Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk
menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan di dalam
suatu negara. Dalam penyelenggaraanya, setiap lembaga pendidikan tidak
akan pernah lepas dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Di
Indonesia sendiri kebijakan demi kebijakan terus dibenahi demi menghasilkan
kualitas pendidikan yang optimal, meski realitanya masih jauh dari harapan
yang dicita-citakan.
Pada dasarnya, setiap manusia harus mengetahui kebijakan-kebijakan
yang ada, hal ini demi meminimalisirkan masalah-masalah yang akan terjadi.
Begitu juga di dalam dunia pendidikan, setiap pendidik dan tenaga pendidik
pun juga harus mengetahui kebijakan-kebijakan apa saja yang ada, hal ini
dilakukan agar setiap pendidik dan tenaga pendidik mampu mencari solusi-
solusi alternatif, karena tidak semua kebijakan dapat dijalankan dengan baik.
Begitu juga dengan kita sebagai calon guru yang nantinya akan
menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut. Pemahaman akan konsep
kebijakan merupakan dasar kita dalam menjalankan kebijakan, bukan hanya
itu saja, konsep kebijakan pendidikan juga harus kita ketahui karena dalam
dunia pendidikan tidak hanya satu kebijakan saja melainkan banyak
kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah, sehingga diharapkan
nantiya kita mampu memiliki sikap kebijaksanaan dalam mengahadapi
masalah-masalah di dunia pendidikan.
Pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa kebijakan merupakan hal
yang sangat penting dalam aspek pendidikan, konsep yang merupakan dasar
pemahaman yang harus diketahui membuat semua elemen yang ada di
dalamnya harus mengetahui kebijakan ini, oleh karena itu makalah ini akan
membahas, mengkaji dan mempelajari konsep kebijakan dalam pendidikan.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa itu konsep kebijakan?
2. Seperti apakah tahap-tahap kebijakan?
3. Bagaimanakah perbedaan kebijakan dan kebijaksanaan?
4. Bagaimanakah konsep kebijakan pendidikan?
5. Bagaimanakah komponen-komponen kebijakan pendidikan?
6. Bagaimanakah karakteristik kebijakan pendidikan?
7. Apakah aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan?
8. Bagaimanakah arah kebijakan pendidikan di indonesia?
9. Bagaimanakah kebijaksanaan dalam pendidikan?

C. Manfaat Penulisan
Dalam setiap penulisan makalah tentu saja terdapat manfaat dari materi
atau pembahasan. Didalam makalah ini pun memiliki beberapa manfaat sesuai
dengan judulnya yaitu Konsep Kabijakan Pendidikan, tentu manfaat yang
terkandung adalah:
1. Untuk mengetahui konsep kebijakan.
2. Untuk mengetahui tahap-tahap kebijakan.
3. Untuk mengetahui perbedaan kebijakan dan kebijaksanaan.
4. Untuk mengetahui konsep kebijakan pendidikan.
5. Untuk mengetahui komponen-komponen kebijakan pendidikan.
6. Untuk mengetahui karakteristik kebijakan pendidikan.
7. Untuk mengetahui aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan
pendidikan.
8. Untuk mengetahui arah kebijakan pendidikan di indonesia.
9. Untuk mengetahui kebijaksanaan dalam pendidikan.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Kebijakan
Kata kebijakan merupakan terjemahan dari kata “Policy” yang berasal
dari bahasa Inggris. Kata policy diartikan sebuah rencana kegiatan yang
memuat tujuan-tujuan untuk diajukan dan diberi keputusan oleh pemerintah,
partai politik, dan lain-lain. Secara etimologi kata kebijakan (policy) berasal
dari bahasa Yunani “Polis” yang berarti kota (city). Kebijakan merupakan
keputusan yang dibuat oleh lembaga atau aparatur negara, baik lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kebijakan dibuat untuk melaksanakan
tujuan dari negara yang bersangkutan. Pengertian kebijakan disini
menekankan pada hasil dari keputusan yang telah diputuskan oleh pemerintah
melalui musyawarah dengan lembaga-lembaga pemerintahan (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif) untuk kemajuan masyarakat. Sebab nantinya
kebijakan yang telah diputuskan akan mempengaruhi kehidupan masyarakat
secara umum. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang mengandung
makna dan prinsip bagi orang banyak, dan tidak merugikan orang banyak,
karenanya suatu kebijakan harus didasarkan pada aturan perundang- undangan
yang jelas.
Adapun pengertian kebijakan menurut para ahli antara lain sebagai
berikut:
1. Menurut Syafaruddin (dalam K La Ode, 2018) menyatakan bahwa
kebijakan adalah hasil keputusan dari pengambil keputusan tertinggi yang
dipikirkan secara matang untuk mengarahkan organisasi di masa depan.
Hal ini berarti bahwa kebijakan sebagai petunjuk atau arahan dalam suatu
organisasi atau lembaga. Suatu kebijakan berisi tentang tujuan, prinsip dan
aturan dalam mengatur dan mengarahkan organisasi atau lembaga untuk
berjalan ke masa depan. Kebijakan dipandang sebagai pedoman untuk
bertindak, membatasi perilaku, dan bantuan untuk pengambil keputusan.

