Anda di halaman 1dari 25

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komputer
Komputer merupakan salah satu penemuan teknologi terpenting pada abad
ke-20 (Ting, 2005). Sekarang, komputer juga tampil berupa laptop dan netbook.
Menurut Blissmer (1985), komputer adalah suatu alat elektronik yang mampu
melakukan tugas menerima input, mengolahnya, dan menyediakan output berupa
hasil komputasi. Hasil komputasi akan dikonversi menjadi data visual yang dapat
dilihat dengan menggunakan monitor atau visual display terminal (Humaidi,
2005). Visual Display Terminal (VDT) atau yang biasanya disebut monitor adalah
bagian yang biasanya ditatap dan menimbulkan gangguan kesehatan mata pada
penggunanya (Fauzia, 2004).
Menurut Gartner (2002) dan Yates (2007) terdapat hampir 1 miliar
komputer yang digunakan di dunia. Sekitar 75% pekerjaan di dunia bergantung
pada komputer dan 50% rumah memiliki setidaknya sebuah komputer (Kanitkar
et al., 2005). Sekitar 100 juta penduduk Amerika Serikat menggunakan komputer
untuk pekerjaannya sehari-hari (Izquierdo, 2010).
Di Washington, 90% pelajar usia 5-17 tahun dan 60% orang berusia 18
tahun ke atas menggunakan komputer setiap hari dengan mayoritas menggunakan
komputer untuk bekerja, belajar, dan mengakses internet (DeBell et al., 2003).
Penelitian Hoesin et al. (2007) pada 2500 orang di 16 kota di Indonesia
menunjukkan bahwa terdapat 46,7% pengguna komputer dengan mayoritas
menggunakan komputer untuk bekerja.

2.2. Computer Vision Syndrome


Ketidaknyamanan dan gangguan kesehatan banyak dikeluhkan pengguna
komputer. Sejak tahun 1986, World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan hal ini sebagai growing health problem. Survei yang dilakukan
oleh American Optometrist Association (AOA) menunjukkan bahwa lebih dari 10
juta pemeriksaan mata pertahun di Amerika Serikat dilakukan untuk masalah

Universitas Sumatera Utara


penglihatan oleh penggunaan komputer (AOA, 2007). Kumpulan gejala akibat
penggunaan komputer disebut Computer Vision Syndrome (CVS) (AOA, 2003;
Wimalasundera, 2006; Madhan, 2009).
Banyak penelitian menunjukkan benar adanya CVS pada pengguna
komputer (Clayton et al., 2005; Khan et al., 2005; Biljana et al., 2007). Sekitar
88-90% pengguna komputer mengalami CVS (Sirikul et al., 2009; Chu et al.,
2011).
Gejala CVS dibedakan menjadi keluhan gejala pada mata,
muskuloskeletal, dan umum (AOA, 2007). Penelitian Zhaojia (2007)
menunjukkan 25,7% pengguna komputer mengeluhkan gejala muskuloskeletal
sedangkan Hiroko (2007) menunjukkan gejala ini dikeluhkan 68,7% pengguna
komputer. Zunjic (2004) menunjukkan 80% pengguna komputer mengeluhkan
gejala umum terutama nyeri kepala, Aakre (2007) menunjukkan angka 62,5%.
Mayoritas, sekitar 75-90%, pengguna komputer mengeluhkan gejala oftalmikus
(Anshel, 2007). Di Indonesia, Amalia (2010) menunjukkan 92,9% pengguna
komputer mengeluhkan gejala oftalmikus.
Jenis-jenis gejala oftalmikus yang dapat dialami yaitu mata lelah
(astenopia), mata kering, mata merah, mata kabur, mata tegang, mata terbakar,
refleks berair, (Dain et al., 1988; Yaginuma et al., 1990; Hikichi et al., 1995;
Sitzman, 2005; Blehm et al., 2005; Barar et al., 2007; Bali et al., 2007; Chu et al.,
Megwas et al., 2009). Menurut Sheedy (2003), gejala oftalmikus CVS dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu gejala internal (sakit dan tegang pada bola
mata) dan eksternal (terbakar, iritasi, kering disertai refleks pengeluaran air mata).
Berbagai literatur menyebutkan bahwa dalang dari semua gejala ini adalah
berkaitan dengan mata kering (Schlote et al., 2004). Terlihat bahwa rincian gejala
CVS tumpang tindih dengan gejala sindrom mata kering (Salibello et al., 1995;
Shimmura et al., 1999; Doughty, 2001).

