Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akuntansi pajak tangguhan diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan Nomor 46.Secara umum, PSAK No. 46 diterbitkan untuk memperbaiki
kualitas laporan keuangan yang berkaitan dengan pajak penghasilan.PSAK No. 46
merupakan standar akuntansi yang mengatur perlakuan akuntansi untuk pajak.
Kerena merupakan standar, maka PSAK No. 46 wajib diterapkan dalam laporan
keuangan perusahaan yang telah listing, dan dianjurkan untuk digunakan bagi
perusahaan yang belum listing. PSAK No. 46 juga mengatur tentang akuntansi
pajak penghasilan menggunakan dasar akrual, yang secara komprehensif
merupakan pendekatan aktiva kewajiban (asset-liability approach) atau
berorientasi pada neraca (balance sheet oriented).
Ketentuan dalam UU PPh dan PSAK terkait pengakuan pendapatan dan beban
tidak sama, karena memiliki tujuan yang berbeda. Perbedaan antara pajak dan
akuntansi dapat dibedakan menjadi dua yaitu perbedaan permanen dan perbedaan
temporer, sehingga setiap akhir pelaporan entitas melakukan rekonsiliasi fiskal
atau koreksi fiskal atas laba sebelum pajak untuk menghitung jumlah penghasilan
kena pajak.Oleh karena itu, penerapan PSAK No. 46 tentang Akuntansi Pajak
Penghasilan diharapakan dapat menjembatani antara peraturan perpajakan dengan
ketentuan akuntansi.PSAK No.46 mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian,
dan pengungkapan pajak penghasilan entitas.PSAK No. 46 entitas tidak hanya
diwajibkan memenuhi ketentuan perpajakan untuk membayar dan melaporkan
pajak, namun jugamenyajikan dan mengungkapkan informasi tersebut dalam
laporan keuangan.Hal ini membantu para pengguna laporan keuangan tidak salah
dalam membaca laporan keuangan.Suatu perusahaan bisa saja membayar pajak
lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih
besar di masa datang.Atau sebaliknya, bisa saja perusahaan membayar pajak lebih
besar saat ini, tetapi sebenarnya memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di
masa datang. Hal inilah yang disebut dengan pajak tangguhan.

Pajak Tangguhan |1
Adapun tujuan ditetapkan PSAK No. 46 yaitu mengatur perlakuan untuk
akuntansi pajak penghasilan dalam mempertanggungjawabkan konsekuensi
pajak pada periode berjalan dan periode mendatang yang berkaitan dengan
perbedaan temporer agar dilakukan pengakuan terhadap “future tax effects”
yang timbul sebagai akibat adanya transaksi dan peristiwa lain yang telah
diakui dalam laporan keuangan dan pengakuan kewajiban pajak tangguhan
serta aktiva pajak tangguhan, penyajian pajak penghasilan pada laporan
keuangan dan pengungkapan informasi yang relevan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Apa yang dimaksud dengan pajak tangguhan ?
2) Bagaimana proses timbulnya pajak tangguhan ?
3) Bagaimana pencatatan dan penyajian pajak tangguhan ?
4) Apa risiko yang timbul akibat pengakuan pajak tangguhan ?
5) Bagaimana meminimalkan resiko akibat pengakuan pajak tangguhan ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1) Mengetahui pengertian dari pajak tangguhan.
2) Menjelaskan proses timbulnya pajak tangguhan.
3) Menjelaskan tentang pencatatan dan penyajian pajak tangguhan.
4) Mengetahui resiko yang timbul akibat pengakuan pajak tangguhan beserta
cara meminimalkan resiko tersebut.

