Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Hipoglikemia berdampak serius pada morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup.


Hipoglikemia secara definisi didasarkan pada rendahnya kadar glukosa darah (GD) pada
seseorang. Kejadian hipoglikemia sering berkaitan dengan diabetes mellitus, baik
diabetes tipe 1 (DM 1) maupun diabetes mellitus tipe 2 (DM 2), oleh karena masalah ini
berhubungan dengan penanganan penyakit tersebut. Semakin intensif pengendalian
kadar glukosa darah, maka risiko hipoglikemia semakin meningkat. The Diabetes
Control and Complication Trial melaporkan terjadi peningkatan tiga kali lipat
hipoglikemia berat dan koma pada pasien yang ditangani secara intensif dibandingkan
pasien yang dirawat secara konvensional.1,2
Sebagian besar para praktisi kesehatan merasa lebih aman apabila kadar glukosa
darah telah “sedikit di atas normal”. Kekhawatiran akan terjadinya hipoglikemia karena
batas aman tersebut sangat sempit. Namun demikian, sebagian kecil dari kejadian
hipoglikemia dapat disebabkan oleh penyebab lainnya. Termasuk didalamnya misalnya
penyakit hati kronis, penyakit ginjal kronis, keganasan, konsumsi obat-obatan tertentu
(selain obat diabetes) dan beberapa kelainan yang jarang ditemukan.2
Pada tahun 1988, Reaven menunjukkan konstelasi faktor risiko pada pasien-
pasien dengan resistensi insulin yang dihubungkan dengan peningkatan penyakit
kardiovaskular yang disebut sebagai sindrom X. Selanjutnya sindrom X ini dikenal
sebagai sindrom resistensi insulin dan akhirnya sindrom metabolik.3
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana terjadi penurunan sensitivitas
jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai
bentuk kompensasi sel beta pankreas. Resistensi insulin terjadi beberapa dekade
sebelum timbulnya penyakit diabetes mellitus dan kardiovaskular lainnya. Sindrom
resistensi insulin atau sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang
menunjukkan risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular lebih tinggi yang
ditemukan pada seseorang individu.3

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipoglikemia
2.1.1 Definisi
Hipoglikemia merupakan kumpulan gejala yang disebabkan konsentrasi glukosa
darah yang rendah. Batas konsentrasi glukosa darah untuk mendiagnosa hipoglikemia
tidak sama untuk setiap orang. Sehingga untuk mendiagnosis hipoglikemia
menggunakan Trias Whipple yaitu : 1
1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia
2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat
Tabel 1. Tanda dan gejala umum hipoglikemia1

Gejala Adrenergic Tanda Neuroglikopenik


Pucat Bingung
Keringat dingin Bicara tidak jelas
Takikardi Perubahan sikap perilaku
Gemetaran Lemah yang berat
Lapar Disorientasi
Cemas Penurunan kesadaran
Gelisah Kejang
Sakit kepala Mata sembab
Mengantuk Penurunan respons terhadap stimulus bahaya

Menurut Panduan Praktik Klinis, Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar


glukosa darah <70mg/dL atau kadar glukosa darah <80mg/dL dengan gejala klinis.
Kasus hipoglikemia paling banyak dijumpai pada penderita diabetes. Hipoglikemia pada
penderita diabetes biasanya terjadi karena :4
a. Kelebihan obat atau dosis obat: terutama insulin atau hipoglikemik oral
b. Kebutuhan tubuh akan insulin yang relative menurun: gagal ginjal kronik, pasca
persalinan
c. Asupan makan tidak adekuat : jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat
d. Kegiatan jasmani berlebihan.

