Anda di halaman 1dari 15

RESUME :

STUDI QUR’AN

Dosen Pembimbing : Utadz Misbahul Munir, M. Hum.

Dibuat oleh:

AMANDA ROSALINA (1914004)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK


BANGKA BELITUNG
2019/2020
DEFINISI DAN STRUKTUR AI-QUR’AN

Secara bahasa berarti bacaan, mengumpulkan, atau menghimpun. Sedangkan


secara istilah, berarti firman-firman Allah SWT dalam lembaran-lembaran yang
dibukukan dari surah Al-Fatihah sampai Surah An-Nass, yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril, yang ditujukan untuk
seluruh umat manusia sebagai pedoman hidup dan mukjizat Nabi Muhammad
SAW, berbahasa arab dan memiliki kehebatan dapat melemahkan lawan yang
ingin menandinginya, dan membacanya dengan lisan atau pikiran adalah ibadah.

Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir dan menjadi mukjizat terbesar Nabi
Muhammad SAW terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat. Terbagi menjadi dua
jenis, yakni surah Makkiyah dan surah Madaniyah. Struktur Al-Qur’an tersusun,
pada Juz 6 terdapat 14 ruku’ , juz 2, 11, 12, dan 20: 16 ruku’ , juz 1, 3, 4, 5, 8,
10, 16, 17, 18, dan 23: 17 ruku’ , juz 9, 22, dan 26: 18 ruku’ , juz 7, 13, 19,
21, dan 24: 19 ruku’ , juz 25, 27, dan 28: 20 ruku’ , juz 14: 22 ruku’ , juz 15,
dan 29: 21 ruku’ , juz 30: 39 ruku’. Sedangkan dari segi jumlah ayat, Al-
Qur’an dibagi menjadi: Tujuh surah yang panjang (As-Sab’al Tiwal), seratus
ayat lebih (Al-Mi’un), kurang sedikit seratus ayat (Al-Masani), surah-surah
pendek (Al-Mufassal).

2
DEFINISI WAHYU DAN CARA PENURUNAN AL-QUR’AN

Secara bahasa wahyu adalah ilham sebagai bawaan dasar manusia, ilham yang
berupa naluri pada binatang, dan Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode.
Secara terminologi, wahyu adalah firman (petunjuk) Allah yang disampaikan
kepada para nabi. Sedangkan secara etimologi, wahyu adalah pemberitahuan
secara tersembunyi dan khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa
diketahui orang lain.

Cara penurunan wahyu dibagi dua garis besar, yakni melalui perantara malaikat
Jibril dan yang kedua tanpa perantara. Cara pertama adalah Allah menurunkan
wahyu melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Cara ini meliputi pertama, malaikat Jibril menyerupai seorang laki-laki
berwujud manusia. Cara yang kedua, datang seperti dencingan suara lonceng,
suara yang amat keras yang bisa menganggu kesadaran. Cara ini lebih berat dari
cara pertama bagi Nabi Muhammad SAW, maka ketika cara penurunan wahyu
seperti ini, Nabi Muhammad SAW berusaha keras untuk memfokuskan pikiran
dalam menerima dan menghafal wahyu yang diberikan oleh malaikat Jibril.
Cara Kedua, Allah SWT menurunkan wahyu tanpa perantara. Cara ini meliputi
dua cara, pertama melalui mimpi yang benar dalam tidur seperti mimpi Nabi
Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail, karena
keimanan nabi Ibrahim dan nabi Ismail mereka sama-sama ikhlas, namun nabi
Ismail diganti dengan hewan kurban yang besar. Cara kedua, Allah berfirman
melalui balik tabir/hijab seperti Nabi Muhammad SAW mendapat perintah
Sholat saat Isra’ Mi’raj.

