Anda di halaman 1dari 2

Aturan Tegas Untuk Zona Rawan Gempa

Sebenarnya pemerintah sudah bergerak dalam penanganan gempa saat ini. Tetapi masalahnya, seperti
yang terjadi di Palu, sebenarnya sudah pernah disarankan. Pemerintah Daerah sudah tahu bahwa
wilayah tersebut tidak boleh didirikan bangunan karena termasuk kawasan rawan gempa.

Namun, memberikan masukan kepada masyarakat untuk mengingatkan bahayanya kawasan itu
bukanlah hal yang mudah. Karena, sudah sejak zaman nenek moyangnya, mereka telah menempati
kawasan pesisir itu, sebab Indonesia merupakan negara maritim.

Dalam tinjauan kearifan lokal, mungkin jenis bangunan yang lumrah di kalangan masyarakat tertentu,
terkadang berbeda dengan idealnya konstruksi bangunan tahan gempa. Karena secara konstruksi, ketika
fondasi tidak menempel di tanah, tetapi menancap ke dalam tanah, maka akan menjadi berat.

Tetapi kita juga tidak dapat memungkiri bahwa nenek moyang kita sebenarnya sudah melakukan
adaptasi dengan kondisi geologis yang ada, sehingga kita menemukan model bangunan seperti
bangunan rumah Jawa.

Sehingga ketika Jogja gempa, misalnya, yang tidak runtuh adalah rumah- rumah lawas itu. Tetapi ketika
model bangunan ini terpengaruh dengan gaya bangunan modern yang minimalis, kita harus tetap
memikirkan konstruksi bangunan gaya lama itu.

Masalah yang kemudian timbul adalah minimnya sosialisasi akan model bangunan yang tahan gempa,
berdasarkan refleksi kearifan lokal ini. Sekalipun Indonesia diketahui sebagai wilayah rawan gempa, baik
vulkanik maupun tekhtonik, kita tetap mengalami kesulitan untuk memindahkan masyarakat dari
wilayah rawan gempa. Sebab, kita juga bertabrakan dengan masalah keterbatasan lahan, ekonomi, dan
masalah lain yang juga mengikuti.

Ketika Merapi meletus, pemerintah mencoba mengevakuasi masyarakat. Tetapi ketika bencana sudah
berakhir, masyarakat kembali lagi ke Merapi. Jadi, desain preventif pemerintah untuk melalukan
evakuasi dan pemetaan kawasan bencana seringkali gagal.

Sehingga, masalah penanganan masalah gempa tidak hanya selesai pada permasalahan anggaran.
Karena pada dasarnya, anggaran sangat erat keaitannya dengan political will pemerintah. Apabila kita
merasa bahwa penanganan gempa perlu dianggarkan, kenapa tidak dilakukan?

Dengan demikian, pada tahun anggaran 2019 perlu untuk ditekan agar daerah- daerah rawan gempa
yang titik- titiknya telah terdeteksi dapat melaksanakan upaya preventif tadi, semisal dengan
membangun rumah tahan gempa.

Dalam teori konstruksi, semua bangunan yang menempel diatas tanah relatif tahan gempa. Bukan
bangunan yang kaku ke dalam tanah. Karena apabila bangunan kaku ke dalam tanah, tanah bergerak,
maka fondasi akan terputus dan struktur bangunan patah. Maka bangunan akan menjadi lebih mudah
runtuh. Jika kita melihat, korban jiwa terbesar di Palu, bukan disebabkan oleh tsunami, tetapi oleh
reruntuhan bangunan.
Untuk itu, pemerintah harus segera merumuskan big design penanganan gempa, sebab daerah- daerah
rawan gempa itu sudah dapat terdeteksi. Daerah rawan gempa secara alamiah terbentuk sebagai
daerah berbahaya . Tetapi entah mengapa, daerah tersebut merupakan wilayah padat penduduknya

Karena biasanya juga, daerah- daerah rawan gempa tektonik memiliki kandungan mineral dan kekayaan
bumi lainnya, yang juga merupakan tempat masyarakat mencari rezeki. Di wilayah vulkanis pun, kondisi
tanahnya subur. Sehingga, masyarakat enggan meninggalkan wilayah itu, sekalipun masuk dalam
wilayah rawan.

Sehingga hal ini perlu ditertibkan dalam bentuk Perda untuk memisahkan kawasan merah bencana
sehingga tidak dapat digunakan untuk pemukiman. Aturan ini berbentuk zonasi wilayah berdasarkan
kajian geologi, dan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk membuat aturan larangan ini.

Setelah itu baru kita berbicara soal penganggaran pemerintah untuk meminimalisir kerugian akibat
gempa melalui konstruksi bangunan tahan gempa. Karena selama ini, penanganan bencana gempa
seperti penanganan teroris, baru ditangani ketika ada kejadian. (arh)

Anda mungkin juga menyukai