Resume Qur'an
Resume Qur'an
STUDI QUR’AN
Dibuat oleh:
Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir dan menjadi mukjizat terbesar Nabi
Muhammad SAW terdiri dari 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat. Terbagi menjadi dua
jenis, yakni surah Makkiyah dan surah Madaniyah. Struktur Al-Qur’an tersusun,
pada Juz 6 terdapat 14 ruku’ , juz 2, 11, 12, dan 20: 16 ruku’ , juz 1, 3, 4, 5, 8,
10, 16, 17, 18, dan 23: 17 ruku’ , juz 9, 22, dan 26: 18 ruku’ , juz 7, 13, 19,
21, dan 24: 19 ruku’ , juz 25, 27, dan 28: 20 ruku’ , juz 14: 22 ruku’ , juz 15,
dan 29: 21 ruku’ , juz 30: 39 ruku’. Sedangkan dari segi jumlah ayat, Al-
Qur’an dibagi menjadi: Tujuh surah yang panjang (As-Sab’al Tiwal), seratus
ayat lebih (Al-Mi’un), kurang sedikit seratus ayat (Al-Masani), surah-surah
pendek (Al-Mufassal).
2
DEFINISI WAHYU DAN CARA PENURUNAN AL-QUR’AN
Secara bahasa wahyu adalah ilham sebagai bawaan dasar manusia, ilham yang
berupa naluri pada binatang, dan Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode.
Secara terminologi, wahyu adalah firman (petunjuk) Allah yang disampaikan
kepada para nabi. Sedangkan secara etimologi, wahyu adalah pemberitahuan
secara tersembunyi dan khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa
diketahui orang lain.
Cara penurunan wahyu dibagi dua garis besar, yakni melalui perantara malaikat
Jibril dan yang kedua tanpa perantara. Cara pertama adalah Allah menurunkan
wahyu melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW.
Cara ini meliputi pertama, malaikat Jibril menyerupai seorang laki-laki
berwujud manusia. Cara yang kedua, datang seperti dencingan suara lonceng,
suara yang amat keras yang bisa menganggu kesadaran. Cara ini lebih berat dari
cara pertama bagi Nabi Muhammad SAW, maka ketika cara penurunan wahyu
seperti ini, Nabi Muhammad SAW berusaha keras untuk memfokuskan pikiran
dalam menerima dan menghafal wahyu yang diberikan oleh malaikat Jibril.
Cara Kedua, Allah SWT menurunkan wahyu tanpa perantara. Cara ini meliputi
dua cara, pertama melalui mimpi yang benar dalam tidur seperti mimpi Nabi
Ibrahim yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya Nabi Ismail, karena
keimanan nabi Ibrahim dan nabi Ismail mereka sama-sama ikhlas, namun nabi
Ismail diganti dengan hewan kurban yang besar. Cara kedua, Allah berfirman
melalui balik tabir/hijab seperti Nabi Muhammad SAW mendapat perintah
Sholat saat Isra’ Mi’raj.
3
MAKKIYAH DAN MADANIYAH
4
SEBAB-SEBAB TURUNNYA AL-QUR’AN
5
SEJARAH KODIFIKASI AL-QUR’AN
6
KAIDAH-KAIDAH PENAFSIRAN
Kaidah penafsiran dalam bahasa Arab disebut Qowaid Al-Tafsir adalah ilmu
yang membahas tentang cara mengungkapkan lafadh-lafadh Al-Qur’an, tentang
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta
makna-makna yang dimungkinkannya ketika dalam keadaan tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya.
Kaidah tafsir ini sangat diperlukan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an,
selain itu perlu alat bantu selain kaidah penafsiran yakni memahami bahasa Arab,
karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, juga memahami Ushul fiqh sangat
diperlukan untuk mendapatkan hukum dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Tafsir terdiri dari empat bagian, pertama adalah yang dimengerti secara umum
oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. kedua, yang tidak ada
alasan bagi mereka untuk tidak mengetahuinya. Ketiga, yang tidak diketahui kecuali
oleh ulama. Keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Agar tidak terjadi penyimpangan kesalahan dalam penafsiran para ahli sudah
menetapkan beberapa kaidah-kaidah penafsiran. Pertama, Kaidah dasar meliputi
meliputi Al-Qur’an, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Kedua, Kaidah
umum meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan
dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat.
Ketiga, Kaidah khusus meliputi masalah nalar dan bukan nalar, maksudnya adanya
masalah-masalah dalam Al-Qur’an yang dapat ditangkap secara akal dan ilmu
pengetahuan seperti masalah metafisika sedangkan ada juga masalah yang
berhubungan dengan nalar yakni yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Selain
itu, kaidah khusus adalah Qath’i dan Dzani, maksudnya bahwa harus dipisahkan
mana masalah yang masih memerlukan tafsiran seperti dzani sedangkan qath’i sudah
punya aturan tetap yang di atur oleh syariat Islam yang tidak boleh diubah lagi dan
ditambah dengan tafsiran yang lain.