2
2.1.2 Epidemiologi
Hipoglikemia berdampak serius pada morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup.
Berdasarkan penelitian, terjadi peningkatan insidensi hipoglikemia pada penderita yang
diobati dengan obat-obatan diabetes, sejalan dengan kebijakan pengendalian kadar
glukosa darah secara intensif (Diabetes Control and Complication Trial and United
Kingdom Prospective Diabetes Study). The Diabetes Control and Complication Trial
melaporkan terjadi peningkatan tiga kali lipat hipoglikemia berat dan koma pada pasien
yang ditangani secara intensif dibandingkan pasien yang dirawat secara konvensional.
Dapat diperkirakan sekitar 2-4% kematian orang dengan diabetes tipe 1 berkaitan
dengan hipoglikemia. Hipoglikemia juga umum terjadi pada diabetes tipe 2, dengan
tingkat prevalensi 70-80% dalam uji klinis menggunakan insulin untuk mencapai
kontrol metabolik yang baik. 1,2

2.1.3 Etiologi
Secara etiologis hipoglikemia disebabkan oleh :2
a. Penggunaan obat-obatan diabetes seperti insulin, sulfonilurea yang berlebihan.
Penyebab terbanyak hipoglikemia umunya terkait dengan diabetes.
b. Obat-obatan lain meskipun jarang terjadi namun dapat menyebabkan hipglikemia
adalah beta bloker, pentamidine, kombinasi sulfometoksazole dan trimethoprim
c. Sehabis minum alcohol, terutama bila telah lama berouasa dalam keadaan lama
d. Intake kalori yang sangat kurang
e. Hipoglikemia reaktif
f. Infeksi berat, kanker yang lanjut, gagal ginjal, gagal hepar
g. Insufisiensi adrenal
h. Hepatoma, mesothelioma, fibrosarkoma

2.1.4 Klasifikasi
Hipoglikemia dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.1
Tabel 2. Klasifikasi Hipoglikemia
Klasifikasi Tanda dan Gejala
Ringan Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas

3
sehari-hari yang nyata
Sedang Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas
sehari-hari yang nyata
Berat Sering (tidak selalu) simtomatik, karena gangguan kognitif pasien
tidak dapat mengatasi sendiri
Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak memrlukan terapi parenteral
Membutuhkan terapi parenteral (glucagon IM/IV)
Disertai koma atau kejang

2.1.5 Patofisiologi
Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Selain itu
otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya menyimpan cadangan glukosa (dalam
bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu. fungsi otak yang
normal sangat tergantung pada konsentrasi asupan glukosa dari sirkulasi. Gangguan
pasokan glukosa yang berlangsung leblh dari beberapa menit dapat menimbulkan
disfungsi sistem saraf pusat, gangguan kognisi dan koma.1
Konsentrasi glukosa plasma normalnya dipertahankan pada batas normal, sekitar
70 -110 mg/dL (3,9-6,1 mmol/L) pada saat puasa disertai adanya perubahan sesaat yang
mencolok sesaat setelah makan, ataupun peningkatan yang bervariasi pada saat
mendapatkan glukosa eksogen (dari makanan) disertai dengan produksi glukosa
endogen (saat olahraga). Diantara waktu makan dan saat puasa, konsentrasi glukosa
plasma dlpertahankan tubuh dengan cara produksi glukosa endogen, glikogenolisis
hepatik, dan glukoneogenesis hepatik (dan renal). Cadangan glikogen hepatik dapat
menjaga konsentrasi glukosa plasma dalam batas normal selama kurang Iebih 8 jam,
tetapi pada beberapa keadaan seperti olah raga (dimana glukosa yang dipakai bertambah
banyak) atau pada saat cadangan glikogen terbatas (contohnya pada saat sakit atau
puasa) cadangan glikogen tersebut hanya dapat bertahan beberapa saat.1
Penurunan konsentrasi glukosa plasma akan memicu respon tubuh yaitu
penurunan konsentrasi insulin secara flsiologis seiring dengan turunnya konsentrasi
glukosa plasma yang masih dalam batas fisiologis, peningkatan konsentrasi glukagon
dan epinefrin sebagai respon neuroendokrin pada konsentrasi glukosa plasma sedikit di
bawah batas normal, dan timbulnya gejala neurogenik (autonom) dan penurunan

