Anda di halaman 1dari 24

1

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :


Nilai :

Dokter Pembimbing,

(dr. Tarmizi, Sp.A)


2

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh
rangkaian proses penyusunan referat yang berjudul: “Status epilepsi “ sebagai
salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak di RSUD Sidikalang.
Pada kesempatan ini, tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada dokter pembimbing atas bimbingan dan
arahannya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Sidikalang.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, kritik
dan sarannya yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan guna
perbaikan case ini di kemudian hari. Harapan penulis semoga referat ini dapat
bermanfaat dan menambah pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam
mengimplementasikan ilmu di klinis dan masyarakat.

Sidikalang, Agustus 2018

Penulis
3

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................................1
KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................5
2.1 Defenisi Status Epileptikus.......................................................................................5
2.2 Fisiologi Impuls Saraf..............................................................................................5
2.3 Epidemiologi Status Epileptikus............................................................................10
2.4 Etiologi Status Epileptikus.....................................................................................11
2.5 Faktor Resiko Status Epileptikus............................................................................11
2.6 Klasifikasi Status Epileptikus.................................................................................11
2.7 Patofisiologi Status Epileptikus..............................................................................13
2.8 Manifestasi Klinis Status Epileptikus....................................................................13
2.9 Penegakan Diagnosa Status Epileptikus.................................................................14
2.10 Tatalaksana Status Epileptikus...............................................................................15
2.11 Komplikasi Status Epileptikus................................................................................21
2.12 Prognosis Status Epileptikus..................................................................................22
BAB 3 KESIMPULAN..............................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................23
4

BAB 1

PENDAHULUAN

Saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status


epileptikus (SE) karena International League Againts Epilepsy(ILAE) hanya
menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama
periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran
diantara kejang. Kekurangan definisi menurut ILAE tersebut adalah batasan
lama kejang tersebut berlangsung. Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat
kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.
Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi daripada lepas muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan
gejala terganggunya fungsi otak. Ganggguan ini dapat disebabkan oleh faktor
fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap
penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak dapat menyebabkan
timbulnya bangkitan kejang. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
bangkitan kejang dapat disebabkan oleh banyak macam penyakit atau
kelainan diantaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak tumor
otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali
congenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan
metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis,keracunan
obat atau kimia, jaringan parut, faktor hereditas.
Ketika menemukan anak dengan bangkitan kejang, haruslah dicari
kelainan atau penyakit yang menyebabkannya. Kadang-kadang kita berhasil
menemukannya, tapi sering pula idiopatik.
Manifestasi bangkitan kejang dapat bermacam-macam dari yang
ringan seperti rasa tidak enak di perut sampai kepada yang berat (kesadaran
menghilang disertai kejang tonik-klonik). Semua ini bergantung pada sel-sel
5

neuron mana dalam otak yang terangsang dan sampai seberapa luas
rangsangan ini menjalar.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
6

2.1 Defenisi Status Epilepsi


Status epileptics adalah kejang yang terus-menerus selama paling
sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan
kesadaran di antaranya.1
2.2 Fisiologi Impuls Saraf
Sel saraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial
membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel.
Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV,
selisih potensial membran ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan
rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah
ion-ion terutama ion Na+, K + dan Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi,
misalnya stimulasi listrik akan mengakibatkan menurunnya potensial
membran.
Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas
membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak
masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial
membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+,
sehingga selisih potensial kembali ke keadaan istirahat. Perubahan potensial
yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut respon lokal. Bila
rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap
(firing level), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat
secara besar-besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi.
Potensial aksi ini akan
7

dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia
yang dikenal dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka
permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+ akan
kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa
Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen.
Neurotransmitter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron
dan disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini
dilepaskan dari ujung akson terminal dan juga direabsorbsi untuk daur ulang.
Neurotransmiter merupakan cara komunikasi amntar neuron. Setiap neuron
melepaskan satu transmitter. Zat – zat kimia ini menyebabkan perubahan
permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang dapat
menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga puluh macam
neurotransmitter, diantaranya adalah Norephinephrin, Acetylcholin, Dopamin,
Serotonin, Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan Glisin.
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls du
sepanjang neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium
dan kalium bervariasi dan dipengaruhi oleh perobahan kimia serta listrik
dalam neuron tersebut ( terutama neurotransmitter dan stimulus organ
receptor).
8

(Langkah sintesis gamma aminobutyric (GABA))


Tempat –tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan
neuron lain atau dengan organ –organ efektor disebut sinaps. Sinaps
merupakan satu – satunya tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu
neuron ke neuron lainnya atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron
berikutnya ( atau organ efektor ) dikenal dengan nama celah sinaptik
(synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps
disebut neuron prasinaptik.Neuron yang membawa impuls dari sinaps disebut
neuron postsinaptik.
9

Dalam keadaan istirahat , permeabillitas membran sel menciptakan


kadar kalium intrasel yang tinggi dan kadar natrium intra sel yang rendah,
bahkan pada pada kadar natrium extrasel yang tinggi. Impuls listrik timbul
oleh pemisahan muatan akibat perbedaan kadar ion intrasel dan extrasel yang
dibatasi membran sel. Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat terjadi
depolarisasi dialirkan ke ujung saraf dan mencapai ujung akson ( akson
terminal ). Saat potensial aksi mencapai akson terminal akan dikeluarkanlah
neurotransmitter, yang melintasi synaps dan dapat saja merangsang saraf
berikutnya.
Timbulnya kontraksi otot
Timbulnya kontraksi pada otot rangka mulai dengan potensial aksi dalam
serabut – serabut otot. Potensial aksi ini menimbulkan arus listrik yang
menyebar ke bagian dalam serabut, dimana menyebabkan dilepaskannya ion –
ion kalsium dari retikulum sarkoplasma. Selanjutnya ion kalsium
menimbulkan peristiwa – peristiwa kimia proses kontraksi
10

Perangsangan serabut otot rangka oleh saraf


Dalam fungsi tubuh normal, serabut –serabut otot rangka dirangsang
oleh serabut – serabut saraf besar bermielin. Serabut –serabut saraf ini
melekat pada serabut serabut otot rangka dalam hubungan saraf otot
( neuromuscular junction) yang terletak di pertengahan otot. Ketika potensial
aksi sampai pada neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran
saraf , menyebabkan dilepaskan Acethylcholin, kemudian akan terikat pada
motor end plate membrane, menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium
yang menyebabkan terjadinya ikatan Actin – Myosin yang akhirnya
menyebabkan kontraksi otot. Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari
tengah serabut ke arah kedua ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan
terjadi di seluruh sarkomer otot.2,3
2.3 Epidemiologi Status Epilepsi
Insidens SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu
setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per 100.000
untuk usia lanjut. Dua penelitian restropektif di Jerman mendapatkan insidens
17,1 per 100.000 per tahun. Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) pada
penelitian Richmond berkisar 22%. Kematian pada anak hanya 3%,
sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua mempunyai mortalitas
hingga 38%. Mortalitas tergantung dari durasi kejang, usia onset kejang, dan
etiologi. Pasien stroke dan anoksia mempunyai mortalitas paling tinggi.
Sedangkan pasien dengan etiologi penghentian alkohol atau kadar obat
antiepilepsi dalam darah yang rendah, mempunyai mortalitas relatif
rendah.3,7
Secara umum, Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 – 58 per
100.000 anak. Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda,
terutama usia kurang dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1000 bayi.4
2.4 Etiologi Status Epilepsi
Secara umum etiologi SE dibagi menjadi :
11

1. Simtomatis: penyebab diketahui


a. Akut: infeksi, hipoksia, gangguan glukosa atau keseimbangan elektrolit,
trauma kepala, perdarahan, atau stroke.
b. Remote, bila terdapat riwayat kelainan sebelumnya: ensefalopati, hipoksik-
iskemik (EHI), trauma kepala, infeksi, atau kelainan otak congenital
c. Kelainan neurologi progresif: tumor otak, kelainan metabolik, autoimun
2. Idiopatik/kriptogenik: penyebab tidak dapat diketahui4,5
2.5 Faktor Resiko Status Epilepsi
Berikut adalah beberapa kelompok pasien yang berisiko mengalami
status epileptikus:
1. Epilepsi
Sekitar 10-20% penderita epilepsi setidaknya akan mengalami satu kali
episode status epileptikus dalam perjalanan sakitnya. Selain itu, SE dapat
merupakan manifestasi epilepsi pertama kali pada 12% pasien baru epilepsi.
2. Pasien sakit kritis
Pasien yang mengalami ensefalopati hipoksik-iskemik (EHI), trauma kepala,
infeksi SSP, penyakit kardiovaskular, penyakit jantung bawaan (terutama
post-operatif ), dan ensefalopati hipertensi.5
2.6 Klasifikasi Status Epileptikus
1. Bangkitan Umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada awal kejadian
kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang parsial simpleks
atau kejang parsial kompleks. Jika ini terjadi, dinamakan kejang umum tonik-
klonik sekunder.
a. Tonik – Klonik (Grand Mal)
Jenis kejang yang paling dikenal. Diawali dengan hilangnya kesadaran
dan sering penderita akan menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh,
tubuh menegang (tonik) dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas
dangkal dan sewaktu-waktu terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat
12

keabuan/ biru. Air liur dapat terakumulasi dalam mulut, terkadang


bercampur darah jika lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol
kandung
kemih. Kejang biasanya berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal
ini sering diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit
kepala dan nyeri juga biasa terjadi setelahnya.
b. Absens
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi pada
orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak
perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali
mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada respon,
menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan kedipan mata
atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10 detik dan berhenti
secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali sadar dan melanjutkan
aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian, tanpa ingatan tentang kejang
yang terjadi. Penderita biasanya memiliki kecerdasan yang normal.
Kejang pada anak-anak biasanya teratasi seiring dengan pubertas.
c. Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens terjadi
pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan mengakibatkan
menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak
terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika
beberapa episode terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat
memberat menjadi kejang tonik-klonik.
d. Tonik
Terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh tubuh,
menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan. Kejang
tonik dapat terjadi pula saat tertidur.
13

e. Atonik
Terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot, menyebabkan penderita
lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri. Biasanya terjadi cedera dan
luka pada kepala. Tidak ada tanda kehilangan kesadaran dan cepat
pemulihan kecuali terjadi cedera.
2. Bangkitan Parsial / Fokal
Kejang parsial mungkin tidak diketahui maupun dibingungkan dengan
kejadian lain. Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area
lain. Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering
terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan kejang
parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik.
a. Parsial Sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “aura” atau “warning” dan terjadi sebelum
kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada penurunan
kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.
b. Parsial Kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai dan
penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai dengan
tatapan kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar, penampilan
bingung. Kesadaran terganggu dan orang mungkin tidak merespon.
Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa. Perilaku umum
termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau bergumam. Kejang
parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga menit. Setelah kejang,
penderita sering bingung dan mungkin tidak ingat apa-apa tentang kejang6
2.7 Patofisiologi Status Epilepsi
Status epileptikus terjadi akibat kegagalan mekanisme untuk
membatasi penyebaran kejang baik karena aktivitas neurotransmiter eksitasi
yang berlebihan dan atau aktivitas neurotransmiter inhibisi yang tidak efektif.
Neurotransmiter eksitasi utama tersebut adalah neurotran dan asetilkolin,
14

sedangkan neurotransmiter inhibisi adalah gamma-aminobutyric acid


(GABA). Dengan kata lain Kelainan polarisasi baik polarisasi berlebihan
maupun hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi yang
disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
mengakibatkan kejang pada status epilepticus.6,7

