Anda di halaman 1dari 2

Pilpres Dalam Narasi-Narasi Positif

Kontestasi pemilu sejatinya adalah kontestasi ide dan gagasan dimana para kandidat, baik partai politik,
capres-cawapres, maupun para pendukungnya, menyampaikan narasi-narasi positif yang berkaitan
dengan visi-misi dan program masing-masing kandidat. Secara empirik, saya melihat ketika KPU
menetapkan dua pasang kandidat ini, visi-misi dan program kerja ini malah tidak muncul. Justru yang
ditampilkan adalah narasi-narasi yang bersifat hoax, hatespeech, ataupun intrik negative lainnya yang
dilakukan oleh kedua kubu.Hal ini tentunya sangat jauh dari substansi demokrasi yang menghadirkan
gagasan-gagasan jenius berkaitan dengan penguatan demokrasi itu sendiri.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Pertama, gagalnya partai politik memproduksi narasi-narasi kebangsaan,
narasi-narasi nasionalisme, narasi-narasi tentang voter education, serta kegagalan melakukan kaderisasi
yang berbasiskan ideologi. Hal ini menjadi faktor awal, mengapa hoax dan hate speech itu muncul dalam
kampanye politik.

Kedua, ditilik dari kesiapan kita dalam penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara pemilu harus mampu
menempatkan diri sebagai faktor penentu atas berkualitas atau tidaknya sebuah pemilu. KPU misalnya,
perlu untuk melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai tahapan pemilu. Sekarang, KPU sangat jarang
muncul di media sosial dalam peran edukatifnya pada tahapan penyelenggaraan pemilu. Demikian juga
Bawaslu, hal- hal edukatif tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam kontestasi politik juga tidak
muncul. Justru Bawaslu disibukkan dengan narasi-narasi politiknya sendiri, yang bahkan menegasikan
pemilu 2019 sebagai pemilu yang berkualitas.

Ketiga, pilpres kali ini merupakan pengulangan pertarungan pada pilpres 2014. Sehingga sekalipun
terdapat perubahan peta dukungan dari kedua pihak, beberapa isu tertentu masih dianggap strategis;
seperti isu PKI, antek asing, isu agama, dan sebagainya. Semua isu ini masih menjadi bahan baku yang
mudah digoreng dalam proses mempengaruhi pemilih.

Namun yang menjadi ironi adalah jika membaca data yang dirilis oleh beberapa lembaga survei, semisal
Prabowo didukung oleh pemilih dengan tingkat pendidikan tinggi, sedangkan Jokowi lebih banyak
didukung oleh pemilih-pemilih tradisional. Namun yang terjadi, mereka yang tergolong sebagai pemilih
dengan pendidikan tinggi, terkonfirmasi dalam survei Denny JA sebagai patologi sosial. Sehingga kita
dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak ada korelasi yang inline antara tingginya pendidikan
seseorang, terhadap membaiknya naras-narasi yang diciptakan. Ini merupakan patologi sosial, yang
arahnya akan berkembang menjadi patologi politik dalam tatanan demokrasi politik kita.

Untuk itu, hal penting yang dapat dilakukan untuk menjembatani kedua pihak dalam mencapai pemilu
yang berkualitas adalah sikap kenegarawan keduanya untuk dapat duduk bersama dan mendiskusikan
apa gagasan penting untuk bangsa. Ketika hal ini tidak dilakukan, maka pilpres 2019 akan menjadi
pertempuran tanpa peta yang jelas tentang substansi yang diperebutkan kedua kubu.

Pemerintah boleh saja melaporkan hasil pencapaiannya dalam kinerja pemerintahan sebagai refrensi
pemilih. Namun di sisi lain, pemerintah juga tidak boleh anti kritik terhadap hal-hal yang disampaikan
kubu Prabowo. Bagi kubu Prabowo, penting juga untuk berargumentasi dalam dua narasi penting, yakni
narasi konstruktif akan kritikan yang disampaikan, juga narasi solutif yang ditawarkan. Jika hal ini
dilakukan oleh kedua kubu, maka pertarungan ini akan menjadi pertarungan ide dan gagasan.

Namun, hal ini belum nampak terjadi antara kedua kubu, sehingga pertarungan dalam pilpres ini seperti
perang di hutan rimba, terutama dalam media sosial. Kasus Ratna Sarumpaet menjadi puncak (semoga
menjadi akhir) dari cerminan akan hoax yang diproduksi begitu masif, sehingga masyarakat tidak
mampu lagi membedakan mana yang baik, buruk, bohong, dan jujur. Pelajaran pentingnya adalah,
bukan tentang siapa yang menjadi pemilik media dan dengan mudah melakukan intervensi, tetapi
bagaimana media digunakan untuk memproduksi narasi-narasi kebaikan tentang kehidupan
berdemokrasi.

Berkaca dari situasi politik yang demikian, maka menjadi penting untuk memunculkan gerbong ketiga.
Kelompok ini merupakan kelompok yang tidak terkontaminasi dan membangun afiliasi dengan kedua
kubu dalam pilpres. Sejauh ini, kelompok akademisi dalam perguruan tinggi seharusnya dapat menjadi
sandaran yang tepat untuk berkonsultasi daln melahirkan ide yang cemerlang . Namun, hari ini saya
tidak melihat adanya peran aktif dari perguruan tinggi untuk melakukan edukasi politik bagi masyarakat
dalam menyikapi informasi yang bertebaran di media.

Perguruan tinggi dan media dapat memaninkan peran untuk mengedukasi pemilih, sehingga publik tidak
lagi bertarung dalam grey area dalam menata dan membangun bangsa melalui pemilu 2019. Media
sendiri pun perlu untuk memainkan peran yang imparsial yang netral dalam hal memberikan informasi-
informasi yang jelas sehingga terbentuk relasi-relasi civil society, markets, dan state dalam konteks
memperkuat tatanan demokrasi di Indonesia. (arh)

Anda mungkin juga menyukai