Anda di halaman 1dari 15

FAKTOR GENETIS PENYEBAB KELAINAN

PERKEMBANGAN

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah Teratologi
yang dibina oleh Dra. Amy Tenzer, M. S

Disusun Oleh:
Kelompok 2 Offering K 2017
1. Fatma Yuni Reformawati 170342615516
2. Naily Salma Abadi 170342615600
3. Siti Bachrotus Recha Nur Faida 170342615509
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Februari 2020

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Salah satu permasalahan yang kerap terjadi ialah cacat lahir. Menurut World
Health Organization (WHO) cacat lahir atau kelainan bawaan ialah anomali
struktural atau ungsional yang terjadi pada saat perkembangan intrautein yang
dapat terjadi pada saat sebelum lahir, saat lahir atau bemanifestasi di kemudian
hari dalam kehidupannya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kelainan
perkembangan ialah faktor genetik. Telah dilaporkan bahwa setiap tahun sekitar
7,9 juta hingga 6% anak-anak yang dilahirkan di seluruh dunia mengalami cacat
lahir yang diakibatkan oleh ffakto genetik. Bedasarkan data tersebut, skita 3,3 juta
anak dengan usia dibaah 5 tahun dinyatakan meninggal akibat cacat lahir (Hoobs,
et al., 2002). Secara kolektif sekitar 3% dari kelahiran AS dipengaruhi oleh cacat
lahir struktural atau kromosom utama (Modica, et al., 2011).
Menurut WHO, faktor genetik dapat berpengaruh dikarenakan gen berperan
dalam terjadinya anomali kongnital. Terjadinya anomali tersebut dimungkinkan
gen-gen yang diwariskan merupakan gen pengkode anomali. Selain itu juga bisa
diakibatkan karena terjadinya mutasi. Cacat lahir dapat terjadi baik seecara
tunggal maupun ganda (Alwan et al., 2010). Akan tetapi cacat lahir akibat
kelainan genetik belum spenuhnya mendapakan perhatian lebih. Meskipun
dampak dari cacat lahir ini terbilang parah dan dapat menimbulkan kematian.
Berdasarkan uraian tersbut, penulis melakukan penyusunan makalah ini
dengan tujuan untuk mengkaji mengenai faktor genetik yang berpengaruh
terhadap kelainan perkembanggan. Dengan adanya penyusunan makalah ini, maka
dapat menjadi sumber rujukan baru mengenai pengaruh faktor genetik kelainan
perkembangan.

Rumusan masalah
Rumusan masalah dari makalah ini diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan abnormalitas kromosom?
2. Bagaimana contoh birth effect akibat faktor genetis?
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan abnormalitas kromosom
2. Mengetahui contoh birth effect akibat faktor genetis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Abnormalitas Kromosom
Abnormalitas kromosom dapat dibagi menjadi dua, yakni abnormal
struktur dan juga abnormal pada jumlah kromosom (Mueller dan Young, 2001).
Kelainan pada jumlah kromosom dapat berupa aneuploidi maupun poliploidi.
Aneuploidi merupakan jenis kelainan yang sangat sering dijumpai pada bayi baru
lahir. Aneuploidi sering dihubungkan dengan usia kehamilan, dan memiliki porsi
kejadian yang cukup besar jika dikaitkan dengan kasus abortus spontan yang
diakibatkan oleh kelainan kromosom. Aneuploidi dapat diteksi pada masa
prenatal. Aneuploidi adalah kondisi abnormal yang disebabkan oleh hilangnya
satu kromosom (monosomi) pada suatu pasang kromosom, atau yang disebabkan
oleh bertambahnya jumlah kromosom pada suatu pasang kromosom (trisomi).
Aneuploidi disebabkan oleh terjadinya kesalahan dalam proses pemisahan
kromosom pada fase meiosis I dan II (Sutherland dan Gardner, 2004). Kelainan
pada jumlah kromosom dapat dibagi menjadi 2 yakni kelainan pada kromosom
autosom dan gonosom.

