Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

SISTEM PERNAFASAN : GAGAL NAFAS DI RUANG ICU RSI


MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN

A. Pengertian
Gagal nafas merupakan fase lanjutan dari gangguan pernafasan yang
menyebabkan kegagalan paru untuk memenuhi kebutuhan osigen dan
mengeluarkan CO2 (Bakhtiar, 2013).
Gagal nafas terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida
dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju komsumsi oksigen dan
pembentukan karbon dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan
tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan
tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) Brunner &
Sudarth (dalam, Amin & Hardhi).
B. Klasifikasi
1. Klasifikasi gagal napas berdasarkan hasil analisa gas darah :
a. Gagal napas hiperkapneu
Hasil analisa gas darah pada gagal napas hiperkapneu menunjukkkan
kadar PCO2 arteri (PaCO2) yang tinggi, yaitu PaCO2>50mmHg. Hal
ini disebabkan karena kadar CO2 meningkat dalam ruang alveolus,
O2 yang tersisih di alveolar dan PaO2 arterial menurun. Oleh karena
itu biasanya diperoleh hiperkapneu dan hipoksemia secara bersama-
sama, kecuali udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Sedangkan
nilai pH tergantung pada level dari bikarbonat dan juga lamanya
kondisi hiperkapneu.
b. Gagal napas hipoksemia
Pada gagal napas hipoksemia, nilai PO2 arterial yang rendah tetapi
nilai PaCO2 normal atau rendah. Kadar PaCO2 tersebut yang
membedakannya dengan gagal napas hiperkapneu, yang masalah
utamanya pada hipoventilasi alveolar. Gagal napas hipoksemia lebih
sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapneu.
2. Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :
a. Gagal napas akut
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang
ditandai dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam
jiwa. Terjadi peningkatan kadar PaCO2. Gagal napas akut timbul
pada pasien yang keadaan parunya normal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
b. Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada
pasien dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan
emfisema. Pasien akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan
hiperkapneu yang memburuk secara bertahap.
3. Klasifikasi gagal napas berdasarkan penyebab organ :
a. Kardiak
Gagal napas dapat terjadi karena penurunan PaO2 dan peningkatan
PaCO2 akibat menjauhnya jarak difusi akibat oedema paru. Oedema
paru ini terjadi akibat kegagalan jantung untuk melakukan fungsinya
sehingga terjadi peningkatan perpindahan aliran dari vaskuler ke
interstisial dan alveoli paru. Terdapat beberapa penyakit
kardiovaskuler yang mendorong terjadinya disfungsi miokard dan
peningkatan left ventricel end diastolic volume (LVEDV) dan left
ventricel end diastolic pressure (LVEDP) yang menyebabkan
mekanisme backward-forward failure. Penyakit yang menyebabkan
disfungsi miokard :
1) Infark miokard
2) Kardiomiopati
3) Miokarditis
4) Penyakit yang menyebabkan peningkatan LVEDV dan LVEDP :
5) Meningkatkan beban tekanan : aorta stenosis, hipertensi, dan
coartasio aorta
6) Meningkatkan beban volume : mitral insufisiensi, aorta
insufisiensi
7) Hambatan pengisian ventrikel : mitral stenosis dan trikuspid
insufisiensi.