4
kesadaran pada konsentrasi glukosa darah di bawah batas normal. Batas konsentrasi
glukosa plasma yang dimaksud yaitu konsentrasi glukosa plasma pada rata-rata orang
sehat. Konsentrasi glukosa plasma yang masih dapat diterima tubuh sangat bervariasi.
Konsentrasi glukosa plasma normal pada subjek DM dengan glukosa darah yang tidak
terkontrol akan leblh tinggi daripada subjek DM yang glukosa darahnya terkontrol baik
dan orang sehat. Sedangkan pada orang yang sering mengalami episode hipoglikemia
berulang, konsentrasi glukosa plasma normal akan leblh rendah daripada orang sehat.1
Konsentrasi glukosa darah berkaitan erat dengan sistem hormonal, persarafan,
dan pengaturan produksi glukosa endogen serta penggunaan glukosa oleh organ perifer.
Insulin memegang peranan yang utama dalam pengaturan konsentrasi glukosa darah.
Saat puasa konsentrasi glukosa darah turun secara fisiologis dan sekresi insulin oleh sel
β pankreas ikut menurun. Hal ini akan meningkatkan glikogenolisis hepatik dan
glukoneogenesis hepatik (dan renal). Konsentrasi insulin yang rendah juga mengurangi
penggunaan glukosa pada jaringan perifer, merangsang lipolisis dan proteolisis, serta
melepaskan prekursor glukoneogenik.1
Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas bawah konsentrasi
normal, harmon-hormon kontraregulasi akan dilepaskan. Dalam hal ini, glukagon yang
diproduksi oleh sel α pankreas berperanan panting sebagai pertahanan utama terhadap
hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan hormon pertumbuhan juga berperan
meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan glukosa. Glukagon dan epinefrin
merupakan dua hormon yang disekresi pada kejadian hipoglikemia akut. Glukagon
hanya bekerja di hati. Glukagon mula-mula meningkatkan glikogenolisis dan kemudian
glukoneogenesis. Epinefrin selain meningkatkan glukogenolisis dan glukoneogenesis di
hati juga menyebabkan lipolisis di jaringan lemak serta glikogenolisis dan proteolisis di
otot. Gliserol, hasil lipolisis, serta asam amino (alanin dan aspartat) merupakan bahan
baku (precursor) glukoneogenesis hati. Epinefrin juga meningkatkan glukoneogenesis
di ginjal, yang pada keadaan tertentu merupakan 25% produksi glukosa tubuh. Kortisol
dan growth hormon berperan pada keadaan hipoglikemia yang berlangsung lama,
dengan cara melawan kerja insulin di jaringan perifer (lemak dan otot) serta
meningkatkan glukoneogenesis.1

2.1.6 Pendekatan Diagnosis

5
a. Gejala dan Tanda Klinis1,4
1) Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah turun
2) Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung
sementara
3) Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar
4) Stadium gangguan otak berat : tidak sadar, denagn atau tanpa kejang
b. Anamnesis1,4
1) Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral : dosis terakhir, waktu
pemakaian terakhir, perubahan dosis
2) Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
3) Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
4) Lama menderita DM, komplikasi DM
5) Penyakit penyerta : ginjal, hati, dll
6) Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat adrenergic β, dll.
c. Pemeriksaan Fisik1,4
Pucat, diaforesis, tekanan darah, frekuensi denyut jantung meningkat, penurunan
kesadaran, defisit neurologik fokal transien.
d. Pemeriksaan Penunjang1,4
Kadar glukosa darah, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-peptide.

2.1.7 Diagnosis Banding


Hipoglikemia karena penyebab lain, seperti : 1,4
1) Obat :
a. Sering : alkohol
b. Kadang : kinin, pentamidine
c. Jarang: salisilat, sulfonamid
2) Hiperinsulinisme endogen : insulinoma, autoimun, sekresi insulin ektopik
3) Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin.