3
2. Menurut Solichin Abdul Wahab (dalam K La Ode, 2018) yang
menyatakan bahwa kebijakan adalah tindakan politik yang dilakukan oleh
individu atau kelompok untuk memecahkan suatu masalah. Adanya suatu
masalah akan membuat sejumlah politisi melakukan tindakan nyata untuk
memecahkan masalah yang ada dengan prinsip dan aturan yang berlaku.
Tindakan politik dalam membuat kebijakan dilakukan secara sengaja oleh
aktor politik.
3. Menurut Abidin (dalam Barnoto, 2016) menjelaskan kebijakan adalah
keputusan pemerintah yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh
anggota masyarakat.
4. Menurut William n Dunn (dalam Barnoto, 2016) Kebijakan adalah aturan
tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat
mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata
nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para
anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku. Kebijakan
pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan
Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan
interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa
yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi
tanpa menghilangkan ciri lokal
Berdasarkan pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh beberapa
ahli mengenai pengertian dari kebijakan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian kebijakan adalah tindakan politik yang dilakukan secara
sengaja dengan pemikiran matang dan hati-hati oleh sejumlah pejabat,
organisasi, dan instansi pemerintah untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan keputusan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Kebijakan juga merupakan serangkaian proses dari suatu perencanaan dan
perumusan oleh suatu kelompok atau lembaga/instansi pemerintah yang
berupa peraturan atau program untuk menyelesaikan suatu permasalahan.
Menurut Nanang Fatah (dalam ) terdapat tiga elemen kebijakan yaitu
pelaku kebijakan, lingkungan kebijakan, dan kebijakan publik.

4
Pelaku kebijakan misalnya kelompok warga negara, perserikatan
buruh, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih dan para
analisis kebijakan sendiri. Lingkungan kebijakan yaitu konteks khusus
dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi,
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan berisi proses yang
bersifat dialektis, yang berarti bahwa dimensi objektif dan subjektif dari
pembuat kebijakan tidak terpisahkan di dalam prakteknya. Sedangkan
sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan
melalui pilihan-pilihan yang sadar para pelaku kebijakan.

B. Tahap-Tahap Kebijakan
William N. Dunn (dalam Barnoto, 2016) menetapkan tahap-tahap
dalam proses pembuatan kebijakan yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Dari gambar di atas dapat terlihat bahwa menurut William N. Dunn


(dalam Barnoto, 2016) ada lima tahap dalam proses pembuatan kebijakan.
Kelima tahap tersebut dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini:

5
Tahap Karakteristik
Perumusan Masalah Menganalisis keadaan atau kondisi tertentu
yang menimbulkan suatu masalah dan
merumuskan beberapa alternatif kebijakan
yang dapat memecahkan masalah tersebut.
Forecasting (Peramalan) Peramalan merupakan proses perumusan
beberapa alternatif kebijakan untuk
memecahkan masalah. Alternatif kebijakan
yang telah dibuat kemudian di prediksi
mengenai konsekuensinya jika diterapkan di
masa yang akan datang untuk memberikan
informasi tentang masalah selanjutnya yang
akan timbul.
Rekomendasi Kebijakan Memberikan infromasi yang berkaitan
dengan kelemahan dan kelebihan dari setiap
alternatif kebijakan yang telah dibuat agar
para pembuat kebijakan dapat
merekomendasikan kebijakan yang tepat
untuk diputuskan oleh decision maker.
Monitoring Kebijakan Kebijakan yang telah dipilih kemudian
diputuskan dan dilaksanakan. Monitoring
dilakukan ditengah-tengah pelaksanaan
kebijakan untuk mengetahui kendala-
kendala dalam pelaksanaan kebijakan dan
konsekuensi untuk tetap dilanjutkan atau
tidak.
Evaluasi Kebijakan Evaluasi kebijakan merupakan kegiatan
penilaian terhadap kinerja kebijakan.
Memberikan informasi tentang hasil
kebijakan yang telah diterapkan.