1. Kelainaan kromosom autosom


a. Trisomi 21
Insidensi Sindrom Down diperkirakan 1/800 sampai 1/1000 kelahiran
hidup dan dapat terjadi pada semua suku bangsa dan di antara semua
tingkatan sosial ekonomi (Schupf, dkk., 2012). Terdapat beberapa
variasi genetika yang dapat menjadi penyebab Sindrom Down antara
lain trisomi 21 klasik, Sindrom Down Mosaik, dan tranlokasi Sindrom
Down. Namun hingga saat ini penyebab pasti dari penambahan jumlah
kromosom 21 pada kasus Sindrom Down belum diketahui dan masih
menjadi hal yang terus menerus diteliti dalam pengembangan ilmu
kedokteran (Liptak dan Gregory, 2010). Defek tulang, brakhisefalus,
gambaran dismorfik kraniofasial, defek septum atrioventrikular,
stenosis katup dan abnormalitas sistem gastrointestinal merupakan
sejumlah defek perkembangan sering ditemukan pada penderita
Sindrom Down. Selain itu, perubahan perkembangan otak dan
disabilitas intelektual selalu terjadi pada Sindrom Down trisomi 21.
Sehingga penderita Sindrom Down memiliki kemampuan kognitif
yang lebih rendah dari kemampuan rata-rata, biasanya terjadi dari
kadar ringan sampai berat dan IQ rata-rata adalah sekitar 50,
dibandingkan dengan anak normal yang memiliki IQ 100 (Schupf,
dkk., 2012).
b. Trisomi 13
Trisomi 13 atau yang biasa dikenal dengan sindrom patau yang
merupakan kelainan genetic dengan jumlah kromosom 13 sebanyak 3
buah. Sindrom ini merupakan merupakan kelainan autosomal ketiga
tersering yang terjadi pada bayi setelah sindrom down (trisomi 21) dan
juga sindrom Edward (trisomi 18) (Janaina, dkk., 2014). Penyebab
trisomi 13 dapat terjadi akibat non-disjunction (kegagalan 1 pasang
atau lebih kromosom homolog untuk berpisah) saat pembelahan miosis
I atau miosis II. Trisomi 13 biasanya berhubungan dengan non-
disjunction miosis maternal (85%), dapat pula terjadi akibat translokasi
genetik. Terdapat 3 tipe pada trisomi 13 yaitu tipe klasik, translokasi,
dan mosaik. Karakteristik trisomi 13 adalah anomali multipel yang
berat termasuk anomali sistem saraf pusat, anomali wajah, defek
jantung, anomali ginjal, dan anomali ekstremitas. Manifestasi klinisnya
dapat berupa mikrosefal, cyclops (mata tunggal), struktur nasal
abnormal, cleft bibir dan palatum, low set ears, dan polidaktili. Trisomi
13 dapat dideteksi prenatal dengan melakukan pemeriksaan USG dan
marker serum maternal yang dilakukan pada trimester I (Duarte, dkk.,
2014)
c. Trisomi 18
Trisomi 18 sering menampakkan kelainan berupa keterlambatan
pertumbuhan dan mental, mikrosefali, mikrognatia, overlapping jari-
jari, panggul sempit, kaki rocker bottom, polihidramnios, malformasi,
aurikula letak rendah, penyakit jantung bawaan, clenched hand. Angka
kejadiannya kurang lebih 2 per 10.000 kelahiran.

