Anda di halaman 1dari 64

PROMOSI KESEHATAN

SEORANG PRIA USIA 49 TAHUN TUBERKULOSIS PARU DENGAN

PENYULIT DIABETES MELLITUS

Disusun Oleh:

dr. Riyadila Fajariza

Pembimbing:

dr. M. Rehulina, M. Kes (Epid)

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

ANGKATAN IV TAHUN 2019

PERIODE 21 NOVEMBER 2019– 20 MARET 2020

PUSKESMAS REMBANG 2

2020
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit tertua yang diketahui

mengenai manusia, disebabkan oleh bakteri yang dikenal sebagai Mycobacterium

Tuberculosis. Hampir seluruh bagian tubuh manusia dapat diserang oleh bakteri

ini namun organ yang sering diserang adalah paru-paru. Beberapa faktor yang

terkait erat dengan penyakit TB meliputi usia, nutrisi, imunitas, kebiasaan hidup,

kebersihan lingkungan dll, beberapa keadaan penyakit yang memudahkan

infeksi TB seperti Diabetes Melitus, Campak, serta factor genetic (Sejati,

2015).

Jumlah kasus baru TB mencapai 8,8 juta per tahun di seluruh dunia.

Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi TB dengan 75% ada di kalangan usia

produktif. Tahun 2013 angka insidensi TB sebesar 183 per 100.000 penduduk

dengan angka kematian TB sebesar 25 per 100.000 penduduk dan pada tahun

2014 angka insidensi meningkat menjadi 399 per 100.000 penduduk dengan

angka kematian yang juga meningkat menjadi 41 per 100.000 penduduk (WHO,

2015). Indonesia berada pada peringkat kelima negara dengan beban TB tertinggi

di dunia serta bertambah seperempat juta kasus baru dan sekitar 140.000 kematian

terjadi setiap tahunnya. Sebanyak 40% dari kasus baru di seluruh provinsi

Indonesia, jumlah kasus TB BTA+ baru paling tinggi ditemukan di Jawa Barat,

Jawa Timur dan Jawa Tengah. Cure rate kasus TB pada tahun 2014 mengalami

penurunan dibandingkan 6 tahun sebelumnya dengan angka sebesar 81,3%

dimana WHO menetapkan standar sebesar 85% (Dinihari, 2014). Berdasarkan

rekapitulasi dinas kesehatan kota Rembang prevalensi TB Paru BTA positif di


Kabupaten Rembang selama 3 tahun berturut-turut pada tahun 2016 sebesar

11,10%, 2017 sebesar 11,73% dan 2018 sebesar 16,39%. Di wilayah kerja

Puskesmas Sarang terdapat 44 penderita TB BTA positif dan Puskesmas

Rembang II terdapat 27 TB BTA positif.

Penyakit TB Paru menjadi masalah sosial, karena sebagaian besar

penderitanya adalah kelompok usia produktif, kelompok ekonomi rendah dan

tingkat pendidikan rendah, seperti halnya karakteristik demografi pada masyarakat

di wilayah kerja Puskesmas Ngaliyan Semarang, dimana masyarakatnya sebagian

tergolong dalam kelompok ekonomi rendah dan berada dalam wilayah

pemukiman padat penduduk, sedangkan tingkat pendidikan masyarakat juga

tergolong rendah. Faktor agen (agent), yaitu M. Tuberkulosis yang berperan

sebagai penyebab timbulnya penyakit tuberkulosis, faktor lingkungan

(environment), yaitu kondisi lingkungan yang memudahkan terjadinya kontak

penularan antara penderita tuberkulosis (Manalu, 2010).

Dari uraian di atas, penulis bermaksud memperoleh informasi kejadian

infeksi Tuberkulosis pada Tn. M di Puskesmas Rembang 2.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat

tahan asam sehingga dikenal dengan Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri

ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tanggal 24 Maret 1882,

sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama basil

Koch. Bahkan penyakit TBC paru-paru kadang disebut Koch Pulmonum

(Siswanto, 2008).

2.2 Epidemiologi Tuberkulosis

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun

2010) sekitar 8,8 juta (antara 8,5-9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh

dunia. Masih berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan pula

sebanyak 1,1 juta kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat

tubeculosis pada penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta

kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang terjadi akibat TB pada penderita

dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati adalah penurunan jumlah

absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi

kejadian dengan angka estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10

juta anak-anak di tahun 2009 menjadi yatim piatu karena orang tua yang

mengidap TB (WHO,2011).
Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2010
(dikutip dari WHO,2011)

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara

dengan 65% angka prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan

kontribusi 40% total penderita baru TB dan Afrika menyumbang 24% pasien

baru. Secara global angka keberhasilan terapi pada penderita baru TB dengan

sputum BTA positif adalah 87% di tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai

46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka estimasi yakni 290.000 kasus,

MDR-TB masih menjadi tantangan besar hingga saat ini. Survei prevalensi

TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada tahun 1983-1993

menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%

TB (WHO,2011). Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TB Global

yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, angka insiden TB di Indonesia

pada tahun 2009 mencapai 430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir

dengan kematian (WHO,2010). Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh

Rao et al dari Universitas Queensland berdasarkan data epidemiologi tahun

2007-2008 menunjukkan bahwa angka kematian akibat tuberculosis di


Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi Papua (Rao dkk, 2011).

Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai

1.200.000 kasus atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas

mencapai 91.000 kasus atau 38 orang per 100.000 populasi. Insidensi TB

mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus per 100.000 populasi dengan 29.000

kasus TB HIV positif. TB (WHO,2011).

Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB

(MDR-TB) pada tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus

MDR-TB tertinggi adalah China (100.000 kasus), India (99.000 kasus),

Federasi Rusia (38.000 kasus), dan Afrika Selatan (13.000 kasus). Dan pada

Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah melaporkan setidaknya terdapat

satu kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-TB) (WHO,2011).

2.3 Patofisiologi

M. tuberculosis ditularkan melalui udara dalam bentuk aerosolisasi

±3000 droplet nukleus berukuran 5-10 µm yang dapat dikeluarkan pada saat

batuk, bersin bahkan saat bercakap-cakap, terutama pada pasien dengan

Tuberculosis saluran pernapasan. Droplet tersebut mengering dengan cepat,

bertahan di udara selama beberapa jam dan masuk kedalam saluran nafas.

Selain melalui udara, penularan melalui kulit dan plasenta juga dapat terjadi

walaupun sangat tidak umum. Resiko terjangkitnya M. Tuberculosis tergantung

pada jumlah M. Tuberculosis yang masih bertahan hidup di udara. Penularan

secara outdoor biasanya lebih rendah daripada diruangan tertutup dimana

pertukaran udara diluar ruangan berlangsung baik dan ekspose trehadap sinar

ultraviolet jauh lebih tinggi. Penularan juga dapat terjadi melalui alat-alat
intervensi seperti bronchoscopy atau intubasi endotracheal. Selain melalui

udara, penularan juga dapat terjadi melalui abses yang mengandung M.

Tuberculosis. Faktor yang mempengaruhi kerentanan tertularnya

Mycobacterium tuberculosis adalah lamanya kontak dengan penderita, dan

derajat keparahan penyakit. Pasien dengan smear negatif cenderung lebih aman

terutama pasien dengan TB ekstra paru (Fauci dkk, 2008)

PROSES INFEKSI

Dropet nukleus cukup kecil untuk masuk kedalam saluran nafas dan

mampu bertahan dari proses filtrasi di saluran nafas atas. Sekali terhirup,

droplet nukleus dapat mencapai alveoli untuk melakukan invasi dan

menimbulkan infeksi. Pada sekitar 5 % pasien yang terinfeksi, M. Tuberculosis

mampu berkembang biak dalam jangka waktu mingguan hingga bulanan dan

dapat memberikan pembesaran limfonodus perihilar dan peritracheal serta

dapat memberikan gambaran pneumonia lobaris dan merangsang terjadinya

reaksi serosa serta efusi pleura (Iseman dkk, 2008).

M. tuberculosis kemudian ditelan oleh makrofag alveolar melalui

proses introduksi yang melibatkan aktivasi komplemen C3b.

Liporabinomannan yang terdapat dalam dinding M. Tuberculosis mampu

menghambat peningkatan ion Ca2+ yang dapat menyebabkan terjadinya

gangguan pada jalur calmodulin yang akan menimbulkan gangguan fusi

phagosom dan lisosom sehingga tidak ada percampuran antara bakteri dengan

lisosom yang menyebabkan bakteri dapat bertahan dan berkembang biak

didalam makrofag. Selain itu faktor yang dapat mendukung pertumbuhan M.

Tuberculosis didalam makrofag adalah adanya gen protektif antara lain katG
yang memproduksi enzim katalase/peroksidase yang dapat melindungi

M.tuberkulosis dari proses oksidatif, gen rpoV yang merupakan gen “induk”

dari beberapa protein penting M. Tuberculosis. Dua gen ini merupakan gen

yang penting dalam proses virulensi M. Tuberculosis. Selain itu gen lain

seperti erp membantu proses pembentukan protein untuk multiplikasi

(Fitzpatrick dkk, 2000).

Makrofag yang terinfeksi mengeluarkan sitokin seperti TNF α dan IL-

1 serta sitokin lainnya untuk merangsang Monosit dan Limfosit T terutama

CD4+ yang akan membentuk IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag lainnya.

Proses ini dikenal sebagai Macrophage Activating response sedangkan sel

CD4+ Th2 akan memproduksi IL 4, IL 5, IL 10 dan IL 13 dan merangsang

sistem imun humoral. Sel Dendritik juga berperan dalam mempresentasikan

antigen dan merangsang proses imun lebih jauh didalam limfonodus. Tahapan

ini dikenal sebagai proses Cell Mediated Immunity. Pada tahapan ini pasien

dapat menunjukkan gambaran delayed-type-hypersensitivity terhadap protein

tuberkulin. Reaksi ini dapat timbul 48-96 jam setelah injeksi tuberkulin dan

bertahan hingga 6 minggu namun sekitar 20 % pasien tidak bereaksi terhadap

tes tuberculin (Fitzpatrick dkk, 2000).