2.1.8 Tatalaksana
a. Stadium Permulaan (Sadar)4

6
1) Berikan glukosa murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen
glukosa murni (bukan pemanis pengganti glukosa atau glukosa diet/glukosa
diabetes)
2) Hentikan obat hipoglikemik sementara
3) Pantau glukosa darah sewaktu
4) Pertahankan glukosa di atas 100mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
5) Cari penyebab
b. Stadium Lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)4
1) Berikan larutan Dekstrosa 40% sebanyak 2 flakson (=50ml) bolus IV
2) Berikan cairan Dekstrosa 10% per infuse, 8 jam per kolf bila tanpa penyulit lain
3) Periksa GD sewaktu, jika memungkinkan dengan glukometer:
a) Bila GDS <50mg/dL, maka tambah bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
b) Bila GDS <100mg/dL, maka tambah bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
4) Periksa GDS setiap 15 menit setelah pemberian Dekstrosa 40%
a) Bila GDS <50mg/dL, maka tambah bolus Dekstrosa 40% 50 mL IV
b) Bila GDS <100mg/dL, maka tambah bolus Dekstrosa 40% 25 mL IV
c) Bila GDS 100-200mg/dL, maka tanpa bolus Dekstrosa 40%
d) Bila GDS >200mg/dL, maka pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dekstrosa 10%
5) Bila GDS >100mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS setiap 2
jam, dengan protocol sesuai di atas. Bila GDS >200mg/dL maka pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dekstrosa 5% atau NaCl 0,9%
6) Bila GDS >100mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 2
jam, pemantauan GDS setiap 4 jam, dengan protocol sesuai di atas. Bila GDS
>200mg/dL maka pertimbangkan mengganti infuse dengan Dekstrosa 5% atau
NaCl 0,9%
7) Bila GDS >100mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 4
jam, pemeriksaan GDS dapat diperppanjang sesuai kebutuha sampai efek obat
penyebab hipoglikemia diperkirakan sudah habis dan pasien sudah dapat makan
seperti biasa.

7
8) Bila hipoglikemia belum teratsi, pertimbangkan pemberian antagonis insulin,
seperti: glucagon 0,5-1 mg IV/IM atau kotison, adrenal
9) Bila pasien belum sadar, sementara hipoglikemia sudah teratasi, maka cari
penyebab lain atau sudah terjadi brain damage akibat hipoglikemia
berkepanjangan.

Gambar 1. Tatalaksana Hipoglikemia1


2.1.9 Prognosis
Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis.
Pada 22% pasien mengalami episode hipoglikemia lebih dari 1 kali. Angka mortalitas
meningkat sesuai dengan parahnya derajat hipoglikemia.4

2.2 Sindrom Metabolik


2.2.1 Definisi
Sindrom metabolik merupakan suatu kumpulan gejala yang menunjukkan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular. Faktor risiko tersebut antara lain terdiri dari

8
dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, dan peningkatan kadar glukosa
plasma. Sindrom metabolik dapat dikenal sebagai sindrom X atau sindrom resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas
jaringan terhadap kerja insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai
bentuk kompensasi sel beta pankreas.3,5

2.2.2 Epidemiologi
Prevalensi sindrom metabolik di Amerika Serikat tidak diketahui secara pasti.
Dari data yang dikumpulkan oleh the National Health and Nutrition Examination
Survey (NHANES) pada tahun 1988-1994 dan tahun 1999-2000, dan berdasarkan
definisi sindrom metabolik ATP III (Adult Treatment Panel III), memperkirakan secara
berturut-turut terdapat sekitar 22% dan 26,7% orang dewasa di Amerika yang
mengalami sindrom metabolik. Ketika terdapat modifikasi definisi ATP III prevalensi
sindroma metabolik meningkat menjadi 28% dan 31.9% pada NHANES 1988-1994 dan
1999-2000. Berdasarkan penelitian memperkirakan bahwa tahun 2000, terdapat 64 juta
orang mengalami sindrom metabolik di Amerika Serikat hal ini dikarenakan terdapat
peningkatan populasi dan prevalensi obesitas di Amerika.6
Observasi lain yang dilakukan NHANES pada tahun 1988-1994 mengatakan
bahwa prevalensi sindrom metabolik berdasarkan jenis kelamin hampir sama yaitu 24%
untuk laki-laki dan 23.4% untuk wanita. NHANES 1999-2000 juga menemukan terjadi
peningkatan resiko sindrom metabolik berdasarkan tingkatan usia yaitu wanita usia 20-
39 tahun memiliki resiko 9,7-18 %, prevalensi untuk orang kulit putih sekitar 31,9%
sedangkan untuk orang kulit hitam sekitar 23,8%.6
Penelitian Soegondo (2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolic sebesar
13,3% dan menunjukkan bahwa kriteria Indeks Masa Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m 2
lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian lain yang dilakukan di
Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan kriteria
National Cholesterol Education program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III)
dengan modifikasi Asia Pasifik, terdapat pada 25,7 % pria dan 25% wanita. Penelitian
di DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolic yang tidak
jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3%.3

