harus menghubungkan suatu kasus dengan penyebabnya supaya
dapat mengidentifikasi di mana letak kelainan dan apa penyakitnya. Kemudian secara tidak
langsung mahasiswa juga diajarkan untuk berani berbicara dan mengutarakan pendapatnya di
depan mahasiswa yang lain dengan sumber ilmiah yang jelas dan terepercaya. Di sini
mahasiswa seharusnya tidak perlu takut salah karena ada fasilitator yang akan membimbing
dan mangarahkan apabila ada hal yang salah. Selain itu, mahasiswa juga akan mendapatkan
banyak ilmu dari mahasiswa lain. Biasanya dengan bertukar pikiran dan berdiskusi seperti ini,
mahasiswa akan lebih mudah memahami dan lebih lama mengingat materi. Dengan SGD,
fasilitator juga dapat melihat dan menilai sejauh mana pemahaman mahasiswa tentang suatu
ilmu yang sedang dipelajarinya. Mahasiswa bisa mendapatkan nilai tambah dengan aktif
dalam diskusi.
Melalui pengamatan penulis, model pembelajaran SGD ini lebih efektif dibandingkan
dengan model pembelajaran konvensional di mana dosen menjelaskan di depan dan
mahasiswa hanya mendengarkan. Hal ini dibuktikan dengan keaktifan mahasiswa. Mahasiswa
yang mengikuti kuliah di dalam kelas seringkali lebih pasif, bahkan banyak yang tertidur atau
melakukan hal-hal lain. Dosen juga seringkali kurang peduli karena jumlah mahasiswa yang
cukup banyak, yaitu sekitar 105 mahasiswa dalam satu kelas. Akhir-akhir ini banyak juga
mahasiswa yang tidak hadir dalam kuliah karena merasa kuliah yang diberikan di kelas
kurang efektif. Dengan SGD, mahasiswa dituntut untuk selalu hadir dan aktif karena jumlah
siswa dapat dihitung dengan mudah dan keaktifannya dinilai oleh fasilitator.

4. SIMPULAN

Dari hasil analisis pada penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa SGD
yang telah dilaksanakan di Kedokteran FK UNS belum efektif. Namun, masih lebih efektif
bila dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional. Banyak faktor yang
menyebabkan belum efektifnya pelaksanaan SGD, antara lain faktor dari mahasiswa, fasilitas,
dan fasilitator. Di sisi lain, SGD sudah memberikan cukup banyak manfaat kepada
mahasiswa. Baik itu manfaat bagi diri sendiri maupun kelompok. Maka dari itu perlu
dilakukan perbaikan supaya lebih efektif.

5. SARAN

Perlu dilakukan perbaikan untuk meningkatkan efektivitas metode pembelajaran SGD di


Kedokteran FK UNS. Seperti yang telah dipaparkan dalam hasil dan pembahasan, banyak hal
yang dapat diperbaiki untuk menunjang kelancaran pelaksanaan SGD. Pertama, mahasiswa
harus lebih aktif dan mempersiapkan materi dengan baik. Kedua, fasilitas perlu ditingkatkan
dengan cara seperti mengganti papan tulis menjadi TV supaya menghemat waktu dan
meningkatkan kecepatan internet supaya dapat mencari materi dengan mudah saat diskusi
berlangsung. Ketiga, diperlukan fasilitator yang dapat membimbing dan mengarahkan
kegiatan diskusi dengan baik.

6. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Brewer, E. W. (1997). 13 Proven Ways to Get Your Message Across. California: Corwin
Press, Inc.

Jurnal
Afandi, D., Budiningsih, Y., Safitry, O., Purwadianto, A., Novitasari, D., & Widjaja, I. R.
(2009). Effects of an additional small group discussion to cognitive achievement and
retention in basic principles of bioethics teaching methods. Med J Indones, 18 (1), 48-
52.
Annamalai, N., Manivel, R., & Palanisamy, R. (2015). Small group discussion: Students
perspectives. International Journal of Applied and Basic Medical Research, 5, S18-20.
DOI: 10.4103/2229-516X.162257.
Aryani, N. P. & Supriyadi. (2018). Implementation of small group discussion as a teaching
method in earth and space science subject. Journal of Physics: Conference Series, S983.
doi :10.1088/1742-6596/983/1/012039
Celik, P., Onder, F., & Silay, I. (2011). The effects of problem-based learning on the students’
success in physics course. Social and Behavioral Sciences, 28, 656-660.
doi:10.1016/j.sbspro.2011.11.124
Kandi, V. & Basireddy, P. R. (2018). Creating a Student-centered Learning
Environment: Implementation of Problembased Learning to Teach Microbiology to
Undergraduate Medical Students. Cureus, 10(1): e2029. DOI 10.7759/cureus.2029
Thotakura, N. & Anuradha, M. (2018). Effectiveness of Small Group Discussion over
Traditional Lecture: A Cross Sectional Comparative Study. IOSR Journal of Research &
Method in Education (IOSR-JRME), 8 (4), 21-26. DOI: 10.9790/7388-0804032126
Wright, G. B. (2011). Student-Centered Learning in Higher Education. International Journal
of Teaching and Learning in Higher Education, 23 (3), 92-97.
Yew, E. H. J. & Goh, Karen. (2016). Problem-Based Learning: An Overview of its
Process and Impact on Learning. Health Professions Education, 2, 75–79.
http://dx.doi.org/10.1016/j.hpe.2016.01.004

Anda mungkin juga menyukai