Pada jaringan, Makrofag tersebut dapat membentuk sel raksasa berinti

banyak dan akan membentuk granuloma yang dikelilingi oleh limfosit dan

makrofag yang teraktifasi. Pada granuloma, pertumbuhan M. Tuberculosis

dapat terhambat karena lingkungan yang rendah oksigen dan derajat keasaman

yang rendah. Ketika mengalami proses penyembuhan dapat terbentuk fibrosis.

Proses ini dikenal sebagai Tissue Damaging Reponse. Dalam jangka waktu
tahunan, granuloma dapat meluas dan membentuk kalsifikasi dan akan tampak

dalam gambaran radiologi sebagai densitas radioopaque pada lapangan paru

atas, apex paru (fokus Simon), atau limfonodus perihilar. Focus granuloma

juga dapat ditemukan pada jaringan lainnya tergantung seberapa luas

penyebaran M. Tuberculosis (Iseman dkk, 2008).

Pada kasus tertentu, pada pusat lesi, material kaseosa mencair, dinding

bronchial dan pembuluh darah menjadi rusak dan terbentuklah kavitas. Pada

materi caseosa yang mencair terdapat basil M. Tuberculosis dalam jumlah

besar yang dapat menyebar ke jaringan paru lainnya dan dapat keluar saluran

nafas melalui batuk dan berbicara (Fitzpatrick dkk, 2000).

Bila tidak timbul penyakit, maka telah terjadi keseimbangan antara

sistem imun dan reaksi patologis dari M. Tuberculosis. Faktor yang dapat

menimbulkan terjadinya aktivasi M. Tuberculosis adalah kekuatan sistem

imun. Sekitar 10% pasien dengan imunokompeten biasanya akan menderita

tuberculosis (Iseman dkk, 2008).

Pada pasien dengan infeksi laten, infeksi dapat teraktivasi dalam jangka

waktu beberapa tahun, aktivasi dapat terjadi pada hampir semua jaringan

karena M. Tuberculosis menyebar secara limfogen. Lokasi tertentu yang lebih

sering terjadi reaktivasi adalah jaringan paru. Rekativasi muncul pada fokus

granuloma terutama pada apeks paru. Fokus kaseosa yang besar dapat

membentuk kavitas pada parenkim paru (Fitzpatrick dkk, 2000).

Semakin banyak jumlah basil M. Tuberculosis yang ditularkan maka

semakin infeksius. Hal ini dapat dilihat dari jumlah M. Tuberculosis pada

sediaan tahan asam. M. tuberculosis dapat dideteksi pada sputum yang


mengandung sedikitnya 104 M. Tuberculosis. Pada pasien dengan TB paru

berkavitas biasanya lebih infeksius (Iseman, 2008).

2.4 Manifestasi Klinis

Demam subfebril menyerupai influenza tetapi kadang-kadang panas dapat

mencapai 40-41 C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar,

tetapi dapat timbul kembali.Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam

influenza ini sehingga pasien merasa tidak pernah bebas demam. Keadaan

ini dipengaruhi daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

kuman tuberkulosis yang masuk.

Batuk/batuk berdahak banyak ditemukan.Batuk terjadi karena ada

iritasi pada bronkus.Batuk ini diperluka untuk membuang produk-produk

radang keluar karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,

mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang pada jaringan

paru yakni setelah berminggu-minggu, atau berbulan-bulan peradangan

bermula. Sifat batuk dimulai batuk kering kemudian setelah timbul

peradangan terdapat batuk produktif. Keadaan lanjut berupa batuk

berdarah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk

darah pada TB terjadi pada kavitas, taetapi bisa juga terjadi pada ulkus

dinding bronkus.

Sesak nafas, pada penyakit ringan atau baru tumbuh belum

dirasakan sesak nafas. Biasanya akan ditemukan pada penyakit yang sudah

lanjut, yang infiltrasinya meliputi setengah bagian paru-paru.


Nyeri dada, gejala ini jarang ditemukan. Timbul bila infiltrasi

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi

gesekan pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan nafasnya.

Malaise, Penyakit tuberkulosis bersifat radang menahun. Gejala ini

sering ditemukan berupa anorekisa tidak ada nafsu makan, badan makin

kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat

malam. Gejala malaise ini makin lama makin berat terjadi hilang timbul

secara tidak teratur (Amin Z, 2014)

2.5 Diagnosis

GEJALA KLINIS

Gejala yang muncul awalnya bersifat non spesifik, biasanya ditandai

dengan demam baik subfebris hingga febris dan keringat malam, berat badan

yang menurun, anoreksia, dan merasa lemas. Pada 80 % kasus ditemukan

demam dan tidak adanya demam bukan berati tuberculosis dapat dihilangkan.

Dalam sebagian besar kasus, batuk non produktif biasanya muncul minimal

selama 2 minggu dan selanjutnya diikuti oleh batuk produktif dengan sputum

yang purulen bahkan diikuti bercak darah. Hemoptisis yang masif biasanya

muncul sebagai destruksi pembuluh darah pada kavitas terutama pembuluh

darah yang berdilatasi pada dinding kavitas (Rasmussen's aneurysm). Nyeri

dada biasa juga dirasakan terutama pada pasien dengan lesi pada pleura. Lebih

lanjut biasanya pasien akan sesak nafas dan diikuti dengan adult respiratory

distress syndrome (ARDS) (Fauci,2008).

Temuan pemeriksaan fisis cukup terbatas pada TB paru. Terkadang

abnormalitas tidak ditemukan pada pemeriksaan thorax. Bunyhi ronkhi biasa


ditemukan terutama karena peningkatan produksi sputum. Bunyi wheezing

juga terkadang ditemukan akibat obstruksi parsial bronkus dan bunyi

amphoric klasik pada kavitas. Terkadang bunyi pernafasan terdengar redup

yang berarti menunjukkan ada proses abnormalitas yang cukup parah sebagai

komplikasi dari infeksi tuberculosis. Pada keadaan tertentu pasien juga dapat

menunjukkan wajah yang pucat serta clubbing finger (Baliga, 2007).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan foto thoraks PA merupakan pemeriksaan yang rutin

dilakukan untuk evaluasi tuberculosis paru. Gambaran yang biasanya muncul

adalah bercak infiltrat terutama kavitas yang biasanya dapat ditemukan pada

19% hingga 50%. Gambaran lainnya yang biasa muncul adalah infiltrat lobus

dan interstitial serta limfadenopati. Pada segmen apeks paru biasa ditemukan

gambaran densitas radiopak yang menandakan terbentuknya fibronodular.

Pada tahap lanjut lesi ini dapat menjadi kavitas dengan gambaran radiologi

kavitas yang berdinding tipis. Pada TB paru rekativasi, daerah yang paling

sering tampak kelainan yakni, apeks dan segmen posterior lobus kanan, apeks

dan segmen posterior lobus kiri, dan segemen superior lobus bawah Lesi pada

daerah ini lebih sering terlihat pada pasien dengan diabetes. Efusi pleura pada

tuberculosis paru tahap dini juga dapat terlihat terutama pada perkembangan

penyakit yang progresif. CT scan biasanya dapat dilakukan untuk menentukan

luasnya penyebaran lesi namun biasanya tidak memberikan gambaran khas

pada infeksi tahap dini (Fitzpatrick, 2000).


Gambar 2. Gambaran radiologis infeksi TB pada paru.
(dikutip dari kepustakaan nomor 9.)
Pada gambar kiri terdapat gambaran kavitas serta bercak berawan pada

lapangan paru kanan atas, sedangkan gambaran CT scan menunjukkan

penyebaran bahan infeksius dari kavitas ke sistem tracheobronchial (Eastman

et all, 2006).

Gambar 3. TB paru primer


(dikutip dari kepustakaan nomor 10)
Pada gambar diatas, gambar kiri menunjukkan gambaran limfadenopati hilar

pada lapangan paru kanan sedangkan gambar kanan adalah gambaran CT scan

yang menunjukkan limfadenopati hilar kanan.


Gambar 4. TB paru post primer pada pasien dengan immunodefisiensi.
(Dikutip dari kepustakaan nomor 10)

Gambar kiri tampak kavitas dan bercak berawan pada kedua lapangan

atas paru dan pada CT scan terdapat gambaran cavitas pada kedua lapangan

paru. Dalam hasil analisis laboratorium darah dapat ditemukan leukositosis,

limfositik leukopenia atau neutrofilik leukopenia. Ditemukan pula anemia

normositik normokrom dan hiponatremia terutama pada pasien dengan

penyebaran lesi yang luas (Fitzpatrick, 2000).

Apusan sputum dan kultur merupakan pemeriksaan yang perlu dilakukan

untuk menegakkan diagnosis dengan sensitivitas 40-60%. Pada pasien suspek

tuberculosis paru, tiga sampel sputum diambil yakni sewaktu, pada pagi hari

dan sewaktu. Pada pasien dengan tuberculosis paru, sputum dapat diperoleh

dengan proses ekspektorasi atau nebulisasi dengan saline hipertonik, bilasan

bronkus atau bahkan dengan bronchoscopy (Ganguly KC, 2008).

Induksi sputum dianggap sebagai salah satu cara yang umum dilakukan

untuk mendapatkan sputum, terutama dalam keadaan yang tidak

memungkinkan dilakukannya pengambilan sputum. Pada penelitian yang


dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa sputum yang diinduksi dengan

nebulisasi Salin 3% memberikan sensitifitas dan spesifitas yang sama dengan

teknik diagnosa menggunakan bilasan bronkus (Mohan A, 2008).

Pengambilan sputum dengan fibreoptic bronchoscopy (FOB) dan

transbronchial lung biopsy (TBLB) biasanya sangat membantu dalam

menegakkan diagnosa TB. Walaupun demikian FOB merupakan metode yang

invasif dan membutuhkan tenaga ahli untuk melakukannya.Selain itu FOB

dapat berkontribusi meningkatkan penularan TB (Ganguly KC, 2008).