b. Non cardiac
Terjadi gangguan di bagian saluran pernapasan atas dan bawah
maupun di pusat pernapasan, serta proses difusi. Hal ini dapat
disebabkan oleh obstruksi, emfisema, atelektasis, pneumothorak, dan
ARDS.
C. Etiologi
Penyebab gagal napas biasanya tidak berdiri sendiri melainkan merupakan
kombinasi dari beberapa keadaan, dimana penyebeb utamanya adalah :
1. Gangguan ventilasi
Gangguan ventilasi disebabkan oleh kelainan intrapulmonal maupun
ekstrapulmonal. Kelainan intrapulmonal meliputi kelainan pada saluran
napas bawah, sirkulasi pulmonal, jaringan, dan daerah kapiler alveolar.
Kelainan ekstrapulmonal disebabkan oleh obstruksi akut maupun obstruksi
kronik. Obstruksi akut disebabkan oleh fleksi leher pada pasien tidak sadar,
spasme larink, atau oedema larink, epiglotis akut, dan tumor pada trakhea.
Obstruksi kronik, misalnya pada emfisema, bronkhitis kronik, asma,
COPD, cystic fibrosis, bronkhiektasis terutama yang disertai dengan sepsis.
2. Gangguan neuromuscular
Terjadi pada polio, guillaine bare syndrome, miastenia gravis, cedera
spinal, fraktur servikal, keracunan obat seperti narkotik atau sedatif, dan
gangguan metabolik seperti alkalosis metabolik kronik yang ditandai
dengan depresi saraf pernapasan.
3. Gangguan/depresi pusat pernapasan
Terjadi pada penggunaan narkotik atau barbiturat, obat anastesi, trauma,
infark otak, hipoksia berat pada susunan saraf pusat.
4. Gangguan pada sistem saraf perifer, otot respiratori, dan dinding dada
Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
minute volume (mempengaruhi jumlah karbondioksida), yang sering
terjadi pada guillain bare syndrome, distropi muskular, miastenia gravis,
kiposkoliosis, dan obesitas.
5. Gangguan difusi alveoli kapiler
Gangguan difusi alveoli kapiler sering menyebabkan gagal napas
hipoksemia, seperti pada oedema paru (kardiak atau nonkardiak), ARDS,
fibrosis paru, emfisema, emboli lemak, pneumonia, tumor paru, aspirasi,
perdarahan masif pulmonal.
6. Gangguan kesetimbangan ventilasi perfusi (V/Q Missmatch)
Peningkatan deadspace, seperti pada tromboemboli, emfisema, dan
bronkhiektasis.
D. Patofisiologi
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal
nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunya normal
secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit timbul.
Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan penyakit
paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema dan penyakit paru hitam.
Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru
kembali seperti semula. Pada gagal nafas kronik struktur paru mengalami
kerusakan yang ireversibel.
Penyebab gagal nafas yang utama adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla).
Pada kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak,
ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan
menekan pusat pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal.
Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak
adekuat karena terdapat agen menekan pernafasan dengan efek yang
dikeluarkan atau dengan meningkatkan efek dari analgetik opioid. Pnemonia
atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah ke gagal nafas akut.
E. Manifestasi Klinis
1. Tanda
a. Gagal nafas total
1) Aliran udara di mulut, hidung tidak dapat didengar/dirasakan.
2) Pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supra klavikuladan sela
iga serta tidak ada pengembangan dada pada inspirasi
3) Adanya kesulitasn inflasi parudalam usaha memberikan ventilasi
buatan
b. Gagal nafas parsial
1) Terdengar suara nafas tambahan gurgling, snoring, dan wheezing.
2) Adanya retraksi dada
2. Gejala
a. Hiperkapnia, terjadi penurunan kesadaran (peningkatan PCO2)
b. Hipoksemia, terjadi takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis (PO2
menurun)
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Analisa Gas Darah Arteri
Pemeriksaan gas darah arteri penting untuk mengetahui apakah klien
mengalami asidosis metabolik, alkalosis metabolik, atau keduanya pada
klien yang sudah lama mengalami gagal napas. Selain itu, pemeriksaan ini
juga sangat penting untuk mengetahui oksigenasi serta evaluasi kemajuan
terapi atau pengobatan yang diberikan terhadap klien.