2.8 Manifestasi Klinis Status Epileptikus

SE dihubungkan dengan perubahan fisiologis sistemik hasil peningkatan


kebutuhan metabolic akibat kejang berulang dan perubahan autonom
termasuk takikardi, aritmia, hipotensi, dilatasi pupil, dan hipertermia.
Perubahan sistemik termasuk hipoksia, hiperkapnia, hipoglikemia, asidosis
metabolik, dan gangguan elektrolit memerlukan intervensi medis. Kehilangan
autoregulasi serebral dan kerusakan neuron dimulai setelah 30 menit aktivitas
kejang yang terus menerus. SE tonik-klonik mempunyai 2 fase sebagai
berikut:
Fase 1: Kompensasi
Selama fase ini, metabolisme serebral meningkat, tetapi mekanisme fi siologis
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik, dan jaringan otak terlindungi
dari hipoksia ataukerusakan metabolisme. Perubahan fisiologis utama terkait
dengan meningkatnya aliran darah dan metabolisme otak, aktivitas otonom,
dan perubahan kardiovaskuler.
Fase 2: Dekompensasi
Selama fase ini, tuntutan metabolisme serebral sangat meningkat dan tidak
dapat sepenuhnya tercukupi, sehingga menyebabkan hipoksia dan perubahan
metabolik sistemik. Perubahan autonom tetap berlangsung dan fungsi
kardiorespirasi dapat gagal mempertahankan homeostasis.4
2.9 Penegakan Diagnosa Status Epileptikus
1. anamnesis
15

a. deskripsi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama,frekuensi,


kesadaran saat kejang/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang,
dan kelumpuhan pasca kejang)
b.anamnesis untuk mencari etiologi kejang demam,trauma
kepala,sesak nafas diare, muntah, riwayat ada tidaknya
kejang/epilepsy. Jika ada epilepsy apakah minum obat secara teratur
c. riwayat kejang/epilepsy dalam keluarga
2. pemeriksaan fisik
a. Penilaian kesadaran, penilaian fisik umum yang menunjang ke arah
etiologi kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-
tanda dehidrasi maupun tanda-tanda hipoksia
b. pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk
kepala, , ubun-ubun besar, , tanda rangsang meningeal,nervus cranial,
motorik, reflex fisiologis dan patologis.
3. pemeriksaan laboratotium
Pemeriksan darah , darah tepi rutin, pemeriksaan lain sesuai indikasi,
(misal kadar gula darah,elektrolit) pemeriksaan cairan cerebrospinal
(bila perlu) untuk mengetahuintekanan, warna , kejernihan, berdarah,
xantokrom, jumlah sel, hitung jenis sel, kadar protein gula, NaCl dan
pemeriksaan lain atas indikasi
4. pemeriksaan penunjang
Sesuai indikasi untuk mencari etioogi dan komplikasi status
epileptikus
a. elektroensefalogram (EEG)
pemeriksaan EEG sangat berguna membantu menegakkan
diagnosis epilepsy. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada
penderita epilepsi disebut ‘epileptiform discharge’ atau
‘epileptiform activity’. Pemeriksaan EEG harus dilakukan secara
berkala.
16

b. pemeriksaan radiologi/CT-SCAN/MRI8
2.10 Tatalaksana Status Epilepsi
Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation
(ABC) harus
dilakukan seiring dengan pemberian obat anti-konvulsan. Pemilihan jenis obat
serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar
institusi.
1) Medikamentosa
Tujuan utama pengobatan status epileptikus:
a. mempertahankan fungsi vital (A,B,C)
b. Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi
c. Menghentikan aktivitas kejang
Tujuan tatalaksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut
a. Di rumah /prehospital:
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan
pemberian per rectal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara sederhana
bila berat badan <10kg ; 5mg sedangkan berat badan >10kg; 10mg.
pemberian maksimum 2kali dengan interval 5 menit. Bila kejang masih
berlangsung bawalah ke klinik/ rumah sakit terdekat
b. Dirumah sakit
Saat tiba di klinik /rumah sakit, bila belum terpasang cairan intravena,
dapat diberikan diazepam per rectal ulangan 1 kali sambil mencari akses
vena. Sebelum dipasang cairan intravena. Sebaiknya dilakukan
pengambilan darah untuk dilakukan pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan
gula darah sesuai indikasi
Bila terpasang cairan intravena , berikan fenitoin IV dengan dosis
20mg/kg dilarutkan dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan-lahan dengan
kecepatan 50mg/menit.bila kejang belum teratasi dapat diberikan
17