2.3. Sistem Lakrimalis


Air mata melewati empat proses yaitu produksi dari aparatus atau sistem
sekretori lakrimalis, distribusi oleh berkedip, evaporasi dari permukaan okular,

Universitas Sumatera Utara


dan drainase melalui aparatus atau sistem ekskretori lakrimalis. Abnormalitas
salah satu saja dari keempat proses ini dapat menyebabkan sindrom mata kering
(Kanski et al., 2011).
2.3.1. Aparatus Lakrimalis
Aparatus atau sistem lakrimal terdiri dari aparatus sekretori dan aparatus
ekskretori (Kanksi et al., 2011; Sullivan et al., 2004; AAO, 2007), yaitu:

Sumber : Wagner et al., 2006


Gambar 2.1. Anatomi Sistem Lakrimalis
1. Aparatus Sekretorius Lakrimalis
Aparatus sekretorius lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal utama, kelenjar
lakrimal aksesorius (kelenjar Krausse dan Wolfring), glandula sebasea palpebra
(kelenjar Meibom), dan sel-sel goblet dari konjungtiva (musin). Sistim sekresi
terdiri dari sekresi basal dan refleks sekresi. Sekresi basal adalah sekresi air mata
tanpa ada stimulus dari luar sedangkan refleks sekresi terjadi hanya bila ada
rangsangan eksternal (Kanski et al., 2003, Sullivan et al., 2004; AAO, 2007).
2. Aparatus Ekskretorius Lakrimalis
Dalam keadaan normal, air mata dihasilkan sesuai dengan kecepatan
penguapannya sehingga hanya sedikit yang sampai ke sistem ekskresi (Sullivan,
2004). Dari punkta, ekskresi air mata akan masuk ke kanalikulus, kemudian
bermuara di sakus lakrimalis melalui ampula. Pada 90% orang, kanalikulus
superior dan inferior akan bergabung menjadi kanalikulus komunis sebelum
ditampung dalam sakus lakrimalis. Di kanalikus, terdapat katup Rosenmuller yang

Universitas Sumatera Utara


berfungsi untuk mencegah aliran balik air mata. Setelah ditampung di sakus
lakrimalis, air mata akan dieksreksikan melalui duktus nasolakrimalis sepanjang
12-18 mm ke bagian akhirnya di meatus inferior. Di sini juga terdapat katup
Hasner untuk mencegah aliran balik (Sullivan et al., 2004; AOA, 2007).

2.3.2. Kedipan Mata


80% dari mata berkedip secara sempurna (komplit), 18% inkomplit, 2%
twitch. Bila ditinjau berdasarkan rangsang mengedip, mengedip terdiri dari tiga
kategori yaitu: (Acosta et al., 1999; Pepose et al., 1992; Delgado et al., 2003)
1. Berkedip involunter yaitu berkedip secara spontan, tanpa stimulus, dengan
generator kedipan di otak yang belum diketahui secara jelas.
2. Berkedip volunter yaitu secara sadar membuka dan menutup kelopak mata.
3. Refleks berkedip adalah berkedip yang dirangsang bila ada stimulus
eksternal melalui nervus trigeminus dan nervus fasialis.
Berkedip melibatkan dua otot yaitu muskulus levator palpebra superior
dan mukulus orbikularis okuli (AAO, 2007). Aktivasi berkedip melibatkan
nukleus kaudatus (Mazzone et al., 2010) dan girus presentralis media (Kato et al.,
2003). Dan inhibisi berkedip melibatkan korteks frontal (Stuss et al., 1999;
Mazzone et al., 2010).

2.3.3. Dinamika Sekresi Air Mata


Eter et al. (2002) menemukan laju pengeluaran air mata dengan
fluorofotometri sekitar 3,4 μL/menit pada orang normal dan 2,48 μL/menit pada
penderita sindrom mata kering. Nichols (2004a) menunjukkan laju pengeluaran
air mata adalah 3,8 μL/menit dengan interferometri. Antara dua interval berkedip,
terjadi 1-2% evaporasi, menyebabkan penipisan 0,1 μm PTF dan 20%,
pertambahan osmoralitas (On et al., 2006).
Distribusi volume air mata pada permukaan okular umumnya sekitar 6 -7
µL yang terbagi 3 bagian yaitu (Sullivan, 2002):
1. Mengisi sakus konjungtiva sebanyak 3-4 µL.