Pada anak-anak, aspirasi cairan lambung juga dapat digunakan untuk

mendiagnosa TB dan memberikan hasil yang jauh lebih baik. Aspirasi

nasofaringeal, induksi sputum, apusan laring juga dapat dilakukan (Coulter

JB, 2008).

Pemeriksaan apusan sputum dilakukan dengan menggunakan metode

tahan asam Ziehl-Neelsen atau Kinyoun dimana bakteri akan tampak bewarna

kemerahan dengan latar belakang biru dan putih. Metode pewarnaan lainnya

seperti auramine juga dapat dilakukan, dengan pewarnaan ini maka

Mycobacterium tuberculosis yang terwarna akan dapat berpendar pada sinaran

Ultra Violet. Mycobacterium tuberculosis akan tampak berwarna kuning muda.

Akan tetapi hasil apusan sputum bergantung pada jumlah bakteri yang

ditemukan pada sampel sehingga dianggap kurang sensitive (Iseman, 2008).


Gambar 4. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis
(Dikutip dari kepustakaan nomor 1)

Kultur merupakan gold standard untuk menegakkan diganosis akan tetapi

hal ini membutuhkan waktu yang lama. Spesimen diinokulasi di kultur

Löwenstein-Jensen atau Middlebrook 7H10 dan diinkubasi pada suhu 37°C.

Karena pertumbuhannya lambat maka kultur harus ditunggu 4-8 minggu.

Selain dari penampakan koloninya yang berwarna persik, tes biokimia juga

penting untuk menentukan jenis mycobacterium. Teknik kultur yang cepat

sedang dikembangkan untuk memotong waktu pemeriksaan (Fauci, 2008).

Analisa cairan tubuh juga dapat dilakukan apabila terjadi infeksi

tuberculosis ekstra paru seperti analisa cairan pleura, pericardium dan

peritoneal. Biasanya akan ditemukan cairan yang sifatnya eksudat dengan

kadar glukosa yang normal hingga rendah. Sampel tersebut dapat digunakan

untuk apusan, dan kultur untuk penegakan diagnosa. Nilai spesifiknya

mencapai 65% pada cairan peritoneal, 75% pada cairan perikardium dan 85%

pada cairan pleura. Biopsi biasa dilakukan terutama untuk mendapatkan bukti

adanya pembentukan granuloma (Iseman, 2008).


Pada umumnya diagnosis biasa di tegakkan berdasarkan gejala, temuan

radiologi dan respon terhadap pengobatan empiris tanpa konfirmasi kultur.

Akan tetapi melihat insidensi resistensi obat yang tinggi maka pemeriksaan

kultur dan tes sensitivitas perlu dilakukan. Secara umum, Mycobacterium

tuberculosis perlu diperiksa senstivitas terhadap isoniazid, rifampin, dan

ethambutol. Pemeriksaan terhadap sensitivitas obat lainnya juga perlu

dilakukan guna mencegah resistensi dan kegagalan pengobatan (Fauci, 2008).

Pada pasien dengan infeksi tuberculosis laten, Tuberculin Skin Test dapat

dilakukan. Pada tahun 1891, Robert Koch menemukan komponen

Mycobacterium tuberculosis yang disebut tuberculin. Komponen ini mampu

merangsang reaksi kulit ketika diinjeksi secara subkutan pada pasien dengan

tuberculosis. Pada tahun 1932, Seibert dan Munday memurnikan produki ini

dengan presipitasi amonium sulfat yang dikenal sebagai tuberculin purified

protein derivative (PPD). Tahun 1941 tes ini dijadikan sebagai tes standar

diagnosa. Keterbatasan terbesarnya adalah spesifitas yang rendah karena

protein tersebut banyak disekresikan oleh varian mycobacterium lainnya. Dan

yang perlu diperhatikan hasil tes tuberkulin juga positif pada pasien dengan

imunisasi BCG dan infeksi mycobacterium lainnya (Fauci, 2008).

IGRAs atau IFN-γ Release Assays merupakan tes yang lebih spesifik

dibandingkan tes tuberkulin. IGRAs juga tampak lebih sensitif dalam

mendeteksi tuberculosis aktif dan tuberculosis laten. Keuntungan lainnya dari

IGRAs terletak pada kemampuannya untuk mengurangi hasil yang subjektif

terutama pada skin test. Saat ini terdapat 2 jenis pemeriksaan IFN-γ yang

dapat bereaksi dengan antigen ESAT-6 dan CFP-10 Mycobacterium


tuberculosis yakni QuantiFERON-TB Gold® (Cellestis Ltd., Carnegie,

Australia) yang menggunakan prinsp enzyme-linked immunosorbent assay

(ELISA) untuk mengukur kadar IFN-γ, dan T-SPOT.TB® (Oxford

Immunotec, Oxford, UK) yang menggunakan enzyme-linked immunospot

(ELISpot). Studi komparatif pemeriksaan IGRAs dengan metode ELISpot

memiliki sensitifitas lebih tinggi dibanding ELISA (Iseman, 2008).

Amplifikasi asam nukleat merupakan cara lain dalam mendiagnosa

tuberculosis. Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan diagnosa dalam

hitungan jam dengan spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Tes ini biasa

digunakan sebagai konfirmasi cepat untuk pasien dengan BTA positif maupun

negatif. Selain itu semua tahap pengerjaan dilakukan dengan mesin sehingga

mengurangi resiko infeksi tuberculosis pada pekerja laboratorium (Nataraj,

2015). Tes ini juga berperan untuk menentukan gen yang mengalami mutasi

yang juga menjadi sumber masalah resistensi pengobatan TB antara lain gen

rpoB yang menimbulkan resistensi rifampicin, dan gen lainnya inh A dan katG

untuk INH, dan gen gyr untuk resistensi fluoroquinolon sehingga kasu MDR-

TB dapat diketahui dengan cepat. Salah satu tes amplifikasi asam nukleat yang

direkomendasikan oleh WHO yakni Xpert(®) MTB/RIF assay (Rachow,

2011).

2.6 Diagnosis Banding

Banyak diagnosa banding yang dapat dikemukakan karena tuberculosis

dapat menimbulkan infeksi yang sistemik yang menyerupai penyakit lainnya .

Beberapa diagnosa banding Tuberculosis Paru yang mungkin dapat

dipertimbangkan antara lain Actinomycosis, Aspergillosis, Bronchiectasis,


Histoplasmosis, Abses paru, Keganasan, Nocardiosis, dan pneumonia

(Herchline, 2011).

2.7 Penatalaksanaan

Pada pasien yang baru pertama kali menderita Tuberkulosis


Rekomendasi pertama adalah pemberian 2HRZE/4HR kecuali pada

penderita TB sistem saraf pusat, TB tulang yang membutuhkan terapi lebih

lama. Rekomendasi kedua adalah pemberian 2HRZE/6HE. Pemberian tiga

kali seminggu Isoniazid dan rifampicin (2HRZE/4(HR)3) pada fase lanjutan

merupakan pilihan lain yang dapat dilakukan namun perlu dilakukan

pemantauan ketat menelan obat. Pemberian regimen tiga kali seminggu baik

pada fase intensif maupun fase lanjutan (2(HRZE)3/4(HR)3) merupakan

alternatif terakhir yang dapat diberikan asalkan pasien tidak tinggal dalam

lingkungan yang rentan dengan infeksi HIV. Secara umum pemberian

regimen pengobatan setiap hari lebih diutamakan karena angka keberhasilan

pengobatan lebih tinggi dibanding dengan metode pemberian 3 kali seminggu

WHO tidak lagi menyarankan pemberian ethambutol pada fase intensif

pasien dengan TB non-kavitas, BTA Negatif atau TB ekstraparu pada pasien.

dengan HIV negatif. Namun demikian, walaupun masih tergolong lemah

bukti, pada pasien yang tinggal di negara dengan resistensi isoniazid yang

tinggi, pemberian Ethambutol pada fase lanjutan dapat dipertimbangkan

walaupun dengan resiko gangguan visual yang tinggi.

Pada pasien TB yang positif mengidap HIV dan pasien yang tinggal

dalam lingkungan beresiko tinggi terinfeksi HIV, regimen yang diberikan

adalah regimen harian baik pada fase intensif dan lanjutan. Pada keadaan
tertentu dimana pasien tidak dapat menerima terapi harian, pemberian obat

tiga kali seminggu tetap dapat dipertimbangkan.

Tabel 1. Dosis Antituberculosis pada dewasa.


(dikutip dari kepustakaan nomor 18)
MONITORING TERAPI

Pada pasien TB paru baik pasien baru maupun pasien relaps yang

ditangani dengan regimen lini pertama, pemeriksaan sputum dilakukan setelah

fase intensif selama 2 bulan. Beberapa bukti menunjukkan bahwa hasil apusan

tahan asam bukan merupakan indikator utama untuk menentukan kegagalan

terapi.

Bila pasien menunjukkan hasil positif pada smear bulan kedua, makan

pemeriksaan smear tahan asam dilanjutkan pada bulan ketiga. Bila hasil pada

bulan ketiga masih menunjukkan hasil positif maka harus dilakukan kultur sputum

dan tes sensitivitas antibiotik. Pemeriksaan tetap dilanjutkan hingga bulan ke 5

dan ke 6. Bila masih positif maka pengobatan dianggap gagal.


Tabel 2. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB baru dengan regimen lini pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Pada pasien yang diobati dengan regimen rifampicin, bila hasil smear

ditemukan positif pada fase intensif yang sudah selesai, tidak direkomendasikan

untuk memperpanjang fase intensif.

