Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Polri adalah Institusi Pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta
merupakan Lembaga penegak hukum. Porli diharapkan dapat menjadi garda
terdepan dalam masalah penanganan kasus kriminalitas serta tindak kejahatan
yang semakin hari semakin bervariasi bentuknya. Diharapkan pihak
kepolisian dapat menjadi pelayan, pelindung dan pengayom bagi masyarakat.
Masyarakat sangat memerlukan kinerja aparat kepolisian dalam kasus
penanganan dan penyelidikan, maka haruslah Polri meningkatkan mutu
pelayanan mereka. Mereka harus tetap rela mengabdi meski terkadang dalam
beberapa keadaan mereka sering disudutkan oleh beberapa pihak.
Kinerja kepolisian hari ini dinilai kurang memuaskan masyarakat,
pelayanan penegakan hukum masih banyak dikeluhkan oleh masyarakat.
Menurut data Ombudsman Republik Indonesia tahun 2017 ada banyak ribuan
keluhan dari masyarakat soal kinerja kepolisian yang disinyalir sebagai
maladministrasi. Selain itu, Pada tahun 2013 kita juga menyaksikan
bagaimana jalannya persidangan tindak pidana korupsi yang menjerat salah
satu perwira tinggi mereka yaitu Irjen. Pol. Djoko Susilo, selaku Kakorlantas
Porli dalam kasus pengadaan simulator berkendara. Hal ini makin
memperburuk citra Lembaga Kepolisian di mata masyarakat. Kasus yang
hampir serupa juga menjerat salah satu oknum kepolisian berinisial ES yang
diketahui berpangkat AKBP ditangkap oleh Badan Researe Kriminal Porli
karena dugaan kasus suap dalam jual beli jabatan di lingkungan Porli.
Memang tidak semuanya, masih ada anggota polisi yang dikenal jujur serta
bersih. Tindakan yang seperti Djoko Susilo lakukan hanyalah perbuatan para
oknum kepolisian yang membikin citra kepolisian kian hari, kian buruk di
masyarakat.
Instumen Penegak hukum seperti Porli harus memiliki Integritas, disiplin
serta profesional. Karena merupakan garda terdepan dalam menghadapi tindak
pidana dan kriminalitas yang terjadi di negeri ini. Kepolisian haruslah bersih
dari segala macam bentuk Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme. Sungguh naiflah
bila ada seorang anggota polisi yang mengumpulkan uang setumpuk besar
dengan cara tak terpuji hanya untuk naik jabatan dan memperbesar isi perut.
Tentulah kita harus menengok kembali kebelakang pada sosok Pak Hoegeng
yang dikenal bersahaja, jujur, disiplin, tak kenal suap dan kompromi yang
tidak jelas. Sebuah keteladanan yang menjadi bukti nyata, bukan sekedar
dongeng belaka. Hoegeng Iman Santoso, sosok teladan kepolisian yang patut
ditiru. Dimanapun dirinya berada ia tetap mencontohkan integritas diri yang
tingi. Menjaga nama baik dirinya maupun Lembaga yang berada di atas
pundaknya.
Jend. Polisi (Purn) Drs. Hoegeng Iman Santoso pada 14 Oktober 1921 di
Pekalongan, Jawa Tengah. Beliau menjabat sebagai Kapolri ke-5 dengan masa
jabatan 1968-1971. Hoegeng masuk pendidikan HIS pada usia enam tahun,
kemudian melanjutkan ke MULO (1934) dan menempuh sekolah menengah
di AMS Westers Klasiek (1937). Setelah itu, ia belajar ilmu hukum di Rechts
Hoge School Batavia tahun 1940. Sewaktu pendudukan Jepang, ia mengikuti
latihan kemiliteran Nippon (1942) dan Koto Keisatsu Ka I-Kai (1943).
Setelah itu ia diangkat menjadi Wakil Kepala Polisi Seksi II Jomblang
Semarang (1944), Kepala Polisi Jomblang (1945), dan Komandan Polisi
Tentara Laut Jawa Tengah (1945-1946). Kemudian mengikuti pendidikan
Polisi Akademi dan bekerja di bagian Purel, Jawatan Kepolisian Negara.
Tahun 1950, Hoegeng mengikuti Kursus Orientasi di Provost Marshal
General School pada Military Police School Port Gordon, Georgia, Amerika
Serikat. Dari situ, dia menjabat Kepala DPKN Kantor Polisi Jawa Timur di
Surabaya (1952). Lalu menjadi Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi
Sumatra Utara (1956) di Medan. Tahun 1959, mengikuti pendidikan
Pendidikan Brimob dan menjadi seorang Staf Direktorat II Mabes Kepolisian
Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri luran Negara (1965),
dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti tahun 1966. Setelah Hoegeng
pindah ke markas Kepolisian Negara kariernya terus menanjak. Di situ, dia
menjabat Deputi Operasi Pangak (1966), dan Deputi Men/Pangak Urusan
Operasi juga masih dalam 1966. Terakhir, pada 5 Mei 1968, Hoegeng
diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara (tahun 1969, namanya kemudian
berubah menjadi Kapolri), menggantikan Soetjipto Joedodihardjo. Hoegeng
mengakhiri masa jabatannya pada tanggal 2 Oktober 1971, dan digantikan
oleh Drs. Mohamad Hasan.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Hoegeng_Imam_Santoso)
Dari seorang abdi loyal negara ia kemudian menjadi pihak oposisi yang
menentang pemerintahan Orde baru. Bersama para tokoh lainnya seperti Ali
Sadikin, Jend. A. H. Nasution, dan lainnya, pada 5 mei 1980 ikut
menandatangani Petisi 50 di Jakarta. Dokumen yang berisi protes terhadap
Pemerintahan Presiden Soeharto yang dinilai telah menyalahgunakan nilai
filosofis Pancasila yang dijadikan alat untuk menekan lawan politiknya serta
bentuk penyalahgunaan wewenang lainnya. Meskipun pada akhirnya,
mendapatkan respon yang keras dari Pemerintah, yang menjadikannya
semakin jauh dari lingkaran kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kiprah beliau dalam satuan Kepolisian?
2. Bagaimanakah sikap beliau dalam masa peralihan kekuasaan?
3. Bagaimana perjalanan karier beliau semasa menjabat sebagai Menteri
serta kepala Jawatan imigrasi hingga menjadi Kapolri?
C. Tujuan Penelitian
1. Sebagai media penyampai wawasan mengenai kiprah Pak Hoegeng
selama menjadi Polisi
2. Untuk menganalisis sikap yang beliau ambil ketika terjadi pengalihan
kekuasaan
D. Kegunaan Penelitian
Diharapkan melalui penelitian ini dapat memberikan informasi serta
memperkaya wawasan kita tentang kiprah hidup beliau semasa masa
pengabdiannya pada Negara. Dan semoga kita dapat meneladani kisah
perjuangan beliau yang dikenal sebagai seorang yang bersahaja, jujur, dan
memiliki integritas yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai