Anda di halaman 1dari 16

RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM PEMBERLAKUAN

SYARIAT ISLAM

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Legislasi Hukum Indonesia
Jurusan Syariah Prodi Hukum Keluarga Islam (HKI 6) Institut Agama Negeri

(IAIN) Bone Semester VI

Di Susun Oleh :Kelompok V

ASTINA YUSUF

RISAL WIJAYA

SUGIARTI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

BONE

2020
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................

B. Rumusan Masalah ................................................................................

C. Tujuan Penulisan .................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................

A. Paradigma Integratif ............................................................................

B. Paradigma Simbiotik ...........................................................................

C. Paradigma Sekuler/Sekularistik ...........................................................

BAB III PENUTUP ........................................................................................

A. Kesimpulan ..........................................................................................

B. Saran ....................................................................................................

DAFTAR RUJUKAN ....................................................................................


KATA PENGANTAR

‫بِس ِْم هَّللا ِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحيم‬

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya

berupa rahmat, hidayah, dan inayah-Nya serta kesehatan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas “Pencatatan perkawinan”. Shalawat dan salam

penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulis mengungkapkan banyak terima kasih kepada semua orang yang

selama ini menemani penulis terutamanya orang tua dan keluarga, begitupun

penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman tercinta atas motivasinya dalam

menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak

kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik, saran dan

masukan yang konstruktif sangat penulis harapakan dari berbagai kalangan demi

perbaikan kedepan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Watampone, 20 Maret 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan manifestasi

dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok manusia untuk mewujudkan

kebaikan dan kesejahteraan bersama. Eksistensi negara, dalam hal ini

meniscayakann adanya perpaduan, meminjam istilah hegel, antara “kebebasan

subjektif” ( subjektive liberty), yaitu kesadaran dan kehendak individual untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu, dan “kebebasan objektif” ( objektive liberty ),

yaitu kehendak umum yang bersifat mendasar. Sebagai faktor instrumental dalam

mewujudkan kesejahteraan bersama, negara memerlukan pemberlakuan hukm

(law enforcement). Oleh karena itu, doktrin dasar negara, seperti diungkapkan

Immanuel Kant, adalah negara berdasarkan hukum dan bertujuan untuk

menciptakan perdamaian abadi.1

Dalam pemikiran politiik islam terdapat, paling tidak, tiga paradigma

ttentang hubungan negara dan agama. Nuansa diantara ketiga paradigma ini

terletak pada konseptualisasi yang diberikan kepada kedua isltilah tersebut.

Kendati islam yang dipahami sebagai agama yang memiliki totalitas---dalam

pengertian meliputi keseluruhan aspek kehidupan manusia, termasuk politik---

namun sumber islam juga mengajukan pasangan istilah seperti dunya-

akhirat(dunia-akhirat), din-dawlah (agama-negara), atau umur al-dunya-umur al-

M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, ( cet II ; Jakarta: PT
1

Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 57


din (urusan dunia-urusan agama).2 pasangan istilah-istilah tersebut menunjukkan

adanya perbedaan konseptual dan mengesahkan adanya dikotomi.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah paradigma integratif memandang relasi agama dan negara?

2. Bagaimanakah paradigma simbotik memandang relasi agama dan negara?

3. Bagaimanakah paradigma sekuler/sekularistik memandang agama dan

negara?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana paradigma integratif memandang relasi

agama dan negara

2. Untuk mengetahui bagaimana paradigma simbiotik memandang relasi

agama dan negara

3. Untuk mengetahui bagaimana paradigma sekuler/sekularistik memandang

relasi agama dan negara

BAB II
2
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 58
PEMBAHASAN

A. Paradigma Integratif

Paradigma ini memecahkan masalah dikotomi dengan mengajukan sebuah

konsep bersatuanya agama dan negara. Agama (islam) dan negara, dalam hal ini

tidak dapat dipisahlan ( integtated ). Wilayah negara juga meliputi politik atau

negara. Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan

keagaman sekaligus. Pemerintahan negara diselesaikan atas dasar “kedaulatan

ilahi” ( drivine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di

“tangan” Tuhan.

Paradigma seperti ini diaanut oleh kelompok syi’ah. Paradigma pemikiran

syi’ah memandang bahwa negara (istilah yang relevan dengan hal ini adalah

immah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan yang memppunyai fungsi

keagamaan. Menurut pandangan syi’ah, berhubung legitimasi keagamaan berasal

dari Tuhan dan diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad, legitimasi

politik harus berdasarkan legitimasi keagamaan dan hal inni hanya dimiliki oleh

keturunan Nabi.3

Berbeda dengan paradigma pemikiran politik Sunni, yang menekankan

ijma (pemufakatan) dan bayan (pembaitan) kepada “kepala negara” (khalifah),

paradigma syi’ah menekankan walayah (“kecintaan” dan ”pengabdian” kepada

tuhan) dan ‘ismah (kesucian dari dosa), yang hanya dimiliki oleh para keturunan

Nabi, sebagai yang berhak dan absa untuk menjadi “kepala negara” (imam).

3
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 58
Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan

mempunyai fungsi menyelenggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara dalam

perspektif syi’ah, bersifat teokratis. Negara teokratis mengandung unsur

pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan, dan konstitusi

negara berdasarkan pada wahyu tuhan (syariah). Sifat teokratis dalam pandangan

syi’ah dapat ditemukan dalam pemikiran banyak ulama poliyik syi’ahh.

Khomeini, umpamanya, menyatakan bahwa “Dalam negara islam wewenangn

menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada seorangpun yang berhak

menetapkan hukum. Dan boleh berlaku hanyalh hukum dari Tuhan.

Kendati demikian, pemikiran politik Iran kontemporer menolak penisbatan

Republik Islam Iran dengan negara teokratis. Sistem kenegaraan Iran memang

menyiratkan watak “demokratis”, seperti ditujukan oleh penerapan asas distribusi

kekuasaan berdasarkan prinsip Trias Politica, dan pemakaian istilah republik

sebagai bentuk dari negara itu sendiri. 4

Paradigma “penyatuan” agama dan negara juga menjadi anutan kelompok

“fundamentalisme islam” yang cenderung beriorentasi nilai-nilai islam yang

dianggapnya mendasar dan prinsifil. Paradigma fundamentalisme menekankan

totalitas islam, yakni bahwa islam meliputi seluruh aaspek kehidupan. Menurut

salah seorang tokoh kelompok ini, Al Maududi (w.1979), syari’ah tidakmengenal

pemisahan antara agama dan politik atau antara agama dan negara. “Syari’ah

adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi seluruh tatanan

kemasyarakatan, tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.

4
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 59
Negara islam berdasarkan syari’ah itu, dalam pandangan al-Maududi,

harus didasarkan pada empat prinsip dasar, yaitu: bahwa ia mengakui kedaulatan

Tuhan, menerima otoritas Nabi Muhammad SAW, memiliki status “Wakil

Tuhan”, dan menetapkan musyawarah. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut,

kedaulatan yang sesungguhnya berada pada Tuhan. Negara berfungsi sebagai

kendaraan politik untuk menerapkan hukum-hukum Tuhan, dalam statusnya

sebagai wakil tuhan. Dalam perspektif demikian, konsepsi Maududi tentang

negara islam bersifat teokratis, terutama menyangkut konstitusi negara yang harus

berdasarkan syari’ah. Tetapi al-Maududi sendiri menolak istilah tersebut dan lebih

memilih istilah “teo-demokratis”, karena konsepsinya mengandung unsur

demokratis, yaitu adanyya peluang bagi rakyat untuk memilih pemimpin negara.

B. Paradigma Simbiotik

paradigma ini memandang agama dan negara berhubungan secara

simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini

agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang.

Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat

berkembang dalam binbingan etika dan moral.5

Pandangan tentang simbiosis agama dan negara ini dapat ditemukan,

umpamanya dalam pemikiran al-Mawardi (W. 1058), seorang teoritikus politik

islam terkemuka pada masa klasik. Pada baris pertama dalam karyanya yang

terkenal al-ahkam al-sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan

negara (imamah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna

5
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 60
memelihara agama dan6 mengatur dunia. Pemeliharaan negara dan pengaturan

dunia merupakan dua aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara

simbiotik. Keduanya meruppakan dua dimensi dari misi kenabian.

Unttuk menjelaskan fungsi “mengatur dunia” bagi seorang kepala

pemerintahan, dalam separuhh kedua dari bukunya al-Mawardi menguraikan

tugas-tugas administratif dari seorang kepala pemerintahan (khalifah). Namun hal

ini tidak dapat disimpulkan bahwa al-Mawardi mengeliminasi watak keagamaan

dari lembaga kenegaraan (kekhalifaan). Dalam pandangannya, negara tetap

merupakan lembaga politik dalam saksi-saksi keagamaan.

Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi

sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain,

al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan identitas politik

seperti di isyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi

kepantasan atau kepatutann politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenaarnya

mengenalkan sebuah pendektan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan politik

kala dihadapkan dengan prinsip-prinsip agama.7

Seorang pemikir lain yang juga dapat disebut membawa pandangan

simbiosis agama dan negara adalah al-Ghazali (W. 1111). Kendati al-Ghazali

tidak secara khusus dikenal sebagai pemikir politik, namun beberapa karyanya

mengandung pikiran-pikiran politik yang signifikan, sepeti Nasihat al-Mulk,

Kimiya-yi al-as’adat, dan al-Igtisad fi al-I’tiqad.