Pada pasien yang sudah pernah mendapat pengobatan sebelumnya, pasien

perlu menjalani tes kultur sputum dan sensitivitas antibiotik rifampicin dan

isoniazid sebelum memulai pengobatan. Di negara dengan tes sensitivitas

antiobitik yang rutin dilakukan, regimen pengobatan mengacu pada hasil tes

sedangkan pada negara yang jarang menjalankan tes sensitivitas antibiotik,

pengobatan didasarkan pada empirisme atau regimen MDR-TB. 18

Regimen yang dapat diberikan pada pasien dengan relaps dengan pengobatan lini

pertama adalah 2HRZES/1HRZE/5HRE dengan catatan bahwa negara tersebut

tergolong negara dengan insidensi MDR yang rendah.


Tabel 3. Pedoman Monitoring Sputum pada pasien TB retreatmen dengan regimen lini pertama
(dikutip dari kepustakaan nomor 18)

Saat ini obat kombinasi tetap atau Fixed Drug Combination (FDC) sering

digunakan walaupun dalam kenyataanya WHO belum mengkaji lebih lanjut

mengenai FDC. Akan tetapi WHO tetap merekomendasikan penggunaan FDC

untuk mencegah insidensi obat yang tidak terminum yang berujung pada resistensi

pengobatan (WHO, 2011).

PENATALAKSANAAN TB DENGAN INFEKSI HIV

Banyak pendapat mengenai bagaimana pemberian anti tuberculosis pada

penderita HIV, berbagai pendapat berkembang mengenai apakah pemberian

antiretroviral sebaiknya diberikan bersamaan atau beberapa minggu berikutnya.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Daine et al terhadap 809 pasien

membandingkan antara kelompok penderita TB-HIV positif dengan CD4+ <250

per milimeter cubic yang diberi ART 2 minggu setelah terapi TB dimulai dengan

kelompok yang diberi anti TB 8-12 minggu kemudian. Hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan keparahan penyakit karena AIDS

terhadap kedua kelompok namun pada kelompok dengan CD4+<50 pemberian


ART lebih dini memperlambat munculnya keparahan penyakit karena AIDS

(Havlir, 2011).

Penelitian oleh Salim et al terhadap 642 pasien di Afrika Selatan

menunjukkan bahwa pemberian ART 4 minggu pasca dimulainya terapi

tuberculosis pada pasien. dengan CD4+ T-cell <50 per cubic millimeter

memperlambat keparahan penyakit karena AIDS (Abdool, 2011). Sedangkan studi

yang dilakukan Francois et al terhadap 661 pasien di Kamboja menunjukkan

bahwa pemberian ART 2 minggu sejak dimulainya terapi tuberculosis

meningkatkan angka survivalitas pada pasien dengan CD4+ T-cell 200 per cubic

millimeter atau lebih rendah (Blanc, 2011). WHO tetap menganjurkan pemberian

antiretroviral 8 minggu setelah terapi TB dimulai terlepas dari jumlah CD4+

penderita dan berbagai penelitian terbaru lainnya. ART yang dianjurkan adalah

lini pertama yang mengandung dua jenis nucleoside reverse transcriptase

inhibitors (NRTIs) ditambah satu jenis nonnucleoside reverse transcriptase

inhibitor (NNRTI). Atau agen ART terbaru lainnya seperti protease inhibitors

sebagai pengobatan lini kedua. NRTI pilihan antara lain zidovudine (AZT) atau

tenofovir disoproxil fumarate (TDF), kombinasi dengan lamivudine (3TC) atau

emtricitabine (FTC). Untuk NNRTI, WHO merekomendasikan efavirenz (EFV)

atau nevirapine (NVP) (23). Pada pasien TB, regimen ART yang

direkomendasikan harus mengandung efavirenz (EFV) karena interaksinya

dengan obat TB tergolong rendah namun tidak dianjurkan pada

kehamilan.Regimen AZT +3TC + NVP atau TDF +3TC atau FTC + NVP atau

triple NRTI regimen (AZT+3TC+ABC atau AZT+3TC+TDF) direkomendasi bila

efavirenz tidak memungkinkan untuk diberikan.


EFEK SAMPING PENGOBATAN

Obat Anti Tuberculosis sering menimbulkan gangguan hepar ditandai

dengan peningkatan enzim hati. Faktor resiko yang mungkin menimbulkan

hepatotoksisitas pada pasien yang menjalani pengobatan TB antara lain usia

muda, jenis kelamin wanita, infeksi TB dengan apusan BTA positif, status gizi,

level albumin seperti yang dipaparkan dalam penelitian yang dilakukan oleh

Rajani et al pada 50 penderita TB di Kathmandu tahun 2006 (Shakya, 2006).

Neuritis optik merupakan efek samping yang dapat muncul pada

penggunaan ethambutol terutama neuritis retrobulbar. Pada studi dengan hewan

menunjukkan bahwa ethambutol menimbulkan toksisitas pada ganglion saraf

retina pada tikus. Hal ini didasari pada teori jalur eksitotoksik dimana terjadi

peningkatan glutama endogen yang dapat menyebabkan kerusakan sel.

Ethambutol juga dapat menyebabkan penurunan kalsium sitosilik, peningkatan

kalsium mitokondira dan meningkatkan membran potensial mitokondria yang

dapat mengganggu fungsi mitokondria. Selain itu ethambutol juga dapat

menyebabkan penipisan serat saraf di retina (Heng JE, 1999).

Pada Retina Pigmented Epithelial, keterlibatan isozim PKCδ yang

diinduksi oleh ethambutol menyebabkan perlambatan proliferasi sel, dan

menggangu siklus sel. Hal ini juga berhubungan dengan peningkatan apoptosis

pada sel epitel berpigmen pada retina. Toksisitas bergantung pada dosis dan

durasi yang diberikan (RYC Chan, 2006).

Isoniazid dimetabolisme di hati melalui asetilasi oleh N-acetyl transferase

yang mennghasilkan acetylisoniazid.Acetylisoniazid dihidrolisa menjadi asam

isonicotinic dan acetylhydrazine yang keduanya akan diekskresi di urin.


Acetylhydrazine akan dimetabolisme menjadi bahan reaktif yakni hydrazine yang

menyebabkan hepatotoksisitas. INH dapat mengganggu metabolisme pyridoxin

dan meningkatkan pengeluaran pyridoxin ke urin. Metabolit hydrazine

menghambat secara kompetitif enzim pyridoxine kinase yang mengkonversi

pyridoxine menjadi pyridoxal phospate yang berujung pada terhambatnya

produksi neurotransmitter inhibitor yakni GABA. Hal ini menjelaskan mengapa

isoniazid dapat menimbulkan kejang. Selaini itu, mekanisme ini menyebabkan

terjadinya neuropati defisiensi.

Pasien dinyatakan sembuh apabila tidak ditemukan BTA pada pewarnaan

tahan asam dibandingkan dengan sebelum pengobatan. Terapi dikatakan gagal

apabila sudah menjalani terapi intensif dan lanjutan namun hasil BTA tetap positif

pada bulan ke lima atau bulan berikutnya. Pasien default adalah pasien dengan

terapi yang terinterupsi selama minimal dua bulan berturut-turut (WHO, 2011).

PENANGANAN MDR-TB

Prinsip penanganan MDR TB yakni.

1. Obat yang digunakan setidaknya terdiri dari 4 jenis dengan pertimbangan

bahwa obat yang digunakan belum berpotensi untuk resisten atau obat tersebut

tidak pernah digunakan didaerha tersebut.Pada rencana pengobatan berdasarkan

regimen individual, obat yang akan digunakan sebaiknya berdasarkan pada hasil

tes sensitivitas obat.

2. Jangan menggunakan obat yang memiliki potensi untuk menimbulkan resistensi

silang. Resistesi silang adalah mutasi pada gen M.tuberculosis yang dapat

memberikan resistensi pada obat lain dengan golongan yang sama atau golongan

yang berbeda
3. Eliminasi obat yang tergolong tidak aman untuk diberikan pada pasien

misalnya obat yang menimbulkan alergi atau efek samping yang tidak dapat

ditolerir pasien.

4. Pemilihan lini pengobatan dilakukan berdasarkan tingkat potensi obat. Bila obat

lini pertama masih dapat digunakan untuk mengobati MDR maka regimen

tersebut dapat digunakan. Bila tidak memungkinkan maka pilihlah tingkat

regimen yang lebih tinggi. Bila obat di regimen lini pertama tidak cukup 4 jenis,

maka obat lainnya bisa diambil dari regimen yang lebih tinggi tingkatannya.

Hindari penggunaan streptomisin bila terjadi resistensi, selain itu efek

ototoksiknya juga tinggi. Berikut adalah kelompok golongan obat-obat anti

tuberculosis

Kelompok 1

Obat kelompok 1 merupakan obat yang sangat poten dan efek sampingnya dapat

ditolerir yakni rifampicin, Ethambutol dan Pyrazinamide. Bila hasil laboratorium

dan pengalaman klinis mendukung efektifitas obat ini maka obat-obatan golongan

ini masih dapat dipakai untuk pengobatan walaupun insidensi resistensi silang

akan mungkin terjadi misalnya resistensi terhadap rifabutin akibat penggunaan

rifampicin.

Kelompok 2

Bila hasil tes sensitivitas menunjukkan hasil yang baik pada obat-obatan golongan

ini maka obat ini perlu digunakan. Obat golongan ini adalah aminoglikosida dan

yang sering direkomendasikan adalah kanamycin dan amikacin karena efek

samping ototoksitas yang lebih rendah dibanding streptomycin. Bila terjadi

resistensi amikacin dan kanamycin, capreomycin dapat digunakan.


Kelompok 3.

Floroquinolon dapat diberikan pada pasien dengan infeksi tuberculosis yang

sensitif dengan golongan ini seperti levofloxacin dan moxifloxacin, Ciprofloxacin

tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan TB resisten.

Kelompok 4

Ethionamide atau protionamide sering ditambahkan dalam regimen pengobatan.

P-aminosalicylic acid (PAS) juga dapat diberikan terlebih dulu. Kombinasi PAS

dan Ethionamid terkadang sering memberikan efek gastrointestinal dan

hypothyroidisme Cycloserine juga dapat ditambahkan kedalam regimen

pengobatan. Tiga agen ini sering dipakai secara bersamaan. Terizidone dapat pula

digunakan untuk menggantikan cycloserin.

