Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa memiliki banyak definisi dari para ahli. Kesehatan jiwa

menurut World Health Organization (WHO) adalah berbagai karakteristik positif

yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan

kedewasaan kepribadiannya (Zaini, 2019). Menurut Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang

individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu

tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja

secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya (Sutejo,

2017).

Gangguan jiwa dapat menyerang setiap orang tanpa mengenal usia, ras,

agama, maupun status sosial ekonomi. Gangguan jiwa merupakan sebuah penyakit

dengan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distrorsi emosi

sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal itu terjadi karena

menurunnya semua fungsi kejiwaan. Gangguan jiwa adalah gangguan otak yang

ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi

(penangkapan panca indera). Gangguan jiwa menimbulkan stress dan penderitaan

bagi penderita (Sutejo, 2017).

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya

penyimpangan yang sangat dasar dan adanya perbedaan dari pikiran, disertai dengan

adanya ekspresi emosi yang tidak wajar (Yosep, Sutini, 2016). Menurut Sadock et al

(2014), skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi

pikiran, perasaan, dan perilaku individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan
psikosis yang ditandai dengan kehilangan pemahaman terhadap realitas dan hilangnya

daya tilik diri (Yudhantara, Istiqomah, 2018).

Skizofrenia dapat mempengaruhi setiap orang di berbagai belahan dunia. Data

WHO pada tahun 2016 menjelaskan secara global terdapat sekitar 35 juta orang yang

mengalami depresi, 60 juta orang dengan gangguan bipolar, 21 juta orang dengan

skizofrenia, dan 47,5 juta orang dengan demensia (Profil Kesehatan Indonesia,

2018). Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 menyebutkan prevalensi skizofrenia

dan gangguan jiwa berat di Indonesia yaitu 1,7% (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2013). Secara umum skizofrenia mempunyai onset usia remaja hingga

dewasa muda. Onset usia pada pria berkisar antara usia 18-25 tahun sedangkan pada

wanita usia 25-35 tahun. Skizofrenia lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan

wanita dengan perbandingan 1,4:1 (Yudhantara, Istiqomah, 2018).

Perilaku-perilaku pada pasien skizofrenia menurut Videbeck 2008, meliputi

gejala positif (halusinasi, delusi, gangguan pikiran, gangguan perilaku) dan gejala

negatif (afek datar, defisit perawatan diri, menarik diri). Pada penderita gangguan

skizofrenia sering terlihat adanya kemunduran yang ditandai dengan hilangnya

motivasi dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari kegiatan, dan hubungan sosial.

Kemunduran terjadi dalam berbagai aspek kehidupan penderita skizofrenia,

diantaranya berupa kemampuan dasar seperti kemampuan merawat diri atau Activity

of Daily Living (ADL) (Sovitriana, 2019).

Defisit perawatan diri pada pasien gangguan jiwa terjadi akibat adanya

perubahan proses berpikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan

diri menurun. Defisit perawatan diri pada pasien skizofrenia tampak dari

ketidakmampuan merawat kebersihan diri, makan, berhias diri, dan eliminasi (buang

air besar dan buang air kecil) secara mandiri (Keliat, Akemat, 2014). Tanda dan gejala
yang tampak pada pasien gangguan jiwa yang mengalami defisit perawatan diri yaitu

ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan bau. Kemudian pakaian

kotor dan tidak rapi, ketidakmampuan mengambil makan sendiri, makan berceceran,

buang air besar dan buang air kecil tidak pada tempatnya, dan tidak membersihkan

diri dengan baik setelah buang air besar dan buang air kecil (Keliat, Akemat, 2014).

Defisit perawatan diri (makan) adalah gangguan kemampuan makan secara

mandiri (Direja, 2011). Intervensi keperawatan untuk diagnosa keperawatan ini

adalah dukungan perawatan diri : makan dan minum. Definisi dukungan perawatan

diri: makan dan minum menurut PPNI (2018) yaitu memfasilitasi pemenuhan

kebutuhan makan dan minum.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Susanti (2010), defisit perawatan

diri pada klien skizofrenia harus diberikan tindakan keperawatan profesional untuk

mengurangi masalah tersebut. Perawatan diri model Orem dapat dikerjakan pada klien

dengan skizofrenia yang memiliki defisit perawatan diri. Apapun tingkat defisit klien

skizofrenia, perawat dapat memberikan praktik profesional menggunakan beberapa

prinsip dasar, yaitu pengembangan kemandirian, komunikasi terapeutik, dan

kolaborasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Khaeriyah (2013) di RSJD

Dr. Amino Gondohutomo Semarang, mengenai kemampuan perawatan diri pada 50

orang klien defisit perawatan diri yang diberikan strategi pelaksanaan komunikasi

defisit perawatan diri, didapatkan hasil bahwa ada perbedaan kemampuan perawatan

diri pre dan post strategi pelaksanaan komunikasi defisit perawatan diri.

