PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan
virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes albbopictus. Kedua jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ditempat ketinggian lebih dari 1000
meter di atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya genangan – genangan air yang terjadi pada selokan
yang buntu, gorong – gorong yang tidak lancar serta adanya banjir yang berkepanjangan, perlu
diwaspadai adanya tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk pada genangan – genangan
tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah tiba pula, itulah kata-kata yang melakat
pada saat ini. saatnya kita melakukan antisipasi adanya musim nyamuk dengan cara pengendalian
nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi lingkungan atau non kimiawi yang tepat sangat
diutamakan sebelum dilakukannya pengendalian secara kimiawi.
Selama ini semua manusia pasti mengatahui dan mengenal serangga yang disebut nyamuk.
Antara nyamuk dan manusia bisa dikatakan hidup berdampingan bahkan nyaris tanpa batas. Namun,
berdampingannya manusia dengan nyamuk bukan dalam makna positif. Tetapi nyamuk dianggap
mengganggu kehidupan umat manusia. Meski jumlah nyamuk yang dibunuh manusia jauh lebih banyak
daripada jumlah manusia yang meninggal karena nyamuk, perang terhadap nyamuk seolah menjadi
kegiatan tak pernah henti yang dilakukan oleh manusia.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) {bahasa medisnya disebut Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF)} adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang mana menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler
dan pada sistem pembekuan darah, sehingga mengakibatkan perdarahan-perdarahan.Penyakit ini
banyak ditemukan didaerah tropis seperti Asia Tenggara, India, Brazil, Amerika termasuk di seluruh
pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air
laut. Hal ini disebabkan karena penyakit ini telah merenggut banyak nyawa. Berdasarkan data dari
Departemen Kesehatan RI terdapat 14 propinsi dalam kurun waktu bulan Juli sampai dengan Agustus
2005 tercatat jumlah penderita sebanyak 1781 orang dengan kejadian meninggal sebanyak 54 orang.
DBD bukanlah merupakan penyakit baru, namun tujuh tahun silam penyakit inipun telah menjangkiti 27
provinsi di Indonesia dan menyebabkan 16.000 orang menderita, serta 429 jiwa meninggal dunia, hal ini
terjadi sepanjang bulan Januari sampai April 1998 (Tempo, 2004). WHO bahkan memperkirakan 50 juta
warga dunia, terutama bocah-bocah kecil dengan daya tahan tubuh ringkih, terinfeksi demam berdarah
setiap tahun.
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi
perdarahan. Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh syok
hipovolemik akibat kebocoran plasma. DBD merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue yang penularannya dari satu penderita ke penderita lain disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti.
Oleh karena itu langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran DBD adalah dengan
memotong siklus penyebarannya dengan memberantas nyamuk tersebut. Salah satu cara untuk
memberantas nyamuk Aedes aegypti adalah dengan melakukan Fogging. Selain itu juga dapat dilakukan
pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan abatisasi untuk memberantas jentik nyamuk.
Berbagai upaya pengendalian penyakit demam berdarah dengue (DBD) telah dilaksanakan meliputi :
promosi kesehatan tentang pemberantasan sarang nyamuk, pencegahan dan penanggulangan faktor
resiko serta kerja sama lintas program dan lintas sector terkait sampai dengan tingkat desa /kelurahan
untuk pemberantasan sarang nyamuk. Masalah utama dalam upaya menekan angka kesakitan DBD
adalah belum optimalnya upaya pergerakan peran serta masyarakat dalam pemberantasan sarang
nyamuk Demam Berdarah Dengue. Oleh karena itu partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang
nyamuk DBD tersebut perlu di tingkatkan antara lain pemeriksaan jentik secara berkala dan
berkesinambungan serta menggerakan masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk DBD.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
3. Untuk mengetahui bagaimana public health surveillance terhadap penyakit demam berdarah dengue
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Pembaca
Agar pembaca dapat mengetahui bagaimana konsep penyakit demam berdarah dengan
pemberantasanya, dan bagaimana ukuran frekuensi terjadinya penyakit demam berdarah, serta
bagaimana public health surveillance terhadap penyakit demam berdarah dengue
1.4.2 Bagi Mahasiswa
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam memahami konsep penyakit demam berdarah dengue
BAB II
TINJAUAN TEORI
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan
virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegyti dan Aedes albbopictus. Kedua jenis
nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia kecuali ditempat ketinggian lebih dari 1000
meter di atas permukaan air laut (Ginanjar, 2008).
Penyakit ini ditujukan melalui munculnya demam secara tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada
sendi otot (myalgias dan arthralgias) dan ruam. Ruam Demam Berdarah mempunyai ciri-ciri merah
terang, petekial dan biasanya muncul dulu pada bagian bawah, badan pada beberapa pasien, ia
menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh. Selain itu, radang perut juga bisa muncul dengan
kombinasi sakit perut, rasa mual, muntah-muntah/ diare.
2) Tanda-tanda perdarahan seperti mimisan (epistaksis), perdarahan gusi, perdarahan pada kulit seperti
tes Rumppleede(+), ptekiae dan ekimosis, serta buang air besar berdarah berwarna merah kehitaman
(melena) .
4) Kegagalan sirkulasi darah, yang ditandai dengan denyut nadi yang teraba lemah dan cepat, ujung-
ujung jari terasa dingin serta dapat disertai penurunan kesadaran dan renjatan (syok) yang dapat
menyebabkan kematian.
DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, dan disebarkan oleh artropoda. Vektor
utama DBD ialah Aedes aegypti di daerah perkotaan dan Aedes albopictus di daerah pedesaan. Nyamuk
ini dapat menyebarkan virus dengue setelah sebelumnya menggigit dan menghisap darah manusia yang
sedang menderita DBD. Berdasarkan laporan yang ada, virus ini juga dapat
ditularkan transovarial sehingga telur- telur nyamuk ini terinfeksi oleh virus dengue. Virus ini
berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk selama kurang dari 8-10 hari terutama di dalam kelenjar air
ludahnya. Saat nyamuk menggigit manusia, virus ini akan ditularkan dan berkembang biak di dalam
tubuh manusia. Masa inkubasi selama kurang lebih 4-6 hari dan orang yang terinfeksi tersebut dapat
menderita demam berdarah dengue (Dinkes, 2006)
Virus Dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk dalam kelompok B Airthopod Borne Virus
(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, Famili Flaviviradae dan mempunyai 4 jenis
serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Departemen Kesehatan RI, 2003). Keempat serotipe
virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotype lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat. Virus Dengue ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti (Kristina, dkk, 2004).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue, antara lain faktor
host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu kerentanan
(susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi geografi (ketinggian dari
permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim), Kondisi demografi (kepadatan, mobilitas,
perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Faktor agent yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat
ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe yaitu Dengue 1, 2, 3, dan 4. Penelitian terhadap epidemi Dengue
di Nicaragua tahun 1998, menyimpulkan bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada
daerah geografi dan serotipe virusnya.
2.1.4 Agent Infeksius
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue. Virus ini termasuk dalam grup B Antropod Borne Virus
(Arboviroses) kelompok flavivirus dari family flaviviridae, yang terdiri dari empat serotipe, yaitu DEN 1,
DEN 2, DEN 3, DEN 4. Masing-masing saling berkaitan sifat antigennya dan dapat menyebabkan sakit
pada manusia. Keempat tipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. DEN 3
merupakan serotipe yang paling sering ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1,
dan DEN 4. DEN 3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak yang meninggal.
2.1.5 Vektor Penular
A. Mekanisme Penularan
Seseorang yang di dalam darahnya memiliki virus dengue (infektif) merupakan sumber penular DBD.
Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam (masa inkubasi
instrinsik). Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk
ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan berkembangbiak dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh nyamuk, dan juga dalam kelenjar saliva. Kira-kira satu minggu setelah menghisap darah penderita
(masa inkubasi ekstrinsik), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan
tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang
telah menghisap virus dengue menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya.