Universitas Sumatera Utara


2. Melalui proses berkedip sebanyak 1 µL akan membentuk TF (TF) dengan
tebal 6-10 µm dan luas 260 mm2.
3. Sisanya sebanyak 2-3 µL akan membentuk tear meniscus seluas 29 mm2
dengan jari-jari 0.24 mm (Yokoi et al., 2004). Menurut, Wang et al. (2006)
TF digabungkan dari tear meniskus atas dan bawah saat berkedip.
Ketebalan TF bersifat iregular pada permukaan okular sehingga tidak ada
ketebalan yang tepat untuk ukuran TF (Wang et al., 2006). Smith et al, (2000)
menunjukkan ketebalan berkisar antara 7-10 μm sedangkan Pyrdal et al. (1992)
menyatakan TF seharusnya memiliki ketebalan 35-40 μm dan mayoritas terdiri
dari gel musin.
Palakuru, et al. (2007) menunjukkan bahwa TF berada dalam keadaan
paling tebal saat segera setelah mengedip dan berada dalam keadaan paling tipis
saat kelopak mata terbuka. Dalam penelitian mereka, angka perubahan ketebalan
ini menunjukkan nilai yang sama dengan kelompok yang disuruh melambatkan
kedipan matanya. Mereka menyimpulkan hal ini disebabkan oleh refleks berair
yang segera.

2.3.4. Mekanisme Distribusi Air Mata


Mengedip berperan dalam produksi, distribusi, dan drainase air mata
(Palakuru, et al., 2007). Banyak variasi teori mengenai mekanisme distribusi air
mata (AAO, 2007). AAO menganut teori Doane (1981) yang dapat dijelaskan
sebagai berikut. Setiap berkedip, palpebra menutup mirip risleting dan
menyebarkan air mata mulai dari lateral. Air mata yang berlebih memenuhi sakus
konjungtiva akan bergerak ke medial untuk memasuki sistem ekskresi (Kanski et
al., 2003; Sullivan et al., 2004). Sewaktu kelopak mata mulai membuka, aparatus
ekskretori sudah terisi air mata dari kedipan mata sebelumnya. Saat kelopak mata
atas turun, punkta akan ikut menyempit dan oklusi punkta akan terjadi setelah
kelopak mata atas telah turun setengah bagian. Kontraksi otot orbikularis okuli
untuk menutup sempurna kelopak mata akan menimbulkan tekanan menekan dan
mendorong seluruh air mata melewati kanalikuli, sakus lakrimalis, duktus
nasolakrimalis, dan meatus inferior. Kanalikuli akan memendek dan menyempit

Universitas Sumatera Utara


serta sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis akan tampak seperti memeras.
Kemudian, setelah dua per tiga bagian kelopak mata berangsur-angsur terbuka,
punkta yang teroklusi akan melebar. Fase pengisian akan berlangsung sampai
kelopak mata terbuka seluruhnya dan siklus terulang kembali (Doane, 1981). TF
dibentuk kembali dari kedipan mata setiap 3-6 detik. Saat kelopak mata terbuka,
lapisan lemak ikut terangkat. Berikut ini adalah model pemecahan TF:

Sumber : Pflugfelder et al., 2004


Gambar 2.2. Model Pemecahan Tear Film

2.3.5. Mekanisme Ekskresi Air Mata


Nichols et al. (2005) menyebutkan bahwa ada tiga mekanisme yang dapat
menyebabkan penipisan PTF yaitu absorpsi (inward flow ke kornea), tangential
flow (pergerakan paralel air mata sepanjang permukaan kornea), dan evaporasi.
Tsubota et al. (1992), Mathers et al. (1996), Goto et al. (2003)
menunjukkan evaporasi hanya berperan minimal menyebabkan penipisan TF.
Akan tetapi, Rolando et al. (1983) dan DEWS (2007) menunjukkan bahwa
evaporasi berperan penting menyebabkan penipisan TF. Smith et al. (2008)
menyebutkan bahwa hal ini bervariasi sesuai keadaan dan melibatkan kombinasi
berbagai mekanisme.
Laju evaporasi pada orang normal adalah 0,004 (Craig, 2000), 0,25 (Goto,
et al., 2003), 0,89 (Mathers, 1993), 0,94 (Shimazaki, 1995), 1,2 (Tomlinson,
1991), 1,61 (Hamano, 1980), 1,94 (Yamada, 1990). Perlu waktu 3-5 menit untuk
ruptur PTF (Kimball, 2009).

