Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Keadaan sehat
dicerminkan oleh kelengkapan organ dan sistem tubuh yang berfungsi normal serta
adanya zat pengatur fungsi tubuh. Otak adalah organ yang bertugas mengatur fungsi
tubuh. Agar otak berfungsi dengan baik diperlukan energi dari glukosa, protein, lemak,
vitamin, dan oksigen yang berasal dari sistem tubuh. Manusia dikatakan memiliki jiwa
jika dia hidup dan organ tubuhnya berfungsi baik. Oleh karena itu, kesehatan otak
merupakan inti dari kesehatan jiwa manusia (Rasmun, 2001).
Jadi bisa disimpulkan bahwa kesehatan jiwa adalah keadaan sehat seseorang
dimana dapat menerima keadaan diri sendiri, orang lain, dan benda-benda yang
berhubungan dengan kehidupan serta dapat mengatasi masalah yang berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan kehidupan secara sosial dan ekonomis. Menurut Skinner,
ada 4 kriteria sehat jiwa, yaitu menerima diri sendiri, diterima oleh orang lain, efisien
dalam bekerja atau studi, dan bebas dari konflik dalam diri sendiri (Rasmun, 2001).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menyebutkan 14,1% penduduk
Indonesia mengalami gangguan jiwa dari yang ringan hingga berat. Data dari 33 rumah
sakit jiwa (RSJ) di seluruh Indonesia menyebutkan hingga kini jumlah penderita
gangguan jiwa berat mencapai 2,5 juta orang. Di Indonesia, prevalensinya sekitar 11%
dari total penduduk dewasa. Hasil survei kesehatan mental rumah tangga (SKMRT)
menunjukkan sebanyak 185 orang dari 1.000 penduduk dewasa menunjukkan adanya
gejala gangguan jiwa. Gangguan mental emosional yang terjadi pada usia 15 tahun ke
atas dialami 140 per 1.000 penduduk dan ditataran usia 5-14 tahun 104 per 1.000
penduduk. Penelitian terakhir menunjukkan, 37% warga Jawa Barat mengalami
gangguan jiwa, mulai dari tingkat rendah sampai tinggi (Aris R, dkk. 2008).
Mengacu pada data WHO, prevalensi (angka kesakitan) penderita skizofrenia
sekitar 0,2-2%, sedangkan insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun sekitar
0,01%. Lebih dari 80% penderita skizofrenia di Indonesia tidak diobati dan dibiarkan
berkeliaran di jalanan, atau bahkan dipasung. Sementara itu, jumlah penderita gangguan

1
jiwa ringan dan sedang juga terus meningkat. Diperkirakan 20-30% dari populasi
penduduk di perkotaan mengalami gangguan jiwa ringan dan berat (Aris R, dkk. 2008).
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk
meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkontribusikan pada fungsi yang
terintegrasi sistem klien dapat berupa individu, keluarga, kelompok, organisasi, atau
komunitas. Dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat meyakini bahwa klien
adalah manusia yang utuh dan unik yang terdiri dari aspek bio-psikosial-kultural-
spiritual. Selanjutnya, perawat dapat mengidentifikasi status kesehatan klien yang
berfluktuasi sepanjang rentang sehat-sakit. Status kesehatan klien akan mempengaruhi
respon klien yang dapat dikaji dari aspek bio-psikososial-kultural-spiritual. Pada
pengkajian, seringkali perawat hanya memusatkan perhatian pada aspek biologis atau
fisik saja sehingga asuhan keperawatan yang komprehensif tidak tercapai (Kelliat,
1998).
Umumnya, pasien gangguan jiwa dibawa keluarganya ke Panti Jiwa atau unit
pelayanan kesehatan jiwa lainnya karena keluarga tidak mampu merawat dan terganggu
karena perilaku pasien. Beberapa gejala yang lazim dirasakan oleh keluarga sehingga
menjadi alasan mengapa pasien dibawa ke Panti Jiwa yaitu adanya harga diri rendah,
menarik diri, halusinasi, waham, perilaku kekerasan dan harga diri rendah (Stuart et al,
1997).
Harga diri rendah merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan
memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan
(Coopersmith, 2002).
Adapun di Panti Jiwa Gramesia Kota Cirebon memiliki 13 gangguan jiwa yang
memiliki gangguan seperti waham, halusinasi, resiko prilaku kekerasan, defisit
perawatan diri dan harga diri rendah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Harga Diri Rendah ?
2. Apa Penyebab Harga Diri Rendah ?
3. Bagaimana Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah ?
4. Bagaimana Patofisiologi Harga Diri Rendah ?