2. Kelainan kromosom gonosom


a. Sindrom turner
Sindrom turner merupakan salah satu contoh monosomi pada
kromosom X. sindrom turner dapat berupa sindrom turner klasik (45,
X), mosaic (46, XX /46, X) maupun isokromosom X ataupun delesi
sebagian dari lengan kromosom X. Insidensi sindrom Turner berkisar
antara 1 dari 2500 hingga 1 dari 3000. Manifestasi klinik yang sering
muncul adalah pada bayi tampak kecil, kaki dan tangan bengkak
karena edema limfe, pterygium colli (kelebihan kulit leher), batas
rambut belakang rendah, pada dewasa bentuk badan pendek, dan
amenorrhea karena ovarium yang sangat kecil.
b. Sindrom klinefelter
Sindrom Klinefelter (SK) merupakan kelainan kromosom seks yang
paling banyak terjadi, disebabkan adanya kromosom X tambahan pada
laki-laki (47,XXY). Pasien akan mengalami kegagalan perkembangan
testis, dengan akibat hipogonadisme dan gangguan spermatogenesis.
Gejala klinis SK yang lain adalah gangguan perkembangan, bentuk
tubuh eunukoid, ginekomastia, volume testis yang kecil, dan
peningkatan kadar hormon gonadotropin (hipergonadotropisme).
Penampilan anak laki-laki pasien SK hampir tidak berbeda dengan
mereka yang berkariotip normal, tanpa gejala klinis yang khas selama
masa anak, sehingga diagnosis baru dapat ditegakkan saat remaja atau
dewasa muda. Kesulitan dan keterlambatan dalam penegakkan
diagnosis dapat menyebabkan hilangnya kesempatan tata laksana
untuk memperbaiki keadaan hipogonadisme, gangguan kognitif, dan
faktor-faktor psikososial (Bojesen, dkk., 2010).
c. Sindrom triple X
Kariotipe XXX pada sindrom Tripel X terjadi dengan insidensi 1 dari
1000 wanita dan sering ditemukan secara kebetulan. Sindrom Tripel X
diakibatkan adanya kromosom tambahan akibat kesalahan gagal
pemisahan (nondisjunction) pada meiosis I maternal, menghasilkan
fenotip wanita. Selain memiliki perawakan yang lebih tinggi dari rata-
rata, wanita yang terkena sindrom ini memiliki fisik yang normal.
Kesulitan belajar cenderung lebih sering ditemukan pada kelainan ini
dibandingkan dengan kelainan kromosom seks yang lain. perlambatan
ringan terhadap perkembangan motorik dan bahasa cukup sering
terjadi dan gangguan bahasa baik reseptif maupun ekspresif terjadi
hingga saat dewasa. Rata-rata IQ 20 poin lebih rendah dari pada
saudaranya. Gangguan psikologis ringan umumnya terjadi. Terkadang
gangguan menstruasi juga dilaporkan, namun umumnya wanita dengan
sindrom Tripel X fertil dan memiliki keturunan yang normal.
Menopause dini akibat kegagalan ovarium dini dapat terjadi
(Turnpenny dan Sian, 2007).
d. Sindrom Jacob
Insidensi kondisi ini berkisar 1 dari 1000 kelahiran bayi laki-laki.
Sindrom XYY terjadi karena nondisjunction pada tahap meiosis II
paternal. Angka keguguran akibat sindrom ini dilaporkan sangat
rendah. Mayoritas laki-laki dengan kariotip ini tidak memiliki bukti
kelainan klinis dan tidak terdiagnosis. Ukuran saat lahir tidak berbeda
dengan bayi normal kaitannya dengan berat badan, panjang, dan
lingkar kepala. Pertumbuhan pada anak-anak umumnya terjadi
percepatan, terjadi perawakan tinggi, tapi tidak ada manifestasi klinis
yang lain selain ada laporan adanya kejadian jerawat yang umumnya
berat. Intelejensi umumnya normal tetapi 10 poin lebih rendah
dibandingkan saudaranya, gangguan belajar dapat terjadi. Gangguan
tingkah laku meliputi hiperaktifitas, distracbility, dan impulsif.
Sindrom ini kurang berhubungan dengan tingah laku agresif seperti
yang banyak dipikirkan sebelumnya meskipun terjadi peningkatan
risiko kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun
ditemukan bahwa angka kriminalitas pada penderita sindrom ini 4 kali
lipat lebih tinggi (Ratcliffe, 2009).
e. Sindrom fragil X
Sindrom ini disebut juga sindrom Martin bell. Manifestasi yang sering
terlihat adalah wajah memanjang, jidat lebar, bibir tebal, testis besar,
retardasi mental. Sindrom Fragile X ini merupakan penyebab
terbanyak kedua pada kasus retardasi mental setelah sindrom down
dengan prevalensi kurang lebih 1: 4000 pada anak laki-laki dan 1:6000
pada anak perempuan (Willemsen, dkk., 2009).