Kelompok 5.

Kelompok 5 tidak direkomendasikan oleh WHO dalam penggunaan rutin untuk

mengatasi TB resisten karena efektifitasnya yang masih tidak jelas. Regimen ini

membutuhkan pendapat para ahli terutama dalam penanganan XDR TB


Tabel 3. Kelompok obat-obat anti tuberculosis

Pada penanganan MDR-TB, fase intensif didefinisikan sebagai fase terapi

dengan obat injeksi selama minimum 6 bulan hingga sedikitnya 4 bulan sejak

apusan BTA menjadi negatif. Pemberian obat juga perlu mempertimbangkan hasil

apusan, X ray dan gejala klinik dan dapat diperpanjang bila perlu. Hasil kultur

menentukan waktu terapi MDR. Terapi harus dilanjutkan 18 bulan setelah

konversi kultur. Konversi kultur didefinisikan sebagai hasil kultur negatif selama

2 kali berturut-turut dengan rentang pemeriksaan 30 hari. Bila terjadi kasus

kronik, pengobatan dapat dilanjutkan hingga 24 bulan.

2.8 Komplikasi

Penyakit tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi dua yaitu komplikasi dini

dan komplikasi lanjut.

 Komplikasi dini : pluritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus,

poncet’s arthropathy.

 Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan napas  SOPT (Sindrom

Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat 

fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom

gagal napas dewasa( ARDS), sering terjadi pada TB milier dan

kavitas TB (IPD, 2014).

2.9 Prognosis

Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan

pengobatan yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-


14% yang biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di

negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada

pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung

pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi

apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat

pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga

menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis (Herchline, 2018).

3.1 Tuberkulosis Pada Penyakit Diabetes Mellitus

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan

gangguan fungsi imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi,

termasuk TB paru. Penyebab infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena

defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan tubuh, termasuk gangguan

fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia. Paru pada penderita DM akan

mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan lamina

basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi

mikroangiopati sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan

neuropati saraf autonom berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan

lain yang juga terjadi yaitu penurunan elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas

difusi karbonmonoksida, dan peningkatan endogen produksi karbondioksida

(Wulandari dan Sugiri, 2013). DM didiagnosis untuk pertama kalinya setelah

mendeteksi TB Selanjutnya, gangguan toleransi glukosa umum terjadi. Beberapa

menyarankan bahwa intoleransi glukosa reversibel tidak spesifik untuk

tuberkulosis dan dapat terjadi pada pengaturan infeksi apa pun seperti pneumonia,

tetapi banyak penelitian telah mengkonfirmasi korelasi khusus antara DM dan TB


aktif (Baghaei et. al, 2013). Infeksi TB mudah berkembang menjadi penyakit pada

pasien dengan daya tahan tubuh yang terganggu. Adanya infeksi TB diduga

menyebabkan DM pada penderita yang sebelumnya tidak memiliki riwayat DM

dengan menginduksi terjadinya hiperglikemia (Arlinda dkk, 2017). Hiperglikemia

adalah istilah medis untuk keadaan di mana kadar gula dalam darah lebih tinggi

dari nilai normal. Diabetes melitus (DM) meningkatkan kerentanan terhadap

infeksi tuberculosis paru (TB). Hal tersebut menyebabkan pengelolaan penyakit

TB akan semakin kompleks seiring dengan peningkatan kasus DM. Diabetes

Mellitus (DM) adalah penyakit yang sudah diketahui berhubungan erat dengan TB

(Kemenkes RI, 2017). WHO tahun 2011 telah menekankan pentingnya skrining

dua arah (bidirectional screening) untuk meningkatkan penemuan kasus DM pada

pasien TB atau sebaliknya. Perawatan dan pengendalian TB dan DM hanya

mungkin berjalan baik bila terdapat kolaborasi yang harmoni antara penentu

kebijakan, pemberi layanan kesehatan, akademisi serta didukung partisipasi aktif

dari masyarakat. Keberhasilan kolaborasi tata laksana dan pengendalian TB-DM

dapat menjadi salah satu contoh kolaborasi yang harmonis antara penanganan

penyakit menular dan tidak menular di Indonesia. Oleh karena itu partisipasi

petugas kesehatan sebagai akademisi dan pemberi layanan kesehatan sangat

diperlukan untuk keberhasilan kolaborasi (Ujainah, 2017).

3.2 Konsensus Pengelolaan Tuberkulosis-Diabetes Mellitus

Konsensus Pengelolaan TB-DM bertujuan untuk mendukung pengendalian

kasus TB-DM melalui pengelolaan yang komprehensif di fasilitas kesehatan yang

akan menjadi acuan bagi tenaga kesehatan untuk melakukan pelayanan


pengelolaan TBDM. Konsesus pengelolaan TB-DM menurut Kemenkes RI

(2015) sebagai berikut:

1) Penapisan

a) PENAPISAN TB untuk penyandung DM dan penapisan DM untuk pasien TB

difasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatyan rujukan

tingkat lanjut (FKRTL) dilakukan segera setelah ditegakkan diagonosis salah

satu penyakit tersebut.

b) Penapisan TB pada penyandang DM di FKTP adalah dengan melaksanakan

kedua langkah berikut:

(1) Wawancara untuk mencari salah satu gejala / faktor resiko TB dibawah ini:

(a) Batuk, terutama batuk berdahak 2 minggu

(b) Deman hilang timbul, tidak tinggi (subfebris)

(c) Keringat malam tanpa disertai aktivitas

(d) Penurunan berat badan

(e) TB ekstra paru antara lain: pembesaran kelenjar getah bening (KGB)

(f) Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di suatu sisi dada

(2) Pemeriksaan foto toraks untuk mencari abnormalitas paru apapun. Jika

fasilitas tidak tersedia di FKTP, maka pasien dirujuk ke FKRTL atau lab

radiologi jejaring. Jika salah satu langkah di atas memberikan hasil positif,

maka tatalaksana selanjutnya mengacu pada buku pedoman penanggulan TB

nasional dilakukan penegakandiagnosis sesuai Panduan Praktik Klinis untuk


TB di FKTP. Jika hasil penapisan negatif, penapisan TB pada penyandang

DM dilakukan setiap kunjungan berikutnya dengan menelusuri gejala/faktor

resiko diatas. Pemeriksaan foto thoraks ulang ditentukan oleh dokter atas

indikasi medis (lihat algoritme penapisan TB dengan DM). c) Penapisan TB

pada penyandang DM di FKRTL adalah dengan melaksanakan ke dua

langkah berikut:

(1) Wawancara mencari salah satu gejala/faktor resiko TB di bawah ini:

(a) Batuk, terutama batuk berdahak 2 minggu

(b) Deman hilang timbul, tidak tinggi (subfebris)

(c) Keringat malam tanpa disertai aktivitas

(d) Penurunan berat badan

(e) TB ekstra paru antara lain: pembesaran kelenjar getah bening (KGB)

(f) Sesak, nyeri saat menarik napas, atau rasa berat di suatu sisi dada

(2) Pemerikasaan foto toraks mencari abnormalitas paru apapun. Indikasi

pemeriksaan foto toraks ulang ditentukan oleh klinis. Jika salah satu

langkah di atas memberikan hasil penapisan positif, maka dilakukan

penegakan diagnosis sesuai SPO/Panduan Praktik Klinis TB di FKRTL.

Jika hasil penapisan negatif, penapisan TB pada penyandang Dm

dilakukan setiap kunjungan berikutnya dengan menelusuri gejala/faktor

resiko diatas. Pemeriksaan foto toraska ulang ditentukan oleh dokter atas

indikasi medis (lihat algoritme penapisan TB dengan DM).


d) Penapisan DM pada pasien TB di FKTP adalah dengan pemeriksaan

glukosa plasma puasa (puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori

minimal 8 jam) atau pemerikasaan glukosa plasma sewaktu atau

pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral

(TTGO) dengan beban 75gram pada semua pasien TB. Pemeriksaan

glukosa dengan menggunakan metode ensimatik dengan spesimen darah

vena (pada darah yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan dengan

metode ensimatik, terpaksa dipergunakan pemeriksaan darah kapiler

dengan metode carik kering dengan alat glucometer yang sellalu

dikalibrasi).

e) Penapisan DM pada pasien TB di FKTP adalah dengan pemeriksaan

glukosa plasma puasa (puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori

minimal 8 jam) atau pemerikasaan glukosa plasma sewaktu atau

pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa oral

(TTGO) dengan beban 75gram pada semua pasien TB. Pemeriksaan

glukosa dengan menggunakan metode enzimatik dengan spesimen darah

vena.

f) Penapisan TB pada penyandang DM dan penapisan DM pada pasien TB di

FKTP dilakukan leh dokter dan/atau perawat terlatih, sedangkan penapisan

di FKRTL dilakukan oleh dokter.

2) Diagnosis

a) Untuk semua kasus DM terduga dan penapisan DM pada pasien TB di

FKTP, diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan dahak mikroskopis.


Rekomendasi/ penentuan diagnosis dilakukan oleh dokter. Untuk semua

kasus DM terduga TB hasil penapisan di FKTP, dengan gejala dan

tanda TB ekstra paru maka pasien dirujuk ke FKRTL untuk upaya

diagnosis selanjutnya.

3). Pengobatan Tuberkulosis dengan Diabetes Mellitus

a) Pasien yang telah didiagnosis TB dan DM di FKTP dan FKRTL,

mendapatkan pengobatan TB sesuai PNPK Tatalaksana TB dan

pengobatan DM sesuai PNPK Tatalaksana DM, Konsensus pengelolaan

dan pencegahan Diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia tahun 2015.

b) Pada pasien TB dan DM dengan kadar glukosa darah terkontrol, maka

pengobatan TB dapat diperpanjang sampai 9 bulan dengan tetep

mendasarkan pada mempertimbangkan kondisi klinis pasien*)

c) Pengobatan Tb mengikuti strategi DOTS. PMO TB bertugas

memastikan pasien menelan OAT dan dalam upaya pengendalian

glukosa bagi penyandang DM, pilihan utamanya adalah menggunakan

insulin. Hal ini mengingatbahwa obat OAT pada umumnya

hepatotoksik yang akan mempengaruhi metabolism Obat Hipoglikemik

Oral (OHO). OAT juga menghambat penyerapan OHO di saluran

pencernaan sehingga diperlakukan dosis OHO yang lebih tinggi.