a. Hipoksemia :
Ringan : PaO2 < 80 mmHg
Sedang : PaO2 < 60 mmHg
Berat : PaO2 < 40 mmHg
b. Hiperkapnia
Ringan : PaCO2 45 – 60 mmHg
Sedang : PaCO2 60 – 70 mmHg
Berat : PaCO2 70 – 80 mmHg
2. Pemeriksaan Rongent Dada
Melihat keadaan patologik dan atau kemajuan proses penyakit yang tidak
diketahui. Terdapat gambaran akumulasi udara/cairan, dapat terlihat
perpindahan letak mediastinum. Berdasarkan pada foto thoraks dan
fluoroskopi akan banyak data yang diperoleh seperti terjadinya
hiperinflasi, pneumothoraks, efusi pleura, hidropneumothoraks, sembab
paru, dan tumor paru.
3. Pengukuran Fungsi Paru
Penggunaan spirometer dapat membuat kita mengetahui ada tidaknya
gangguan obstruksi dan restriksi paru. Nilai normal atau FEV 1 > 83%
prediksi. Ada obstruksi bila FEV1 < 70% dan FEV1/FVC lebih rendah dari
nilai normal. Jika FEV1 normal, tetapi FEV1/FVC sama atau lebih besar
dari nilai normal, keadaan ini menunjukkan ada restriksi.
4. Elektrokardiogram (EKG)
Adanya hipertensi pulmonal dapat dilihat pada EKG yang ditandai dengan
perubahan gelombang P meninggi di sadapan II, III dan aVF, serta jantung
yang mengalami hipertrofi ventrikel kanan. Iskemia dan aritmia jantung
sering dijumpai pada gangguan ventilasi dan oksigenasi.
5. Pemeriksaan Sputum
Yang perlu diperhatikan adalah warna, bau, dan kekentalan. Jika perlu
lakukan kultur dan uji kepekaan terhadap kuman penyebab. Jika dijumpai
ada garis-garis darah pada sputum (blood streaked), kemungkinan
disebabkan oleh bronkhitis, bronkhiektasis, pneumonia, TB paru, dan
keganasan. Sputum yang berwarna merah jambu dan berbuih (pink frothy),
kemungkinan disebabkan edema paru. Untuk sputum yang mengandung
banyak sekali darah (grossy bloody), lebih sering merupakan tanda dari
TB paru atau adanya keganasan paru.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Suportif/Non spesifik
Penatalaksanaan non spesifik adalah tindakan yang secara tidak langsung
ditujukan untuk memperbaiki pertukaran gas, seperti :
1. Atasi Hipoksemia: Terapi Oksigen
2. Atasi Hiperkapnia: Perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan nafas
b. Bantuan Ventilasi: Face mask, ambu bag
c. Ventilasi Mekanik
3. Fisioterapi dada
Atasi Hipoksemia
Terapi Oksigen
Pada keadaan PaO2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal nafas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan
keadaan hiperkarbia sehingga pusat pernafasan tidak terangsang oleh
hipercarbia drive melainkan terhadap hypoxemia drive. Akibatnya kenaikan
PaO2 yang terlalu cepat, pasien dapat menjadi apnoe.
Dalam Pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien
benar-benar membutuhkan oksigen. Indikasi untuk pemberian oksigen harus
jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus
dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.
Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada
pasienpasien dengan keadaan hipoksemia akut. Oksigen harus segera
diberikan dengan adekuat karena jika tidak diberikan akan menimbulkan cacat
tetap dan kematian. Pada kondisi ini oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-
100% dalam waktu pendek dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya
oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan
meminimalisasi efek samping.
Cara pemberian oksigen secara umum ada 2 macam yaitu sistem arus
rendah dan sistem arus tinggi. Kateter nasal kanul merupakan alat dengan
sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Nasal Kanul arus rendah
mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/mnt, dengan FiO2
antara 0,24-0,44 (24 %-44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan
FiO2 secara bermakna diatas 44% dan dapat mengakibatkan mukosa
membran menjadi kering. Alat oksigen arus tinggi di antaranya ventury mask
dan reservoir nebulizer blenders. Pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe
hipoksemia, bernapas dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2 dan
memperbaiki hipoksemia. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai
40 L/mnt oksigen melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan
respirasi. Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi ini