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk), sebelum menghisap darah akan
mengeluarkan air liur melalui saluran alat tusuknya (probosis), agar darah yang dihisap tidak membeku.
Bersama air liur inilah virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.13 Hanya nyamuk Aedes
aegypti betina yang dapat menularkan virus dengue. Nyamuk betina sangat menyukai darah manusia
(anthropophilic) dari pada darah binatang. Kebiasaan menghisap darah terutama pada pagi hari jam
08.00-10.00 dan sore hari jam 16.00-18.00. Nyamuk betina mempunyai kebiasaan menghisap darah
berpindah-pindah berkali-kali dari satu individu ke individu lain (multiple biter). Hal ini disebabkan
karena pada siang hari manusia yang menjadi sumber makanan darah utamanya dalam keadaan aktif
bekerja/bergerak sehingga nyamuk tidak bisa menghisap darah dengan tenang sampai kenyang pada
satu individu. Keadaan inilah yang menyebabkan penularan penyakit DBD menjadi lebih mudah terjadi.
Penularan penyakit DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya.
Tempat-tempat potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :
a. Sekolah
Anak murid sekolah berasal dari berbagai wilayah, merupakan kelompok umur yang paling rentan untuk
terserang penyakit DBD.
b. Rumah Sakit/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya : Orang datang dari berbagai
wilayah dan kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD, demam dengue atau carier virus dengue.
Karena di lokasi ini, penduduk umumnya berasal dari berbagai wilayah, maka kemungkinan
diantaranya terdapat penderita atau carier yang membawa tipe virus dengue yang berlainan dari
masing-masing lokasi awal.
A. Morfologi
1) Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil, jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk yang lain.
Mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.
2) Pupa (Kepompong)
Pupa atau kepompong berbentuk seperti “Koma”. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibandingkan larva (jentik) nya. Pupa nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil, jika dibandingkan
dengan rata-rata pupa nyamuk lain.
3) Larva (jentik)
c. Larva instar III berukuran lebih besar sedikit dari larva instar II.
Larva dan pupa hidup pada air yang jernih pada wadah atau tempat air buatan seperti pada potongan
bambu, dilubang-lubang pohon, pelepah daun, kaleng kosong, pot bunga, botol pecah, tangki air, talang
atap, tempolong atau bokor, kolam air mancur, tempat minum kuda, ban bekas, serta barang-barang
lainnya yang berisi air yang tidak berhubungan langsung dengan tanah. Larva sering berada di dasar
container, posisi istirahat pada permukaan air membentuk sudut 45 derajat, sedangkan posisi kepala
berada di bawah.
4) Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran lebih 0,80 mm. Telur berbentuk oval yang mengapung satu
persatu pda permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding penampungan air, Aedes
aegypti betina bertelur diatas permukaan air pada dinding vertikal bagian dalam pada tempat-tempat
yang berair sedikit, jernih, terlindung dari sinar matahari langsung, dan biasanya berada di dalam dan
dekat rumah. Telur tersebut diletakkan satu persatu atau berderet pada dinding tempat air, di atas
permukaan air, pada waktu istirahat membentuk sudut dengan permukaan air.
B. Lingkungan Hidup
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan ke tempat istirahat
ditentukan oleh kemampuan terbang. Jarak terbang nyamuk betina biasanya 40-100 meter. Namun
secara pasif misalnya angin atau terbawa kendaraan maka nyamuk ini dapat berpindah lebih jauh.
C. Variasi Musiman
Pada musim hujan tempat perkembang biakan Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak
terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu pada
musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat
digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Oleh karena itu pada musim
hujan populasi nyamuk Aedes aegypti terus meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue.
1) Tempat Penampungan Air (TPA), yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan
sehari-hari, seperti: tempayan, bak mandi, ember, dan lain-lain.
2) Bukan tempat penampungan air (non TPA), yaitu tempat-tempat yang biasa menampung air tetapi
bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti : tempat minum hewan peliharaan (ayam, burung, dan lain-
lain), barang bekas (kaleng,botol, ban,pecahan gelas, dan lain-lain), vas bunga,perangkap semut,
penampung air dispenser, dan lain-lain.