9
2.2.3 Etiologi
Etiologi sindrom metabolik belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis
menyatakan bahwa penyebab primer dari SM adalah resistensi insulin.7
Menurut pendapat Tenebaum penyebab sindrom metabolik adalah:8
a. Gangguan fungsi sel β dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi resistensi
insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler (komplikasi jantung).
b. Kerusakan berat sel β menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin, sehingga
menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi mikrovaskuler
(nephropathy diabetica).
Sedangkan, faktor risiko untuk sindrom metabolik adalah hal–hal dalam
kehidupan yang dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai
macam faktor risiko sindrom metabolik, antara lain adalah gaya hidup (pola makan,
konsumsi alkohol, rokok, dan aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik.

2.2.4 Patofisiologi
Pengetahuan mengani patofisiologi masing-masing komponen sindrom
metabolic sebaiknya diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh gaya hidup dan
medikamentosa dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.3
Obesitas Sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa tubuh tidak begitu sensitif
dalam menggambarkan risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang terjadi.
Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut
(dengan cut-off yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif dalam memprediksi
gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik
jaringan adiposa subkutan dan visceral. Meski dikatakan bahwa lemak viseral Iebih
berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih
kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular.
Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular
dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi
insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obesitas

10
(lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan
metabolik dari suatu resistensi insulin maupun obesitas.3
Jaringan adiposa merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi
berbagai faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis faktor
α (TNF-α), Interleukin-6 (IL-6) dan resistin. Konsentrasi adiponektin plasma menurun
pada kondisi DM tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini dipercaya memiliki efek
antiaterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat
pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan dengan risiko kejadian
kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko tradisional kardiovaskular, IMT dan
konsentrasi CRP. Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran pengukuran marker
hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada pengukuran secara anatomi dalam
memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik yang terkait.3

Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh
ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik
clamp merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari.
Pemeriksaan glukosa plaama puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi
glukosa puasa hanya dijumpai pada 10% sindrom metaboiik. Pengukuran Homeostasis
Model Asessment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI)
dibuktikan berkolerasi erat dengan pemeriksaan stander, sehingga dapat disarankan
untuk mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang
melibatkan jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi
insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (seperti rumus HOMA den QUICKI)
perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya. penggunaan rumus ini secara rutin di klinis belum
di sarankan maupun disepakati.3

Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan
trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan
konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak

11
bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada
manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat
multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas
ke hati.3
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi
transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan
konsentrasi trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga
dipikirkan terdapat mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL
disamping peningkatan trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaian dengan
gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi
gangguan produksi Apolipoprotein A-I (Apo A-I) oleh hati yang selanjutnya
mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resistensi
insulin juga berpengaruh pada perubahan profil lipid pada subyek dengan resistensi
insulin. Studi pada hewan menunjukkan aktivasi system imun akan menyebabkan
gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang berkaitan
sehingga terjadi perubahan profil lipid.3

