Anda di halaman 1dari 5

KASUS SUAP HARUN MASIKU

DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN POLITIK


Kurnia Saleh, SH
(Akademisi Hukum Kenegaraan Magister Hukum Universitas Sriwijaya)

Kasus Posisi :
Dugaan kasus suap yang terjadi antara kader partai politik PDIP Harun Masiku terhadap
komisioner KPU dan Bawaslu bermula pada saat anggota DPR-RI PDIP terpilih yakni
Nazarudin Kiemas meninggal dunia sebelum Pemilihan, namun dinyatakan memperoleh suara
terbanyak pada pileg Maret 2019. Sebagaimana ketentuan dari UU Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilu, disebutkan bahwa apabila anggota DPR meninggal dunia, maka digantikan dengan caleg
dari parpol yang sama yang memperoleh suara terbanyak kedua atau terbanyak dibawahnya.
Riezky Aprillia merupakan caleg yang memenuhi ketentuan dalam menggantikan nazaruddin
kiemas yang sama-sama berasal dari PDI-P. Suara yang diraihnya dalam pileg merupakan suara
terbanyak kedua setelah nazarudin kiemas. Namun dalam perjalannya, PDI-P tidak sepaham
dengan ketetnuan tertsebut, sehingga diajukanlah upaya hukum berupa judicial review Peraturan
KPU ke Mahkamah Agung, guna menuntut MA menafsirkan ketentuan tersebut. MA kemudian
mengabulkan permohonan judicia revew tersebut, yang pada intinya, ketentuan PAW dalam
menenntukan kader pengganti di parlemen, dikembalikan kepada internal parpol. Sehingga PDI-
P mengadvokasikan putusan tersebut kepada KPU untuk menyatakan pengganti NK adalah
Harun Masiku yang didaulat sebagai kader parpol terbaik sebagai dasar PAW bukan Riezky
Aprillia. Meskipun dalam peroleh suara Harun Masiku menempati posisi ke-5 jauh dari
perolehan suara dengan Riezky Aprillia. Persoalan ini kemudian tidak dilanjutkan oleh KPU,
mengingat legalitas kebijakan KPU melantik Riezky aprillia dinilai sudah sesuai dengan UU
Pemilu.
Dalam dinamika perkembangannya, problematika kasus ini semakin jelas intrik politisnya, ketika
KPK menyatakan PDI-P melalui Harun Masiku, dan komisioner KPU ditetapkan sebagai
tersangka kasus suap yang ingin menjadikan Harun Masiku sebagai PAW pengganti NK di
Parlemen. Beberapa tersangka yang dinyatakan oleh KPK adalah : Wahyu Setiawan (Komsioner
KPU), Agustiani (Anggota Bawaslu) Saiful (Swasta), dan Harun Masiku sendiri sebagai kader
PDI-P.
Meskipun pada akhirnya Riezky Aprilia yang dilantik KPU sebagai PAW NK, tetap saja kisruh
suap menjadi preseden yang perlu untuk di tinjau dan dikaji secara holistic dalam republic ini.
Kasus tersebut juga sebetulnya tidak dapat dilepaskan dari intrik hukum dan politik yang saling
determinan. Tetapi, pada persoalan PAW ini nampak jelas, bahwa menurut hemat penulis politik
kekuasaan punya potensi besar dalam mengendalikan hukum. Oleh sebab itulah, penulis
kemudian mengkaji kasus tersebut dalam pendekatan hukum dan politik. Sebagaimana urain
dibawah ini :

