Anda di halaman 1dari 2

Bahasa Daerah Sebagai Representasi Bhinneka Tunggal Ika

Indonesia adalah negara kepulauan. Lebih dari 500 suku bangsa di Indonesia merupakan
pernyataan yang jelas untuk menunjukkan keragaman budayanya yang mencakup bahasa,
agama, ilmu pengetahuan, kekerabatan, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik
yang dipraktikan pada tingkat lokal (Irwan Abdullah, 2010: 64). Dalam hal bahasa, negara
Indonesia memiliki jumlah bahasa daerah sekitar 750 bahasa (Apri Subagyo, 2013: 107).
Keadaan ini disatu sisi mendatangkan kemudahan dan disisi lain mengakibatkan kesulitan
dalam mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkarakter kebangsaan
(character building) bersatu.

Bahasa adalah simbol yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi, membentuk
kebudayaan dan menciptakan peradaban. Bahasa merupakan salah satu unsur dalam
kebudayaan (Koentjraningrat, 2007). Bahasa dijadikan sebagai media komunikasi agar
manusia dapat berinteraksi satu sama lain dan menjalankan fungsinya sebagai makhluk
sosial. Selain itu, bahasa juga digunakan untuk mencirikan identitas budaya daerah tertentu.

Indonesia yang memiliki semboyan “berbeda-beda tetapi satu” (bhinneka tunggal ika) dapat
digunakan sebagai problem solving dalam mengatasi keanekaragaman dalam segala aspek
sosial dalam kehidupan bernegara serta dibutuhkan untuk mengikat pluralisme budaya
Indonesia (Irwan abdullah, 2010: 63-64). Semboyan bhinneka tunggal ika tidak lagi ramai
dan keras disuarakan akhir-akhir ini, tetapi semboyan itu menyisakan banyak cerita tentang
bagaimana kebudayaan diperlakukan selama kurang lebih setengah abad (Irwan Abdullah,
2010: 63).

Modernisasi dan globalisasi yang telah memasuki wilayah lokal telah menjadikan
sekelompok manusia tradisional menjadi manusia modern, bukan hanya mengubah gaya
hidupnya (life style) tetapi sebenarnya telah menghilangkan sifat dan karakter dasar dari etnis
bersangkutan. Terutama karena pengaruh globalisasi, negara Indonesia dengan perantara
pemerintah –pada waktu itu orde baru- mengharuskan mempunyai bahasa nasional sebagai
identitas negara. Hal ini akan mengakibatkan dampak buruk seperti yang dikatakan Prof.
Irwan Abdullah, “kesalahan pengelolaan keragaman budaya”. Selain memarginalkan bahasa
daerah dengan mewajibkan bahasa indonesia di bangku sekolah, juga akan mengurangi
jumlah generasi penutur dan ruang gerak bahasa daerah.
Bahasa daerah sebenarnya bisa dijadikan sebagai bahasa alternatif dalam pembangunan.
Akan tetapi dominansi bahasa Indonesia telah mengikis kredibilitas bahasa daerah sebagai
identitas bangsa Indonesia yang sesungguhnya. Jangan karena teori integrasi sosial yang
diperkenalkan oleh Emile Durkheim, bhinneka tunggal ika ditafsirkan dengan kaca mata
kuda. Bhinneka tunggal ika bukan masalah penampakan eksternal seperti perbedaan bahasa,
suku, dll. Akan tetapi itu masalah rasa kepemilikan dan kebersatuan. Keliru jika dikatakan
bahwa bahasa daerah hanya milik orang desa dan di kota wajib pakai bahasa Indonesia agar
terkesan trendy dan up to date –modern-. Makna bhinneka tunggal ika yang sesungguhnya
adalah rasa kesatuan didalam perbedaan.

Mari kita kembali menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga sebagai bahasa sehari-
hari dan memasukkan kembali bahasa daerah sebagai mata pelajaran wajib yang kian hari
semakin tidak jelas posisinya. Dengan demikian, sama halnya kita melestarikan budaya
leluhur dan menjiwai kembali bhinneka tunggal ika dengan semangat baru sebagai semboyan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berangkat dari penyadaran yang kecil untuk perubahan yang besar. Sudah Waktunya
Indonesia Bangkit!

Anda mungkin juga menyukai