Disamping hal tersebut adanya polifarmasi (kombinasi obat OAT

ditambahkan kombinasi OHO) akan mempengaruhi kepatuhan pasien

dalam mengikuti program pengobatan.


d) Untuk kendali gula darah, pasien TB dengan DM di FKTP, sebaiknya

dirujuk ke FKRTL untuk mendapatkan terapi OAT dan Insilin. Dalam

keadaan yang terpaksa pengendalian glukosa FKTP dilakukan dengan

OHO. Bagi pasien yang telah mendapatkan pengobatal satu macam

OHO atau kombinasi 2 OHO yang tersedia di FKTP dan pada

pemantuan di 3 bulan pertama kadar gula darah tidak terkontrol maka

pasien dirujuk ke FKRTL **).

e) Untuk kendali glukosa darah pada pasien TB dengan DM di FKRTL

merujuk pada PNPK DM, Konsensus pengolahan dan pencegahan

Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia tahun 2015 dan PNPK TB yang

sudah ada.

Keterangan :

*) OAT program TB nasional disediakan untuk lama pengobatan

standar 6 bulan. Jika diperlukan, OAT Untuk pengobatan setelah 6

bulan dapat diupayakan dari sumber lain sesuai aturan. Dan perhatikan

fungsi ginjal terutama pasien dengan nefropati diabetic, penyesuaian

dosis atau tidak menggunakan etambutol dan obat suntik (streptomisjn

dan kanamisin) dalam regimen mungkin merupakan opsi pengobatan

**) Yang dimaksud kadar gula darah tidak terkontrol adalah kadar gula

diatas nilai rujukan tertinggi (lihat Lampiran: Tabel 1) pada Orang yang

sudah diberikan pengobatan OHO dan dilakukan edukasi modifikasi

gaya hidup sehat.


BAB III

TUJUAN DAN SASARAN KEGIATAN

3.1. Tujuan Kegiatan

a. Untuk memperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap penyakit tuberkulosis pada pasien

b. Meningkatkan pengetahuan mengenai gejala tuberkulosis,

faktor resiko, komplikasi tuberkulosis, cara penularan serta cara

pencegahan penularan penyakit tuberkulosis.

c. Meningkatkan pengetahuan akan pentingnya penatalaksanaan

tuberkulosis.

d. Meningkatkan pengetahuan tentang pemakaian masker yang

baik dan benar.

3.2. Sasaran Kegiatan

Sasaran kegiatan promosi kesehatan ini adalah salah satu pasien

Tuberkulosis dari Desa Waru, Kabupaten Rembang.


BAB IV

BENTUK KEGIATAN

1. Peninjauan keadaan rumah

Penilaian faktor resiko dilakukan dengan melakukan peninjauan keadaan

rumah dan lingkungan seperti luas rumah, kepadatan hunian, pencahayaan

rumah, dan ventilasi.

2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengkonfirmasi

diagnosis tuberkulosis. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik

terhadap pasien, kami menyimpulkan faktor resiko atau masalah apa saja

yang dialami pasien.

3. Penyuluhan mengenai tuberkulosis

Penyuluhan langsung kepada pasien dengan menggunakan media leaflet

mengenai penyakit tuberkulosis. Materi berisi tentang definisi, penyebab,

gejala, cara penularan dan cara pencegahan.

4. Penyuluhan mengenai cara menggunakan masker yang baik dan

benar

Penyuluhan langsung kepada pasien menggunakan media poster

5. Evaluasi mengenai pengetahuan dan sikap

Kunjungan ulang untuk mengkonfirmasi pemahaman pasien mengenai

materi yang disampaikan dalam penyuluhan yang sudah dilakukan dan

post test.
BAB V

PELAKSANAAN KEGIATAN

1. Survei keadaan rumah dan Anamnesis & Pemeriksaan Fisik

Tanggal : 20 Januari 2020

Waktu : 13.00 -14.00 WIB

Pelaksana : dr. Riyadila Fajariza

2. Pre test dan Penyuluhan mengenai Tuberkulosis

Tanggal : 24 Januari 2020

Waktu : 08.30-09.30 WIB

Pelaksana : dr. Riyadila Fajariza

Peraga : Kuesioner, Leaflet, poster

3. Penyuluhan mengenai cara memakai masker yang baik dan benar

Tanggal : 24 Januari 2020

Waktu : 09.30-09.45 WIB

Pelaksana : dr. Riyadila Fajariza

Peraga : Poster, masker medis

4. Evaluasi kegiatan

Tanggal : 27 Januari 2020

Waktu : 13.00-14.00

Pelaksana : dr. Riyadila Fajariza

Peraga : Kuesioner
BAB VI

STATUS PASIEN

6.1. Identitas Penderita

Nama : Ny. M

Umur : 49 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Waru, Rembang

6.2. Anamnesis

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke puskesmas Rembang 2 dengan keluhan batuk

berdahak sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya batuk dirasakan tidak berdahak,

setelah 2 minggu batuk mulai berdahak kental berwarna putih kekuningan.

Batuk dirasakan hilang timbul. Selain batuk pasien merasakan demam setiap

malam namun tidak begitu tinggi, dan sering berkingat dingin saat malan hari.

Pasien juga merasakan sesak terutama saat batuk. Pasien merasa makan

banyak namun berat badannya menurun. Pasien hanya membeli obat batuk di

apotik dan berobat ke dokter terdekat rumah namun belum kunjung sembuh.

Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat hipertensi : disangkal

 Riwayat diabetes melitus : diakui , sudah mendapatkan insulin long acting dari

RSUD Soetrasno Rembang

 Riwayat hiperkolestrolemia : tidak diketahui

 Riwayat penyakit jantung : disangkal


 Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

 Riwayat hipertensi : disangkal

 Riwayat diabetes melitus : diakui, Ibu meninggal karena penyakit DM

 Riwayat hiperkolestrolemia : tidak diketahui

 Riwayat penyakit jantung : disangkal


Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien tinggal bersama istri dan kedua anaknya. Pasien bekerja sebagai

nelayan. Pasien mempunyai BPJS.

6.3. Pemeriksaan Fisik Pasien

Pasien berjenis kelamin laki-laki, berusia 49 tahun, berat badan 55 kg, tinggi

badan 167 cm.

Keadaan umum : komposmentis, tampak sakit sedang

Tanda Vital

Tekanan darah : 90/70 mmHg

Nadi : 88x/menit

RR : 19x/menit

Temperature : 36,60 C

Antropometri :

BB : 55 kg

TB : 167 cm

BMI : BB/TB2 : 55 / (1,67 x 1,67) = 19,78

Status gizi : Normal

Status Internus
o Kepala : Mesocephale
o Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik(-/-)
o Hidung : Discharge (-), septum deviasi (-), nafas cuping
hidung (-)
o Telinga : Discharge (-)
o Mulut : Bibir sianosis (-), bibir kering (-), stomatitis
angularis (-), atrofi papil lidah (-)
o Tenggorokan : Faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)
o Leher : Simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
o Kulit : Turgor baik, ptekiae (-)
o Jantung
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
 Palpasi : ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : tidak dilakukan
 Auskultasi : suara jantung I dan II murni, reguler, suara
tambahan (-)
o Paru
 Inspeksi : hemithorax dextra dan sinistra simetris
 Palpasi : stemfremitus dextra dan sinistra sama
 Perkusi : sonor seluruh lapang paru
 Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (-)

o Extremitas
Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
CRT <2/<2 <2/<2
Reflek fisiologis +/+ +/+

Pemeriksaan Penunjang
Foto Thorax

Kesan :

 Cor Tampak membesar

 Gambaran TB paru

 Efusi Pleura Kanan

6.5. Kegiatan Promosi Kesehatan


1. Penyuluhan mengenai tuberkulosis

Penyuluhan langsung kepada pasien dengan menggunakan media

leaflet mengenai penyakit tuberkulosis. Materi berisi tentang definisi,

penyebab, gejala, cara penularan dan cara pencegahan.

2. Penyuluhan mengenai cara menggunakan masker yang baik dan benar

Penyuluhan langsung kepada pasien menggunakan media poster dan

masker medis.

3. Evaluasi kegiatan

Pasien diberikan kuisioner sebagai indikator keberhasilan penyuluhan

yang disampaikan.
BAB VII

DAFTAR MASALAH, ANALISA DAN PEMBAHASAN

7.1. Daftar Masalah

1. Masalah Medis
Tuberkulosis dengan penyakit dasar Diabetes Mellitus
2. Masalah Nonmedis
a. Kurangnya pengetahuan pasien tentang penyakit tuberkulosis

b. Kurangnya kesadaran pasien untuk menggunakan masker di luar

maupun di dalam rumah, dan kurangnya pengetahuan pasien dalam

memakai masker yang tepat.

7.2. Analisa Permasalahan

Berdasarkan kasus tersebut, seorang laki-laki bernama Tn.M usia

49 Tahun setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan

memadukan hasil pemeriksaan penunjang seperti uji BTA dan foto

thoraks, pasien didiagnosis terkena penyakit tuberkulosis.

Berdasarkan identifikasi terdapat beberapa faktor resiko

tuberkulosis yaitu adanya penyakit keturunan seperti diabetes mellitus

yang mendasari kerentanan pasien terhadap penyakit tuberkulosis, faktor

lingkungan berupa kurangnya ventilasi dalam rumah, faktor pencahayaan

rumah yang kurang, kurangnya pengetahuan pasien tentang penyakit

tuberkulosis.