3) Tempat penampungan air alami, seperti : Lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung
kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lain-lain .
DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak pada anak-
anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok
dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang tinggi dan sejalan dengan
perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan untuk tertularnya virus dengue lebih
besar, dan juga karena adanya infeksi virus dengue jenis baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang
sebelumya belum pernah ada pada suatu daerah.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita
terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada wabah wabah
selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia
penderita DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur
lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984
B. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian
1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah
perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus
dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari
0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Sampai saat ini DBD telah
ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.
Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin
baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor nyamuk
hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang menyebar sepanjang tahun.
Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent (virus), host (pejamu), dan
lingkungan, yaitu :
1) Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau mati yang kehadirannya,
apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam keadaan yang memungkinkan
akan menjadi stimuli untuk mengisi dan memudahkan terjadinya suatu proses penyakit. Dalam hal ini
yang menjadi agent penyebaran DBD adalah virus dengue.
2) Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit DBD. Faktor-
faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu :
a. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya. Hasil
penelitian Fathi (2004) di kota Mataram mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam terjadinya KLB
penyakit DBD di kota Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas penduduk di kota Mataram
yang relatif rendah yaitu sebagian besar adalah petani. Hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003)
di kota Makassar mobilitas penduduk berperan dalam penyebaran DBD, hal ini disebabkan mobilitas
penduduk di kota Makassar yang relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan Sumarmo bahwa penyakit biasanya
menjalar dimulai dari suatu pusat sumber penularan (kota besar), kemudian mengikuti lalu-lintas
(mobilitas) penduduk. Semakin tinggi mobilitas makin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
b. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas Duma
(2007) di kecamatan Baruga kota Kendari ada hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan
dengan kejadian DBD. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota
Makassar yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian
DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di Subang Jawa Barat menyatakan bahwa seseorang yang
mempunyai latar belakang pendidikan atau buta huruf, pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk
menyerap ide-ide baru dan membuat mereka konservatif karena tidak mengenal alternatif yang lebih
baik.
c. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD. Hasil penelitian
Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa Timur dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2000 proporsi kasus
DBD terbanyak adalah pada kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun 1998 dan 2000 proporsi kasus
pada kelompok umur 15-44 tahun meningkat, keadaan tersebut perlu diwaspadai bahwa DBD
cenderung meningkat pada kelompok umur remaja dan dewasa. Hal ini sesuai dengan Suroso bahwa di
Indonesia pada tahun 1995-1997 proporsi kasus DBD telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun. Hasil penelitian
Fitri (2005) di Pekanbaru proporsi penderita terbanyak lebih sering pada kelompok umur ≥ 15 tahun.
d. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada tahun 1997 menemukan
bahwa proporsi penderita perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu sebesar 52,6 %.23 Hasil
serupa juga di peroleh oleh Enny dkk (2003) di Jakarta pada tahun 2000 sebagian besar penderita adalah
perempuan (58,2%).25 Namun secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin
penderita DBD dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat memberikan jawaban dengan
tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin pada penderita DBD.13 Hal ini juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan Djelantik di RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara angka insiden laki-laki dan perempuan.
b. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk dan
virus DBD. Di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut tidak ditemukan
nyamuk Aedes aegypti.
c. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang belum
sempat menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga akan meningkat yang
akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dimana selama musim hujan jangka waktu
hidup nyamuk lebih lama dan berisiko penularan virus lebih besar. Dari hasil pengamatan penderita DBD
yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa musim penularan DBD pada umumnya terjadi pada
musim hujan yaitu awal dan akhir tahun.4 Hasil penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di kota
Pekanbaru akan lebih tinggi pada saat curah hujan tinggi yaitu diatas 300 mm.
d. Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna (2003) di kota Medan dengan
desain penelitian case control yang mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan mempunyai hubungan
dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15).26 Penelitian tersebut sesuai dengan
pernyataan Seogeng, S (2004) yang menyatakan bahwa kondisi sanitasi lingkungan berperan besar
dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk
mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
2.2.1 Surveilans Vektor
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa.
b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. CI = Jumlah
Container Yang Terdapat Jentik x 100%
c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah yang tidak
ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa.