C. Perbedaan Kebijakan Dan Kebijaksanaan

6
Dalam bahasa Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau “kebijakan” yang
diterjemahkan dari kata policy tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata
tersebut mempunyai akar kata bijaksana atau bijak yang dapat disamakan
dengan pengertian wisdom, yang berasal dari kata sifat wise dalam bahasa
Inggris. Dengan pengertian ini sifat bijaksana dibedakan orang dari sekedar
pintar (clever) atau cerdas (smart). Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang
ilmu, sementara cerdas biasanya diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat
berpikir cepat atau dapat menemukan jawaban bagi suatu persoalan yang
dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana mungkin tidak pakar dalam
sesuatu bidang ilmu, namun memahami hampir semua aspek kehidupan.
Kalau orang yang cerdas dapat segera memberi jawaban yang tepat atas
sesuatu pertanyaan, maka orang yang bijaksana mungkin pada waktu yang
sama tidak mau memberikan jawaban, karena yang demikian itu mungkin
dianggapnya lebih bijaksana. Jawaban yang bijaksana bukan sekedar dapat
menjawab, tetapi juga menjawab dengan tepat waktu, tepat lingkungan dan
tepat sasaran. Konotasi ini agaknya sangat relevan dengan kajian ilmu
kebijakan, dan jawaban yang demikian itulah yang menjadi obyek studi dari
ilmu ini.

D. Konsep Kebijakan Pendidikan


Kebijakan merupakan tindakan politik yang dilakukan secara sengaja
dengan pemikiran matang dan hati-hati oleh sejumlah pejabat, organisasi, dan
instansi pemerintah untuk memecahkan masalah dan menghasilkan keputusan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Semua bidang kehidupan mempunyai
kebijakannya masing-masing untuk dijadikan sebagai pedoman dalam
bertindak dan pembatasan perilaku, sehingga mempunyai arah yang jelas
dalam melangkah ke masa depan. Kebijakan tersebut tidak terkecuali juga ada
pada bidang pendidikan yang sering disebut dengan kebijakan pendidikan
(educational policy).
Kebijakan pendidikan dilatarbelakangi oleh adanya masalah dalam
bidang pendidikan. Masalah kebijakan pendidikan muncul ketika adanya

7
kesenjangan antara tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dengan kenyataan
penyelenggaraan pendidikan.
Adapun pengertian kebijakan pendidikan menurut para ahli antara lain
sebagai berikut:
1. H.A.R. Tilaar dan Riant Nugroho (dalam Barnoto, 2016) mengemukakan
bahwa kebijakan pendidikan merupakan proses perumusan langkah-
langkah strategis penyelenggaraan pendidikan dengan menjabarkan visi
dan misi pendidikan guna mencapai terwujudnya tujuan pendidikan yang
dibuat dalam kurun waktu tertentu.
2. Arif Rohman (dalam Barnoto, 2016) yang mengemukakan bahwa
kebijakan pendidikan merupakan kebijakan publik yang secara khusus
mengatur kegiatan di bidang pendidikan yang berkaitan dengan
penyerapan, alokasi, dan distribusi sumber penyelengaraan pendidikan
serta pengaturan perilaku dalam pendidikan.