tambahan fenitoin IV 10mg/kg bila kejang teratasi lanjutkan pemberian


fenitoin IV setelah 12 jam kemudian dengan rumatan 5-7 mg/kg
Bila kejang belum teratasi berikan fenitoin IV dengan dosis minimum 15-
20 mg/kg dengan kecepatan pemberian 100mg/menit. Awasi dan atasi
kelainan metabolic yang ada. Bila kejang berhenti lanjutkan dengan
pemberian fenobarbital IV rumatan 4-5 mg/kg setelah 12 jam kemudian.
c. Perawatan intensif- rumahsakit
Bila kejang belum berhenti dilakukan intubasi dan perawatan intensif
dapat diberikan salah satu diantara ini:
- Nidzolam 0,2mg/kg diberikan bolus perlahanlahan diikuti infuse
midazolam 0,01-0,02 mg/kg/menit selama 12-24 jam
- Propofol 1mg/kg selama 5 menit dilanjutkan dengan 1-5 mg/kg/jam
dan diturunkan setelah 12-24 jam
2) Terapi rumatan
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan diajepam
tergantung dari etiologi. Jika penyebab kejang suatu hal yang dapat
dikoreksi secara cepat (hipoglikemia, kelainan elektrolit, hipoksia)
mungkin tidak diperlukan terapi rumatan selama pasien dirawat.
- Jika penyebab infeksi SSP (ensefalitis,meningitis), perdarahan
intrakranial, mungkin diperlukan terapi rumat selama perawatan.
Dapat diberikan fenobarbital dengan dosiss awal 8-10mg/kgbb/hari
dibagi dlam 2 dosis selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis 4-
5mg/kgbb/hari sampai resiko untuk berulangnya kejang tidak ada
- Jika etiologi adalah epilepsi, lanjutkan obat antiepilepsi dengan
menaikkan dosis
- Jika pada tata laksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin,
lanjutkan rumatan dengan dosis 5-7 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2
dosis.
18

- Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan


fenobarbital,lanjutkan dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari dibagi dalam 2
dosis.
3) Cara pemberian obat antikonvulsan pada tatalaksana kejang akut
a) Diazepam
- Dosis maksimum pemberian diazepam rectal 10mg dapat diberikan 2
kali dengan interval 5-10 menit.
- Sediaan intravena tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian
10mg dengan kecepatan maksimum 2 mg/menit dapat diberikan 2-
3kali dengan interval 5 menit
b) Fenitoin
- Dosis inisial maksimum adalah 1000mg (30mg/kgbb)
- Sediaan intravena diencerkan dengan Nacl 0,9%, 10 mg/ 1cc Nacl 0,9
%
- Kecepatan pemberian intravena : 1mg/kg/menit, maksimum
50mg/menit
- Jangan diencerkan dengan larutan dextrose, karena akan menggumpal.
- Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah
pemberian.
- Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial.
- Efek samping : aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada
pemberian IV yang terlalu cepat.
c) Fenobarbital
- Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV
- Dosis inisial maksimum 600mg (20 mg/kgbb)
- Kecepatan pemberian maksimum 100mg/menit
- Efek samping : hipotensi dan depresi nafas, terutama jika diberikan
setelah obat golongan benzodiazepine
Protocol penggunaan midazolam pada kejang refrakter
19