3
MAKKIYAH DAN MADANIYAH

Ada beberapa sudut pandang, dalam mendefiniskan pengertian Makkiyah dan


Madaniyah. Pertama, dilihat dari masa turunnya. Jikalah ayat-ayat itu turun
sebelum hijrah, maka ayat tersebut masuk ke dalam jenis Makkiyah. Sedangkan,
ayat-ayat yang turun setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah maka
termasuk ke dalam ayat Madaniyah.
Sudut pandang yang kedua, mengartikan Makkiyah dan Madaniyah sesuai
tempat turunnya. Jadi, ayat-ayat yang di turunkan di kota Mekkah dan sekitarnya
seperti Mina dan Arafah digolongkan Makkiyah. Sedangkan, ayat-ayat yang
diturunkan di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud dan Quba’ maka
digolongkan Madaniyah.
Ketiga, pembagian antara Makkiyah dan Madaniyah adalah dilihat dari objek
pembicaraanya. Ayat-ayat yang digolongkan dalam Makkiyah adalah ayat-ayat
yang diawali ungkapan “ya ayyuhan naas”, sedangkan jika diawali “ya ayyuha
al-ladziina” maka termasuk golongan Madaniyah.
Terakhir, pengertian Makkiyah dan Madaniyah dilihat dari tema pembicaraan.
Jika berbicara tentang tauhid dan ajaran-ajaran dasar maka termasuk Makkiyah,
sedangkan jika bebicara cara-cara menjalankan ajaran masuk ke Madaniyah.
Dari beberapa pendapat sudut pandang dalam medefinisikan pengertian
Makkiyah dan Madaniyah, pendapat yang paling kuat dalam adalah dilihat dari
masa atau waktu turunnya ayat, karena jika diartikan dari melihat tempat
turunnya ada beberapa ayat yang turun tidak di Mekkah dan Madaniyah.
Surah-surah Makkiyah memiliki ciri-ciri berupa terdapat ayat Sajadah, terdapat
lafal kalla disebagian besar ayatnya, mengandung seruan pokok iman, biasanya
surah-surahnya pendek. Sedangkan beberapa ciri-ciri surah Makkiyah adalah
berisi hukum-hukum tentang sesuatu dan surah-surahnya panjang.
Dalam surah Makkiyah juga terdapat ayat-ayat Madaniyah.

4
SEBAB-SEBAB TURUNNYA AL-QUR’AN

Asbabun nuzul secara etimologi adalah sebab-sebab melatar belakangi terjadinya


sesuatu. Maka jika dikaitkan mengenai Al-Qur’an, berarti faktor atau alasan turunnya
ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ungkapan Asbabun nuzul khusus digunakan atau
disandingkan pada sebab-sebab turunnya Al-Qur’an.
Mengetahui dan mempelajari ilmu Asbabun nuzul penting dilakukan, karena
mengingat penafsiran yang dilakukan untuk menentukan hukum-hukum memerlukan
sebab-sebab mengapa ayat itu turun. Selain itu, hal ini perlu untuk membantu dalam
memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian dalam menangkap pesan ayat-ayat
Al-Qur’an, mengatasi keraguan ayat yang diduga memiliki keraguan umum,
mengkhususkan hukum yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an, mengidentifikasi
pelaku yang menyebabkan ayat Al-Qur’an turun, memudahkan untuk menghafal dan
memahami ayat, serta untuk memantapkan wahyu ke dalam hati orang yang
mendengarnya, juga sebagai penegasan bahwa Al-Qur’an benar-benar dari Allah
SWT, bukan buatan manusia.
Ada beberapa macam Asbabun nuzul Al-Qur’an. Pertama, banyak ayat turun
dikarenakan satu sebab, contohnya surah Ali ‘Imran ayat 195, surah An-Nisa’ ayat
32 dan surah Al-Ahzab ayat 35 turun hanya karena satu sebab, yakni pertanyaan
sahabat tentang wanita.
Kedua, ayat turun terlebih dahulu sebelum sebab, maksudnya ayat turun
untuk menjelaskan secara umum terlebih dulu baru datang sebab atau penjelasan
yang lebih rinci. Contoh dari jenis Asbabun nuzul kedua adalah surah Al-A’la ayat
14 tentang zakat, sedangkan di Mekkah belum ada ‘Idul fitri dan Zakat fitrah.
Ketiga, beberapa ayat turun hanya untuk satu orang, seperti ayat yang turun kepada
Sa’ad bin Abi Waqqas yakni surah Al-Anfal ayat 1 yang turun karena sahabat ini
meminta sebilah pedang hasil perang, lalu surah Luqman ayat 15 turun karena ibu
Sa’ad bersumpah untuk tidak makan dan minum jika Sa’ad tidak meninggalkan Nabi
Muhammad SAW.

