Anda di halaman 1dari 2

Kemenkominfo Harus Main Cantik

Kebijakan publik itu memang harus disosialisasikan dan disampaikan ke publik. Bioskop itu merupakan
bagian dari media penyampaian program yang dilakukan oleh lembaga, baik pemerintah maupun
swasta. Karena itu, menurut pengertian kebijakan public, menjadi wajar apabila pemerintah
menggunakan media untuk menyampaikan kinerjanya kepada publik, termasuk hasil dari kebijakan
publik. Hal ini merupakan bagian dari keterbukaan informasi, dan hal itu dijamin oleh undang- undang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Sehingga, hal diatas merupakan bagian dari government public
relation.

Dalam kasus ini, Kemenkominfo memang memiliki tugas untuk menyampaikan capaian- capaian kinerja
pemeritah. Tetapi menjadi persoalan ketika kebijakan publik yang seharusnya menyangkut kepentingan
publik, dipublikasikan di ruang privat, sehingga bermasalah dengan kepatutan dan etika. Tentu, takaran
pantas dan tidaknya, lebih kepada perspektif penonton. Bioskop kan tempatnya tertutup, karena orang
membayarnya untuk dapat masuk, sehingga sosialisasi itu kurang patut. Kecuali, apabila bioskop itu
berbentuk nobar yang terbuka di lapangan. Di masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah
menyampaikan kinerja pembangunan melalui bioskop layar tancap yang terbuka itu. Tetapi ketika dalam
bioskop yang tertutup, hal ini menjadi debatable. Dalam konteks ini, saya melihat bahwa sepanjang
porsinya itu proporsional, tidak menjadi masalah. Hanya karena tertutup dan berbayar, maka hal
menjadi masalah.

Pemerintah pun perlu melihat hal ini lebih jauh, karena sekarang situasinya dalam konteks Pilpres,
sehingga promosi ini perlu dievaluasi dengan mempertimbangkan kecemburuan sosial, serta perspektif
lawan- lawan politiknya agar tidak memancing mereka untuk bereaksi. Dengan efek yang cukup krusial
ini, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan mengemas kembali konsep sosialisasi tersebut dengan
tidak sekedar menonjolkan sisi Jokowinya saja, tetapi lebih menonjolkan kerjasama atau kebersamaan
pemerintahannya. Kan waduk itu bagian dari kinerja PUPR juga, sehingga sisi pemerintahan yang utuh
yang perlu ditampilkan. Dengan itu, metode sosialisasi pemerintah perlu diformulasi ulang agar dalam
penyampaiannya tidak menimbulkan salah persepsi.

Agar tidak terkesan menjadi korban politik, Kemenkominfo perlu untuk main lebih cantik dengan
mengemas ulang metode sosialisasinya dengan mempertimbangkan orientasi dan cara berpikir publik
menyikapi sebuah komunikasi massa yang dilakukan pemerintah. Tetapi, selain menjadi korban, bisa jadi
juga hal ini dilakukan secara sengaja sebagai ajang eksistensi dari Kemenkominfo. Menteri kan juga ingin
menampilkan kinerjanya di depan Presiden, mungkin dengan harapan agar dapat terpilih kembali ketika
petahana memenangkan Pilpres. Tetapi bisa juga, hal ini disengaja karena menganggap kesalahan
Kemenkominfo sebagai entry point bagi lawan politik kubu Jokowi untuk menciptakan polemik.

Memang, tembok politik antara pemerintahan dan politik itu sangat tipis. Karena sudah menjadi rahasia
umum bahwa petahana menggunakan fasilitas- fasilitas yang ada, menggunakan segala sumber daya
yang dimiliki untuk memenangkan kekuasaannya. Hal ini pun sudah berlangsung lama. Pada periode
kedua SBY pun, beliau menggunakan mekanisme BLT sebagai salah satu atribut kampanyenya. Nah,
batas tipis ini memang yang perlu untuk kembali dilihat. Sejauh tidak melanggar aturan, menurut saya
sah- sah saja. Tetapi ketika sudah melanggar aturan, maka perlu disikapi.

Jadi menurut saya, hal ini membutuhkan payung hukum yang jelas. Sejauh mana kepentingan-
kepentingan pemerintahan dan kepentingan kampanye bisa dipisahkan secara baik. Ini kan soal
management pemerintah, karena larangan untuk menggunakan fasilitas maupun kebijakan negara
untuk kampanye sudah diatur dalam perundang- undangan Pemilu.

Tetapi, praktik di lapangan seringkali tidak semudah yang terterah di tataran normatif. Sehingga ketika
kebijakan tersebut diimpelentasi, perlu dibuatkan suatu blueprint atau pedoman yang tegas dan jelas
sehingga prasangka dan asumsi politik itu bisa diminimalisir. Dalam hal ini, Bawaslu seharusnya
mengawal sejak awal, bukan sekedar melalui pendekatan kuratif saja, tetapi juga preventif. Sehingga
kasus- kasus itu tidak terulang kembali. Untuk itu, dengan kasus ini, Bawasu perlu untuk kembali
mengevaluasi diri sehingga dapat menghasilkan pekerjaan pengawasan yang lebih terukur dan terarah,
sekaligus menyelesaikan persoalan- persoalan di lapangan agar tidak menjadi bola liar di tengah publik.
Karena kasus di lapangan itu kan terkadang bergelindam dengan kasus yang lain, sehingga menjadi virus
dan mewabah kemana mana. Untuk itu, Bawaslu perlu untuk melakukan pemutusan mata rantai itu.
(arh)

Anda mungkin juga menyukai