adalah pasien yang memerlukan pengendalian FiO2 dan pasien hipoksia
dengan ventilasi abnormal.
Atasi Hiperkapnia: Perbaiki Ventilasi
Jalan napas (Airway)
Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian
obat-obat pernapasan. Pada semua pasien gangguan pernapasan harus
dipikirkan dan diperiksa adanya obstruksi jalan napas atas. Pertimbangan
untuk insersi jalan napas buatan seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan
manfaat dan resiko jalan napas buatan dibandingkan jalan napas alami.
Resiko jalan napas buatan adalah trauma insersi, kerusakan trakea
(erosi), gangguan respon batuk, resiko aspirasi, gangguan fungsi mukosiliar,
resiko infeksi, meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntungan
jalan napas buatan adalah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi
rute pemberian oksigen dan obatobatan, memfasilitasi ventilasi tekanan positif
dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute bronkoskopi fibreoptik.
Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik adalah :
Secara Fisiologis:
a. Hipoksemia menetap setelah pemberian oksigen
b. PaCO2 >55 mmHg dengan pH < 7,25
c. Kapasitas vital < 15 ml/kgBB dengan penyakit neuromuskular
Secara Klinis:
a. Perubahan status mental dengan dengan gangguan proteksi jalan napas
b. Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik
c. Obstruksi jalan napas (pertimbangkan trakeostomi)
d. Sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan pasien
Faktor lain yang perlu dipikirkan adalah ketersediaan fasilitas dan potensi
manfaat ventilasi tekanan positif tanpa pipa trakea (ventilasi tekanan positif
non invasif).
Ventilasi: Bantuan Ventilasi dan ventilasi Mekanik
Pada keadaan darurat bantuan nafas dapat dilakukan secara mulut
kemulut atau mulut ke hidung, biasanya digunakan sungkup muka berkantung
(face mask atau ambu bag) dengan memompa kantungnya untuk memasukkan
udara ke dalam paru.
Hiperkapnia mencerminkan adanya hipoventilasi alveolar. Mungkin
ini akibat dari turunnya ventilasi semenit atau tidak adekuatnya respon
ventilasi pada bagian dengan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Peningkatan PaCO2 secara tiba-tiba selalu berhubungan dengan asidosis
respiratoris. Pasien dengan pemulihan awal diharapkan, ventilasi mekanik non
invasif dengan nasal atau face mask merupakan alternatif yang efektif.
Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau
keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas (gawat nafas yang tidak segera
teratasi). Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia
yang refrakter, hiperkapnia akut atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya
adalah pneumonia berat yang tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan
oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana PaCO2nya
meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis. Keputusan untuk memasang
ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75 % pasien yang
dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila
seorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap
hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator) jadi lebih
kecil.
Terapi suportif lainnya
1. Fisioterapi dada. Ditujukan untuk membersihkan jalan nafas dari sekret,
sputum. Tindakan ini selain untuk mengatasi gagal nafas juga untuk
tindakan pencegahan. Pasien diajarkan bernafas dengan baik, bila perlu
dengan bantuan tekanan pada perut dengan menggunakan telapak tangan
pada saat inspirasi. Pasien melakukan batuk yang efektif. Dilakukan juga
tepukan-tepukan pada dada, punggung, dilakukan perkusi, vibrasi dan
drainage postural. Kadang-kadang diperlukan juga obat-obatan seperti
mukolitik dan bronkodilator.
2. Bronkodilator (beta-adrenergik agonis/simpatomimetik). Obat-obat ini
lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan jika
diberikan secara parenteral atau oral, karena untuk efek bronkodilatasi
yang sama, efek samping secara inhalasi lebih sedikit sehingga dosis besar
dapat diberikan secara inhalasi. Terapi yang efektif mungkin
membutuhkan jumlah beta-adrenergik agonis dua hingga empat kali lebih
banyak daripada yang direkomendasikan. Peningkatan dosis (kuantitas
lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga
tiap jam/nebulisasi kontinu) sering kali dibutuhkan. Pemilihan obat
didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek
samping. Diantara yang tersedia adalah albuterol, metaproterenol,
terbutalin. Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia,
dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung
iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang
terjadi. Hipokalemia biasanya dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan
kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartement
ekstrasel ke intrasel sebagai respon terhadap stimulasi beta adrenergik.
3. Antikolinergik/parasimpatolitik. Respon bronkodilator terhadap obat
antikolinergik tergantung pada derajat tonus parasimpatis intrinsik. Obat-
obat ini kurang berperan pada asma, dimana obstruksi jalan napas
berkaitan dengan inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus
parasimpatis tampaknya lebih berperan. Obat ini direkomendasikan
terutama untuk bronkodilatsi pasien dengan bronkitis kronik.
Antikolinergik pada pasien gagal nafas harus selalu dikombinasikan
dengan beta adrenergik agonis. Ipratropium bromida tersedia dalam
bentuk MDI (metered dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi. Efek
samping jarang terjadi seperti takikardia, palpitasi, dan retensi urin
4. Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan beta
adrenergik agonis. Mekanisme kerja adalah melalui inhibisi kerja
fosfodiesterase pada AMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis
adenosin, stimulasi reseptor beta adrenergik, dan aktifitas anti inflamasi.
Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah. Komplikasi yang
lebih parah adalah aritmia, hipokalemia, perubahan status mental dan
kejang.
5. Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi
jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah
sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan
topikal. Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas
akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral. Efek
samping kortikosteroid parenteral adalah hiperglikemia, hipokalemia,
retensi natrium dan air, miopati steroid akut (terutama pada dosis besar),
gangguan sistem imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan
gastrointestinal. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama obat pelumpuh
otot non depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang
memanjang dan menimbulkan kesulitan weaning.
Penatalaksanaan Kausatif/Spesifik
Sambil dilakukan resusitasi (terapi suportif) diupayakan mencari penyebab
gagal nafas. Pengobatan spesifik ditujukan pada etiologinya, sehingga
pengobatan untuk masing-masing penyakit akan berlainan.
H. Komplikasi
1. Paru
a. Komplikasi yang sering terjadi adalah emboli paru, barotraumas,
fibrosis paru, dan komplikasi sekunder akibat alat mekanis yang
digunakan
b. Pasien juga rentan terhadap pneumonia nosocomial
c. Fibrosis paru dapat terjadi pasca acute lung injury yangterkait acute
respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Kardiovaskular
a. Komplikasi yang sering terjadi pada gagal napas akut adalah
hipotensi, menurunnya kardiak aoutput, aritmia, perikarditis, dan
infark miokard akut
b. Komplikasi ini terkait dengan penyakit yang mendasari, ventilasi
mekanik, atau pemakaian kateter arteri pulmonaris
3. Gastrointestinal
a. Komplikasi yang utama pada gastrointestinal akibat gagal napas akut
adalah perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan
pneumoperitoneum
b. Stress ulcer sering terjadi pada gagal napas akut
4. Infeksi
Infeksi nosokomial sering terjadi, seperti pneumonia, infeksi saluran
kemih, catheter-related sepsis
5. Ginjal
a. Acute Renal Failure (ARF) dan abnormalitas elektrolit dan
homeostasis asam basa sering terjadi
b. ARF pada gagal napas akut berkaitan dengan buruknya prognosis dan
tingginya mortalitas. ARF ini terjadi akibat hipoperfusi renal dan
penggunaan obat nefrotoksik, termasuk bahan kontras radiologi
6. Nutrisi
a. Malnutrisi akibat nutrisi enteral dan parenteral
b. Komplikasi akibat nasogastric tubes yaitu distensi lambung dan diare
c. Komplikasi akibat nutrisi parenteral dapat berupa infeksi, ataupun