5
SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN

Pengkodifikasian atau penertiban dan pengumpulan juga dilakukan terhadap


Al-Qur’an agar lebih rapi dan mudah untuk di baca, karena awalnya penulisan ayat-ayat
suci Al-Qur’an masih di media batu, tulang, daun dan sebagainya.
Pengumpulan Al-Qur’an atau Jam’ul Al-Qur’an memiliki dua pengertian,
yakni pertama, adalah mengumpulkan dalam artian menghafal di dalam hati. Masalah
ini dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Qiyamah ayat 16-19. Sahabat yang
menghafalkan Al-Qur’an yang terkenal Abdullah Bin Mas’ud, Salim, Mu’az Bin Jabal,
Ali Bin Abi Thalib, Za’id Bin Sabit, Ubai Bin Ka’ab,”
Sedangkan pengertian mengumpulkan yang kedua adalah pengumpulan secara
tertulis atau kitabatuhu kullihi (penulisan Al-Qur’an semuanya) baik dengan memisah-
misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya,atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap
surah di tulis dalam satu lembaran secara terpisah,ataupun menertibkan ayat-ayat dan
surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surah.
Pada masa Abu Bakar, akibat perang yamamah banyak para sahabat penghafal
Al-Qur’an gugur dalam keadaan syahid dalam peperangan. Karena ditakutkan Al-
Qur’an akan musnah akibat kehilangan banyak penghafalnya, maka Umar bin Khattab
menyarankan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an. Pada awalnya Abu
Bakar takut melakukannya dengan alasan membuat hal yang baru yang tidak ada pada
masa Nabi Muhammad SAW. Namun Umar mengatakan itu hal yang baik, akhirnya
Abu Bakar setuju dan menyuruh Zaid yang di anggap mampu untuk mengumpulkan Al-
Qur’an.
Selanjutnya pada masa Utsman bin ‘Affan, terjadi banyak sekali perbedaan
pendapat antar satu kaum dengan kaum yang lainnya. Hal itu membuat konflik antar
kaum, karena masing-masing berpegang pada caranya dan bahkan mengkafirkan kaum
yang lain. Akhirnya Utsman mengambil kebijakan menyamakan menjadi satu huruf dari
tujuh huruf itu, dan membakar enam huruf yang lain agar tidak terjadi konflik.

6
KAIDAH-KAIDAH PENAFSIRAN

Kaidah penafsiran dalam bahasa Arab disebut Qowaid Al-Tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta
makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya.
Kaidah tafsir ini sangat diperlukan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an,
selain itu perlu alat bantu selain kaidah penafsiran yakni memahami bahasa Arab,
karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, juga memahami Ushul fiqh sangat
diperlukan untuk mendapatkan hukum dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Tafsir terdiri dari empat bagian, pertama adalah yang dimengerti secara umum
oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. kedua, yang tidak ada
alasan bagi mereka untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, yang tidak diketahui kecuali
oleh ulama. Keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Agar tidak terjadi penyimpangan kesalahan dalam penafsiran para ahli sudah
menetapkan beberapa kaidah-kaidah penafsiran. Pertama, Kaidah dasar meliputi
meliputi Al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Kedua, Kaidah
umum meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan
dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat.
Ketiga, Kaidah khusus meliputi masalah nalar dan bukan nalar, maksudnya adanya
masalah-masalah dalam Al-Qur’an yang dapat ditangkap secara akal dan ilmu
pengetahuan seperti masalah metafisika sedangkan ada juga masalah yang
berhubungan dengan nalar yakni yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Selain
itu, kaidah khusus adalah Qath’i dan Dzani, maksudnya bahwa harus dipisahkan
mana masalah yang masih memerlukan tafsiran seperti dzani sedangkan qath’i sudah
punya aturan tetap yang di atur oleh syariat Islam yang tidak boleh diubah lagi dan
ditambah dengan tafsiran yang lain.