Dari pengertian tersebut menjelaskan bahwa dalam merumuskan


kebijakan pendidikan harus menjabarkan visi dan misi pendidikan nasional
untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Kebijakan
pendidikan ditetapkan dalam kurun waktu tertentu dan dapat diubah atau
diganti sesuai dengan keadaan zaman serta kebutuhan. Kebijakan pendidikan
dirumuskan melalui proses politik untuk menentukan rencana-rencana atau
langkah-langkah strategis dalam menyelenggarakan pendidikan. Menentukan
rencana-rencana kebijakan pendidikan harus juga mengkaitkannya dengan
anggaran pendidikan. Sebab anggaran pendidikan sangat menentukan tingkat
efisien dan efektivitas pelaksanaan suatu kebijakan pendidikan. Kebijakan
pendidikan merupakan bagian kebijakan publik yang khusus memecahkan
masalah dan mengatur kegiatan di bidang pendidikan. Dalam hal ini
kebijakan pendidikan menjadi pedoman dalam menyelenggarakan pendidikan
yang berkaitan dengan delapan standar pendidikan.
Dari beberapa pendapat tentang pengertian kebijakan pendidikan di
atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pendidikan adalah kebijakan publik

8
di bidang pendidikan yang menjabarkan visi dan misi pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan dalam menentukan langkah-langkah strategis
penyelenggaraan pendidikan.

E. Komponen-Komponen Kebijakan Pendidikan


Charles O. Jones (dalam Barnoto, 2016) mengemukakan sebuah
kebijakan pendidikan mencakup lima komponen, yaitu:
1. Tujuan (goal)
Tujuan adalah hasil yang ingin dicapai oleh individu atau kelompok dalam
jangka waktu tertentu. Tujuan biasanya dibuat sebagai langkah awal dalam
pembuatan suatu rencana kegiatan atau program. Dalam suatu kegiatan
dibutuhkan juga tujuan sebagai salah satu komponennya. Kebijakan
pendidikan yang akan diimplementasikan harus mempunyai tujuan yang
jelas. Tujuan dalam kebijakan pendidikan juga harus rasional dan dapat
diterima oleh semua pihak.
2. Rencana (plans)
Setelah menentukan tujuan kebijakan pendidikan yang ingin dicapai,
selanjutnya yang harus dilakukan adalah membuat rencana kerja yang
memuat secara spesifik operasional kerja yang akan digunakan untuk
mencapai tujuan. Rencana kerja dibuat untuk mengatur manajemen kerja
dalam mengimplementasikan suatu kebijakan pendidikan sehingga arah
pelaksana kebijakannya jelas dan terarah.
3. Program (Programme)
Langkah ketiga adalah pembuatan program. Program merupakan proyek
nyata dari tujuan yang telah disusun sebelumnya. Program dilaksanakan
sebagai upaya untuk mencapai sebuah tujuan dengan melihat tingkat
keberhasilan dan kegagalan. Program yang dimaksudkan disini adalah
kebijakan pendidikan yang akan mempengaruhi bidang pendidikan. Dalam
membuat suatu kebijakan pendidikan sebaiknya dibuat lebih dari satu atau
dengan membuat beberapa pilihan alternatif kebijakan pendidikan agar

9
nantinya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan kebijakan pendidikan.
4. Keputusan (Decision)
Keputusan (decision) adalah segenap tindakan untuk menentukan tujuan,
membuat rencana program, melaksanakan program dan mengevaluasi
program. Keputusan diambil dengan memperhatikan hasil ujicoba dari
beberapa alternatif kebijakan pendidikan yang telah dilakukan. Hasil
rasionalitas, tingkat kepuasaan dan dapat diterimanya kebijakan
pendidikan oleh semua pihak menjadi pertimbangan utama dalam
memutuskan kebijakan pendidikan untuk ditetapkan dan
diimplementasikan.
5. Dampak (Efects)
Dampak (efect) merupakan dampak dari program yang telah dilaksanakan
baik secara sengaja maupun tidak sengaja, baik program primer maupun
sekunder. Dalam penetapan suatu kebijakan pendidikan tidak dipung
Kelima komponen di atas digunakan untuk mewujudkan terjadinya suatu
kebijakan. Tanpa kelima komponen tersebut suatu kebijakan tidak akan
berjalan atau tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Kelima
komponen saling berhubungan dan berkaitan satu sama lain untuk
mendukung pembuatan suatu kebijakan khusus kebijakan dalam bidang
pendidikan.

F. Karakteristik Kebijakan Pendidikan


Kebijakan pendidikan memiliki karakteristik yang khusus, berikut
dijelaskan karakteristik kebijakan pendidikan antara lain sebagai berikut:
1. Memiliki tujuan pendidikan
Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa
ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk
memberikan kontribusi pada pendidikan.

2. Memenuhi aspek legal-formal

10
Kebijakan pendidikan tentunya harus diberlakukan, maka perlu adanya
pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan
itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan
pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki
konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah
dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu
kebijakan pendidikan yang legitimat.
3. Memiliki konsep operasional
Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum,
tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat
diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas
pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan
kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
4. Dibuat oleh yang berwenang
Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang
memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan
kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para
administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi
yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal
pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi
Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang
sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau
dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa
diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat
memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika
Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh
karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh
aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki
efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan

11
pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh
strukturnya akibat serangkaian faktof yang hilang atau saling berbenturan
satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar
pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara
internal.

G. Aspek-Aspek Yang Tercakup Dalam Kebijakan Pendidikan


Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan menurut
H.A.R Tilaar & Riant Nugroho (dalam Barnoto, 2016) antara lain sebagai
berikut:
1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan mengenai hakikat
manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia dalam lingkungan
kemanusiaan. Kebijakan pendidikan merupakan penjabaran dari visi dan
misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu.
2. Kebijakan pendidikan dilahirkan dari ilmu pendidikan sebagai ilmu praktis
yaitu kesatuan antara teori dan praktik pendidikan. Kebijakan pendidikan
meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
evaluasi.
3. Kebijakan pendidikan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan
pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu. Bagi
perkembangan individu, validitas kebijakan pendidikan tampak dalam
sumbangannya bagi proses pemerdekaan individu dalam pengembangan
pribadinya.
4. Keterbukaan (openness). Proses pendidikan sebagai proses pemanusiaan
terjadi dalam interaksi sosial. Hal ini berarti bahwa pendidikan itu
merupakan milik masyarakat. Apabila pendidikan itu merupakan milik
masyarakat maka suara masyarakat dalam berbagai tingkat perumusan,
pelaksanaan dan evaluasi kebijakan pendidikan perlu mendengar suara
atau saran-saran dari masyarakat.
5. Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan. Suatu
kebijakan pendidikan bukanlah suatu yang abstrak tetapi yang dapat

12
diimplementasikan. Suatu kebijakan pendidikan merupakan pilihan dari
berbagai alternatif kebijakan sehingga perlu dilihat output dari kebijakan
tersebut dalam praktik.
6. Analisis kebijakan sebagaimana pula dengan berbagai jenis kebijakan
seperti kebijakan ekonomi, kebijakan pertahanan nasional dan semua jenis
kebijakan dalam kebijakan publik memerlukan analisis kebijakan.
7. Kebijakan pendidikan pertama-tama ditujukan kepada kebutuhan peserta
didik. Kebijakan pendidikan seharusnya diarahkan pada terbentuknya para
intelektual organik yang menjadi agen-agen pembaharuan dalam
masyarakat bangsanya.
8. Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat
demokratis. Peserta didik akan berdiri sendiri dan mengembangkan
pribadinya sebagai pribadi yang kreatif pendukung dan pelaku dalam
perubahan masyarakatnya. Kebijakan pendidikan berkaitan dengan
penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
Apabila visi pendidikan mencakup rumusan-rumusan yang abstrak, maka
misi pendidikan lebih terarah pada pencapaian tujuan-tujuan pendidikan
yang konkret. Kebijakan pendidikan merupakan hal yang dinamis yang
terus menerus berubah namun terarah dengan jelas.
9. Kebijakan pendidikan harus berdasarkan efisiensi. Kebijakan pendidikan
bukan semata-mata berupa rumusan verbal mengenai tingkah laku dalam
pelaksanaan praksis pendidikan. Kebijakan pendidikan harus dilaksanakan
dalam masyarakat, dalam lembaga-lembaga pendidikan. Kebijakan
pendidikan yang baik adalah kebijakan pendidikan yang memperhitungkan
kemampuan di lapangan, oleh sebab itu pertimbangan-pertimbangan
kemampuan tenaga, tersedianya dana, pelaksanaan yang bertahap serta
didukung oleh kemampuan riset dan pengembangan merupakan syarat-
syarat bagi kebijakan pendidikan yang efisien.
10. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada
kebutuhan peserta didik. Telah kita lihat bahwa pendidikan sangat erat
dengan kekuasaan. Kekuasaan pendidikan dalam konteks masyarakat

13
demokratis bukannya untuk menguasai peserta didik, tetapi kekuasaan
untuk memfasilitasi tumbuh kembang peserta didik sebagai anggota
masyarakat yang kreatif dan produktif.
11. Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijaksanaan yang
irasional. Kebijakan pendidikan merupakan hasil olahan rasional dari
berbagai alternatif dengan mengambil keputusan yang dianggap paling
efisien dan efektif dengan memperhitungkan berbagai jenis resiko serta
jalan keluar bagi pemecahannya. Kebijakan pendidikan yang intuitif akan
tepat arah namun tidak efisien dan tidak jelas arah sehingga melahirkan
pemborosan-pemborosan. Kebijakan intuitif akan menjadikan peserta
didik sebagai kelinci percobaan.
12. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat.
Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan mengorbankan
kepentingan peserta didik. Seperti yang telah dijelaskan, proses pendidikan
adalah proses yang menghormati kebebasan peserta didik. Peserta didik
bukanlah objek dari suatu projek pendidikan tetapi subjek dengan nilai-
nilai moralnya.
Kebijakan pendidikan diarahkan bagi pemenuhan kebutuhan peserta
didik dan bukan kepuasan birokrat. Titik tolak dari segala kebijakan
pendidikan adalah untuk kepentingan peserta didik atau pemerdekaan peserta
didik.

H. Arah Kebijakan Pendidikan di Indonesia


Berdasarkan Studi Analisis Terhadap UU SISDIKNAS No. 20 Tahun
2003. Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut :
1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju
terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan
anggaran pendidikan secara berarti.

14
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan
jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga pendidik
mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan
watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan
tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan
kurikulum, berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman
peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal
sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan
secara professional.
4. Memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah
sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta
meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung oleh
sarana dan prasarana memadai.
5. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional
berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen;
Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang diselenggarakan baik
oleh masyarakat maupun pemerintah untuk memantapkan sistem
pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
6. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara
terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya proaktif dan
reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat
berkembang secara optimal disertai dengan hak  dukungan dan lindungan
sesuai dengan potensinya.
7. Meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk teknologi bangsa sendiri dalam
dunia usaha, terutama usaha kecil, menengah, dan koperasi.

I. Kebijaksanaan Dalam Pendidikan

15
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesa kebijaksanaan berasal dari
kata bijaksana yang berarti selalu menggunakan akal budinya, tajam pikiran,
pandai dan berhati-hati apabila dalam menghadapi kesulitan. Sedangkan
kebijaksanaan adalah kepandaian menggunakan akal budinya, atau kecakapan
bertindak apabila menghadapi kesulitan. Adapun pengertian kebijaksanaan
menurut para ahli antara lain sebagai berikut:
1. Baltes (dalam H. Irawan, 2018) mendefinisikan kebijaksanaan adalah
perpaduan dari intelek dan karakter. Pengertian kebijaksanaan menurut
Baltes lebih berfokus pada jumlah pengetahuan yang dimiliki oleh
individu yang berhubungan dengan kebijaksanaan.
2. Sternberg (dalam H. Irawan, 2018) mengemukakan kebijaksanaan adalah
penilaian dari pemahaman individu dengan masalah yang dimiliki serta
melibatkan solusi sebagai alternatif pemecahan masalahnya yang
memaksimalkan berbagai macam keseimbangan antara dirinya sendiri,
orang lain, dan berbagai aspek kehidupannya. Pengertian kebijaksanaan
menurut Sternberg memfokuskan pada kemampuan seseorang untuk
menerapkan kecerdasan praktis ketika membuat keputusan yang bijaksana.
3. Ardelt (dalam H. Irawan, 2018) mengartikan kebijaksanaan sebagai suatu
kombinasi antara dimensi kognisi, reflektif, dan afektif.
4. Kitchener & Brenner (dalam H. Irawan, 2018) mengemukakan
kebijaksanaan sebagai kemampuan intelektual untuk menyadari
keterbatasan pengetahuan dan bagaimana dampaknya dalam memecahkan
masalah yang tidak jelas dan membuat penilaian.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijaksanaan


adalah keahlian individu dalam menggunakan pengetahuannya ketika
menghadapi permasalahan mendasar dalam hidup dengan menghasilkan solusi
sebagai alternatif pemecahan masalahnya.
Kebijaksanaan dalam pendidikan berkaitan dengan keahlian seorang
individu mengenai pengetahuan yang dimiliki dalam menghadapi