Pajak Tangguhan |2
BAB II
PEMBAHASAN
 
2.1 Pajak Tangguhan
Pajak tangguhan adalah pajak yang kewajibannya ditunda sampai waktu yang
ditentukan atau diperbolehkan.Pada dasarnya antara akuntansi pajak dan akuntansi
keuangan memiliki kesamaan tujuan, yaitu untuk menetapkan hasil operasi bisnis
dengan pengukuran dan rekognisi pengahasilan dan biaya. Namun ada beberapa
hal yang perlu mendapatkan perhatian, bahwa ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan tidak sekadar intstrumen penstranfer sumber daya ( fungsi
budgeter), akan tetapi seringkali pula digunakan untuk tujuan memepengaruhi
perilaku wajib pajak untuk inveastasi, kesejahteraan dll (fungsi mengatur) yang
kadang-kadang merupakan alas an untuk membenarkan penyimpangan dari
standar akuntansi keuangan.
Pajak tangguhan pada prinsipnya merupakan dampak PPh di masa yang akan
datang yang disebabkan oleh perbedaan temporer (waktu) antara perlakuan
akuntansi dan perpajakan serta kerugian fiskal yang masih dapat dikompensasikan
di masa datang (tax loss carry forward) yang perlu disajikan dalam laporan
keuangan dalam suatu periode tertentu.
Dampak PPh di masa yang akan datang yang perlu diakui, dihitung, disajikan
dan diungkapkan dalam laporan keuangan, baik neraca maupun laba rugi. Suatu
perusahaan bisa saja membayar pajak lebih kecil saat ini, tapi sebenarnya
memiliki potensi hutang pajak yang lebih besar di masa datang.Atau sebaliknya,
bisa saja perusahaan membayar pajak lebih besar saat ini, tetapi sebenarnya
memiliki potensi hutang pajak yang lebih kecil di masa datang.Bila dampak pajak
di masa datang tersebut tidak tersaji dalam neraca dan laba rugi, maka laporan
keuangan bisa saja menyesatkan pembacanya.
Beban Pajak Tangguhan dan Pendapatan Pajak Tangguhan
Beban PPh terdiri atas beban pajak kini dan beban pajak tangguhan atau
pendapatan pajak tangguhan. Pajak kini ( current tax ) merupakan jumlah PPh
terutang atas Penghasilan Kena Pajak pada suatu periode. Pajak Penghasilan

Pajak Tangguhan |3
diperlakukan sebagai biaya bagi perusahaan. Beban pajak tangguhan akan
menimbulkan kewajiban pajak tangguhan sedangkan pendapatan pajak tangguhan
mengakibatkan aset pajak tangguhan.
Aset Pajak Tangguhan
Aset pajak tangguhan timbul apabila beda waktu yang menyebabkan
terjadinya koreksi positif sehingga beban pajak menurut akuntansi lebih kecil
daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan.
Aset pajak tangguhan adalah jumlah PPh terpulihkan pada periode mendatang
sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh di kurangkan dan sisa
kompensasi kerugian.
Kewajiban Pajak Tangguhan
Kewajiban pajak tangguhan timbul karena adanya perbedaan waktu yang
menyebabkan terjadinya koreksi negative sehingga beban pajak menurut
akuntansi lebih besar daripada beban pajak menurut peraturan perpajakan.
Kewajiban pajak tangguhan adalah jumlah PPh terutang untuk periode mendatang
sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.

2.2 Proses Timbulnya Pajak Tangguhan


Pajak tangguhan timbul akibat adanya perbedaan sementara (temporary
difference), antara standar akuntansi dan undang-undang pajak mengenai
pengakuan nilai pajak penghasilan (PPh) perusahaan. Kemungkinan selisihnya
ada 2 yaitu:
1) Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) lebih besar
dibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui
sebagai ‘liabilitas pajak tangguhan’ (deferred tax liability). ).
Misalnya: Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar
akuntansi) untuk tahun 2012, nampak sebagai berikut:
Penjualan              = Rp.50,000,000
HPP                  = (Rp.10,000,000)
Biaya-biaya          = (Rp.10,000,000)
Laba Kena Pajak =  Rp 30,000,000

Pajak Tangguhan |4
Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp
3,000,000

Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU


Pajak), nampak sebagai berikut:
Penjualan             = Rp.50,000,000
HPP                 = (Rp.15,000,000)
Biaya-biaya          = (Rp.10,000,000)
Laba Kena Pajak = Rp   25,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp


2,500,000

Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih besar Rp


500,000 dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 –
2,500,000). Selisih yang sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi
kewajiban di masa yang akan datang. Dalam pengertian, di periode
berikutnya kewajiban pajak akan meningkat (ketika HPP yang saat ini
belum diakui menjadi diakui). Prinsip kehati-hatiannya akuntansi
menyebutkan bahwa: “kewajiban yang masih berupa potensi-pun
sebaiknya diakui.” Oleh sebab itu maka selisih tersebut diakui sebagai
‘liabilitas pajak tangguhan’ (deferred tax liability) pada kelompok
‘Liabilitas’ di Neraca.
2) Jika PPh menurut standar akuntansi (untuk sementara) LEBIH KECIL
dibandingkan dengan yang menurut UU pajak, maka selisihnya diakui
sebagai ‘aset pajak tangguhan’ (deferred tax asset).
Misalnya: Laporan komersial PT. JAK (yang disusun berdasarkan standar
akuntansi), nampak sebagai berikut:
Penjualan              = Rp.50,000,000
HPP                  = (Rp.15,000,000)
Biaya-biaya          = (Rp.10,000,000)
Laba Kena Pajak =   Rp.25,000,000

Pajak Tangguhan |5
Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 25,000,000 x 10% = Rp
2,500,000

Sedangkan laporan fiskal (yang disusun dengan mengikuti ketentuan UU


Pajak), nampak sebagai berikut:
Penjualan              = Rp50,000,000
HPP                 = (Rp10,000,000)
Biaya-biaya          = (Rp10,000,000)
Laba Kena Pajak =   Rp 30,000,000

Jika tarif PPh 10% misalnya, maka PPh = Rp 30,000,000 x 10% = Rp


3,000,000

Sehingga pengakuan PPh menurut standar akuntansi lebih kecil Rp


500,000 dibandingkan dengan menurut UU pajak (=3,000,000 –
2,500,000). Selisih yang sebesar Rp 500,000 ini dianggap sebagai potensi
pengurang kewajiban pajak di masa yang akan datang. Kewajiban pajak
berkurang, maka aset meningkat. Oleh sebab itu maka diakui sebagai ‘aset
pajak tangguhan’ (deferred tax asset) pada kelompok “Aset” di Neraca.
Di satu sisi konsep mengakui pajak tangguhan, terutama yang ‘liabilitas pajak
tangguhan’, sangat bagus, karena laporan keuangan menjadi patuh (compliant)
terhadap prinsip kehati-hatiannya akuntansi. Namun di sisi lainnya, perlu di sadari
bahwa, pengakuan pajak tangguhan bersifat spekulatif
Bahwa pengakuan pajak tangguhan telah didahului oleh proses kalkulasi.
Tetapi, bagaimanapun juga, kalkulasi yang dibuat masih berupa estimasi,
menggunakan penilaian (judgment) sendiri—berdasarkan hasil interpretasi
mengenai UU pajak—masih dalam fase self-assessment.
Sementara itu, status pajak (mengenai berapa besarnya kewajiban PPh) baru
akan pasti bila sudah ada ketetapan hukum, setelah official-assessment dari kantor
pajak (DJP). Dan ketetapan pajak dari pihak DJP belum tentcu sama dengan
perhitungan yang dipakai dalam menentukan pajak tangguhan.

Pajak Tangguhan |6
2.3 Pencatatan dan Penyajiannya Pajak Tangguhan
Pengakuan aset dan kewajiban Pajak Tangguhan dilakukan terhadap rugi
fiscal yang masih dapat dikompensasikan dan beda waktu antara laporan
keuangan komersial dengan laporan keuangan fiscal yang dikenakan pajak,
dikalikan dengan tarif pajak yang berlaku. Karena tarif Pajak Penghasilan berubah
– ubah dari waktu ke waktu, maka diperlukan suatu metode alokasi agar diperoleh
kepastian dan perlakuan yang konsisten terhadap pajak penghasailan tersebut
beserta penyajiannya dalam Laporan Keuangan. Dalam aplikasinya, tarif pajak
maksimum PPh 30% digunakan karena alasan kepraktisan.
Pencatatan
Jurnal untuk mencatat timbulnya asset pajak tangguhan adalah