7
TAJWID DAN QIRA’AT AL-QUR’AN

Qira’at adalah perbedaan lafadzh-lafadzh wahyu yang disebutkan (Al-Qur’an)


dalam penulisan huruf, atau cara mengucapkan lafadzh Al-Qur’an seperti ringan dan
berat serta lainnya.
Al-muqri adalah orang yang alim dengan qira’ah yang meriwayatkannya secara
musyafahah (lisan) melalui jalan talaqqi (berguru langsung) dari orang yang ahli di
bidang qira’ah, demikian sampai silsilah qira’ah tersebut bersambung hingga kepada
Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka qira’at bukan ciptaan para imam qira’at
tetapi ia dari Rasulullah SAW. Qira’at diturunkan bersamaan dengan turunnya Al-
Qur’an, artinya qira’at itu termasuk dalam Al-Qur’an yang kemudian Al-Qur’an
dinisbatkan kepada seorang Imam Qira’at yang meneliti dan menyeleksinya.
Qira’at tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab. Sanad dari
riwayat yang menceritakan qira’at-qira’at tersebut harus shahih. Bacaan dari qira’at
tersebut harus cocok ditetapkan kepada salah satu mushaf Ustman. Jika memenuhi tiga
kriteria baru qira’at itu bisa diterima. Tujuh macam qira’at atau yang dikenal dengan
sebutan qira’at tujuh itu adalah qira’at yang dipopulerkan oleh tujuh orang imam, yaitu
Imam Nafi, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, dan Kisa’i.
Ilmu tajwid merupakan ilmu yang di pergunakan untuk mengetahui tempat
keluarnya huruf (makhraj),dan sifat-sifatnya serta bacaan-bacaannya. Ada beberapa
hukum tajwid, yakni hukum nun mati atau tanwin dibagi lima: izhar, ikhfa, idgham
bighunnah, idgham bilaghunnah, dan iqlab. Lalu hukum mim mati dibagi tiga: izhar
syafawi, ihkfa syafawi, dan idgham mitslain.
Apabila ada mim dan nun diberi tasydid, maka hukum bacaannya wajib
ghunnah (dengung). Hukum berikutnya Alif Lam Syamsiyah dan Alif Lam Qomariyah.
Lalu ada hukum tajwid yakni mad, mad terbagi menjadi Mad Ashli dan Mad Far’i. Mad
Ashli atau Mad Thabi’i yakni jika ‫ ا‬terletak setelah hurufَ , ‫ ي‬terletak setelah ِdan ‫و‬
setelah ُ. Lalu Mad Far’i dibagi menjadi Mad Muttashil, Mad Munfashil, Mad Lazim
Kilmi Mutsaqqal, Mad Lazim Kilmi Mukhaffaf, Mad Badal, Mad Iwadh, Mad Tamkin,
Mad lin.