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan tiap 3 bulan
sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih secara acak (random
sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk
disuatu wilayah.
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau larva.
Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor, karbamat, dan
pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk penyemprotan (spray) terhadap
rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari
golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand granules yang larut dalam air di tempat
perindukan nyamuk atau sering disebut dengan abatisasi.
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan menggunakan
kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau vertebrata. Sebagai
pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa. Beberapa jenis ikan kepala
timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah pemangsa yang cocok untuk larva
nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda seperti Romanomarmis
iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok untuk larva nyamuk.
3) Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk kontak
dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi di seluruh bagian
rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau di tempat yang tidak
terjangkau sinar matahari.
Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di beberapa negara
pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif tidak sensitif dan memiliki
spesifisitas yang rendah, namun sistem inin berguna untuk memantau kecenderungan penyabaran
dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit pelayanan kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas,
poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita
termasuk tersangka DBD ke dinas kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif
adalah yang bertujuan memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga mampu
mengatakan kejadian, dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk
mencapai tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.
Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan prediktif
terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.
Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah untuk
mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasil hasilnya secara terus menerus. Gerakan PSN
DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD, dan
merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka
mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera. Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan
cara yang dikenal dengan istilah 3M, yaitu :
1) Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali
dalam seminggu.
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh
nyamuk dewasa.
3) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat menampung air
hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas kesehatan dan
masyarakat dengan cara :
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan pertama
dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak mengandung asam
salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera
melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian pihak
Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan pengamatan
penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa (KLB)
kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara penanggulangan seperlunya.
2.3.2 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari
kriteria klinis dan laboratorium.
1) Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji tourniquet
dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan tekanan di antara
sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan
menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya petekia
pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila
pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.13
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
2. Kriteria Laboratorium
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi perdarahan
ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.
b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi, biasanya
dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan
gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( < 20
mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan
gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.
Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi dengue,
meliputi :
1) Pengumpulan Spesimen
Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan,
penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada stadium
akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah sakit. Spesimen S2
adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita akan meninggalkan rumah sakit atau
secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3 adalah sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah
spesimen akut. Waktu antara yang paling baik untuk pengambilan spesimen akut dan kovalesen
adalah 10 hari. Untuk pemeriksaan serologi pengumpulan spesimen darah dapat dilakukan dengan 2
cara :
b. Dengan serum
darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar 1500-
2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil dengan
menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu -200C sebelum dikirim ke
laboratorium.
2) Isolasi Virus
Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian besar
kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung diproses tanpa
penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya serum fase akut dari pasien,
autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe.
3) Uji Serologis
Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan serologi untuk penderita DBD dan
telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada pemeriksaan serologi penderita DBD dibandingkan
pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji netralisasi, dan sebagainya. Apapun
jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti bergantung pada kenaikan yang signifikan (4
kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam sampel serum diantara fase akut dan fase pemulihan.
Kumpulan antigen untuk sebagian besar uji serologis ini harus mencakup keempat serotipe dengue.
Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian
cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit). Bila
cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut berlebihan,
maka cairan inravena harus diberikan.
a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan dipertahankan
selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta Hemoglobin
(Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Anak-anak : 33 – 38 vol %
b. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi darah.
Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita panas tanpa sebab
yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3 M plus, larvasida, fogging fokus /
penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar tempat tinggal penderita DBD dalam radius 200
meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil dari penyelidikan epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan
interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan kasus lain maka dilakukan penyuluhan
Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit DBD dan
melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan :
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena diindikasikan untuk
mendapatkan transfusi darah secepatnya.
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti :
1) Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan
adalah fogging Sebelum Musim Penularan
2) Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD. Kegiatan yang dilakukan
adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) dan 3M, penyuluhan
tetap dilakukan.
3) Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD. Tetapi penduduknya
padat, mempunyai hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase rumah yang ditemukan
jentik > 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.
4) Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian dari permukaan air laut >
1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB,
PSN, 3M dan penyuluhan.
Kasus DBD di Indonesia, pertama kali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat itu,
penyebaran penyakit DBD berlangsung dengan sangat cepat, jumlah kasus cenderung meningkat dan
daerah penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke seluruh
provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 58 kasus dengan jumlah
kematian 24 orang, sedangkan dalam 5 tahun terakhir (1997- 2001) jumlah rata- rata kasus dilaporkan
sebanyak 40.854 kasus dengan rata- rata kematian 701 orang setiap tahunnya. Pada tahun yang sama
setiap 100.000 penduduk, 20-21 orang diantaranya menderita DBD dan setiap 100 penderita, rata- rata
meninggal sebanyak 1-2 orang (Dinkes Jateng, 2006).
Kejadian luar biasa (KLB) atau wabah masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pada
tahun 1998 terjadi KLB dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang dan merupakan wabah terbesar
sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Indonesia dengan 1.411 kematian (CFR=2%). Sedangkan
pada KLB 2004 jumlah penderita sejak Januari 2004 berdasarkan pemantauan dan laporan yang
diperoleh dari 30 provinsi sampai dengan April 2004 adalah sebanyak 58.861 kasus, 669 diantaranya
meninggal (CFR=1,14%) (Dinkes Bali, 2015). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Bali, (2015), jumlah kasus
DBD pada tahun 2015 di Bali mencapai 20.565 kasus dengan jumlah kematian 329 kejadian. Angka
kesakitan DBD adalah 6,25/10.000 penduduk (target nasional kurang dari 2/10.000 penduduk) dan
angka kematian sebesar 1, 60% (target nasional kurang dari 1%). (Dinkes Bali, 2012)
Tabel 2. 1 Angka Kesakitan dan Kematian DBD di Provinsi BALI Tahun 2012-2015
Sesuai rekomendasi Depkes RI, setiap kasus DBD harus segera ditindak lanjuti dengan
penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan lainnya untuk mencegah penyebarluasan atau
mencegah terjadinya KLB. Penyelidikan epidemiologi demam berdarah dengue merupakan kegiatan
pencarian penderita atau tersangka lainnya, serta pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD dirumah
penderita atau tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dalam radius sekurang¬kurangnya 100 meter.
Juga pada tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan penyakit. Tujuannya utama
kegiatan ini untuk mengetahui ada tidaknya kasus DBD tambahan serta terjadinya potensi meluasnya
penyebaran penyakit padad wilayah tersebut
Sedangkan pengertian pengamatan penyakit DBD merupakan kegiatan pencatatan jumlah kasus
DBD dan kasus tersangka DBD menurut waktu dan tempat kejadian, yang dilaksanakan secara teratur
dan menyebarkan informasinya sesuai kebutuhan program pemberantasan penyakit DBD. Laporan
kewaspadaan DBD merupakan laporan secepatnya kasus DBD agar dapat segera dilakukan tindakan atau
langkah¬langkah untuk membatasi penularan penyakit DBD.
Komponen kegiatan diatas antara lain dengan melakukan pengamatan jentik. Pengamatan ini
dilakukan dengan menggunakan indikator ukuran kepadatan jentik yaitu: angka bebas jentik (ABJ),
house index (HI), container index (CI) dan bruteau index (BI). HI lebih menggambarkan penyebaran
nyamuk di suatu wilayah tertentu (Depkes, 1990). Apabila HI kurang dari 5% menunjukkan kecepatan
penularan DBD cukup, sedangkan bila lebih 5% berarti potensial terjadi penularan DBD.