B. Abnormalitas Struktur Kromosom


Kelainan struktural kromosom bisa terjadi baik secara keseluruhan
maupun sebagian (parsial) atau pada beberapa kromosom. Penyebab dari kelainan
kongenital sampai saat ini masih tidak diketahui, namun diperkirakan sekitar 25%
daritotal keseluruhan malformasi pada manusia disebabkan oleh faktor genetik.
Kromosom manusia terdiri atas 23 pasang dimana kromosom tersebut sebagian
diturunkan dari ayah (sperma) dan sebagian diturunkan dari ibu (ootid). Ketika
terjadi anomali struktur pada sperma atau ootid bahkan keduanya dapat
menyebabkan adanya kelainan pada zigot yang nantinya akan berkembang
menjadi fetus.
Bukti bahwa genetik dapat mempengaruhi ekspresi kelainan pada
keturunannya dapat dilihat dari anak yang memiliki Down syndrome. Diantara
anak yang menderita Down syndrome sifat yang muncul dipengaruhi oleh latar
belakang orang tua nya seperti kemampuan kecerdasan, perawakan sehingga
ketika anak Down syndrome memiliki tinggi badan diatas rerata maka juga berasal
dari orang tua yang memiliki tinggi diatas rerata. Berikut penyebab dari
abnormalitas pada struktur kromosom:
1. Translokasi (t) : berpindahnya materi kromosom antara kromosom yang
satu dengan lainnya. Pertukaran ini biasanya tidak disertai dengan
hilangnya DNA sehingga disebut balanced translocation, dimana secara
klinis individu tersebut terlihat normal. Namun pada pembawa kromosom
translokasi balans akan memberikan keturunan dengan translokasi
imbalans/tidak seimbang yang sangat memungkinkan juga disertai
hilangnya DNA. Translokasi reciprocal terjadi akibat kerusakan pada
minimal 2 kromosom dengan pertukaran pada masig-masing segmen
kromosom untuk membentuk kromosom derivative yang baru, dan
biasanya jumlah kromosom tetap 46. Translokasi robertsonian adalah tipe
khusus dari translokasi rciprokal dimana kerusakan kromosom terjadi pada
atau dekat dengan sentromer dari dua kromosom akrosentrik. Sehingga
kemudian terjadi fusi antara masing-masing lengan panjang kromosom
(centric fusion). Lengan pendek masing-masing kromosom hilang,
sehingga jumlah kromosom berkurang menjadi 45.
2. Delesi (del) : hilangnya bagian dari sebuah kromosom dan berakibat pada
mosomi untuk segment kromosom tersebut. Delesi dapat terjadi pada 2
level, delesi kromosom yang luas yang dapat dilihat dengan menggunakan
mikroskop. Sedangkan mikrodelesi yang bersifat submikroskopik dapat
diidentifikasi dengan menggunakan pemeriksaan flourescent in situ
hybridization (FISH) dan pemeriksaan molekuler antara lain menggunakan
analisis Multiplex Ligation Dependent-Probe Amplification (MLPA).
3. Insersi : terjadi karena segmen dari salah satu kromosom dimasukkan ke
dalam kromosom yang lain.
4. Duplikasi (dup) : adanya dua salinan salah satu segmen kromosom pada
satu kromosom.
5. Inversi (inv) : terjadi akibat adanya dua patahan pada satu kromosom yang
kemudian patahan tersebut memutar terbalik 180 derajat atau bertukar
posisi. Inversi parasentrik bila patahan ini pada salah satu lengan dan tak
termasuk sentromernya. Inversi perisentrik bila patahan pada salah satu
tepi dari sentromer.
6. Isokromosom (i) : terjadinya delesi pada salah satu lengan digantikan oleh
duplikasi dari lengan yang lain, sehingga biasanya lengan panjang atau
lengan pendek menjadi identik.