Keterangan Debit Kredit

Aset pajak tangguhan xxxx


Pendapatan pajak tangguhan Xxx

Jurnal untuk mencatat timbulnya kewajiban pajak tangguhan adalah

Keterangan Debit Kredit

Beban pajak tangguhan xxxx


Kewajiban pajak tangguhan Xxx

Penyajian pajak tangguhan


1) Aset pajak dan kewajiban pajak harus disajikan terpisah dari aset dan
kewajiban lainnya dalam neraca.
2) Aset dan kewajiban pajak tangguhan harus dibedakan dari aset pajak kini
(tax receivable/prepaid tax) dan kewajiban pajak kini (tax payable).
3) Aset atau kewajiban pajak tangguhan tidak boleh disajikan sebagai aset
atau kewajiban lancar.
4) Aset pajak kini harus dikompensasikan (offset) dengan kewajiban pajak
kini dan iumlah netonya disajikan dalam neraca.
5) Beban (penghasilan) pajak yang berhubungan dengan laba atau rugi dari
aktivitas normal harus disajikan tersendiri pada laporan laba rugi.

Pajak Tangguhan |7
6) Aset pajak tangguhan disajikan terpisah dengan akun tagihan restitusi PPh
dan kewajiban tangguhan juga disajikan terpisah dengan utang PPh 29.
7) PPh final:
(1) Apabila nilai tercatat aset atau kewajiban yang berhubungan dengan
PPh final berbeda dari Dasar Pengenaan Pajaknya, maka perbedaan
tersebut tidak boleh diakui sebagai aset atau kewajiban pajak
tangguhan.
(2) Atas penghasilan yang telah dikenakan PPh final, beban pajak diakui
proporsional dengan jumlah pendapatan menurut akuntansi yang
diakui pada periode berjalan.
(3) Selisih antara jumlah PPh final yang terutang dengan jumlah yang
dibebankan sebagai pajak kini pada perhitungan laba rugi diakui
sebagai Pajak Dibayar di Muka dan Utang Pajak.
(4) Akun PPh final dibayar di muka harus disajikan terpisah dari PPh
final yang masih harus dibayar.
Perlakuan akuntansi untuk hal khusus:
1) Jumlah tambahan pokok dan denda pajak yang ditetapkan dalam Surat
Ketetapan Pajak harus dibebankan sebagai pendapatan atau beban lain-lain
pada Laporan Laba Rugi periode berjalan.
2) Apabila diajukan keberatan dan atau banding, pembebanannya
ditangguhkan.
3) Apabila terdapat kesalahan mendasar, perlakuan akuntansinya mengacu
pada PSAK 25 tentang Laba atau Rugi Bersih untuk periode berjalan,
kesalahan mendasar, dan perubahan kebijakan akuntansi.

2.4 Risiko yang Timbul Akibat Pengakuan Pajak Tangguhan


Ada 3 risiko utama yang bisa timbul akibat pengakuan pajak tangguhan adalah
sebagai berikut :
1) Repot – Pajak tangguhan (baik yang liabilitas maupun aset) jelas
merepotkan, karena pengakuan pajak tangguhan bersifat sementara.
Artinya, suatu saat nanti—ketika liabilitas atau aset itu benar-benar timbul

Pajak Tangguhan |8
—harus dihapus. Misalnya: Pada contoh kasus PT. JAK yang pertama di
atas, liabiliast pajak tangguhan Rp 500,000 diakui di 2012, dengan jurnal:

[Debit].Biaya PPh Badan = Rp 500,000


[Kredit].Liabilitas Pajak Tangguhan = Rp 500,000

Nantinya, apabila di tahun 2013 (atau setelahnya) selisih tersebut benar-


benar menjadi kewajiban PPh yang harus dibayar, maka liabilitas pajak
tangguhan tersebut harus diakui sebagai utang PPh, dengan jurnal:

[Debit].Liabilitas Pajak Tangguhan = Rp 500,000


[Kredit]. Utang PPh = Rp 500,000

2) Menggantung dan Menumpuk


Ini yang paling banyak terjadi.Terutama ketika peusahaan mengakui
adanya aset pajak tangguhan (pajak tangguhan yang masuk kelompok
aset). Misalnya: Melanjutkan contoh kasus PT. JAK kedua yang
sebelumnya, aset pajak tangguhan sebesar Rp 500,000 diakui dengan
jurnal:

[Debit].Aset Pajak Tangguhan = Rp 500,000


[Kredit]. Utang PPh = Rp 500,000

Kalau di 2013 nantinya benar-benar timbul perbedaan yang


mengakibatkan kewajiban PPh menurun, iya kalau setelah diperiksa oleh
DJP memang menghasilkan ketetapan pajak yang benar-benar lebih kecil,
bimana jika tidak? Dibiarkan nyangsang di Neraca.Yang paling parah, bila
penentuan aset pajak tangguhan tidak dilakukan dengan hati-hati, bisa
menggantung bertahun-tahun. Lebih celaka lagi jika bila di 2013 ada
pengakuan aset pajak tangguhan yang baru, maka akan semakin
menumpuk.
3) Laporan Keuangan Menjadi Tidak Dipercaya
Pengakuan pajak tangguhan (baik yang berupa liabilitas maupun aset)
yang numpuk-numpuk dan tak kunjung terhapus ini sudah sangat sering di

Pajak Tangguhan |9
temui. Jangan salah, pembaca laporan keuangan yang jeli (pemegang
saham/kreditur) bisa menangkap keanehan ini.Ini bisa menggerus
kepercayaan pemegang saham dan kreditur terhadap laporan keuangan
yang disajikan.Pengakuan aset atau liabilitas yang menggunakan estimasi,
rata-rata, memang berpotensi mengakibatkan ketidakhandalan laporan
keuangan.Terlebih-lebih ketika estimasi dibuat secara gegabah tanpa
melalui pertimbangan yang matang.

2.5 Meminimalkan Risiko Akibat Pengakuan Pajak Tangguhan


Sebagai akuntan terutama yang menyusun laporan keuangan memang sering
berada di posisi yang serba-salah.Pada kasus pengakuan pajak tangguhan ini
misalnya; di satu sisi kita diharapkan untuk patuh terhadap prinsip-prinsip
akuntansi yang pada dasarnya memang baik. Di sisi lainnya, ada risiko yang bisa
timbul ketika perlakuan akuntansi tidak diterapkan secara hati-hati dan bijak..
1) Gunakan Pertimbangan Yang Matang – Agar tidak terjebak dalam
masalah berlarut-larut di kemudian hari, pertimbangkan masak-masak;
antara mengakui atau tidak mengakui pajak tangguhan. Minimal bisa
menggunaka 2 pertimbangan berikut ini:
(1) Materialitas – Seberapa besar potensi kewajiban PPh yang akan timbul
di periode berikutnya (sehingga anda merasa perlu mengakui liabilitas
pajak tangguhan), seberapa besar potensi penurunan PPh yang
diperkirakan akan timbul di periode berikutnya (sehingga anda merasa
perlu mengakui aset pajak tangguhan)? (a) Jika besar, tentu sebaiknya
diakui, sebab jika tidak akan mengakibatkan peningkatan/penurunan
PPh yang begitu drastis—sehingga laporan keuangan menjadi nampak
aneh; (b) jika kecil, sebaiknya tidak usah diakui—toh tidak terlalu
berpengaruh.
(2) Tingkat kepastiannya – Jika standar akuntansi menggunakan
‘probabilitas’, untuk amannya pergunakan ‘kepastian’. Dengan kata
lain, seberapa pasti timbulnya kenaikan/penurunan PPh-nya di periode
berikutnya? (jangan memakai seberapa mungkin). Betul, namanya juga