1) Diagnosis klinis DBD adalah penderita dengan gejala demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang
jelas, berlangsung terus menerus selama 2 – 7 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang –
kurangnya uji tourniquet positif). Trombositopenia (jumlah trombosit ≤ 100.000/μl), dan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit ≥ 20 %)
2) Diagnosis Laboratoris adalah hasil pemeriksaan serologis pada tersangka DBD menunjukan hasil
positif pada pemeriksaan HI test atau peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada
pemeriksaan dengue rapid test.
3) Penegakan diagnosis DD adalah gejala demam tinggi mendadak, kadang bifasik (saddle back fever),
nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya
ruam. Hasil pemeriksaan darah menunjukan leukopeni kadang dijumpai trombositopeni. Pada penderita
DD tidak dijumpai kebocoran plasma atau hasil pemeriksaan serologis pada penderita yang diduga DD
menunjukan peninggian (positif) IgM saja.
4) Tersangka DBD adalah penderita demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2 – 7 hari disertai tanda – tanda perdarahan sekurang – kurangnya
ujitourniquet (Rumple Leede) positif dan atau jumlah trombosit ≤ 100.000 / μl.
Pelaporan rutin
Setiap unit pelayanan kesehatan yang menemukan tersangka atau penderita DBD wajib segera
melaporkannya ke dinas kesehatan kabupaten / kota setempat selambat – lambatnya dalam 24 jam
dengan tembusan ke puskesmas wilayah tempat tinggal penderita. Laporan tersangka DBD merupakan
laporan yang dipergunakan untuk tindakan kewaspadaan dan tindak lanjut penanggulangannya juga
merupakan laporan yang dipergunakan sebagai laporan kasus yang diteruskan secara berjenjang dari
puskesmas sampai pusat. Formulir yang digunakan adalah formulir kewaspadaan dini RS (KD/RS-
DBD) (lampiran 1), dan formulir rekapitulasi penderita DBD per bulan (DP-DBD/RS) (lampiran 2).
a. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan (lampiran 1)
b. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan perbulan
(lampiran 2)
a. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan perbulan
(lampiran 2)
a. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan DBD yang dilaporkan perbulan
(lampiran 2)
b. Pelaporan dengan formulir DP-DBD ditingkatkan frekuensinya menjadi mingguan atau harian
(lampiran 2)
b. Menggunakan formulir KD/RS-DBD untuk pelaporan kasus DBD dalam 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan (lampiran 1)
Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan memelihara
kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan serta analisis terhadap
laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing – masing tingkat administrasi dilaksanakan setiap tiga
bulan, minimal dua kali dalam setahun.
a. Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan penderita
DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal
dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau puskesmas lain (cross
notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik,
dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah
ada konfirmasi dari rumah sakit / unit pelayanan kesehatan lainnya).
b.Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan harian
penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD
ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
Data dalam ‘Buku catatan harian penderita DBD’ diolah dan disajikan dalam bentuk :
b. Penyampaian laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD selambat – lambatnya dalam 24
jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan formulir KD/RS-DBD.
c. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD yang
disampaikan perbulan.
a. Jumlahkan penderita DBD dan SSD setiap minggu menurut desa / kelurahan
a. Jumlahkan penderita / kematian DB, DBD, SSD termasuk data beberapa kegiatan pokok
pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
D. Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dinas Kesehatan Kabupaten
1) Sumber data
e. Laporan hasil surveilans aktif oleh dinas kesehatan kabupaten / kota ke unit pelayanan kesehatan
2) Pencatatan data
a. Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD, misalnya menggunakan ‘Buku catatan
penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD
ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
b.Perlu kecermatan terhadap kemungkinan pencatatan yang berulang untuk pasien yang sama, misalnya
antara tersangka DBD dan penderita DBD selama proses perawatan dan antara penderita DBD yang
dilaporkan RS dengan yang dilaporkan oleh puskesmas, sehingga perlu penyesuaian data.
Dari data yang ada pada buku catatan penderita DD, DBD dan SSD dapat dilakukan penyajian data
sebagai berikut :
b. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD yang
disampaikan per bulan.
d. Laporan bulanan, jumlahkan dan laporkan penderita / kematian DD, DBD, SSD termasuk beberapa
kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.