C. Birth Defect
1. Mosaikisme
Salah satu dampak akibat kelainan kromosom ialah terjadinya
mosaikisme. Dalam genetika, mosaikisme merupakan adanya individu dari
dua atau lebih garis sel yang secara genotip berbeda dan diturunkan dari
zigot tunggal. Oleh karena itu, di dalam tubuhnya terdapat dua atau lebih
genotipe berbeda ada dalam populasi sel yang berbeda. Terdapat dua
macam mosaikisme, yaitu mosaikisme germline dan mosaikisme somatik.
Mosaikisme germline (gonad) mengacu pada variasi genetik dalam genom
sel germline suatu individu. Hal tersebut dapat menyebabkan sel gamet
tidak tumbuh dengan sempurna. Mosaikisme somatik merupakan mutasi
berasal dari sel somatik (mutasi somatik). Mutasi mosaikisme sering trjadi
pada saat pembelahan sel, sehingga sel yang aktif membelah lebih rentan
terkena mutasi mosaikisme dibandingkan dengan jaringan (Gajecka,
2015).
2. Mendelian
Mutasi gen tunggal atau Mendelian terjadi apabila terdapat gen
tertentu yang berakibat pada suatu penyakit atau kelainan. Mutasi gen
tunggal dikelompokkan menjadi tiga sifat yaitu dominan, esesif dan X-
linked. Kelompok dominan cenderung diturunkan disetiap generasinya.
Kelompok dominan diturunkan pada keadaan heterozigot. Kelompok
dominan lebih mudah untuk dituunkan karena gen yang mengalami mutasi
merupakan gen pembawa penyakit. Contoh kelainannya yaitu Huntington.
Berbeda dengan kelompok dominan yang terjadi pada saat heteroigot,
kelompok resesiff terjadi pada keadaan homozigot. Kelompok resesif
lebihh sulit untuk dideteksi, hal ini dikarenakan gen yang mengalami
mutasi bukan merupakan gen pembawa penyakit. X-linked merupakan
kelainan yang disebabkan oleh adanya mutasi pada kromosom X. Kelainan
ini umunya terjadi pada laki-laki. Hal tersebut dikarenakan laki-laki hanya
mempunyai satu kromosom X, sedangkan perempuan mempunyai
sepasang kromosom X. Oleh karena itu, apabila terjadi mutasi pada
kromosm X wanita maka masih terdapat cadangan satu kromosom X lagi.
Contoh kelainan yang terjadi akibat adanya mutasi pada kromosom X
ialah hemofilia. Mutasi gen tunggal berpengaruh menyebabkan cacat lahir
sebanyak 6%. Sebagian besar cacat lahir gen tunggal mewakili malformasi
atau displasia. Pola pewarisan cacat lahir pening untuk ditentukan, agar
dapat memberikan informasi maupun saran yang lebih akurat kepada
keluarga (Tanteles dan Suri, 2007).
3. Achondroplasia
Achondroplasia merupakan cacat lahir yang disebabkan oleh
adanya mutasi gen pertumbuhan FGFR3. Achondroplasia juga
berpengaruh pada pengekspresian siat kerdil manusia. Ciri penderita
Achondroplasma yaitu ukuran tengkorak relatif besar, dahi terlihat lebih
menonjol serta midface kurang berkembang. Cacah lahir ini dapat
diwariskan pada generasi selanjunya (Rosenberg dan Rosenberg, 2012).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

1. Abnormalitas kromosom merupakan peristiwa ketidak normalan pada


jumlah maupun struktur dari kromosom, sehingga abnormalitas pada
kroosom dibagi menjadi dua, yakni abnormalitas jumlah kromosom dan
abnormalitas struktur kromosom.
2. Contoh birth effect akibat faktor genetis antara lain yaitu Mosaikisme,
Mendelian dan Achondroplasia
DAFTAR RUJUKAN
Alresna Fitrinilla. 2009. Karakteristik Dismorfologi Dan Analisis Kelainan
Kromosom Pada Siswa Retardasi Mental Di Slb C/C1 Widya Bhakti
Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Semarang.