Universitas Sumatera Utara


2.4. Air Mata
2.4.1. Tear Film
Secara umum, TF (TF) terdiri dari tiga komponen lapisan di mulai dari
lapisan terluar yaitu lapisan lipid, lapisan akuos, dan lapisan musin. Model dan
susunan TF masih kontroverisal. Sebelum tahun 1994, TF diyakini merupakan
lapisan seperti sandwich yang terdiri dari lapisan lemak, akuos, dan musin (Wolff,
1954; Holly dan Lemp, 1977). Pada tahun 1988, Tiffany mengajukan model baru
TF dengan 6 lapisan (Tiffany, 1988).

Sumber : Pflugfelder et al., 2004


Gambar 2.3. Model Tear Film

Sekarang, model TF telah dideskripsikan dengan campuran antara ketiga


lapisan ini dengan ketebalan 40 μm. Mayoritas lapisan lemak mengapung diatas,
dan campuran lapisan akuos dan musin berada di bawah dalam bentuk gel musin
(Gipson, 2004; Nichols, 2004a; Foulks, 2005).
1. Lapisan lipid
Lapisan lipid, tebal 0,1 µm (AAO, 2007), 40-80 nm (On et al., 2006),
dihasilkan oleh kelenjar meibom palpebra superior dan inferior, kelenjar Zeis, dan
kelenjar Moll (Sullivan et al., 2004). Lapisan ini terdiri dari sembilan jenis lemak
polar dan non polar yang berfungsi melicinkan gerakan palpebra dan mencegah
evaporasi sehingga lapisan ini memegang peranan penting dalam menjaga
stabilitas TF (AAO, 2007). Gangguan satu saja lipid menyebabkan ketidakstabilan
TF (McCulley et al., 2003). Kelenjar meibom menghasilkan kolesterol yang

Universitas Sumatera Utara


hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Kelenjar Zeis menghasilkan asam lemak
untuk mencegah kontaminasi dari kelopak mata (Patel et al., 2003). Kelenjar Moll
menghasilkan lemak polar (Nichols, 2004a) untuk mengontrol evaporasi (Patel et
al., 2003) dan menurunkan tegangan permukaan (Nagyova et al., 1999).
2. Lapisan akuos
Lapisan akuos, tebal 6-7 µm, merupakan 90% komponen TF. Mayoritas
lapisan akuos diproduksi oleh kelenjar lakrimal utama dan aksesorius dengan
tambahan sekresi air dan elektrolit dari sel epitel di permukaan okular (Patel et
al., 2003). Kelenjar aksesorius dan sel epitel okular menghasilkan elektrolit
inorganik untuk mengatur tekanan osmotik mata dan pH mata saat membuka (7,3-
7,6) dan menutup (6,8); substansi organik seperti protein (albumin, globulin,
transferin, imunoglobulin, betalisin, lipokalin, glikoprotein, laktoferin, transferin,
histamin, lisozim), metabolit, dan oksigen. Lipokalin berfungsi untuk
menciptakan suasana hidrofobik agar lapisan lipid dapat melekat di atas lapisan
akuos (Patel et al., 2003; Nichols, 2004a).
3. Lapisan musin
Lapisan musin, tebal 0,002-0,005 µm, diproduksi oleh sel goblet, kelenjar
Henle, kelenjar Manz pada limbus, epitel sekretori di permukaan konjungtiva dan
sel sekretori non globlet yang berfungsi membentuk glikokaliks. Glikokaliks
membentuk dasar yang hidrofilik bagi TF sehingga dapat membasahi kornea
(Krenzer et al., 2000). Epitel sekretori di permukaan konjungtiva membentuk
musin transmembran. Gel dibentuk sel goblet, kelenjar Henle, dan kelenjar Manz
pada limbus yang dirangsang P2Y2 (Cowlen et al., 2003; Gipson, 2004).