6
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 60
7
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 61
Dalam Nasihat al-Mulk, al-Ghazali, antara lain, mengisyaratkan hubungan

pararel antara agama dan negara, seperti yang dicontohkan dalam paralelisme nabi

dan raja. Menurut al-Ghazali, jika tuhan telah mengirim nabi-nabi dan memberi

mereka wahyu, maka Dia juga telah mengirim raja-raja dan memberi mereka

“kekuatan ilahi” (farr-i izadi). Keduanya memiliki tujuan yang sama yakni

kemaslahatan kehidupan manusia (masalahat-i zaandaghaani).

Munkin al-Ghazali tidak bermaksud menyamakan antara nabi dan raja,

munkin dapat berarti antara nagama dan negara, namun paralelisme yang

dilakukannya menunjukkan status tinggi dari raja atau negara dalam hubungannya

dengan nabi atau agama. paralelisme ini dapat ditafsirkan sebagai simbiosis yang

bersifat setara.8 Kesimpulan ini dikuatkan oleh al-Ghazali dalam Kimiya-yi al-

as’adat bahwa agama dan negara adalah saudara kembar (tawaman) yang lahir

dari satu ibu.

Konsep farr-i izadi yang menjadi dasar simbiosis agama dan negara dalam

pemikiran al-Ghazali, mempunyai akar sejarah pada pemikiran pra-islam Iran.

Konsep ini mengandung arti bahwa kualitas-kualitas tertentu yang harus dimiliki

oleh seorang pemimpin atau kepala negara seperti, pengatahuan, keadilan, dan

kearifan. Kualitas-kualitas demikian diyakini bersumber pada tuhan dan bersifat

“titisan”. Dengan menegaskan farr-i izadi dalam kepemimpinan negara, al-

Ghazali mungkin bermaksud menegaskan dimensi keagamaan dalam lembaga

negara. Jika demikian adanya, maka al-Ghazali, seperti halnya al-Mawardi, juga

mengenalkan suatu pendekatan realistik dalam melakukan rekonsiliasi antara

idealitas agama dan realitas penyelenggaraan negara.


8
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 62
C. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan

simbiotik antara agama dan negara. Sebagai ganntinya paradima sekularristik

mengajukan pemisahan antara agama dan negara. Dalam kontes islam, paradigma

sekularistik9 menolak pendasaran negara kepada islam atau paling tidak menolak

determinasi islam akan bentuk tertentu suatu negara.

Para pemikir sekularistik menafikkan dan mengingkari hak-hak islam

untuk memiliki sebuah negara sebagai sarana menerapkan syariat, menyampaikan

dakwah, menjaga umat, serta membela tempat dan tanah airnya. Mereka juga

mengingkari hak para pemikir Islam untuk membentuk partai politik yang akan

menampung aspirasi umat Islam, menyalurkan pendapat dan ide-ide dalam

melaksanakan proses perubahan dan pembangunan.10

Salah seorang pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq, seorang

cebdekiawan muslin dari mesirr. Pada tahun 1925, Ali Abd al-Raziq menerbitkan

sebuah risalah yang berjuduk al-Islam wa Usul al-Hukm, yang menimbulkan

kontroversi dan menyebabkan ia dipecat dari jabatannya sebagai hakim agama

oleh semacam Majelis Ulama Mesir.

Menurut pendapat Ali Abd al-Raziq, tidak ada dalil yang menyuruh islam

mendirikan negara ataupun membentuk pemerintahan. Islam hanya berisi dakwah

murni agama, tidak ada hubungan dengan kekuasaan karena kekuasaan adalah

urusan dunia yang bertentang dengan agama.11

9
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 62
10
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi Meluruskan Dikotomi Agama & Politik, h. 141
11
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi Meluruskan Dikotomi Agama & Politik, h. 145
Isu sentral dalam risalah Ali Abd al-Raziq, seperti dikutip olehh Diya al-

Din al-Ra’is, adalah bahwa islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem

pemerintahan kekhalifaan. Termasuk kekhalifaan al-Khulafa al-Rasyidin,

bukanlah sebuaah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem

yang duniawi.Ali Abd al-Raziq sendiri menjelaskan pokok pandangannya bahwa;

“Islam tidak menetapkan suatu rezim permintaan tertentu, tidak pula

mendesakkan kepada kaum muslimin suatu sistem pemerintahan tertentu lewat

mana mereka harus diperintahkan, tapi islam telah memberi kita kebebasan

mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi

intelektual, sosial dan ekonomi yang kita miliki, dan dengan mempertimbangkan

perkembangan sosial dan tuntutan zaman. “

Argumen utama Ali Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifaan tidak

mempunyai dasar baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadist. Kedua sumber islam

ini tidak menyebut12 istilah khalifa dalam pengertiann kekhalifaan yang pernah

ada dalam sejarah. Lebih dari pada itu, tidak ada petunjuk yang jelas dalam al-

Qur’an dal al-Hadist yang menentukan suatu bentuk sistem politik untuk didirikan

oleh umat islam. Ali Abd al-Raziq menolak keras pendapat bahwa Nabi

Muhammadd SAW pernah mendirikan suatu negara islam di Madinah.