Peran Sistem Imunitas pada Resistensi Insulin


Inflamasi subklinis kronik merupakan bagian dari sindrom metabollik. Marer
inflamasi berperan pada progresifitas. DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive
protein (CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi
pada subyek wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan
kesepakatan alur diagnosa yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi
dan gangguan fibrinolisis dalam memprediksi risiko kardiovaskular.3

Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin
merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal,
mempengaruhi transport kation dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh
darah. Pemberian infuse insulin akut dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi.
Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat
ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor.3

12
2.2.5 Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik

Hingga saat ini ada 3 definisi sindrom metabolik yang telah di ajukan, yaitu
definisi World Health Organization (WHO), NCEP ATP–III dan International Diabetes
Federation (IDF). Ketiga definisi tersebut memiliki komponen utama yang sama dengan
penentuan kriteria yang berbeda.
Pada tahun 1988, Alberti dan Zimmet atas nama WHO menyampaikan definisi
sindrom metabolik dengan komponen – komponennya antara lain :
1) Gangguan pengaturan glukosa atau diabetes
2) Resistensi insulin
3) Hipertensi
4) Dislipidemia dengan trigliserida plasma >150 mg/dl dan/atau kolesterol high
density lipoprotein (hdl– c) <35 mg/dl untuk pria; <39 mg/dl untuk wanita
5) Obesitas sentral (laki–laki: waistto–hip ratio >0,90; wanita: waist–to– hip ratio
>0,85) dan/atau indeks massa tubuh (imt) >30 kg/m2
6) Mikroalbuminuria (urea albumin excretion rate >20 mg/min atau rasio
albumin/kreatinin >30 mg/g).
Sindrom metabolik dapat terjadi apabila salah satu dari 2 kriteria pertama dan 2
dari empat kriteria terakhir terdapat pada individu tersebut. Jadi kriteria WHO 1999
menekankan pada adanya toleransi glukosa terganggu atau diabetes mellitus, dan atau
resitensi insulin yang disertai sedikitnya 2 faktor risiko lainya itu hipertensi,
dislipidemia, obesitas sentral dan mikroalbuminaria.9,10,11
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien sindrom metabolik adalah
NCEP–ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati,
antara lain:
1) Lingkar perut pria >102 cm atau wanita >88 cm;
2) Hipertrigliseridemia (kadar serum trigliserida >150 mg/dL),
3) Kadar HDL–C <40 mg/dL untuk pria, dan <50 mg/dL untuk wanita;
4) Tekanan darah >130/85 mmHg;
5) Kadar glukosa darah puasa >110 mg/dL.
Suatu kepastian fenomena klinis yang terjadi yaitu obesitas central menjadi
indikator utama terjadinya sindrom metabolik sebagai dasar pertimbangan
dikeluarkannya diagnosis terbaru oleh IDF tahun 2005. Seseorang dikatakan menderita

13
sindrom metabolik bila ada obesitas sentral (lingkar perut >90 cm untuk pria Asia dan
lingkar perut >80 cm untuk wanita Asia) ditambah 2 dari 4 faktor berikut :
1) Trigliserida >150 mg/dL (1,7 mmol/L) atau sedang dalam pengobatan untuk
hipertrigliseridemia;
2) HDL–C: <40 mg/dL (1,03 mmol/L) pada pria dan <50 mg/dL (1,29 mmol/L) pada
wanita atau sedang dalam pengobatan untuk peningkatan kadar HDL–C;
3) Tekanan darah: sistolik >130 mmHg atau diastolik >85 mmHg atau sedang dalam
pengobatan hipertensi;
4) Gula darah puasa (GDP) >100 mg/dL (5,6 mmol/L), atau diabetes tipe 2.
Hingga saat ini masih ada kontroversi tentang penggunaan kriteria indikator SM yang
terbaru tersebut.8
Kriteria diagnosis NCEP–ATP III menggunakan parameter yang lebih mudah
untuk diperiksa dan diterapkan oleh para klinisi sehingga dapat dengan lebih mudah
mendeteksi sindroma metabolik. Yang menjadi masalah adalah dalam penerapan kriteria
diagnosis NCEP– ATP III adalah adanya perbedaan nilai “normal” lingkar pinggang
antara berbagai jenis etnis. Oleh karena itu pada tahun 2000 WHO mengusulkan lingkar
pinggang untuk orang Asia ≥90 cm pada pria dan wanita ≥ 80 cm sebagai batasan
obesitas sentral.8,11
Belum ada kesepakatan kriteria sindroma metabolik secara international,
sehingga ketiga definisi di atas merupakan yang paling sering digunakan. Tabel 3
berikut menggambarkan perbedaan ketiga definisi tersebut.
Tabel 3 Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik menurut WHO, NCEP-ATP III dan
IDF 8,10,11