2.4.2. Komposisi Air Mata


Air mata terdiri dari 98,2% air dan 1,8% zat lainnya (On et al., 2006).
Dalam keadaan normal, cairan air mata bersifat isotonik dengan osmolalitas 295-
309 mosm/L (On et al., 2007). Konsentrasi glukosa pada air mata 2,5-5 mg/dL
dan urea 0,04 mg/dL. Suhu air mata normal 35°C (Smith et al., 2000). Indeks
refraksi 1,336 (AAO, 2007) yang merupakan komponen yang cukup besar dalam
menjamin refraksi bayangan sempurna jatuh tepat di retina (Kanski et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara


pH air mata normal 7,25-7,35 (AAO, 2007) dengan pH terendah saat mata terbuka
karena kornea menghasilkan lebih banyak karbon dioksida dan terperangkap
dalam pool TF (On et al., 2006). Ketegangan permukaan air mata 43,6 ± 2,7
dyne/cm. Dalam keadaan mata kering, ketegangan permukaan bisa naik menjadi
49,6 ± 2,2 dyne/cm (Tiffany et al., 1989).

2.4.3. Fungsi Tear Film


Secara garis besar, fungsi TF adalah sebagai penunjang imunitas (Gipson
et al., 2004), melapisi dan melindungi melapisi dan melindungi kornea
(precorneal TF atau PTF) dan konjungtiva (preocular TF) dari friksi saat
berkedip (Patel et al., 2003), melindungi permukaan okular dari gangguan kimia
dan biologis (Nichols, 2004a), mempertahankan kekuatan refraksi dari kornea
fokus dan bagus (Kanski et al., 2003), dan memberi oksigen dan nutrien pada
kornea yang avaskular (Bron, 2005).

2.5. Sindroma Mata Kering


2.5.1. Definisi Sindroma Mata Kering
Sindroma Mata Kering (SMK) adalah kumpulan gejala akibat gangguan
pada air mata dan permukaan okuler yang menyebabkan ketidaknyamanan pada
mata, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan TF (DEWS, 2007). SMK
biasanya menunjukkan keluhan yang samar-samar dan bila tidak diobati atau
dihentikan dapat berlangsung terus-menerus kronis menimbulkan kerusakan yang
irreversibel terutama pada permukaan okular (Koh et al., 2008).

2.5.2. Epidemiologi Sindroma Mata Kering


Epidemiologi sindroma mata kering meningkat dari tahun ke tahun.
Prevalensi SMK berkisar 7,4-57,89%. bergantung pada penelitian mana yang
diambil, bagaimana penyakit didiagnosis, dan populasi mana yang disurvei
(Gayton, 2008).
Empat penelitian besar di Amerika Serikat menunjukkan prevalensi SMK
berkisar antara 5-30% dengan total 4,91 juta penduduk berusia di atas 50 tahun.

Universitas Sumatera Utara


Studi besar Women’s Health Study and Physician’s Health Study menunjukkan
prevalensi SMK di Amerika Serikat berkisar 7% pada wanita dan 4% pada pria,
(Schaumberg et al., 2003; 2009). Salisbury Eye Study menunjukkan angka 14,6%
pada populasi berusia 48-91 tahun dengan prevalensi tertinggi pada wanita
(Schein et al., 1997). The Beaver Dam population-based study menemukan
prevalensi sindrom mata kering 14,4% pada populasi berusia diatas 65 tahun
(Moss et al., 2000). Penelitian Hom (2004) pada Hispanik menunjukkan
prevalensi yang cukup besar yaitu 24,6%. Di Kanada, prevalensi berkisar 25%
(Doughty et al., 1997), di Australia, prevalensi 7,4% (McCarty et al.,1998) dan
16,6% pada tahun 2003 (Chia et al., 2003).
Di Shanghai, prevalensi sindrom mata kering 33,78% pada wanita dan
24,11% pada pria dengan faktor risiko yang memperberat, diantaranya adalah
jenis kelamin wanita, umur di atas 50 tahun, penggunaan lensa kontak,
penggunaan anti histamin (Tian et al., 2009). Jie et al. (2009) di Beijing
menunjukkan prevalensi 21% dengan dengan faktor risiko utama perempuan
berusia tua dan gangguan refraksi yang tidak dikoreksi. Di Jepang, prevalensi
berkisar 12,3% pada mahasiswa (Uchino et al., 2008). Di Taiwan, Shihpai
menunjukkan prevalensi 33,7% dengan faktor risiko utama umur dan jenis
kelamin wanita (Lin et al., 2003).
Di Malaysia, prevalensi sindrom mata kering 14,4% (Jamaliah et al.,
2002). Di Indonesia, Kepulauan Riau, menunjukkan prevalensi 27,5% pada
penduduk berusia di atas 21 tahun dengan faktor risiko utama umur, rokok, dan
pterigium (Lee et al.., 2002). Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan,
Chaironika (2011) menemukan 76,8% prevalensi SMK pada wanita yang telah
menopause.