Prevalensi untuk Kota Solok dari hasil rekap laporan jiwa dan napza Dinas

Kesehatan Kota Solok tahun 2018 dari beberapa kasus seperti gangguan psikotik akut

(6 orang), neurotik (51 orang), epilepsi (36 orang), retardasi mental (1 orang), napza
(1 orang), gangguan kesehatan anak dan remaja (21 orang), depresi (33 orang), dan

gangguan mental organik (9 orang). Dibandingkan dengan kasus yang lain, angka

skizofrenia merupakan angka yang tertinggi yaitu mencapai 151 orang, dan

merupakan angka terbanyak dari gangguan jiwa yang lain. Terdapat 4 Puskesmas di

Kota Solok, dengan angka tertinggi penderita skizofrenia di tahun 2018 adalah

Puskesmas Tanah Garam sebanyak 57 orang, di Puskesmas Tanjung Paku sebanyak

46 orang, di Puskesmas KTK sebanyak 28 orang, dan di Puskesmas Nan Balimo

sebanyak 20 orang.

Alasan peneliti melakukan asuhan keperawatan kepada pasien dengan defisit

perawatan diri adalah untuk melatih pasien cara merawat diri, agar pasien bisa

menjaga kebersihan dirinya secara mandiri, dan dapat meningkatkan minat dan

motivasinya untuk memperhatikan kebersihan dirinya. Berdasarkan latar belakang

yang telah dijelaskan diatas maka peneliti tertarik mengangkat kasus tentang

penerapan “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Skizofrenia Dengan Defisit

Perawatan Diri Menggunakan Intervensi Dukungan Perawatan Diri: Makan

Dan Minum”.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan peneliti diatas, maka

perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana penerapan asuhan keperawatan

pada pasien skizofrenia dengan defisit perawatan diri menggunakan intervensi

dukungan perawatan diri: makan dan minum.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menggambarkan asuhan keperawatan pada pasien skizofrenia dengan defisit

perawatan diri.

2. Tujuan Khusus

Berdasarkan tujuan umum dapat dibuat tujuan khusus sebagai berikut :

a. Menggambarkan hasil pengkajian keperawatan pada pasien skizofrenia

dengan defisit perawatan diri menggunakan intervensi dukungan perawatan

diri: makan dan minum

b. Menggambarkan rumusan diagnosa keperawatan pada pasien skizofrenia

dengan defisit perawatan diri menggunakan intervensi dukungan perawatan

diri: makan dan minum

c. Menggambarkan rencana keperawatan pada pasien skizofrenia dengan defisit

perawatan diri menggunakan intervensi dukungan perawatan diri: makan dan

minum

d. Menggambarkan tindakan keperawatan pada pasien skizofrenia dengan defisit

perawatan diri menggunakan intervensi dukungan perawatan diri: makan dan

minum
e. Menggambarkan evaluasi keperawatan pada pasien skizofrenia dengan defisit

perawatan diri menggunakan intervensi dukungan perawatan diri: makan dan

minum.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis

Penulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman serta

mengetahui masalah pada pasien skizofrenia dengan defisit perawatan diri.

2. Bagi Lokasi Penelitian / Puskesmas

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan masukan

bagi petugas kesehatan dalam meningkatkan asuhan keperawatan jiwa pada

pasien skizofrenia dengan defisit perawatan diri.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Penulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai pembelajaran di

Prodi DIII Keperawatan Solok dalam penerapan asuhan keperawatan pada

pasien skizofrenia dengan defisit perawatan diri.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sebagai perbandingan atau

acuan untuk penulis lainnya dalam pengembangan praktik keperawatan jiwa

dan pemecahan masalah keperawatan jiwa pada pasien skizofrenia dengan

defisit perawatan diri.

Anda mungkin juga menyukai