1. Perspektif Filosopis :
Negara Indonesia merupakan Negara Hukum Demokratis yang dalam nomnklatur lain
disebut sebagai Negara Demokrasi Konstituisonal yang bermakna semua kebijakan yang
ditelurkan dalam bentuk dan melalui hukum merupakan perwujudan kehendak rakyat dan
ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Sebaliknya dalam dimensi yang lain, rakyat telah
memberikan legitimasi kekuasaannya kepada hukum dengan melahirkan alat alat kelengkapan
negara beserta kewenangannya, sehingga rakyat juga tunduk pada hukum sebagai instrument
pembatas dalam meciptakan tujuan bernegara yakni tercipatnya keadilan, kemanfaat, dan
kepastian terhadap rakyat.
Kasus suap Harun Masiku untuk duduk dikursi parlemen sebetulnya sebagai hasil salah
tafsir internal parpol dalam menfasirkan kedaulatan rakyat. Klaim bahwa dalam kasus PAW
merupakan daulat parpol merupakan klaim yang keliru. Mengingat, tidak ada namanya
kedaulatan parpol dalam menentukan pemangku yang menerima mandat rakyat, kecuali daulat
rakyat itu sendiri.
Daulat rakyat melalui sistem proporsional terbuka pileg sebetulnya juga telah diakomodasi
oleh negara melalui UU Pemilu yang menentukan mekanisme PAW dilakukan melalui
penggantian posisi anggota DPR yang meninggal dunia dengan caleg dari parpol yang sama
yang memperoleh suara terbanyak kedua atau suara terbanyak dibawah suara aleg yang
meninggal dunia. Hal tersebut sebetulnya telah menggambarkan bahwa sistem suara mayoritas
merupakan ciri dari desain demokrasi Indonesia dalam mengakomodasi kehendak rakyat, tetapi
dalam perjalannya hal tersebut dicoba oleh PDI-P yang tidak bersepakat jika PAW dari NK ke
Riezky Aprillia sebagai caleg dengan perolehan suara terbanyak kedua setelah NK.
Upaya JR ke MA dalam menafsirkan regulasi PKPU sebetulnya ikhtiar politis dari PDI-P.
MA menafsirkan PKPU yang mengatur ketentuan PAW diserahakn sepenuhnya didalam internal
parpol yang bersangkutan dan MA menyebtukan kuaifkasi kader pengganti adalah akder terbaik
dalam penilaian parpol, sehingga MA menilai ketentuan PAW yang berlaku tidak sesuai dengan
kehendak dan kedaulatan parpol.
Dalam tataran prinsip, harus dipahami terlebih dahulu bahwa PDI-P merupakan partai
penguasa saat ini. Eksekutif juga legislative berada dalam kekuasaan PDIP dengan banyaknya
kader mnjadi pemangku kepentingan diattaran pusat maupun daerah. Lord Acton menyampaikan
sebuah teori tentang kekuasaan, bahwa :
..”Power tends to corrupt, Absolute Power Corrupt absolutely..”
Bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak pasti korup. Atas
asusmsi teori ini kemudian penulis melihat bagaimana relevansi keuasaan dalam
mengkondisikan hukum. Padahal telah jelas ketentuan PAW sudah dinaytakan dengan tegas oleh
UU Pemilu sebagai batu uji kebijakan KPU. Tetapi tetap saja, sifat daripada kekuasaan yang
ingin terus berkuasa melekat dalam diri parpol. Sehingga ikhtiar apapun dilakukan tanpa melihat
nilai dan prinsip yang membatasi kehendak tersebut.
Secara prinsip penulis juga melihat, kisah tersbeut diatas sebagai sebuah preseden yang
buruk dalam bingkai politk dan hukum Indonesia. Determinansi politik terhadap hukum menurut
penulis masih berlarut dan belum melihat titik temu. Kasus suap komisoner KPU dalam kasus
PAW ini telah membuktikan bahwa politik dalam mengkondisikan hukum, dan pengkondisian
inilah sebagai wujud poltiik determinan terhadap hukum.
Anekdot yang menyebutkan hukum dan politik merupakan teman seranjang nampkanya
dibenarkan, dan sewaktu waktu hukum dan politik bisa direbut kehormatannya oleh modal.
Kasus korupsi telah mengindikasikan bagaimana relasi anatara kekuasaan politik, hukum dan
modal, yang pada akhirnya menghasilkan hukum yang seusai dengan kehendak poltis yang
dibayarkan melalui pemodal dalam melanggengkan hasrat kekuasaan dan keuntungannya.

2. Perspektif Yuridis :

Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu menyatakan bahwa :


..“Calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD, provinisi, dan anggota DPRD
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinisi
atau KPU Kabupaten/Kota dengan calon dari daftar calon tetap Parpol peseta Pemilu yang
sama diaerah Pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya.