14
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sindrom metabolic terutama bertujuan untuk menurunkan
resiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis dan risiko DM tipe II pada pasien yang
belum diabetes. Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri dari dua pilar, yaitu
tatalaksana penyebab (Berat badan lebih/obesitas dan inaktivitas fisik), serta tatalaksana
faktor risiko lipid dan non lipid sehingga diperlukan beberapa strategi dalam
penatalaksanaan sindrom metabolik antara lain sebagai berikut :3

A. Tatalaksana Non Farmakologi


1. Penurunan berat badan
Pengaturan berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tetapi juga
bagi sindrom metabolik. Penurunan berat badan 5-10% sudah dapat memberikan
perbaikan profil metabolik. Penanganan yang terintegrasi dalam pengelolaan
berat badan melalui diet, aktifitas fisik dan perubahan perilaku :
a) Diet
Obesitas dan kelebihan berat badan secara langsung diakibatkan oleh
ketidakseimbangan kalori yang masuk dan yang keluar. Untuk mencapai kalori
yang seimbang maka jumlah makanan yang masuk harus dikurangi dan jumlah
kalori yang keluar harus ditingkatkan melalui aktifitas fisik dengan cara :3
a) Lemak jenuh (< 7% kalori total)
b) Lemak total (23-35% kalori total)

15
c) Kolesterol (<200 mg/hari)
Penurunan berat badan sebisa mungkin dengan tujuan akhir mencapai berat
badan yang diinginkan (IMT<25kg/m2).3
b) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik intensitas sedang secara teratur, setidaknya 30 menit secara
kontinu maupun intermiten (dan lebih baik ≥ 60 menit), 5 hari/minggu atau lebih
baik lagi bila setiap hari.3
c) Menghentikan kebiasaan merokok dan minum alcohol

B. Tatalaksana Farmakologi
Obat-obatan yang digunakan untuk mengontrol sindrom metabolik meliputi :
1. Anti hipertensi
Dalam suatu penelitian metaanalisis didapatkan bahwa enzim pengkonversi
angiotensin dan penghambat reseptor angiotensin mempunyai manfaat yang
bermakna dalam meregresi hipertrofi ventrikel kiri dibandingkan dengan
penghambat beta adrenegik, diuretic dan antagonis kalsium. Valsartan, suatu
penghambat reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria yang
diketahui sebagai factor resiko independen kardiovaskuler.
2. Obat-obatan pengatur kolesterol
Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti
dengan medikasi, oleh karena itu disarankan untuk memberikan obat berbarengan
dengan perubahan gaya hidup. Terapi dengan :
a. Gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara bermakna
dapat menurunkan resiko kardiovaskuler. Dosis Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1
x 900 mg.
b. Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan
meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang
sangat efektif dan mengurangi resiko kardiovaskuler. Fenofibrat juga dapat
menurunkan kadar fibrinogen. Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki
kadar trigliserida, Kolesterol HDL dan LDL. Dosis fenofibrat 1 x 200 mg.
c. Golongan Statin
Simvastatin : dosis awal 5-10 mg/hari
Atoravastatin : 10-80 mg 1x/hari
Lovastatin : dosis awal 20 mg 1x/hari

2.2.7 Pencegahan
Untuk mencegah Sindrom metabolik maka harus merubah gaya hidup dengan cara :12

16
a. Hidup sehat
Mengatur pola makan yang sehat, dengan banyak mengkomsumsi buah dan
sayuran.
b. Aktifitas
Penting untuk aktif melakukan olahraga dengan durasi 30 menit setiap hari.
c. Melakukan general check up
Terutama mengukur tekanan darah, kadar kolesterol dan glukosa darah. Deteksi
dini masalah penting untuk memodifikasi pola hidup dan mencegah perburukan
suatu penyakit.