Menurutnya, Nabi Muhammmad SAW adalah semata-mata utusan tuhan, bukan

seorang kepala negara atau pemimpin politik.

Dalam kaitan diatas, Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara

agama dan politik, tepatnya antara misi kenabian dan aktivitas politik. 13 Dia

12
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 63
13
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 64
memberikan alasan cukup panjang dari perspektif teologis dan historis untuk

membuktikan bahwa tindakan-tindakan politik Nabi Muhammad SAW, seperti

melakukan perang, mengumpulkan jizya, dan bahkan jihad, tidak berhubungan

dan tidak merefleksikan fungsinya sebagai utusan Tuhan. Bagi Ali Abd al-Raziq,

islam adalah suatu entitas keagamaan yang bertujuan untuuk mewujudkan

komunitas keagamaan yang tunggal (jama’ah wahidah), berdasarkan kesamaan

keyakinan. Dalam hal ini, Ali Abd al-Raziq mengatakan :

“Adalah masuk akal bagi seluruh dunia untuk mempunyai satu agama, dan

seluruh kemanusiaann diorganisasikan dalam satu kesatuan keaagamaan, tetapi,

bahwa seluruh dunia dipimpin oleh satu pemerintahan adalah melampaui watak

kemanusiaan dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Hal semacam ini

merupakan tujuan duniawi yang Tuhan telah menyerahkannya kepada akal kita.

Dia telah memberikan manusia kebebasan untuk mengatur urusan-urusan dunia-

nya sesuai dengan arah kecendrungan akal-pikirran dan pengetahuannya.

Ketentuan Tuhan adalah bahwa umat manusia tetap dalam kebinekaan.

Pernyataan diatas sengaja dikutip panjang sebab mengandung palinng

tidak dua arti penting. Pertama, bahwa istilah jama’ah yang mempunyai arti

komunitas keagamaan, tidaak mengandung arti komunitas politik. Kedua, kendati

komunitas keagamaan itu non-politik, tetapi ia jelas membutuhkan instrumen

politik untuk mencapai tujuannya. Dapat disimpulkan dari pandangan Ali Abd al-

Raziq, bahwa masyarakat islam bukanlah masyarakat politik. Tetapi selalu ada

peluang bagi masyarakat ini untuk mewujudkan bentuk pemerintahan islam yang

sesuai dengan konteks budaya.


Ali Abd al-Raziq sebenarnya tidak bermaksud mengatakan bahwa islam

tidak menganjurkan pembentuka suatu negara. Sebaliknya, islam menurut

pandangannya, memandang penting kekuasaan politik. Tapi hal ini tidak berarti

bahwa pembentukann negara atau pemerintahan itu merupakan salah satu ajaran

dasar islam.

Dalam ungkapan lain, kekuasaan politik diperlukan oleh umat islam, tetapi

bukan karena tuntutan agama, melainkan tuntutan situasi sosial dan politik itu

sendiri.14

14
M. Din Syamsuddin. Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, h. 65
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Paradigma Integratif memandang sebuah konsep bersatuanya agama dan

negara. Wilayah negara juga meliputi politik atau negara. Karenanya menurut

paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagaman sekaligus.

Pemerintahan negara diselesaikan atas dasar “kedaulatan ilahi” ( drivine

sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan”

Tuhan.

Paradigma Simbiotik memandang agama dan negara berhubungan secara

simbiotik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini

agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang.

Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat

berkembang dalam binbingan etika dan moral

Paradigma Sekularistik ini menolak baik hubungan integralistik maupun

hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai ganntinya paradigma

sekularristik mengajukan pemisahan antara agama dan negara.

B. Saran

Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu perlu teman-teman

mengajukan saran atau kritik demi kesempurnaan dalam makalah ini. Semoga

makalah yang dibuat bisa membantu teman-teman lebih mengerti bagaimana

relasi agama dan negara.


DAFTAR RUJUKAN

Al-Qaradhawi, Yusuf. 2008. Meluruskan Dikotomi Agama & Politik. Jakarta

Timur : Pustaka Al-Kautsar

Anda mungkin juga menyukai