Terjadi kontraproduktif dalam UU Pemilu dengan Hasil Judicial review Putusan MA Nomor
57 tahun 2019 terkait permohonan uji materi Peraturan KPU Nomor 3 tahun 2019, yang dalam
putusannya menyatakan bahwa ketentuan PKPU tidak memiliki kekuatan mengikat dalam hal
menentukan kebijakan terhadap suara anggota parpol yang terpilih didalam parlemen yang
kemudian meninggal dunia pasca pelantikan, diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksnaaan
parpol, sehingga menurut MA proses PAW Nazarudin Kiemas kemudian diserhakan sepenuhnya
kepada mekanisme Partai Politik.
Atas dasar putusan MA ini kemudian, Harun Masiku didaulat PDI-P untuk menggantikan
Nazarudin Kiemas dalam tugasnya sebagai anggota DPR-RI fraksi PDI-P. dengan dalil
kedaulatan Partai Politik.
Dinamika PAW diatas sebetulnya bisa saja dilakukan dengan dasae Puusan MA a quo,
hanya saja sifat mengikat dari putusan MA atas jr PKPU diilai tidak selaras dengan nafas UU
Pemilu yang berada diatasnya. Maka keberlakukan Putusan MA perlun untuk dievaluasi dan
dapat saja dinyatakan bertentangan dengan UU Pemilu sebagai norma ujinya, disebabkan Pasal
426 UU Pemilu telah tegas menyatakan bahwa, penetapan PAW bagi calon yang meinggal dunia
adalah digantikan dengan kader parpol yng sama partainya, dan sama wilayah pemilihannya
dengan perolehan suara terbnayak kedua setelah ybs. Maka dalam tahapan keebrlakukan,
putusan MA dinilai tidak linear dengan UU Pemilu diatasnya.
Selain itu, meskipun sikap KPU yang tidak mempertimbangkan Putusan MA tidak serta
merta dianggap menjadi preseden buruk disebabkan tidak terjadnya kepastian hukum didalam
penyelenggaran dan tetrib hukum pemilu, dikarenakan, pada asasnya nilai kpeastian merupakan
sub daripada nilai keadilan bersama dengan nilai kesebandingan.
Maka, guna menciptakan nilai keadilan yang proporsional, dibutuhkan optimalitas nilai
kesebandngan. Yang dalam kasus ini, sangat terlihat tendensius nilai kepastian disbanding niali
kesebandingan. Dalam teorinya, jika nilai kepastian lebih besar darpada nilai kesebandingan,
maka produk yang dihasilakn adalah positivis dan tidak mementingkan realitas dimasyarakat.
Padahal, senayatnya, dalam mekanisme proporsional terbuka, yang menentukan pemenang
adalah rakyat dengan prinisp suara mayoritas.
3. Perspektif Sosiologis :
Secara factual, dalam dimensi sosiologis, kasus suap dalam proses PAW diatas sebetulnya
tidak dapat dilepaskan dari track record parpol dalam keinginan untuk kekuasaan.
Indeks Korupsi dan tingkat Kepercayaan Publik terhadap Parta Politik:
1. Lipi, 2019,
Menyatakan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik terendah
dibandigkan dengan keinginan publik untuk mempertahankan sistem demokrasi.
Mekasudnya adalah, trst publik akan demokrasi masih sangat tinggi tetapi tidak dengan
parpol.

2. Charta Poltiica
32,5 Persen menjadi nilai terendah dalam survey ketidakpercayaan publik terhadap
lembaga politik. Parpol menjadi lembaga poltik yag paling tidak dipercayai publik
dibandingkan lembaga lainnya
3. LSI
KPK menduduki kredibiltas dan kepercayaan publik tertinggi sebagai sebuh institusi.
Dan Partain Poltiik menduduki posiis terendah sebagai institusi yang paling tidak
dipercayai publik. Parpol hanya mnedpaatkan 53 % suara dibandingkan lemabag lainnya
seperti kpk 84 %, Presiden 72 %, dst.
Dari segi almamaternya, Detik.com dan setara institute, Menyatakan bahwa PDIP-P Menjadi
Partai terkorup dibandingkan partai lainnya, dalam 2 (dua) tahun terakhir, PDIP-P Menempati
tempat pertama menyumbang kader yang melakukan korupsi.
Beberapa data pembanding dalam menggambarkan situasi parpol dewasa ini :

1) Indonesia berada dalam tataran atas negara terkorup se-Asia Pasifik. (Poltical & Economic
Risk Consultancy)1 2010- 2018

2) Indeks Indonesia sebagai Negara Hukum Demokratis dalam Indeks Negara Demokrasi
Cacat di Posisi 68 (Media The Economist America )

Dlihat dari :

1. Proses Elektoral dan Pluralisme;

2. Keberfungsian Pemerintah;

3. Partisipasi Politik;
1
Lihat Naskah Akademik RUU-KPK hlm.1-2
4. Kultur Politik;

5. Kebebasan Sipil.

Rentang Penilaian : 1) Sistem Demokrasi Penuh ( 1- 19), 2. Cacat (20-76)

3) DPR dan Partai Politik Lembaga Paling Korup (Global Corruption Barometer 2017)

Kesimpulan dalam pendekatan sosiologis adalah, Kekuasaan senantiasa tidak dapat dipsahkan
dari sesuatu yang disebut dengan Potensi Korupsi. Data dan fakta diatas membuktikan bahwa,
kekuasaan sifatnya selalu ingin menguasai. Jika dilihat dalam teori klitgaard, bahawa korupsi
terjadi apabila memiiki kekuatan ditambah dengan pengarus kekuasaan yang ia miliki dan
dikurangi dengan pengawasan yang minim, maka korupsi menjadi keniscayaan.

Anda mungkin juga menyukai