7.3. Pembahasan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung dengan

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan dahak dan pemeriksaan foto

thoraks, pasien di diagnosis tuberkulosis dengan efusi pleura minimal.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis

pada kasus ini menggunakan teori HL BLUM, antara lain :

1. Perilaku

Kurangnya kesadaran pasien tentang pentingnya memakai masker

baik di rumah maupun di luar rumah. Selain itu pasien juga belum paham

betul tentang penyakit tuberkulosis dan cara penularannya.

2. Lingkungan

a. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai fungsi antara lain menjaga agar aliran

udara di dalam rumah tetap segar. Ventilasi adalah proses penyediaan

udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis

yang harus tercukupi. Ventilasi bermanfaat untuk sirkulasi udara

dalam ruangan serta mengurangi kelembaban, suhu ruangan dalam

rumah yang idealnya adalah 10-18o C. Hal ini berarti keseimbangan

O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah

sehingga kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi

meningkat. Di samping itu, tidak cukupnya ventilasi akan

menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadi

proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini

akan menjadi media yang baik bagi bakteri dan virus penyebab
penyakit (Mukono, 2006). Menurut Soedarto (1995), ventilasi yang

tidak baik akan menyebabkan transmisi melalui udara dengan droplet,

kontak langsung, melalui sekret hidung atau tenggorokan dari orang-

orang yang terinfeksi. Secara umum, penilaian ventilasi rumah dapat

dilakukan dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas

lantai rumah dengan menggunakan role meter. Menurut Keputusan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/1999

tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan, luas ventilasi alamiah

yang permanen minimal 10% dari luas lantai. Menurut Achmadi

(2008), ventilasi mempengaruhi difusi udara, juga dengan kata lain

mengencerkan konsentrasi debu ataupun kotoran agar terbawa keluar

dan mati terkena sinar ultraviolet. Ventilasi juga merupakan tempat

untuk masuknya cahaya ultraviolet ke dalam rumah. Berdasarkan hasil

kunjungan ke rumah pasien yang dilakukan pada tanggal 24 Januari

2020, rumah pasien memiliki ventilasi yang kurang. Ventilasi hanya

terdapat di ruang tamu yang berupa 1 buah jendela berukuran ± 80x80

cm dan 4 lubang persegi berukuran ±15 cmx15 cm dan sebuah pintu

di samping kanan rumah dan sebuah jendela berukuran 70 cmx 80 cm

yang menghadap ke tembok tetangga yang tidak memungkinkan sinar

matahari masuk sehingga risiko pasien terkena penyakit tuberkulosis

pun meningkat.

b. Pencahayaan
Pencahayaan merupakaan salah satu faktor untuk mendapatkan keadaan

lingkungan yang aman dan nyaman serta berkaitan erat dengan produktivitas

manusia. Pencahayaan yang baik memungkinkan orang dapat melihat objek-

objek yang dikerjakannya dengan jelas dan cepat (Mukono, 2006).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,

pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung, dapat

menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux dan

tidak menyilaukan mata. Rumah pasien memiliki pencahayaan yang kurang,

terutama kamar pasien. Kamar pasien hanya terdapat jendela berukuran kecil

yang jarang dibuka. Pencahayaan di ruang keluarga juga kurang karena

jendela yang ada di ruang keluarga bertepatan dengan rumah tetangga

sehingga sinar matahari pun tidak dapat masuk.

3. Pelayanan kesehatan

Pasien awalnya hanya mengandalkan beli obat sendiri di apotik.

Untuk mengatasi batuknya pasien mengkonsumsi acetylsistein dan untuk

mengobati penyakit diabetes mellitus pasien membeli glibenclamide 5 mg

yang diminum sehari sekali. Hal itu dikarenakan pasien enggan periksa di

puskesmas karena selain jauh dan enggan mengantri. Pasien terdiagnosis

tuberkulosis dari program puskesmas penjaringan TB, kemudian baru

pasien mau datang berobat ke puskesmas.

4. Genetik
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang di tandai

oleh kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin). Salah satu

faktor penyebab DM adalah adanya riwayat keturunan DM dari orangtua.

Gen penyebab DM akan dibawa oleh anak jika orang tuanya menderita DM.

Penelitian menemukan bahwa jika didapati salah satu orangtua menderita

DM maka resiko untuk menderita DM adalah sebesar 15%, jika kedua

orangtua memiliki DM maka resiko untuk menderita DM meningkat

menjadi 75% (Diabetes UK, 2016) . Risiko untuk mendapatkan DM dari ibu

lebih besar 10-30% dari pada ayah dengan DM. Hal ini dikarenakan

penurunan gen sewaktu dalam kandungan lebih besar ibu dari pada ayah.

Pada jenis kelamin perempuan, komposisi estradiol akan mengaktivasi

ekspresi gen reseptor esterogen β (ERβ). Gen ini akan bertanggung jawab

dalam sensitivitas insulin dan peningkatan ambilan glukosa. Seiring dengan

pertambahan usia, kadar estrogen dalam tubuh perempuan akan semakin

menurun. Penurunan estrogen akan menurunkan aktivasi ekspresi gen ER

sehingga sensitivitas insulin dan ambilan glukosa juga akan menurun

(Misnadiarly, 2006). Pada pasien, keluarga ada yang menderita penyakit

diabetes mellitus yaitu ibunya. Ibu sudah meninggal akibat penyakit diabetes

mellitus. Saat pasien berusia 47 tahun pasien juga terdiagnosis penyakit

diabetes mellitus. Penyakit diabetes mellitus ini membuat daya tahan tubuh

pasien rentan, sehingga pasien sangat mudah terkena infeksi tuberkulosis.


Pendekatan HL Blum

Lingkungan

 Ventilasi rumah kurang


memadahi
 Pencahayaan ruangan kurang
memenuhi syarat

Pelayanan Kesehatan Genetik


Akses menuju TUBERKULOSIS Riwayat penyakit
puskesmas yang keluarga diabetes
terbilang cukup jauh mellitus

Perilaku

 Kesadaran memakai masker kurang


 Kesadaran untuk membuang dahak di
tempat yang tepat kurang
 Pengetahuan tentang penyakit
tuberkulosis kurang

BAB VIII
MONITORING, EVALUASI, DAN KESIMPULAN

8.1. Monitoring

1. Pada tanggal 20 Januari 2020 dilaksanakan kegiatan kunjungan rumah

untuk mencari faktor resiko yang mempermudah penularan

tuberkulosis yaitu dilakukan dengan melakukan peninjauan keadaan

rumah dan lingkungan seperti luas rumah, kepadatan hunian,

pencahayaan rumah, dan ventilasi rumah.

2. Pada tanggal 24 Januari 2020 dilaksanakan kegiatan pre test sebelum

penyuluhan. Pretest berisi 10 soal pilihan ganda terkait penyakit

tuberkulosis. Penyuluhan yang diberikan adalah tentang penyakit

tuberkulosis meliputi definisi, penyebab, faktor resiko, gejala, cara

penularan, pemeriksaan tuberkulosis, lama pengobatan, cara

pencegahan dengan PHBS. Selain itu juga penyuluhan memakai

masker dan dipraktekkan secara langsung oleh pasien.

3. Pada tanggal 27 Januari 2020 dilaksanakan evaluasi untuk menilai

pemahaman dari pasien mengenai materi penyuluhan yang telah

disampaikan dan dilakukan post test. Dari hasil penilaian post test

pasien sudah paham tentang tuberkulosis. Pasien juga telah mulai

memperbaiki gaya hidup dan mulai semangat menjalani pengobatan

dibuktikan dengan data kader selaku PMO bahwa pasien sangat

antusias mengkonsumsi obat tuberkulosis dan tidak pernah terlewat

satu obat pun. Saat kunjungan ketiga, pasien juga sudah menggunakan

masker tanpa diminta, karena pasien sadar bahwa penyakitnya dapat

menularkan ke anggota keluarga yang lainnya.


8.2. Evaluasi
Secara keseluruhan, rangkaian kegiatan promosi kesehatan ini berjalan

dengan baik dan pasien sangat kooperatif.

• Evaluasi pengetahuan pasien tentang tuberkulosis

Dari hasil pengisian kuisioner mengenai tuberkulosis , pasien sudah cukup

mengerti tentang definisi, penyebab, faktor resiko, gejala, cara pencegahan

dan penetalaksanaan. Pasien diminta menjawab kuesioner mengenai

tuberkulosis, pasien mampu menjawab 9 soal dengan baik dari 10 soal.

• Evaluasi kesadaran pasien menggunakan masker

Dari hasil pengamatan, pasien sudah menerapkan anjuran untuk

menggunakan masker baik itu di dalam maupun di luar rumah. Hal itu

terbukti saat kunjungan terakhir, pasien sudah mengenakan masker.

8.3. Kesimpulan

Dari evaluasi yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa

kegiatan promosi kesehatan mengenai tuberkulosis memberikan pengaruh

yang baik terhadap pengetahuan dan sikap pasien atas penyakit

tuberkulosis yang dideritanya. Terdapat peningkatan kesadaran akan

pentingnya kepatuhan pengobatan tuberkulosis .

DAFTAR PUSTAKA
Abdool Karim, Salim S. Naidoo, Kogieleum. Grobler, Anneke. Padayatchi, Nesri.
Baxter, Cheryl. Gray, Andrew L. integration of antiretroviral therapy with
tuberculosis treatment. N Engl J Med 2011;365:1492-501.
Blanc, François-Xavier. Sok, Thim. Laureillard, Didier. Borand, Laurence.
Rekacewicz, Claire. Nerrienet, Eric et al. Earlier versus later start of
antiretroviral therapy in hiv-infected adults with tuberculosis. N Engl J
Med 2011;365:1471-81.
Chai SJ, Foroozan R. Decreased retinal nerve fibre layer thickness detected by
optical coherence tomography in patients with ethambutol-induced optic
neuropathy. Br J Ophthalmol. 2007 Jul;91(7):895-7. Epub 2007 Jan 10.
Coulter JB. Diagnosis ofpulmonary tuberculosis in young children.Ann Trop
Paediatr. 2008 Mar;28(1):3-12.
Dinnes J, Deeks J, Kunst H, Gibson A, Cummins E, Waugh N, Drobniewski F,
Lalvani A. A systematic review of rapid diagnostic tests for the detection
of tuberculosis infection. Health Technol Assess. 2007 Jan;11(3):1-196.
Dennis. Cecil medicine 23rd edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008.
Diabetes UK. Diabetes and Genetic. 2016. [cited 2016 Juli 30]. Available from:

http://www.diabetes.co.uk/diabetes-andgenetics.html.