8
PEMBUKA-PEMBUKA SURAH

Dari 114 surah dalam Al-Qur’an baik yang tergolong Makkiyah atau
Madaniyah memiliki beberapa jenis pembuka surah. Tidak semua awalan surah
memiliki pembuka yang sama dan tidak semua juga awalan surah arti yang bisa
ditafsirkan oleh para mufasir. Hal unik ini bukan tanpa sebab melainkan ingin
menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar mukjizat Nabi Muhammad SAW
yang diberikan oleh Allah, karena pembuka-pembuka surat terutama berupa huruf-huruf
potong belum ada sebelumnya dikalangan bangsa Arab
Jikalau di ringkas dari 114 surah, maka pembuka-pembuka surah dapat
dikelompokkan dalam 10 jenis. Pertama, pembuka surah yang diawali dengan kalimat
pujian (tahmid), bertujuan hendak menegaskan adanya sifat-sifat Yang Maha Terpuji
bagi zat Allah. Kelima surah itu adalah surah yang dimulai dengan lafal “alhamdulillah”
, dua buah surah dimulai dengan lafal “tabâraka”, tujuh buah surah dimulai dengan lafal
tasbih.
Kedua, pembukaan dengan panggilan. Panggilan kepada Nabi Muhammad
SAW terdapat lima surah, panggilan kepada kaum mukmin terdapat tiga surah,
panggilan kepada umat manusia terdapat dua buah. Ketiga, pembukaan dengan kalimat
kabar. Jumlah Ismiyah terdapat sebelas surah dan Jumlah Fi’liyah terdapat dua belas
surah. Keempat, pembukaan dengan huruf-huruf potong terdapat dua puluh sembilan
buah.
Kelima, pembukaan dengan sumpah. Dalam Al-Qur’an pembukaan surah yang
menggunakan sumpah, terdapat lima belas surah. Keenam, pembukaan surah dengan
syarat, terdapat tujuh surah. Ketujuh, pembukaan dengan kalimat perintah, terdapat
enam surah, Kedelapan, pembukaan surah dengan diawali kalimat pertanyaan,
terdapat enam surah. Kesembilan, pembukaan surah dengan kutukan, terdapat tiga
surah. Terakhir, pembuka surah dengan alasan.

9
MUHKAM, MUTASYABIH, ‘AMM, KHASH

Muhkam adalah pengertian dari ayat-ayat yang memiliki arti yang jelas yang
bisa dipahami tanpa perlu tambahan penafsiran. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat-
ayat yang masih memiliki banyak takwil dan ada juga hanya Allah SWT yang
mengetahui arti sebenarnya. Salah satu hikmah dengan adanya ayat-ayat muatasyabihat,
manusia diuji keimanannya. Apakah mereka tetap percaya dan tunduk kepada ayat-ayat
Allah atau berpaling dan cenderung memperalat ayat ayat Allah untuk kepentingan
pribadi ( mengikuti hawa nafsu).
Dalam Al-Qur’an terdapat lafadz-lafadz umum yang mencakup berbagai
satuan-satuan yang bnyak disebut ‘amm dan sebaliknya lawan dari ‘amm adalah khas
atau lafadz-lafadz yang bersifat khusus serta mengandung satu pengertian secara
tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Namun lafadz-lafadz ‘amm bisa di
lakukan pengecualian yakni dengan cara mengeluarkannya yakni dengan cara taksis.
Takhsis hanya dapat dilakukan pada dalil umum, tapi tidak bisa pada dalil khusus.
Berbeda dengan halnya nasakh yang bisa masuk pada dalil umum maupun khusus.
Takhsis memiliki beberapa macam yakni, takhsis Al-Qur’an oleh Al-Quran,
takhsis Al-Qur’an oleh Hadis, takhsis Hadis oleh Al-Qur’an, takhsis Hadis oleh Hadis,
takhsis dengan ijma’, takhsis dengan qiyas, dan takhsis dengan pendapat sahabat.
Petunjuk yang menunjukan adanya penghususan disebut mukhasis. Mukhasis
dibagi menjadi dua jenis yaitu mukhasis muttasil dan mukhasis munfasil. Mukhasis
muttasil dibagi lagi menjadi Istisna secara bahasa adalah pengecualian, sifat, syarat,
gayah artinya batas dari sesuatu, dan badal ba’d min al-kulli.