16
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan dengan
mencari solusi alternatif untuk memecahkan masalahnya.
Keebijaksanaan dalam pendidikan di Indonesia pada dasarnya
pelaksanaannya atau implementasinya belum maksimal, dan masih kalah
dengan negara tetangga lainnya. Berbagai masalah yang menyangkut tentang
pendidikan bermunculan silih berganti antara yang satu dengan yang lainnya.
Semuanya membutuhkan solusi pemecahan yang berbeda-beda, karena
permasalahannya juga berbeda-beda. Maka dari itu kebijaksanaan pendidikan
atau  kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah juga berbeda dalam
menyikapi hal tersebut. Namun adakalanya kebijaksanaan tersebut dapat
terimplementasi dengan baik sehingga dapat mengubah keadaan yang ada,
tetapi juga ada yang belum terimplementasi yang mengakibatkan belum
terselesaikannya masalah tersebut.
Berikut permasalahan kontroversi yang terjadi dalam kebijaksanaan
pendidikan di indonesia antara lain sebagai berikut:
1. Kuantitas vs kualitas
Isu kontroversial yang terjadi sampai sekarang masih seringkali menjadi
perdebatan mana yang layak didahulukan adalah kuantitas vs kualitas.
Terlalu banyaknya perhatian terhadap kualitas pemerataan kesempatan
bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dengan sendirinya
menjadikan penyebab berkurangnya perhatian terhadap kualitas
pendidikan. Padahal seharusnya agar dapat dihasilkan sumber daya
manusia yang mampu berssaing kualitas pendidikan harus ditingkatkan.
Akan tetapi jika pemerintah menitik beratkan kepada peningkatan kualitas
tapa memperdulikan pemerataan, maka akan mengakibatkan pendidikan
tidak merata, dan hal itu akan mengakibatkan ketidakadilan. Maka dari itu
kualitas dan kuantitas harus ditangani secara seimbang, meskipun
konsekuensi logikanya tidak mungkin hal itu terjadi.
2. Efektivitas vs efisiensi
Konsep efektivitas untuk selamanya tidak akan pernah seiring dengan
efisiensi. Sesuatu yang ingin eefektif, termasuk juga pelaksanaan

17
pendidikan, pastilah tidak akan efisien. Jika menghendaki SDM yang
bermutu dan berkualitas, maka tidak bisa dihasilkan dalam waktu yang
singkat dan biaya terbatas juga tenaga profesional yang sedikit. Agar SDM
tersebut bermutu dibutuhkan pembelajaran yang lama dan sarana prsarana
yang memadai. Pada intinya jika efisiensi menjadi titik tekan, maka
efektivitas sulit dicapai dan demikian juga sebaliknya.
3. Sentralisasi vs desentralisasi
Konsep sentralisasi menekankan pemusatan pengurusan pendidikan.
Sementara itu, konsep desentralisasi pendidikan menekankan penyebaran
kekuasaan di bidang pendidikan kepada daerah-daerah. Artinya hal hal
yang berkaitan dengan pendidikan yang berupa kurikulum, sarana dan
prasaran serta peraturan pendukungnya, jika berupa sentralisasi terpusat
pada pemerintah pusat, jika berupa desentralisasi menyebar pada daerah
masing-masing. Pada negara kesatuan, sentralisasi pendidikan menjadi hal
yang tidak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi tuntutan masing-masing
daerah untuk mengadakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
daerahnya juga tidak bisa dihindarkan lagi. Oleh karena itu
pengejawantahan dari kedua tuntutan tersebut yaitu adanya kurikulum
yang bermuatan nasional dan adanya kurikulum yang bermuatan lokal.
4. Etatisme dan swastanisasi pendidikan
Konsep etatisme menekankan bahwa segala sesuatu dilaksanakan haruslah
dengan menggunakan paham serba pemerintah, serba negara. Maksudnya
segala urusan mengenai pendidikan mulai dari yang besar sampai yang
kecil haruslah menjadi urusan negara dan pemerintah, wujud dari konsep
ini ialah lembaga yang didirikan harus berstatus negeri. Sementara itu
swastanisasi menyatakan bahwa sagala urusan pendidikan dari yang besar
sampai yang kecil dilaksanakan oleh pihak swasta. Pihak swasta
merancang dan menentukan kurikulum tersendiri serta mencari dana
tersendiri tanpa ada intervensi dari penguasa atau negara. Sedangkan yang
terjadi di Indonesia adalah pemerintah mengulurkan tangan untuk
mendirikan sekolah negeri sedangkan masyarakat membantu dengan

18
mendirikan sekolah swasta dan juga lembaga alternatif dalam bidang
pendidikan.
5. Nasionalisme vs globalisme
Di era globalisasi sekarang ini yang menjadi pertanyaan besar ialah apakah
nasionalisme itu perlu dipertahankan, karena mengingat hubungan antara
satu negara dengan negara lain amat dekat dan tidak bisa dielakkan lagi.
Di dunia pendidikan sendiri, antara globalisme dan nasionalisme demikian
juga sering terjadi perdebatan, khususnya berkaitan dengan konsep, teori
dan aplikasi teori dalam penyelenggaraan pendidikan. Disatu sisi
ketergantungan terhadap konsep dan teori yang berasal dari negara maju
tetap tidak pernah dapat dihindari, karena arus kemajuan kemajuan konsep
dan teori di negara maju demikian pesatnya. Penyikapan demikian
hendaknya tidak menolak apa yang berasal dari luar namun juga tidak
melupakan apa yang menjadi budaya dasar negeri sendiri. Tetapi
penerimaan konsep yang berasal dari luar harus dilakukan dengan selektif.
6. Konservatifisme dan progresifisme
Konservatifisme adalah suatu konsep yang memberikan tekanan akan
dilestarikannya nilai-nilai lama dalam pendidikan. Sedangkan
progresifisme adalah kebalikan dari konservatisme. Kedua prinsip filsafat
tersebut saling bertentangan, yang satu membuat dunia tidak lagi
berkembang, sementara yang satunya membuat kita meninggalkan nilai
kebudayaan. Kebijaksanaan yang diambil ialah hendaklah kedua filsafat
tersebut dilaksanakan secara seimbang agar dapat berjalan dengan normal
dan pendidikan dapat berjalan sukses serta berhasil dengan baik.

7. Generalisme vs spesialisme
Generalisme adalah suatu konsep yang menekankan agar peserta didik
disiapkan menjadi seorang generalis. Konsep spesialisme menekankan
kepada penguasaan sesuatu secara sempit, tetapi mendalam. Seorang
generalis adalah seorang yang menguasai banyak bidang kehidupan secara
meluas, hampir semua prinsip kehidupan mereka kuasai. Sedangkan

19
spesialis adalah seorang yang meguasai sedikit pengetahuan tetapi
mendalam, bagi mereka banyak tidak penting, akan tetapi mendalam. Baik
spesialisme maupun generalisme telah lama menjadi pusat perhatian dalam
bidang kebijaksanaan pendidikan. Keduanya dipadukan ketika menyusun
kurikulum. Pada mulanya orang disiapkan wawasan general, kemudian
dispesialisasikan dan juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan gabungan
dari keduanya merupakan proses yang terbaik dari pada menitik tekankan
pada salah satu dari keduanya.
8. Relevansi vs kemandirian
Konsep relevansi menekankan perlunya penyesuaian kurikulum dan
pendidikan dengan tuntutan antara lain adalah dunia pekerjaan. Sebaliknya
konsep kemandirian lebih menekankan agar peserta didik dapat mandiri
tanpa bergantung kepada dunia usaha atau lapangan pekerjaan lain. Kedua
konsep ini bertentangan. Yang pertama menekankan kepada dunia kerja
dan manusia akan tidak etis jika bekerja diluar bidangnya, maka ia harus
bekerja dalam bidangnya secara profesional. Sedangkan yang kedua ini
menekankan agar manusia mampu menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri tanpa mengandalkan lapangan pekerjaan yang ada. Isu
kebijaksanaan yang disebutkan diatas datang silih berganti, ketika yang
satu selesai yang lainnya muncul dan masalah kontroversial tersebut tidak
terpecahkan. Maka sebagian ahli ada yang menyebut bahwa kontroversial
tersebut merupakan  problematika kebijaksanaan pendidikan khususnya di
Indonesia dan di dunia pada umumnya.

20

Anda mungkin juga menyukai