Rawat di ICU, intubasi dan berikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2 mg/kg
(perlahan)
Kemudian drip 0,02-0,4 mg/kg/jam. Rumatan fenitoin dan fenobarbital tetap
diberikan.
infus midazolam diturunkan secara bertahap jika dalam 12 jam tidak terdapat
kejang.
4) Tatalaksana umum
- Pemantauan tekanan darah/laju nafas/laju
nadi/suhu/elektrokardiografi
- Pemantauan tekanan intracranial: kesadaran, doll’s eye movement,
pupil, pola pernafasan dan edema papil
- Analisa gas darah, darah tepi , pembekuan darah, elektrolit, fungsi hati
dan ginjal bila dijumpai kelainan lalukan koreksi.
- Balans cairan input-output
- Tatalaksana etiologi
- Edema serebri – dapat diberikan mannitol 0,5-1,0mg/kg/8 jam

Berikut ini adalah algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
pada anak9
20
21

2.11 Komplikasi Status Epileptikus

1) Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus


Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada neuron
dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik,
perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan
sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron,
keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang
dapat menyebabkan komplikasi sistemik.Proses kontraksi dan
relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan
kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu,
keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan
memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf
otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau
aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya terjadi
hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya
kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak
terpenuhi akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat
terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau
gangguan sawar darah-otak.
2) Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan adalah
depresi napas serta hipotensi, terutama golongan benzodiazepin dan
fenobarbital.5
2.12 Prognosis Status Epileptikus
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita
deficit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien
yang mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status
22

epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang


adalah; usia muda, ensefalopati progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom
epilepsi.5
23

BAB 3

KESIMPULAN

.
Status epilepticus merupakan kejang yang terus-menerus selama
paling sedikit 30 menit atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa
pemulihan kesadaran di antaranya. Bangkitan kejang merupakan satu
manifestasi daripada lepas muatan listrik yang berlebihan di sel neuron saraf
pusat.
Keadaan ini merupakan gejala terganggunya fungsi otak. Ganggguan
ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau
gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat
menganggu fungsi otak dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan
oleh banyak macam penyakit atau kelainan diantaranya adalah trauma lahir,
trauma kapitis, radang otak tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran
darah, hipoksia, anomali congenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf
pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-
alergis,keracunan obat atau kimia, jaringan parut, faktor hereditas.
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus
ditindaki secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf
permanen. Biasanya dilakukan dua tahap tindakan yakni stabilitas pasien dan
menghentikan kejang dengan obat anti kejang.
24

DAFTAR PUSTAKA

1. A practical clinical definition of epilepsy. Available from:


https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-classification
2. Sherwood L. Fisiologi Reproduksi Wanita. Dalam: Fisiologi Manusia Dari
Sel ke Sistem. ed 8. Jakarta: EGC; 2014.
3. Guyton AC, E HJ. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. ed 11. Luqman R,
Huriawati H, Andita N, Nanda W, editors. EGC. Jakarta: EGC; 2007
4. Rilianto B. Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus.VOL 42.Riau.
CDK:2015
5. Pusponegoro HD, Widodo DP, MangunatmadjaI, Handryastuti S.
Rekomendasi penatalaksanaan Status Epileptikus: IDAI.2016
6. Anonim. Seizure Smart-Seizure Classification. Available from:
https://www.epilepsy.org.au/sites/default/files/Seizure%20Smart%20-
%20Classification%20of%20 Seizures.pdf
7. Price, A. Silvia; Wilson, M. Lorraine vol 2.edisi 6. Patofisiologi, Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta : EGC: 2005. 1157-1160
8. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2007. 855-860 hal.
9. Marcdante KJ, Robert MK, Jenson HB, Behrman RE. Nelson Ilmu Kesehatan
Anak Esensial. Edisi 6; 2011.736-742 hal.
10. ILAE Classification of the Epilepsies. Available from:
https://www.ilae.org/guidelines/definition-and-classification/ilae-
classification-of-the-epilepsies

Anda mungkin juga menyukai