komplikasi metabolik (hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit)
I. Pengkajian Fokus
1. Pengkajian Primer
a. Airway
1) Peningkatan sekresi pernapasan
2) Bunyi nafas terdengar bunyi crackles, ronkhi dan wheezing
b. Breathing
1) Distress pernapasan : pernapasan cuping hidung,
takipneu/bradipneu, adanya retraksi.
2) Menggunakan otot bantu pernapasan
3) Kesulitan bernafas : diaforesis dan sianosis
c. Circulation
1) Penurunan curah jantung : gelisah, letargi, takikardia
2) Sakit kepala
3) Gangguan tingkat kesadaran : ansietas, gelisah, kacau mental,
mengantuk
4) Papil edema
5) Penurunan haluaran urine
d. Disability
Perhatikan bagaimana tingkat kesadaran klien, dengan penilain GCS,
dengan memperhatikan refleks pupil, diameter pupil.
e. Eksposure
Penampilan umum klien seperti apa, apakah adanya udem, pucat,
tampak lemah, adanya perlukaan atau adanya kelainan yang didapat
secara objektif.
2. Pengkajian sekunder
a. Sistem kardiovaskuler
Tanda : Takikardia, irama ireguler, terdapat bunyi jantung S3,S4/
Irama gallop dan murmur, Hamman’s sign (bunyi udara beriringan
dengan denyut jantung menandakan udara di mediastinum), hipertensi
atau hipotensi
b. Sistem pernafasan
Gejala : riwayat trauma dada, penyakit paru kronis, inflamasi paru ,
keganasan, batuk
Tanda : takipnea, peningkatan kerja pernapasan, penggunaan otot
asesori, penurunan bunyi napas, penurunan fremitus vokal, perkusi :
hiperesonan di atas area berisi udara (pneumotorak), dullnes di area
berisi cairan (hemotorak); perkusi : pergerakan dada tidak seimbang,
reduksi ekskursi thorak.
c. Sistem integumen
Sianosis, pucat, krepitasi sub kutan, gangguan mental, cemas, gelisah,
bingung, stupor
d. Sistem musculoskeletal
Edema pada ektremitas atas dan bawah, kekuatan otot dari 2- 4.
e. Sistem endokrin
Terdapat pembesaran kelenjar tiroid
f. Sistem gastrointestinal
Adanya mual atau muntah, kadang disertai konstipasi.
g. Sistem neurologi
Sakit kepala
h. Sistem urologi
Penurunan haluaran urine
i. Sistem reproduksi
Tidak ada masalah pada reproduksi. Tidak ada gangguan pada
rahim/serviks.
j. Sistem indera
1) Penglihatan : penglihatan buram, diplopia, dengan atau tanpa
kebutaan tiba-tiba.
2) Pendengaran : telinga berdengung
3) Penciuman : tidak ada masalah dalam penciuman
4) Pengecap : tidak ada masalah dalam pengecap
5) Peraba : tidak ada masalah dalam peraba, sensasi terhadap
panas/dingin tajam/tumpul baik.
k. Sistem abdomen
Biasanya kondisi disertai atau tanpa demam.
l. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri pada satu sisi, nyeri tajam saat napas dalam, dapat
menjalar ke leher, bahu dan abdomen, serangan tiba-tiba saat batuk
Tanda : Melindungi bagian nyeri, perilaku distraksi, ekspresi meringis
m. Keamanan
Gejala : riwayat terjadi fraktur, keganasan paru, riwayat
radiasi/kemoterapi
n. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat factor resiko keluarga dengan tuberculosis
J. Fokus Intervensi
1. Diagnosa keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d abnormalitas ventilasi-perfusi sekunder
terhadap hipoventilasi
b. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d hilangnya fungsi jalan nafas,
peningkatan sekret pulmonal, peningkatan resistensi jalan nafas
c. Ketidakefektifan pola nafas b.d penurunan volume penurunan
ekspansi paru
2. Intervensi dan rasionalisasi
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan Rasional
Keperawatan Hasil
1. Tujuan : 1. Pantau status 1. Untuk
Gangguan
Setelah dilakukan pernafasan tiap 4 jam, mengidentifikasi
pertukaran gas
tindakan keperawatan hasil GDA, intake dan indikasi ke arah
b.d abnormalitas
selama 1 x 24 jam, output. kemajuan atau
ventilasi-perfusi
diharapkan masalah 2. Posisikan klien penyimpangan dari
sekunder
pertukaran gas semifowler
terhadap hasil klien
membaik. 3. Berikan terapi
hipoventilasi 2. Posisi tegak
Kriteria hasil: intravena sesuai dosis
memungkinkan
1. Frekuensi nafas dokter
ekspansi paru lebih
18-20/menit 4. Mengkaji keadaan
baik.
2. Frekuensi nadi 75- vaskuler
3. Untuk
100/menit 5. Berikan oksigen melalui
memungkinkan
3. Warna kulit kanula nasal 4 L/menit
normal, tidak ada selanjutnya sesuaikan rehidrasi yang cepat