7
TAJWID DAN QIRA’AT AL-QUR’AN
8
PEMBUKA-PEMBUKA SURAH
Dari 114 surah dalam Al-Qur’an baik yang tergolong Makkiyah atau
Madaniyah memiliki beberapa jenis pembuka surah. Tidak semua awalan surah
memiliki pembuka yang sama dan tidak semua juga awalan surah arti yang bisa
ditafsirkan oleh para mufasir. Hal unik ini bukan tanpa sebab melainkan ingin
menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah benar-benar mukjizat Nabi Muhammad SAW
yang diberikan oleh Allah, karena pembuka-pembuka surat terutama berupa huruf-huruf
potong belum ada sebelumnya dikalangan bangsa Arab
Jikalau di ringkas dari 114 surah, maka pembuka-pembuka surah dapat
dikelompokkan dalam 10 jenis. Pertama, pembuka surah yang diawali dengan kalimat
pujian (tahmid), bertujuan hendak menegaskan adanya sifat-sifat Yang Maha Terpuji
bagi zat Allah. Kelima surah itu adalah surah yang dimulai dengan lafal “alhamdulillah”
, dua buah surah dimulai dengan lafal “tabâraka”, tujuh buah surah dimulai dengan lafal
tasbih.
Kedua, pembukaan dengan panggilan. Panggilan kepada Nabi Muhammad
SAW terdapat lima surah, panggilan kepada kaum mukmin terdapat tiga surah,
panggilan kepada umat manusia terdapat dua buah. Ketiga, pembukaan dengan kalimat
kabar. Jumlah Ismiyah terdapat sebelas surah dan Jumlah Fi’liyah terdapat dua belas
surah. Keempat, pembukaan dengan huruf-huruf potong terdapat dua puluh sembilan
buah.
Kelima, pembukaan dengan sumpah. Dalam Al-Qur’an pembukaan surah yang
menggunakan sumpah, terdapat lima belas surah. Keenam, pembukaan surah dengan
syarat, terdapat tujuh surah. Ketujuh, pembukaan dengan kalimat perintah, terdapat
enam surah, Kedelapan, pembukaan surah dengan diawali kalimat pertanyaan,
terdapat enam surah. Kesembilan, pembukaan surah dengan kutukan, terdapat tiga
surah. Terakhir, pembuka surah dengan alasan.
9
MUHKAM, MUTASYABIH, ‘AMM, KHASH
Muhkam adalah pengertian dari ayat-ayat yang memiliki arti yang jelas yang
bisa dipahami tanpa perlu tambahan penafsiran. Sedangkan Mutasyabih adalah ayat-
ayat yang masih memiliki banyak takwil dan ada juga hanya Allah SWT yang
mengetahui arti sebenarnya. Salah satu hikmah dengan adanya ayat-ayat muatasyabihat,
manusia diuji keimanannya. Apakah mereka tetap percaya dan tunduk kepada ayat-ayat
Allah atau berpaling dan cenderung memperalat ayat ayat Allah untuk kepentingan
pribadi ( mengikuti hawa nafsu).
Dalam Al-Qur’an terdapat lafadz-lafadz umum yang mencakup berbagai
satuan-satuan yang bnyak disebut ‘amm dan sebaliknya lawan dari ‘amm adalah khas
atau lafadz-lafadz yang bersifat khusus serta mengandung satu pengertian secara
tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Namun lafadz-lafadz ‘amm bisa di
lakukan pengecualian yakni dengan cara mengeluarkannya yakni dengan cara taksis.
Takhsis hanya dapat dilakukan pada dalil umum, tapi tidak bisa pada dalil khusus.
Berbeda dengan halnya nasakh yang bisa masuk pada dalil umum maupun khusus.
Takhsis memiliki beberapa macam yakni, takhsis Al-Qur’an oleh Al-Quran,
takhsis Al-Qur’an oleh Hadis, takhsis Hadis oleh Al-Qur’an, takhsis Hadis oleh Hadis,
takhsis dengan ijma’, takhsis dengan qiyas, dan takhsis dengan pendapat sahabat.
Petunjuk yang menunjukan adanya penghususan disebut mukhasis. Mukhasis
dibagi menjadi dua jenis yaitu mukhasis muttasil dan mukhasis munfasil. Mukhasis
muttasil dibagi lagi menjadi Istisna secara bahasa adalah pengecualian, sifat, syarat,
gayah artinya batas dari sesuatu, dan badal ba’d min al-kulli.