Eastman et all. Getting started in clinical radiology from image to diagnosis.


Germany:Thieme. 2006
Fauci, Anthony S. Kasper, Dennis L. Longo, Dan L. Braunwald, Hauser, Eugene
Stephen L. Jameson, J. Larry. Loscalzo, Joseph. Chapter 158 Tuberculosis
in: Harrison principle of internal medicine 17th edition. USA: Mc Graw
Hill. 2008
Fitzpatrick, Lisa K. Braden, Christopher. Chapter 294 Tuberculosis in: Humes,
David. Dupont, Herbert L. Kelley textbook of medicine USA: Lippincott
Williams & Wilkins 2000.
Ganguly KC, Hiron MM, Mridha ZU, Biswas M, Hassan MK, Saha SC,
Rahman MM. Comparison of sputum induction with bronchoalveolar
lavage in the diagnosis of smear negative pulmonary tuberculosis.
Mymensingh Med J. 2008 Jul;17(2):115-23.
Havlir, Diane V. Kendall, Michelle A. Ive, Prudence. Kumwenda, Johnstone.
Swindells, Susan. Qasba, Sarojini S. Luetkemeyer, Anne F. Hogg, Evelyn
et al. Timing of antiretroviral therapy. N Engl J Med 2011;365:1482-91
Hazardous Substances Data Bank. Isoniazid [online] downloaded from
http://toxnet.nlm.nih.gov/cgi-bin/sis/search/r?dbs+hsdb:@term+@rn+54-
85-3
Heng JE, Vorwerk CK, Lessell E, Zurakowski D, Levin LA, Dreyer EB.
Ethambutol is toxic to retinal ganglion cells via an excitotoxic pathway.
Invest Ophthalmol Vis Sci. 1999 Jan;40(1):190-6..
Herchline, Thomas E. Tuberculosis. [online] updated December 9 2011. Cited at
december 18 2011.Downloaded from
www.emedicine.medscape.com/article/230802- overview
Iseman, Michael D. Chapter 345 Tuberculosis in: Goldman, Lee. Ausiello,
Baliga, Ragavendra. Hough, Rachel. Haq, Iftikhar. Crash course internal
medicine. United Kingdom: Elsevier Mosby. 2007.
Misnadiarly. Diabetes Melitus Gangren, Ulcer, Infeksi, Mengenali gejala,
Menanggulangi, dan Mencegah komplikasi. Jakarta: Pustaka Obor Populer;
2006

Mohan A, Sharma SK. Fibreoptic bronchoscopy in the diagnosis of sputum


smear-negative pulmonary tuberculosis: current status. Indian J Chest Dis
Allied Sci. 2008 Jan-Mar;50(1):67-78.
Mukono, 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University

Press. Surabaya.

Nataraj G. Newer diagnostics for detection of multidrug-resistant tuberculosis. J


postgrad Med 2011;57:267-269
Rachow, Andrea. Zumla, Alimuddin. Heinrich, Norbert. Rojas-Ponce,Gabriel.
Mtafya,Bariki. Reither, Klaus et al. Rapid and accurate detection of
mycobacterium mtuberculosis in sputum samples by cepheid xpert mtb/rif
assay—a clinical validation study. PLoS ONE 6(6): e20458.
doi:10.1371/journal.pone.0020458. 2011
Rao, C. Kosen, S. Bisara, D. Usman, Y. Adair, T. Djaja, S. Suhardi, S. Soemantri,
S. Lopez, AD. Tuberculosis mortality differentials in Indonesia during
2007-2008: evidence for health policy and monitoring. Int J Tuberc Lung
Dis. 2011 Dec;15(12):1608-14.
RYC, Chan. AKH Kwok. Ocular toxicity of ethambutol. Hong Kong Med J
2006;12:56-60
Sejati, A. dan Sofiana, L. 2015. Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Jurnal.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan.

Setiati S, Sudoyo AW, Alwi I, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam FA. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi 6. Jakarta: Interna, 2014:2192-96

Shakya, Rajani. B.S, Rao. Shrestha, Bhawana. Evaluation of risk factors for
antituberculosis drugs- induced hepatotoxicity in nepalese population.
Kathmandu University Journal Of Science, Engineering And Technology
Vol.Ii, No.1, February, 2006.
Waite, Stephen. Jeudy, Jean. White, Charles S. Chapter 12. Acute lung infections
in normal and immunocompromised hosts in : Mirvis, Stuart E.
Shanmuganathan, Kathirkamanathan. Emergency chest imaging. Canada:
Elsevier 2006.
World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2010. Geneva
World Health Organization. 2010
World Health Organization. World Global Tuberculosis Control 2011. Geneva
World Health Organization. 2011
World Health Organization. Multi drug and extensively drug 2010 global report
on surveillance and response. Geneva: World Health Organization 2011
World Health Organization. Treatment of tuberculois, guidelines. Geneva: World
Health Organization. 2011
World Health Organization, 2015. Global Tuberkulosis Report. 1-204
LAMPIRAN

1. Poster Gejala TBC


2. Poster cara memakai masker
3. Poster Etika Batuk

4. Leaflet Tuberkulosis Tampak Depan


5. Leaflet Tuberkulosis Tampak Belakang
6. Dokumentasi Kunjungan

20 Januari 2020

24 Januari 2020
27 Januari 2020

25 Januari 2020
KUISIONER PRE TEST TUBERKULOSIS PARU

1. Menurut saudara penyakit tuberkulosis adalah ?


a. Penyakit infeksi yang ditandai dengan batuk berdahak
b. Penyakit keturunan
c. Penyakit karena diguna-guna
2. Apa penyebab penyakit tuberkulosis ?
a. Bakteri
b. Virus
c. Jamur
3. Apa gejala utama penyakit tuberkulosis yang anda ketahui ?
a. Batuk berdahak lebih dari >2 minggu
b. Gatal-gatal
c. Batuk berdahak kurang dari satu minggu
4. Menurut anda kuman penyebab tuberkulosis dapat ditemukan pada berikut
ini kecuali ,
a. Udara
b. Dahak
c. Makanan
5. Berikut ini adalah gejala lain yang terdapat pada penyakit tuberkulosis
kecuali ,
a. Sesak nafas
b. Demam saat malam hari secara terus-menerus
c. Keringat dingin
d. Pegal-pegal
6. Menurut saudara, pembuangan dahak penderita tuberkulosis yang paling
tepat adalah
a. Di kamar mandi
b. Mengubur
c. Di toilet yang sudah disiram dengan air
7. Dibawah ini adalah orang-orang yang paling rentan terhadap penyakit
tuberkulosis kecuali ,
a. Penderita diabetes mellitus
b. Orang dengan penyakit HIV/AIDS
c. Orang yang sehat
8. Apakah penyakit tuberkulosis bisa disembuhkan ?
a. Bisa disembuhkan
b. Tidak bisa disembuhkan
c. Tidak tahu
9. Jika bisa disembuhkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk
mengobati penyakit tersebut ?
a. Pengobatan selama 6 bulan
b. Pengobatan selama 1 bulan
c. Seumur hidup
10. Bagaimana cara batuk yang benar ?
a. Ditutup menggunakan lengan tubuh
b. Batuk di depan orang lain
c. Batuk dengan cara menutup dengan kedua telapak tangan

Benar : 6
Salah : 4
KUISIONER POST TEST TUBERKULOSIS PARU

1. Menurut saudara apa itu penyakit tuberkulosis adalah ?


d. Penyakit menular yang disebabkan mycobacterium tuberculosis
e. Penyakit menular yang disebabkan coroma virus
f. Penyakit karena diguna-guna
2. Bagaimana cara penularan penyakit tuberkulosis ?
d. Lewat udara
e. Lewat air
f. Lewat tanah
3. Apa gejala utama penyakit tuberkulosis yang anda ketahui ?
d. Batuk berdahak lebih dari >2 minggu
e. Gatal-gatal
f. Batuk berdahak kurang dari satu minggu
4. Kapan penyerahan dahak ntuk dilakukan tes dahak?
d. Pagi
e. Siang
f. Malam
5. Berikut ini adalah gejala lain yang terdapat pada penyakit tuberkulosis
kecuali ,
e. Sesak nafas
f. Demam saat malam hari secara terus-menerus
g. Keringat dingin
h. Pegal-pegal
6. Dibawah ini perilaku hidup sehat untuk mencegah penyakit tuberkulosis,
kecuali
d. Makan-makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh
e. Membuka jendela rumah agar sinar matahari bisa masuk
f. Menjemur alas tidur di luar
g. Merokok
7. Dibawah ini adalah orang-orang yang paling rentan terhadap penyakit
tuberkulosis kecuali ,
d. Penderita diabetes mellitus
e. Orang dengan penyakit HIV/AIDS
f. Orang yang sehat
8. Apakah penyakit tuberkulosis bisa disembuhkan ?
d. Bisa disembuhkan
e. Tidak bisa disembuhkan
f. Tidak tahu
9. Jika bisa disembuhkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengobati
penyakit tersebut ?
d. Pengobatan selama 6 bulan
e. Pengobatan selama 1 bulan
f. Seumur hidup
10. Bagaimana cara batuk yang benar ?
d. Ditutup menggunakan lengan tubuh
e. Batuk di depan orang lain
f. Batuk dengan cara menutup dengan kedua telapak tangan

Salah : 2
Benar : 8

Anda mungkin juga menyukai