Askep ERITROBLASTOSIS FETALIS IYOOOL
Askep ERITROBLASTOSIS FETALIS IYOOOL
Disusun oleh :
Aflah Nindya
Desi Amelia
Iqbal Asegab
Nur’aini Saputri
Rahmad
Sultan Islam
A. Pengertian
Eritroblastosis fetalis adalah suatu sindroma yang ditandai oleh anemia berat pada
janin dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindroma ini
merupakan hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin terutama pada sistem
rhesus.1 Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan masih banyak
perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya. Pada
tahun 1932, Diamond, Blackfan dan Baty melaporkan bahwa fetal anemia yang ditunjukkan
dengan jumlah eritroblas yang ada dalam sirkulasi darah menggambarkan sindroma ini.
Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada
eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-
antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D dan
merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada sistem ABO
dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang
berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu
oleh suatu paparan apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus
merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya.
Pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada
individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti
Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABOnya sama.
Anti D merupakan antibodi imun tipe IgG dengan berat molekul 160.000, daya endap
(sedimentation coefficient) 7 detik, thermo stabil dan dapat ditemukan selain dalam serum
juga cairan tubuh, seperti air ketuban, air susu dan air liur. Imun antibodi IgG anti-D dapat
melewati plasenta dan masuk kedalam sirkulasi janin, sehingga janin dapat menderita
penyakit hemolisis.
Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang
diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah
ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat
spesifik terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin.
Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal
yang merusak eritrosit janin.
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan
diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang
ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis. Pada tahun
1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam patogenesis kelainan
hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas disebabkan
oleh isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961)
dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif.
B. ETIOLOGI
Inkompabilitas Rh dapat disebabkan oleh insommunisasi maternal ke antigen Rh oleh
transfuse dapat Rh positif atau insommunisasi maternal dari paparan ke antigen Rh jenis pada
kehamilan pertama atau kehamilan yang sekarang.pada inkompabilitas Rh anak pertama lahir
sehat kerena ibu belum memiliki benda-benda penangkis terhadap antigen Rh,asalkan
sebelumnya ibu tidak menderita abortus atau mendapat transfuse darah dari Rh positif.
Pasangan suami – istri hanya memiliki 1 atau 2 anak , sedangkan anak-anak berikutnya
meninggal , pada wanita resus negative yang melahirkan bayi pertama Rhesus positif , resiko
terbentuknya antibody sebesar 8% sedangkan insidens timbulnya antibody pada kehamilan
berikutnya sebagai akibat sanasitasnya pada kehamilan pertama sebesar 16%
B. Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan
antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil,
eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang
dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang
terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi.
Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam
peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi
tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan
anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan
cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak,
disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa
yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas
ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya
untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400
antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting
sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi
menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya
terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal sebelumnya,
misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan, amniosentesis, transfusi darah
Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan berikutnya.2,3,7,9 Penghancuran sel-sel darah
merah dapat melepaskan pigmen darah merah (hemoglobin), yang mana bahan tersebut
dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang
telah mati, tetapi tubuh dapat mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah
pada suatu waktu. Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang
dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.
Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.
Gejala lain yang mungkin hadir adalah peningkatan kadar insulin dan penurunan
kadar gula darah, dimana keadaan ini disebut sebagai hydrops fetalis. Hydrops fetalis
ditujukkan oleh adanya penumpukan cairan pada tubuh, yang memberikan gambaran
membengkak (swollen). Penumpukan cairan ini menghambat pernafasan normal, karena paru
tidak dapat mengembang maksimal dan mungkin mengandung cairan. Jika keadaan ini
berlanjut untuk jangka waktu tertentu akan mengganggu pertumbuhan paru. Hydrops fetalis
dan anemia dapat menimbulkan masalah jantung.
1. Hidrops fetalis
Hidrops fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi, asites
dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi, tergantung
intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa
(hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan
hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler di dalam lien dan
hepar, pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang
terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar.
Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.
Janin dengan hidrops dapat meninggal dalam rahim akibat anemia berat dan
kegagalan sirkulasi. Bayi hidrops yang bertahan hidup tampak pucat, edematus dan lemas
pada saat dilahirkan. Lien dan hepar membesar, ekimosis dan petikie menyebar, sesak nafas
dan kolaps sirkulasi. Kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam meskipun transfusi
sudah diberikan.
2. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia
basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan
ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-
kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.
Pada bayi yang bertahan hidup, secara fisik tak berdaya, tak mampu menyanggah kepala dan
tak mampu duduk. Kemampuan berjalan mengalami keterlambatan atau tak pernah dicapai.
Pada kasus yang ringan akan terjadi inkoordinasi motorik dan tuli konduktif. Anemia yanag
terjadi akibat gangguan eritropoesis dapat bertahan selama berminggu–minggu hingga
berbulan-bulan.
D. Diagnosis
Diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu. Metode paling
sering digunakan untuk menapis antibodi ibu adalah tes Coombs tak langsung. (penapisan
antibodi atau antiglobulin secara tak langsung). Tes ini bergantung kepada pada kemampuan
anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG.
Untuk melakukan tes ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang
diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkbasi, lalu eritrosit dicuci.
Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit,
yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit. Serum Coombs ditambahkan
dan jika imunoglobulin ibu ada dalam eritrosit, maka aglutinasi akan terjadi. Jika test positf,
diperlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan antigen spesifik.
Disamping tes Coombs, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat bayi yang
dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam 24 jam pasca persalinan, kadar
hemoglobin darah tali pusat < 15 gr%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat > 5 mg%,
hepatosplenomegali dan kelainan pada pemeriksaan darah tepi.
E. Penatalaksanaan
1. Transfusi tukar :
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai :
a. memperbaiki keadaan anemia, tetapi tidak menambah volume darah
b. menggantikan eritrosit yang telah diselimuti oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit
normal (menghentikan proses hemolisis)
c. mengurangi kadar serum bilirubin
d. menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ibu
3. Transfusi albumin
4. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubin. Fototerapi
sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tunggal.
F. Prognosis
Pengukuran titer antibodi dengan tes Coombs indirek < 1:16 berarti bahwa janin mati
dalam rahim akibat kelainan hemolitik tak akan terjadi dan kehidupan janin dapat
dipertahankan dengan perawatan yang tepat setelah lahir. Titer yang lebih tinggi menunjukan
kemungkinan adanya kelainan hemolitik berat. Titer pada ibu yang sudah mengalami
sensitisasi dalam kehamilan berikutnya dapat naik meskipun janinnya Rhesus negatif.
Jika titer antibodi naik sampai secara klinis bermakna, pemeriksaan titer antibodi
diperlukan. Titer kritis tercapai jika didapatkan nilai 1:16 atau lebih. Jika titer di dibawah
1:32, maka prognosis janin diperkirakan baik.
1. Mortalitas
a. Ibu hamil dengan Rhesus negatif dan mengalami imunisasi dapat dideteksi secara dini
b. Hemolisis pada janin dari ibu Rhesus negatif dapat diketahui melalui kadar bilirubin yang
tinggi didalam cairan amnion atau melalui sampling pembuluh darah umbilikus yang
diarahkan secara USG
c. Pada kasus yang berat, janin dapat dilahirkan secara prematur sebelum meninggal di dalam
rahim atau/dan dapat diatasi dengan transfusi intraperitoneal atau intravaskuler langsung sel
darah merah Rhesus negatif. Pemberian Ig-D kepada ibu Rhesus negatif selama atau segera
setelah persalinan dapat menghilangkan sebagian besar proses isoimunisasi D.
Menurut Bowman (1978), kebanyakan anak yang berhasil hidup setelah mengalami
tranfusi janin akan berkembang secara normal. Dari 89 anak yang diperiksa ketika berusia 18
bulan atau lebih, 74 anak berkembangan secara normal, 4 anak abnormal dan 11 anak
mengalami gangguan tumbuh kembang.
G. Pencegahan
Tindakan terpenting untuk menurunkan insidens kelainan hemolitik akibat
isoimunisasi Rhesus adalah imunisasi pasif pada ibu. Setiap dosis preparat imunoglobulin
yang digunakan memberikan tidak kurang dari 300 mikrogram antibodi D. 100 mikrogram
anti Rhesus (D) akan melindungi ibu dari 4 ml darah janin.
Suntikan anti Rhesus (D) yang diberikan pada saat persalinan bukan sebagai vaksin
dan tak membuat wanita kebal terhadap penyakit Rhesus. Suntikan ini untuk membentuk
antibodi bebas, sehingga ibu akan bersih dari antibodi pada kehamilan berikutnya.
Kalau terdapat keraguan untuk memberikan preparat Ig anti G maka preparat tersebut
harus diberikan, termasuk kepada ibu yang tampaknya belum mengalami sensitisasi dalam
waktu 72 jam setelah melahirkan. Kebijaksanaan ini dapat menurunkan resiko isoimunisasi.
Antibodi dengan dosis 300 mikrogram diberikan kepada ibu rhesus negatif yang belum
mengalami sensitisasi pada kehamilan 28 minggu dan kehamilan 34 minggu atau pada saat
dilakukan amniosintesis atau pada saat terjadi perdarahan uterus. Dosis ketiga diberikan
kepada ibu sesudah melahirkan. 1,4
ASUHAN KEPERAWATAN
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan darah lengkap.
Besi serum.
Masa perdarahan: memanjang.
LDH: mungkin meningkat.
DIAGNOSA: gangguan proses berpikir yang berhubungan dengan hipoksia yang ditandai
oleh penurunan konsentrasi dan peka rangsang.
a) Diskusikan nama obat-obatan, dosis, waktu pemberian, tujuan, efek samping untuk
dilaporkan (mual, muntah, diare atau konstipasi).
b) Jelaskan perlunya melanjutkan terapi zat besi meskipun sudah merasa baik.
c) Jelaskan alasan untuk tidak minum obat zat besi dicampur dengan susu atau Antasida.
d) Mendemonstrasikan metode pemberian zat besi secara parenteral.
e) Jelaskan pentingnya mempertahankan diet tinggi zat besi dan cairan seimbang.
f) Jelaskan pentingnya pemantauan berat badan setiap minggu.