10
MUKJIZAT AL-QUR’AN
11
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TAFSIR
Masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabat. Pada masa ini terdapat 3 cara
para sahabat untuk mendapatkan penjelasan tafsir Al-Qur’an, pertama, menafsirkan Al-
Qur’an dengan Al-Qur’an, cara ini dilakukan agar penjelasan suatu ayat yang
diturunkan terlebih dahulu didapatkan kejelasan detailnya pada ayat Al-Qur’an yang
diturunkan kemudian. Contohnya Surat Al-Ma’idah ayat 1 ditafsirkan Al-Ma’idah : 3
Kedua, meminta Tafsiran Nabi Muhammad SAW, Para sahabat jika tidak dapat
memahami suatu ayat Al-Qur’an, maka mereka menemui Nabi Muhammad SAW.
Walaupun para sahabat memang orang arab, dan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Arab, tapi penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an diperlukan. Mengingat bahwa tidak semua
ayat yang bisa langsung dimengerti oleh para Sahabat.
Ketiga, Melakukan ijtihad, jika tidak didapatkan penjelasan dalam Al-Qur’an
yang menjelaskan, dan juga tidak didapati hal yang berhubungan dengan penjelasan
Nabi Muhammad SAW, maka para sahabat melakkan ijtihad. Hal ini memerlukan
pemahaman dan pemusatan pikiran serta usaha keras para sahabat. Para sahabat
berusaha agar penafsiran yang dihasilkan tidak melenceng dari penjelasan yang
sebenarnya.
Setelah masa Nabi dan para sahabat, tafsir masuk pada masa tabi’in, pada masa
ini, Rasulullah SAW sudah wafat dan juga para sahabat sudah mulai berkurang, maka
para Tabi’in berusaha melakukan tafsir dengan belajar dengan para murid sahabat-
sahabat nabi. Jikalau memang tidak didapatkan, maka para tabi’in melakukan ijtihad.
Memang sering terjadi perbedaan penafsiran terhadap satu mufasir dengan mufasir
lainnya tapi bukan berbeda isi.
Tafsir pada masa pembukuan, tafsir pada masa ini dilakukan dengan cara
menyandarkan kepada Nabi, para sahabat, Tabi’in. Awalnya ilmu Tafsir masih
bergabung dalam ilmu Hadist, Masa ini bermula pada akhir Dinasti Umayyah. namun
setelah itu, ilmu Tafsir sudah terpisah dan dibahas khusus terlepas dari ilmu Hadist.
12
TERJEMAH AL-QUR’AN
Menjelaskan kalam dengan menggunakan bahasa selain bahasa kalam itu, ini
berarti bahwa menafsirkan atau menjelaskan ajaran Al-Qur'an ke dalam berbagai bahasa
selain bahasa Arab, termasuk ke dalam kategori menerjemahkan Al-Qur'an.
Terjemah memiliki beberapa pembagian, yakni terjamah harfiyah ialah
memudahkan kata-kata dari suatu bahasa yang sinonim dengan bahasa yang lain, di
mana susunan kata yang diterjemahkan sesuai dengan susunan kata bahasa hasil
terjemah, demikian juga susunan bahasa yang diterjemahkan selaras dengan susunan
bahasa hasil terjemah. Pembagian terjemah selain harfiyah juga dibagi menjadi terjemah
tafsiriyah, pengertiannya adalah menjelaskan perkataan dan menerangkan maknanya
dengan bahasa yang lain, tanpa memperhatikan (mempertimbangkan) tartib dan susunan
bahasa aslinya, serta tanpa terikat sepenuhnya pada semua makna dimaksudkannya.
Syarat-syarat melakukan tafsir harfiyah yakni, penerjemah hendaknya
memahami benar persoalan-persoalan yang ada dalam dua bahasa, penarjamah benar-
benar tahu tentang gaya bahasa dan pola. Dalam hasil terjemahan terpenuhi dan
tercermin semua makna dan maksud yang dikehendaki oleh bahasa pertama.Wujud atau
bentuk hasil terjamah itu hendaknya benar-benar lepas dari bahasa pertama, sehingga
tidak ada lagi lafal atau kata dalam bahasa pertama itu yang masih melekat atau
mengikat dalam bahasa terjemah.
Sedangkan terjemah tafsiriyah memiliki syarat, terjemahan harus dilakukan
menurut persyaratan tafsir, dengan bersandar kepada hadits-hadits Nabi, ilmu bahasa
Arab dan prinsip-prinsip syari'at Islam. Penarjamah tidak berkecenderungan pada
akidah yang justru berlawanan. Penarjamah merasakan benar secara mendalam
mengenai dzauq (sense) dari kedua bahasa.
Al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan secara harfiyah karena, tidak boleh menulis
Al-Quran bukan dengan huruf-huruf bahasa Arab, bahasa selain bahasa Arab tidak
13
terdapat lafal-lafal, kosa-kata dan kata ganti yang bisa menduduki lafal-lafal bahasa
arab.
KISAH AL-QUR’AN
14
15