2
5. Apa Saja Jenis Harga Diri Rendah ?
6. Bagaimana Mekanisme Koping Pasien Harga Diri Rendah ?
7. Bagaimana Rentang Respon Pasien Harga Diri Rendah ?
8. Bagaimana Penatalaksanaan Pada Pasien Harga Diri Rendah ?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Pengertian Harga Diri Rendah


2. Untuk Mengetahui Penyebab Harga Diri Rendah
3. Untuk Mengetahui Tanda dan Gejala
4. Untuk Mengetahui Patofisiologi
5. Untuk Mengetahui Jenis Harga Diri Rendah
6. Untuk Mengetahui Mekanisme Koping Pasien Harga Diri Rendah
7. Untuk Mengetahui Rentang Respon Pasien Harga Diri Rendah
8. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Pasien Harga Diri Rendah

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Harga Diri Rendah


Harga diri rendah merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan
memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan
(Coopersmith, 2002).
Keliat B.A mendefinisikan harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian
diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif
terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012)
Harga diri rendah adalah semua pemikiran, kepercayaan dan keyakinan yang
merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya
dengan orang lain. Harga diri terbentuk waktu lahir tetapi dipelajari sebagai hasil
pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat dan dengan
realitas dunia (Stuart, 2006).
Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan (Townsend, 2005).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa harga diri rendah
merupakan suatu kurangnya rasa percaya diri sendiri yang dapat mengakibatkan pada
perasaan negatif pada diri sendiri, kemampuan diri dan orang lain. Yang mengakibatkan
kurangnya komunikasi pada orang lain.

B. Penyebab Harga Diri Rendah


Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya koping individu yang tidak
efektif akibat adanya kurang umpan balik positif, kurangnya system pendukung,
kemunduran perkembangan ego, pengulangan umpan balik yang negatif, disfungsi
system keluarga serta terfiksasi pada tahap perkembangan awal (Townsend, 2005).

4
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah penolakan orangtua yang
tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang mempunyai tanggung jawab
personal, ketergantungan pada orang lain, ideal diri yang tidak realistis.
b. Faktor presipitasi
Faktor persipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian
tubuh, perubahan penampilan atau bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas
menurun. Selain itu, faktor presipitasi dapat pula berupa:
1. Ketegangan peran : Stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami
dalam peran atau posisi
2. Konflik peran : Ketidaksesuaian peran dengan apa yang diinginkan
3. Peran yang tidak jelas : Kurangnya pengetahuan individu tentang peran
4. Peran yang berlebihan : Menampilkan seperangkat peran yang konpleks
5. Perkembangn transisi : Perubahan norma dengan nilai yang taksesuai dengan
diri
6. Situasi transisi peran : Bertambah atau berkurangnya orang penting dalam
kehidupan individu
7. Transisi peran sehat-sakit : Kehilangan bagian tubuh, prubahan ukuran,
fungsi, penampilan, prosedur pengobatan dan perawatan.

C. Tanda dan Gejala

Aris R, dkk (2008) Tanda dan gejala yang dapat dikaji atau karakteristik
perilaku yang terjadi pada klien dan masalah utama harga diri rendah menurut
Direktorat Kesehatan Jiwa DepKes RI adalah sebagai berikut:
1. Perasaan negatif terhadap diri sendiri.
2. Menyatakan diri tidak berharga, tidak berguna, dan tidak mampu.
3. Mengatakan hal-hal negatif terhadap keadaan tubuhnya.
4. Mengeluh tidak dapat melakukan peran dan fungsi sebagaimana mestinya.
5. Menarik diri dari kehidupan sosial atau realitas.
6. Kritis terhadap diri sendiri dan atau orang lain.
7. Destruktif terhadap orang lain dan diri sendiri.

5
8. Pembicaraan kacau.
9. Mengungkapkan adanya ketegangan peran.
10. Mudah tersinggung dan mudah marah.
11. Produktivitas menurun.
12. Pandangan hidup yang ekstrim.
13. Penolakan terhadap diri sendiri.
14. Mengatakan pesimis dalam menghadapi kehidupan.
15. Merasa tidak adekuat.
16. Keluhan fisik dan penyalahgunaan zat.

D. Patofisiologi
Seseorang dengan harga diri rendah berhubungan dengan hubungan
interpersonal yang buruk yang mulanya merasa dirinya tidak berharga sehingga merasa
tidak aman berhubungan dengan orang lain, individu yang mempunyai ketergantungan
berlebihan pada orang lain, dan kemudian dimunculkan dalam bentuk perilaku (Stuart,
et al, 1997).
Perilaku biasanya ditunjukkan pada klien dengan harga diri rendah adalah
kritik terhadap diri sendiri/orang lain, produktivitas menurun, destruksi pada orang lain,
gangguan berhubungan perasaan irritable, sikap negatif terhadap diri sendiri,
ketegangan peran, pesimis terhadap kehidupan, keluhan fisik, pandangan hidup
terpolarisasi, menolak kemampuan diri sendiri, mengejek diri dari realitas, cemas dan
takut (Rasmun, 2001).
Harga diri rendah berhubungan dengan hubungan interpersonal yang buruk
mengarah pada kasus skizofrenia dan depresi. Hal ini dapat terjadi karena faktor
sosiokultural akibat menurunnya stabilitas keluarga dan kesibukan keluarga dalam
mencukupi kebutuhan sehari-hari dan faktor psikologis meliputi koping individu yang
tidak efektif terhadap keadaan dirinya, tanggung jawabnya, serta koping keluarga dalam
menghadapi situasi yang dialami klien (Rasmun, 2001).