dipnea, dan gas dengan hasil PaO2 4. Untuk pemberian


darah arteri 6. Kolaborasi dengan tim obat-obat darurat
(GDA) dalam medis dalam 5. Pemberian oksigen
batas normal memberikan pegobatan mengurangi beban
4. Hasil analisa gas yang telah tepat serta otot-otot
darah normal : amati bila ada tanda- pernafasan
PH (7,35-7,45) tanda toksisitas. 6. Untuk
PO2 (80-100 mmHg)
mengembalikan
PCO2(35-45 mmHg)
kondisi bronkhus
seperti kondisi
sebelumnya
2. Ketidakefektifan Tujuan : 1. Kaji warna, 1. Dapat
bersihan jalan Setelah dilakukan kekentalan, dan menunjukkan berat
nafas b.d tindakan keperawatan jumlah sputum ringannya obstruksi
hilangnya fungsi selama 1 x 24 jam, 2. Atur posisi semifowler 2. Meningkatkan
jalan nafas, bersihan jalan nafas 3. Ajarkan cara batuk ekspansi dada
peningkatan kembali efektif efektif yang terkontrol 3. Memudahkan
sekret pulmonal, Kriteria hasil: dan efektif pengeluaran sekret
peningkatan 1. Tidak ada suara 4. Bantu klien latihan yang melekat
resistensi jalan nafas dalam ventilasi dijalan nafas
nafas tambahan
nafas makasimal 4. Membuka lumen
dan 5. Pertahankan intake jalan nafas dan
cairan sedikitnya 2500 meningkatkan
wheezing/ronchi
ml/hari kecuali tidak gerakan sekret ke
2. Pernafasan diidentifikasikan hidrasi dalam jalan nafas

klien normal yang adekuat besar untuk


6. Lakukan fisioterapidada dikeluarkan.
(16-20x/menit)
dengan teknik postural 5. Membantu
tanpa ada drainase, perkusi dan mengencerkan

penggunaan fibrasi dada. sekret dan


7. Kolaborasi pemberian mengaktifkan
otot bantu nafas obat bronkodilator pembersihan jalan
golongan 2 nafas
3. Dapat a. Nebulizer (via inhalasi) 6. Untuk

mendemontrasi dengan golongan mengeluarkan


terbutaline 0,25 sekret
kan batuk
mg,fenoterol HBr 0,1% 7. Pemberian
efektif solution, orciprenaline bronkodilator via
sulfur 0,75 mg inhalasi akan lebih
4. Dapat
b. Intravena golongan cepat berdilatasi dan
menyatakan theophyline pemberian intravena

strategi untuk ethilenediamine agar dilatasi jalan


(Aminofilin) bolusb IV nafas dapat optimal
menurunkan
5-6 mg/kgBB
kekentala

sekresi
3. Ketidakefektifan Tujuan : 1. Kaji R, auskultasi 1. Untuk mengetahui
pola nafas b.d Setelah dilakukan bunyi nafas adanya perubahan
penurunan tindakan keperawatan 2. Berikan posisi high sebelum dan
ekspansi paru selama 1 x 24 jam, fowler atau semi sesudah perawatan
diharapkan klien fowler diberikan
mampu 3. Dorong klien untuk 2. Mengembangkan
mempertahankan latihan nafas dalam ekspansi paru
pola nafas yang dan batuk efektif 3. Membantu
efektif. 4. Lakukan fisioterapi membersihkan
Kriteria hasil : 5. Berikan oksigen muscus dari paru
1. Nafas sesuai sesuai program dan nafas dalam
dengan irama 6. Monitor peningkatan memperbaiki
ventilator dan pengeluaran osigenasi
2. Volume nafas sputum 4. Membantu
adekuat 7. Berikan pengeluaran sekresi
3. Tidak nampak bronkodilator sesuai dan meningkatkan
adanya bradipnea, indikasi otot ekspansi paru
hiperventilasi/hipo pernafasan 5. Memperbaiki
ventilasi oksigenasi dan
4. Pernafasan klien mengurangi sekresi
normal (16- 6. Untuk mengetahui
20x/menit) tanpa adanya kegagalan
penggunaan otot pada paru
bantu nafas. 7. Steroid mengurangi
inflamasi dan agar
menjadi relaks

Anda mungkin juga menyukai