Pajak Tangguhan |10


belum terjadi, tentu sulit mencari kepastian. Jika memang demikian,
saran saya: Jika tingkat kepastiannya belum mencapai 90% sebaiknya,
jangan mengakui pajak tangguhan. Caranya menentukan tingkat
kepastian? Pindah ke solusi#2
2) Libatkan Profesional – Dalam hal ini, konsultan pajak bersertifikat
(BKP) yang sesuai. Menggunakan jasa Trusted Business Advisor (TBA)
yang biasanya disediakan oleh KAP besar, juga bisa.Bagaimanapun juga,
mereka lebih mampu menginterpretasikan isi Undang-Undang PPh dengan
lebih baik.Dengan menggunaka jasa professional, anda bisa memagari diri
dari risiko-risiko di atas.Katakanlah ternyata saran mereka tidak sesuai,
anda bisa meminta pertanggungjawaban mereka.Dan kesalahan menjadi
tidak ada pada perusahaan/anda sepenuhnya.
3) Sertakan Penjelasan Yang Memadai – Jika pada akhirnya anda
mengakui adanya pajak tangguhan di Laporan Keuangan (Neraca), cara
yang paling bagus adalah menyertakan penjelasan pada lembar “Rincian
dan Penjelasan” atau sertakan Footnote jika penjelasannya singkat.
Dengan demikian, pembaca laporan keuangan (pemegang saham dan
kreditur) menjadi tahu mengapa ada pengakuan pajak tangguhan, dan yang
paling penting menjadi tahu bahwa pengakuan pajak tangguhan
menggunakan estimasi masih berupa potensi kenaikan atau penurunan
pajak yang bisa mengalami perubahan sesuai dengan faktanya
nanti.Sehingga mereka tidak melihat adanya kecurangan baik yang
disengaja atau tidak.

Pajak Tangguhan |11


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1) Pajak tangguhan adalah potensi kenaikan atau penurunan PPh di masa
yang akan datang, yang diakui di periode pelaporan—akibat adanya
perbedaan (selisih) PPh antara laporan komersial (versi standar akuntansi)
dengan fiskal (versi UU Pajak).
2) Jika potensi itu berupa kenaikan PPh, maka diakui sebagai “liabilitas pajak
tangguhan” (deferred tax liability)—dengan kata lain: diperkirakan akan
timbul kenaikan utang PPh di masa yang akan datang, sebesar liabilitas
pajak tangguhan yang diakui—akibat PPh pada laporan fiskal lebih kecil
dari laporan komersial
3) Jika potensi itu berupa penurunan PPh, maka diakui sebagai “aset pajak
tangguhan” (deferred tax asset)—dengan kata lain: diperkirakan akan
terjadi pengurangan kewajiban PPh di masa yang akan datang, sebesar aset
pajak tangguhan yang diakui—akibat PPh pada laporan fiskal lebih besar
dari laporan komersial.
4) Karena masih menggunakan penilaian sendiri (self-assessment), maka
pengakuan pajak tangguhan bisa dikatakan bersifat spekulatif, yang bisa
saja tidak sesuai dengan ketetapan dari DJP (setelah dilakukan
pemeriksaan).
5) Pengakuan Pajak tangguhan yang tidak melalui perimbangan yang matang
bisa menimbulkan berbagai risiko bagi akuntan yang menyusun laporan
keuangan, diantaranya: repot (karena harus posting 2 kali), menggantung
karena tidak kunjung terselesaikan (saat kenaikan/penurunan PPh tidak
terealisasi), dan bisa menimbulkan ketidakpercayaan dari pengguna
laporan keuangan.

Pajak Tangguhan |12


DAFTAR PUSTAKA

Admin. (2016, 12 10). Jurnal Akuntansi. Dipetik 01 15, 2019, dari Jurnal
Akuntansi Keuangan: http://jurnalakuntansikeuangan.com

Admin. (2015, 10 12). Maranatha Repository System. Dipetik 01 15, 2019, dari
Universitas Kristen Maranatha: http://repository.maranatha.edu

Admin, W. (2014, 11 14). Mengenai PSAK 46: Tentang Pajak Penangguhan.


Dipetik 01 15, 2019, dari Keuangan LSM:
http://keuanganlsm.com/mengenai-psak-46-tentang-pajak-penangguhan/

Pajak Tangguhan |13

Anda mungkin juga menyukai