10
MUKJIZAT AL-QUR’AN

Al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, menyimpan


begitu banyak hal yang menarik, yang jarang kita ketahui. Mukjizat memiliki arti
melemahkan atau menetapkan kelemahan, sehingga para penentang nabi yang hendak
mengalahkan akan dibuat lemah atas mukjizat yang Allah karuniakan. Selain itu,
mukjizat bisa diartikan peristiwa luar biasa yang terjadi kepada seorang nabi sebagai
bukti kenabiannya, hal ini tidak bisa diterima oleh akal logika karena ini benar-benar
kebesaran Allah SWT.
Mukjizat memiliki beberapa jenis, mukjizat yang bersifat material yakni dapat
dicerna oleh pancaindra, namun melawan hukum alam. Mukjizat yang bersifat material
ini sering diturunkan sebelum masa nabi Muhammad SAW. lalu ada mukjizat yang
bersifat rasional yakni yang semuanya dapat dicerna melalui daya nalar. Setiap manusia
menerimanya sesuai dengan kemampuan daya paham, nalar, dan kemampuannya untuk
membedakan antara yang baik dan buruk. Sebagian besar mukjizat yang diturunkan
pada masa Nabi Muhammad SAW berbentuk rasional.
Mukjizat juga ada yang membagi menjadi mukjizat material indrawi dan
mukjizat immaterial. Mukjizat material indrawi adalah mukjizat yang tidak kekal yakni
mukjizat jenis ini hanya berlaku pada masa Nabi itu ada dan juga mukjizat ini juga
berlaku untuk jaman tertentu, kapan mukjizat itu diturunkan. Sedangkan mukjizat
immaterial adalah mukjizat yang ini bersifat kekal dan berlaku sepanjang zaman.
Mukjizat tersebut adalah Al-Qur’an.
Mukjizat memiliki unsur-unsur berupa, hal atau peristiwa yang luar biasa.
Kedua ditunjukkan oleh seorang Nabi. Ketiga, mukjizat berunsur menunjukkan
terhadap mereka yang meragukan kenabian. Kemukjizatan Al-Qur’an bisa dilihat dari
gaya bahasa dan susunan kalimatnya yang bisa mempengaruhi pendengar dan
pembacanya. Lalu Keringkasan lafadz Al-Qur’an tapi sempurna maknanya. Dan
kesempurnaan balagahnya.

11
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TAFSIR

Masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Pada masa ini terdapat 3 cara
para sahabat untuk mendapatkan penjelasan tafsir Al-Qur’an, pertama, menafsirkan Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, cara ini dilakukan agar penjelasan suatu ayat yang
diturunkan terlebih dahulu didapatkan kejelasan detailnya pada ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kemudian. Contohnya Surat Al-Ma’idah ayat 1 ditafsirkan Al-Ma’idah : 3
Kedua, meminta Tafsiran Nabi Muhammad SAW, Para sahabat jika tidak dapat
memahami suatu ayat Al-Qur’an, maka mereka menemui Nabi Muhammad SAW.
Walaupun para sahabat memang orang arab, dan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab, tapi penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an diperlukan. Mengingat bahwa tidak semua
ayat yang bisa langsung dimengerti oleh para Sahabat.
Ketiga, Melakukan ijtihad, jika tidak didapatkan penjelasan dalam Al-Qur’an
yang menjelaskan, dan juga tidak didapati hal yang berhubungan dengan penjelasan
Nabi Muhammad SAW, maka para sahabat melakkan ijtihad. Hal ini memerlukan
pemahaman dan pemusatan pikiran serta usaha keras para sahabat. Para sahabat
berusaha agar penafsiran yang dihasilkan tidak melenceng dari penjelasan yang
sebenarnya.
Setelah masa Nabi dan para sahabat, tafsir masuk pada masa tabi’in, pada masa
ini, Rasulullah SAW sudah wafat dan juga para sahabat sudah mulai berkurang, maka
para Tabi’in berusaha melakukan tafsir dengan belajar dengan para murid sahabat-
sahabat nabi. Jikalau memang tidak didapatkan, maka para tabi’in melakukan ijtihad.
Memang sering terjadi perbedaan penafsiran terhadap satu mufasir dengan mufasir
lainnya tapi bukan berbeda isi.
Tafsir pada masa pembukuan, tafsir pada masa ini dilakukan dengan cara
menyandarkan kepada Nabi, para sahabat, Tabi’in. Awalnya ilmu Tafsir masih
bergabung dalam ilmu Hadist, Masa ini bermula pada akhir Dinasti Umayyah. namun
setelah itu, ilmu Tafsir sudah terpisah dan dibahas khusus terlepas dari ilmu Hadist.

