Anda di halaman 1dari 3

//Bisa ndak ini dibuatkan Grafis???

//

Detik-detik Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Pertempuran 10 November 1945


*) Sumber : nu.or.id

17 Agustus 1945
Siaran berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, membawa situasi
revolusioner. Tanpa komando, rakyat berinisiatif mengambil-alih berbagai kantor dan instalasi dari
penguasaan Jepang.

31 Agustus 1945
Belanda mengajukan permintaan kepada pimpinan Surabaya untuk mengibarkan bendera Tri-Warna
untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina Armgard.

11 September 1945
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa
perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihad fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan
atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi
umat Islam.

19 September 1945
Terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah
Surabaya. Seorang kader Pemuda Ansor bernama Cak Asy’ari menaiki tiang bendera dan merobek warna
biru, sehingga hanya tertinggal Merah Putih.

23-24 September 1945


Terjadi perebutan dan pengambilalihan senjata dari markas dan gudang-gudang senjata Jepang oleh
laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah.

25 September 1945
Bersamaan dengan situasi Surabaya yang makin mencekam, Laskar Hizbullah Surabaya dipimpin KH
Abdunnafik melakukan konsolidasi dan menyusun struktur organisasi. Dibentuk cabang-cabang
Hizbullah Surabaya dengan anggota antara lain dari unsur Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan.
Diputuskan pimpinan Hizbullah Surabaya Tengah (Hussaini Tiway dan Moh. Muhajir), Surabaya Barat
(Damiri Ichsan dan A. Hamid Has), Surabaya Selatan (Mas Ahmad, Syafi’i, dan Abid Shaleh), Surabaya
Timur (Mustakim Zain, Abdul Manan, dan Achyat).

5 Oktober 1945
Pemerintah pusat membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para pejuang eks PETA, eks KNIL,
Heiho, Kaigun, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan para pemuda lainnya diminta mendaftar sebagai anggota
TKR melalui kantor-kantor BKR setempat.

15-20 Oktober 1945


Meletus pertempuran lima hari di Semarang antara sisa pasukan Jepang yang belum menyerah dengan
para pejuang.

21-22 Oktober 1945


PBNU menggelar rapat konsul (Karesidenan) NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor
Hofdsbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah
membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Di
akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad
sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.
25 Oktober 1945
Sekitar 6.000 pasukan Inggris yang tergabung dalam Brigade ke-49 Divisi ke-26 India mendarat di
Surabaya. Pasukan ini dipimpin Brigjend AWS. Mallaby. Pasukan ini diboncengi NICA (Netherlands-
Indies Civil Administration).

26 Oktober 1945
Terjadi perundingan lanjutan mengenai genjatan senjata antara pihak Surabaya dan pasukan Sekutu.
Hadir dalam perundingan itu dari pihak Sekutu Brigjend Mallaby dan jajarannya, dari pihak Surabaya
diwakili Sudirman, Dul Arnowo, Radjamin Nasution (Walikota Surabaya) dan Muhammad.

27 Oktober 1945
Mayjen DC.Hawtorn bertindak sebagai Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) untuk
Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyebarkan pamflet melalui udara menegaskan kekuasaan Inggris di
Surabaya, dan pelarangan memegang senjata selain bagi mereka yang menjadi pasukan Inggris. Jika ada
yang memegangnya, dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa Inggris memiliki alasan untuk
menembaknya. Laskar Hizbullah dan para pejuang Surabaya marah dan langsung bersatu menyerang
Inggris. Pasukan Inggris pun balik menyerang, dan terjadi pertempuran di Penjara Kalisosok yang ketika
itu berada dalam penjagaaan pejuang Surabaya.

28 Oktober 1945
Laskar Hizbullah dan Pejuang Surabaya lainnya berbekal senjata rampasan dari Jepang, bambu runcing,
dan clurit, melakukan serangan frontal terhadap pos-pos dan markas Pasukan Inggris. Inggris kewalahan
menghadapi gelombang kemarahan pasukan rakyat dan massa yang semakin menjadi-jadi.

29 Oktober 1945
Terjadi baku tembak terbuka dan peperangan massal di sudut-sudut Kota Surabaya. Pasukan Laskar
Hizbullah Surabaya Selatan mengepung pasukan Inggris yang ada di gedung HBS, BPM, Stasiun Kereta
Api SS, dan Kantor Kawedanan. Kesatuan Hizbullah dari Sepanjang bersama TKR dan Pemuda Rakyat
Indonesia (PRI) menggempur pasukan Inggris yang ada di Stasiun Kereta Api Trem OJS Joyoboyo.

29 Oktober 1945
Perwira Inggris Kolonel Cruickshank menyatakan pihaknya telah terkepung. Mayjen Hawtorn dari
Brigade ke-49 menelpon dan meminta Presiden Soekarno agar menggunakan pengaruhnya untuk
menghentikan pertempuran. Hari itu juga, dengan sebuah perjanjian, Presiden Soekarno didampingi
Wapres Mohammad Hatta terbang ke Surabaya dan langsung turun ke jalan-jalan meredakan situasi
perang.

30 Oktober 1945
Genjatan senjata dicapai kedua pihak, Laskar arek-arek Surabaya dan pasukan Sekutu-Inggris. Disepakati
diadakan pertukaran tawanan, pasukan Inggris mundur ke Pelabuhan Tanjung Perak dan Darmo (kamp
Interniran), dan mengakui eksistensi Republik Indonesia.

30 Oktober 1945
Sore hari usai kesepakatan genjatan senjata, rombongan Biro Kontak Inggris menuju ke Gedung
Internatio yang terletak disaping Jembatan Merah. Namun sekelompok pemuda Surabaya menolak
penempatan pasukan Inggris di gedung tersebut. Mereka meminta pasukan Inggris kembali ke Tanjung
Perak sesuai kesepakatan genjatan senjata. Hingga akhirnya terjadi ketegangan yang menyulut baku
tembak. Di tempat ini secara mengejutkan Brigjen Mallaby tertembak (ada yang menulis digranat) dan
mobilnya terbakar.

31 Oktober 1945
Panglima AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ancaman dan ultimatum jika para pelaku
serangan yang menewaskan Brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri maka pihaknya akan mengerahkan
seluruh kekuatan militer darat, udara, dan laut untuk membumihanguskan Surabaya.
7-8 November 1945
Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari
sebagai kebulatan sikap merespon makin gentingnya keadaan pasca ultimatum AFNEI.

9 November 1945
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah menginstruksikan
Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi segala
kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah. KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan
memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas
antara lain Kiai Wahab (KH. Abd. Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan (Roeslan
Abdulgani), Cak Mansur (KH. Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).Bung Tomo melalui
pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap
syahid di jalan Allah SWT.

10 November 1945
Pertempuran kembali meluas menyambut berakhirnya ultimatum AFNEI. Inggris mengerahkan 24.000
pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari
Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang syahid.
Pasukan Kiai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga
pesawat tempur RAF Inggris.

Anda mungkin juga menyukai