Anda di halaman 1dari 1

Nama : Eka Diah Nur Safitri

NRP : 03311740000006
Mengatasi Tumpang Tindih Perizinan Pengelolaan dan Perlindungan Hutan
Sekitar 70% daratan di Indonesia berupa kawasan hutan negara yang didalamnya
terdapat berbagai SDA seperti kayu, rotan,dan damar. Selain itu terdapat juga sumber daya
yang mengharuskan untuk membuka lahan seperti pertambangan dan perkebunan kelapa
sawit. Pengelolaan hutan berperan penting dalam pertumbuhan laju ekonomi karena
memberikan tambahan PAD (Pendapatan Asli Daerah), membuka lapangan kerja bagi
masyarakat dan menggiatkan sektor ekonomi. Namun pengelolaan yang berlebihan dapat
menyebabkan kerusakan hutan. Salah satu isu penting dalam pengembangan kegiatan
pengelolaan versus kelestarian lingkungan hidup adalah tumpang tindih perizinan
pengelolaan dan perlindungan hutan. Tumpang tindih di antara keduanya berpotensi
menimbulkan konflik sosial. (Siti Nurbaya Bakar, 2015)
Kajian terbaru yang dilakukan Forest Watch Indonesia (FWI) di delapan provinsi
periode 2013-2016 menunjukkan terdapat sekitar 8,9 juta hektar lahan tumpang tindih
perizinan antara Hak Penguasaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, perkebunan kelapa sawit,
dan pertambangan. Pada kurun waktu yang sama, di delapan provinsi ini juga, telah terjadi
deforestasi seluas 1,8 juta hektar. Perubahan tutupan hutan tertinggi terjadi di Kalimantan
Timur seluas 472 ribu hektar yang diikuti Sulawesi Tengah seluas 373 ribu hektar, serta
Kalimantan Barat seluas 241 ribu hektar. Delapan provinsi tempat studi kasus tersebut adalah
Aceh, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Tumpang tindih ini mengakibatkan terdapat 1.084
konflik di daerah tersebut. (FWI, 2018)
Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya kajian oleh pihak yang ahli dibidang
lingkungan, sumber daya alam dan ekonomi untuk merundingkan sekaligus mengkaji berapa
persen masing-masing kebutuhan hutan untuk dikelola dan dilindugi sehingga tercipta tata
kelola hutan yang baik (good forest governance). Selain itu, permasalahn administratif
mengenai tumpang tindih perizinan dapat diselesaikan dengan membuat satu peta atau One
Map Policy sebagai acuan pembagian lahan pengelolaan dan perlindungan hutan. (FWI,
2013)
One Map Policy merupkan sarana peredam konflik penguasaan lahan di sejumlah
daerah di Indonesia akibat terjadinya tumpang tindih yang selama ini telah menghambat
pembangunan nasional. One Map Policy adalah kebijakan Pemerintah Republik Indonesia
dalam hal informasi geospasial. Koordinator utama kebijakan ini yaitu Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial sebagai Ketua
Pelaksana. (BIG, 2016)
One Map Policy menjadi instrumen kebijakan untuk mendorong percepatan
pembangunan nasional. Kebijakan ini diharapkan dapat menghasilkan satu peta yang menjadi
standar penggunaan Informasi Geospasial nasional dan mempunyai basis kerangka referensi
dan rujukan yang sama, sehingga dapat mereduksi potensi konflik antar kementrian,
lembaga pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan atau kebijakan
untuk kepentingan pembangunan nasional. Lebih jauh lagi, One Map Policy dapat menjadi
instrumen pemersatu bangsa dalam satu frame pembangunan nasional. (UNDIP, 2016)

Anda mungkin juga menyukai