12
TERJEMAH AL-QUR’AN

Menjelaskan kalam dengan menggunakan bahasa selain bahasa kalam itu, ini
berarti bahwa menafsirkan atau menjelaskan ajaran Al-Qur'an ke dalam berbagai bahasa
selain bahasa Arab, termasuk ke dalam kategori menerjemahkan Al-Qur'an.
Terjemah memiliki beberapa pembagian, yakni terjamah harfiyah ialah
memudahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan bahasa yang lain, di
mana susunan kata yang diterjemahkan sesuai dengan susunan kata bahasa hasil
terjemah, demikian juga susunan bahasa yang diterjemahkan selaras dengan susunan
bahasa hasil terjemah. Pembagian terjemah selain harfiyah juga dibagi menjadi terjemah
tafsiriyah, pengertiannya adalah menjelaskan perkataan dan menerangkan maknanya
dengan bahasa yang lain, tanpa memperhatikan (mempertimbangkan) tartib dan susunan
bahasa aslinya, serta tanpa terikat sepenuhnya pada semua makna dimaksudkannya.
Syarat-syarat melakukan tafsir harfiyah yakni, penerjemah hendaknya
memahami benar persoalan-persoalan yang ada dalam dua bahasa, penarjamah benar-
benar tahu tentang gaya bahasa dan pola. Dalam hasil terjemahan terpenuhi dan
tercermin semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama.Wujud atau
bentuk hasil terjamah itu hendaknya benar-benar lepas dari bahasa pertama, sehingga
tidak ada lagi lafal atau kata dalam bahasa pertama itu yang masih melekat atau
mengikat dalam bahasa terjemah.
Sedangkan terjemah tafsiriyah memiliki syarat, terjemahan harus dilakukan
menurut persyaratan tafsir, dengan bersandar kepada hadits-hadits Nabi, ilmu bahasa
Arab dan prinsip-prinsip syari'at Islam. Penarjamah tidak berkecenderungan pada
akidah yang justru berlawanan. Penarjamah merasakan benar secara mendalam
mengenai dzauq (sense) dari kedua bahasa.
Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan secara harfiyah karena, tidak boleh menulis
Al-Quran bukan dengan huruf-huruf bahasa Arab, bahasa selain bahasa Arab tidak

13
terdapat lafal-lafal, kosa-kata dan kata ganti yang bisa menduduki lafal-lafal bahasa
arab.

KISAH AL-QUR’AN

Qishashul Qur’an adalah pemberitaan Al-Qur’an tentang hal ihwal umat-umat


dahulu dan para nabi, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi secara nyata pada masa
lampau. Ayat yang menjelaskan tentang kisah-kisah yang paling banyak mendominasi
ayat-ayat Al-Qur’an dengan menunjukkan keadaan negeri-negeri yang ditempatinya dan
peninggalan jejak mereka pada masa para nabi. Hal ini diungkapkan oleh Al-Qur’an
dengan menggunakan cara dan gaya bahasa yang menarik dan atau dengan cara
shuratan nathiqah (artinya seolah-olah pembaca kisah tersebut menjadi pelaku sendiri
yang menyaksikan peristiwa itu).
Kisah-kisah yang ditampilkan Al-Qur’an adalah agar dapat dijadikan pelajaran
dan sekaligus sebagai petunjuk yang berguna bagi setiap orang beriman dan bertaqwa
dalam rangka memenuhi tujuan diciptakannya yaitu sebagai abdi dan khalifah
pemakmur bumi dan isinya.
Beragam kisah dalam Al-Qur’an seperti kisah para nabi terdahulu, kisah yang
berhubungan dengan kejadian pada masa lalu dan orang-orang yang tidak disebutkan
kenabiannya, serta kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasulullah. Kisah-kisah Al-
Qur’an berkarakteristik berupa peristiwa nyata yang benar-benar terjadi, sejalan dalam
kehidupan manusia, tidak sama dengan ilmu sejarah yang hanya membahas secara
umum melainkan bisa meningkatkan keimanan, dan juga kisah-kisah dalam Al-Qur’an
sering diulang-ulang.

14
15

Anda mungkin juga menyukai