BAB III
KESIMPULAN

Hipoglikemia merupakan kumpulan gejala yang disebabkan konsentrasi glukosa


darah yang rendah. Menurut Panduan Praktik Klinis, Hipoglikemia adalah keadaan
dengan kadar glukosa darah <70mg/dL atau kadar glukosa darah <80mg/dL dengan
gejala klinis. Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien DM maupun non-DM.
Hipoglikemia tidak selalu menunjukkan gejala yang sama untuk setiap orang
sehingga hipoglikemia dapat diklasifikasikan menjadi hipoglikemia ringan,
hipoglikemia sedang dan hipoglikemia berat. Tanda dan gejala umum hipglikemia
berupa gejala adrenergik dan tanda neuroglikopenik.
Untuk mendiagnosis hipoglikemia menggunakan Trias Whipple yaitu: (1) gejala
yang konsisten dengan hipoglikemia, (2) kadar glukosa plasma rendah dan (3) gejala
mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat.
Sindrom metabolik merupakan suatu kumpulan gejala yang menunjukkan risiko
terjadinya penyakit kardiovaskular. Etiologi sindrom metabolik belum dapat diketahui
secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan bahwa penyebab primer dari SM adalah
resistensi insulin.
Kriteria yang sering digunakan untuk menilai pasien sindrom metabolik adalah
NCEP–ATP III, yaitu apabila seseorang memenuhi 3 dari 5 kriteria yang disepakati,

17
antara lain: (1) lingkar perut pria >102 cm atau wanita >88 cm, (2) hipertrigliseridemia
(kadar serum trigliserida >150 mg/dL), (3) kadar HDL–C <40 mg/dL untuk pria, dan
<50 mg/dL untuk wanita, (4) tekanan darah >130/85 mmHg dan (5) kadar glukosa darah
puasa >110 mg/dL.

DAFTAR PUSTAKA

1. Setyohadi, dkk. EIMED PAPDI Emergency in internal medicine. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2015. Hal 400-11.
2. Manaf, A. Hipoglikemia dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing. 2014. Hal 2357-8.
3. Soegondo S dan Dyah P. Sindrom Metabolik dalam Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing. 2014. Hal 2537-41.
4. Alwi, dkk. Panduan praktik klinis penatalaksanaan di bidang Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing. 2015. Hal 73-5.
5. Ford ES, Giles WH, Dietz WH, 2002. Prevalence of the Metabolic Syndrome
Among US Adults. Finding from the Third National Health and Nutrition
Examination Survey. Journal American Medical Association. 287(20): 356–59.
6. Roy H, Lundy S, Kalicki B. Metabolic Syndrome. Healthier lives through
education in nutrition and preventive medicine. 2006 March;3(11):1-4.
7. Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Jurnal media informasi Ilmu Kesehatan dan
Kedokteran. 10(4): 21–32.
8. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome.
Journal American Medical Association. 213(12): 1345–52.
9. Adult Treatment Panel III. 2001. Expert Panel on Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Cholesterol in Adults. Executive Summary of the Third
Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III). Journal American Medical Association. 285(16): 2486–96.

18
10. World Health Organization. 2000. Obesity: Preventing and Managing the Global
Epidemic. Geneva: WHO.
11. Wirakmono. 2006. Sindrom Metabolik. Jurnal Kedokteran Indonesia. 35(10): 10–
26.
12. Petrucelli, OM. The Metabolic Syndrome. Northeast Florida Medicine.2008;
03(59):19-21.

19

Anda mungkin juga menyukai