E. Jenis Harga Diri Rendah


Gangguan harga diri yang disebut dengan harga diri rendah menurut Keliat
(1998:24) dapat terjadi secara:

6
1. Situasional
Yaitu trauma yang terjadi tiba-tiba, misalnya harus dioperasi, kecelakaan,
dicederai, dicerai suami, putus sekolah, putus hubungan kerja, dan perasaan malu
karena sesuatu terjadi (korban perkosaan, dituduh KKN, dipenjara tiba-tiba). Pada
klien yang dirawat dapat terjadi harga diri rendah karena:
1) Privacy kurang diperhatikan, misalnya pemeriksaan fisik yang sembarangan,
pemasangan alat yang tidak sopan (pencukuran pubis, pemasangan kateter,
pemeriksaan perineal).
2) Harapan akan struktur, bentuk, dan fungsi tubuh tidak tercapai karena
dirawat/sakit/penyakit.
3) Perlakuan petugas kesehatan yang tidak dihargai, misalnya berbagai
pemeriksaan dilakukan tanpa penjelasan, berbagai tindakan tanpa persetujuan.
2. Kronis
Yaitu perasaan negatif terhadap diri yang telah berlangsung lama, yaitu
sebelum sakit atau dirawat klien mempunyai cara berpikir negatif. Kejadian sakit
dan dirawat akan menambah persepsi negatif terhadap dirinya.

F. Mekanisme Koping
Yosep, Iyus (2009) Mekanisme koping gangguan konsep diri: harga diri rendah
dibagi menjadi 2, yaitu koping jangka pendek dan koping jangka panjang.
a. Jangka pendek
1) Aktivitas yang memberi kesempatan lari sementara dari krisis.
2) Aktivitas yang memberi kesempatan mengganti identitas.
3) Aktivitas yang memberi kekuatan atau dukungan sementara terhadap konsep
diri.
4) Aktivitas yang memberi arti terhadap kehidupan.
b. Jangka panjang
Mekanisme pertahanan diri (ego oriental reaction) yang bervariasi untuk
melindungi diri yang sering digunakan untuk fantasi, disosiasi, proyeksi, dan
mengisar.

7
G. Rentang Respon

a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapinya

1) Aktualisasi diri adalah pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima.
2) Konsep diri positif adalah apabila individu mempunyai pengalaman yang
positif dalam beraktualisasi diri dan menyadari hal-hal positif maupun yang
negatif dari dirinya (Iskandar, 2014).

b. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu krtika dia tidakmampu lagi
menyelesaikan masalah yang dihadapi.

1) Harga diri rendah adalah individu yang cenderung untuk menilai dirinya yang
negatif dan merasa lebih rendah dari orang lain.
2) Kerancuan identitas adalah identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak
memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
3) Depersonalisasi (tidak mengenal diri) tidak mengenal diri yaitu mempunyai
kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain

8
secara intim. Tidak ada rasa percaya diri atau tidak dapat membina hubungan
baik dengan orang lain (Iskandar, 2014).

H. Penatalaksanaan
Stuart, Gail W. (2006) Usaha pertama yang dilakukan adalah membina
hubungan rasa percaya. Apabila sudah didapatkan kontak mata, maka lakukan
bimbingan tentang hal-hal yang praktis. Bimbingan yang diberikan haruslah bimbingan
yang baik seperti bekerja secara sederhana di rumah atau di luar rumah. Bantu klien
memperluas kesadaran dirinya, kemudian bantu klien mengenal kekuatan dan
kelemahannya. Bantu untuk mengevaluasi diri, membuat rencana tujuan yang realistik,
kemudian bantu klien membuat keputusan dan mencapai tujuan. Meski klien sudah
sembuh atau boleh pulang ke rumah, metode farmakologi atau pengobatan tidak boleh
putus. Penatalaksanaan klien dengan harga diri rendah meliputi:
a. Farmakologi.
b. Terapi lain seperti terapi psikomotor, terapi rekreasi, terapi tingkah laku, terapi
keluarga, terapi spiritual, terapi lingkungan, terapi aktivitas kelompok yang
tujuannya adalah memperbaiki perilaku klien dengan harga diri rendah.
c. Rehabilitasi sebagai suatu refungsionalisasi (kembali memfungsikan) dan
perkembangan klien supaya dapat melaksanakan sosialisasi secara wajar dalam
kehidupan bermasyarakat.

9
DAFTAR PUSTAKA

Aris R, dkk. 2008. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, edisi 8, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Coopersmith. 2002. The Antecedent Of Self Esteem. San Fransisco: W. H. Freeman &
Company

Fajariyah, Nur. 2012. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Harga Diri Rendah.
Jakarta: TIM.

Iskandar (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : PT Refika Aditama.

Keliat, dkk, 1998, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga, Jakarta: PT. Fajar Interpratama.

Stuart, et. al, 1997, Principles Practice of Psychiatric Nursing, 6 th edition, St Louis
Mosby Year.

Stuart, Gail W. 2006, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi 5. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Townsend, Mary C, 2005, Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan


Psikiatri, edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa Edisi Revisi. Bandung: PT Refika Aditama

10

Anda mungkin juga menyukai