Alwan S., Bleyl SB., Brent RL., Chambers DC., Daston GP., Faushman EM.,
Finnel RH., Fraser FC., Freidman JM., Berman AF., JR Graham JM.,
Hales FB., Hansen DK., Holmes LB., Hood RD., Kavlock RJ., Knudsen
TB., Lary J., Mattison DR., Miller RK., Mills JL., Polifka JE.,
Rasmusseen SA., Robaire B., Rogrs JM., Schoenwolf GC., Scialli AR.,
Shaw GM., Singh AV., Jr Slikker W., Streissguth AP., Tassinari MS.,
Adams JU., Vorhees CV. & Weringer EJ. 2010. Teratology Primer 2nd
Ed. Department of Pediatrics Faculity.

Bojesen, A., Juul, S. & Gravholt, C. H. 2010. Prenatal and postnatal prevalence of
Klinefelter syndrome: a national registry study. J Clin Endocrinol
Metab;88:622-6.

Duarte, A. C., Menezes, A. L. C., Devens, E. S., Roth, J. M., Garcias, G. L. &
Martino-Roth, M. G. 2014. Patau syndrome with a long survival. A case
Report. Genetics and Molecular Research.;3(1):288-92.

Gajecka, M. 2015. Unrevealed mosaicism in the next-generation sequencing era.


Molecular Genetics and Genomics, 291(2), 513–530.
doi:10.1007/s00438-015-1130-7

Hoobs CA., Cleves MA. & Simmons CG. 2002. Genetic Epidemiology and
Congnital Malfomation: From the Chromosome to the Crib. Arch Pediatr
Adolesc Med, 156(4): 315-320. doi:10.1001/archpedi.156.4.315

Janaina, B. P., Daniela de, P. G., Patríci,a P., Vinícius, F. M., Rosana, C. M. R &
Paulo, R. G. Z. 2014. Trisomy 13 (Patau syndrome) and congenital heart
defects. AJMG;164(1):272-5.

Liptak & Gregory, S. 2010. "Down Syndrome (Trisomy 21; Trisomy G)". Merck
Manual; December 2010.

Modica, M., Ferratini, M., Spezzaferri, R., Di Rienzo, M., Ripamonti, V., Racca,
V. & Castiglioni, P. 2011. Influence of Birth Order on Modifiable
Coronary Risk Factors: Smoking is Less Frequent in Firstborns.
International Journal of Cardiology, 146(2), 269–270.
doi:10.1016/j.ijcard.2010.10.076.

Mueller, R. F. & Young, I. D. 2001. Emery’s Elements of Medical Genetics. 12th


ed. London: Churchill Livingstone; 2001. p. 71-72.

Ratcliffe, S. 2009. Long term outcome in children of sex chromosome


abnormalities. Arch Dis Child;80:192–195
Rosenberg, L. E., & Rosenberg, D. D. 2012. Birth Defects. Human Genes and
Genomes, 241–258. doi:10.1016/b978-0-12-385212-0.00015-9

Schupf, N. & Sergievsky, G. H. 2012. Genetic and host factors for dementia in
Down's syndrome. Br. J. Psychiatry. 180: p. 405–10.

Sutherland, G. R, Gardner, R. J. M. Chromosome Abnormalities and Genetic


Counselling. 2004. 3rd ed. New York (NY): Oxford University Press;. p.
134- 135.

Tanteles, G. A., & Suri, M. 2007. Classification and aetiology of birth defects.
Paediatrics and Child Health, 17(6), 233–243.
doi:10.1016/j.paed.2007.03.005 

Turnpenny, P. & Sian, E. 2007. Emery’s elements of medical genetics. 12th ed.
Elsevier Inc.

Willemsen, R., Oostra, B. A., Bassell, G. J. & Dictenberg, J. 2004 The Fragile X
Syndrome:From Molecular Genetics to Neurobiology.

https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/congenital-anomalies. (Online).
Diakses pada 02 Februari 2020.

Anda mungkin juga menyukai