2.5.3. Klasifikasi Sindroma Mata Kering


Sindroma Mata Kering (SMK) dapat dikategorikan menjadi episodik dan
kronik. SMK episodik yaitu mata kering yang dialami akibat lingkungan atau
pekerjaan, dan bersifat sementara. SMK kronik yaitu mata kering yang dipicu

Universitas Sumatera Utara


oleh sesuatu dan bersifat menetap. SMK episodik dapat berlanjut ke mata kering
kronik (Gayton, 2009).
Menurut DEWS (2007), SMK dapat dikategorikan menjadi aquoeus
deficient dan evaporative dry eye. Aqueous tear deficient dry eye adalah kelompok
mata kering yang disebabkan karena kurangnya produksi air mata walaupun
evaporasinya tetap berjalan normal. Evaporative dry eye adalah kelompok mata
kering yang disebabkan karena penguapan berlebihan air mata walaupun tidak
terjadi gangguan pada proses produksinya. Banyak sekali etiologi yang dapat
mencetuskan kedua hal ini, baik yang bersifat autoimun, obat, maupun lingkungan
Klasifikasi ini cukup membingungkan sebab sindrom mata kering sering
merupakan gabungan antara keduanya (DEWS, 2007).

Sumber : DEWS, 2007


Gambar 2.4. Klasifikasi Sindroma Mata Kering

Universitas Sumatera Utara


2.5.4. Faktor Risiko Sindroma Mata Kering
Faktor risiko SMK dibagi dua yaitu, milleu interieur dan milleu esterieur.
Milleu interieur adalah kondisi fisiologis individu itu sendiri. Misal, pada individu
tersebut memang frekuensi kedipan matanya sedikit atau individu tertentu yang
memiliki sudut bukaan kelopak palpebra yang lebih lebar (Sullivan et al., 2004b).
Milleu exterieur adalah kondisi lingkungan sekitar. Kelembaban lingkungan yang
rendah dan kecepatan angin yang tinggi menyebabkan cepatnya evaporasi.
Termasuk juga faktor pekerjaan seperti analis yang menggunakan mikroskop,
dokter radiologi, atau pengguna komputer.
Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor risiko penyebab SMK:
1. Usia
Berkurangnya androgen seiring pertambahan usia menyebabkan atropi
kelenjar lakrimal dan kelenjar Meibom dengan gambaran histopatologi infiltrasi
limfosit, fibrosis, dan atropi asinar (Rocha et al., 2000; Sullivan et al., 2002,
2004c). Hal ini sesuai dengan penelitian Barabino et al. (2007) yang menemukan
adanya penurunan volume air mata dan kurangnya protein pada air mata orang
tua. Zhu et al. (2009) menemukan bahwa kurangnya hormon androgen dapat
menurunkan transforming growth factor sehingga limfosit yang dihasilkan sel
asinar merembes keluar dan menghancurkan kelenjar lakrimal dan kelenjar
Meibom. Akan tetapi, penelitian Schaefer et al. (2009) tidak menunjukkan adanya
perbedaan tes Schrimer antara kelompok pengguna komputer berumur 20-39
tahun dan 40-53 tahun (p<0,05).
2. Jenis kelamin
Hampir semua penelitian epidemiologi sindrom mata kering menunjukkan
prevalensi SMK yang lebih tinggi pada wanita, terutama wanita yang menopause
(Versura et al., 2005). Hormon seks mempengaruhi sekresi air mata, disfungsi
meibom, dan sel goblet konjungtiva (Schaumberg et al., 2001).
3. Pengguna lensa kontak
Sekitar 43-50% pengguna lensa kontak mengalami mata kering (Begley et
al., 2000). Pemakaian lensa kontak memisahkan PTF menjadi dua bagian
sehingga tidak ada musin di pre lens dan tidak ada lapisan lipid di post lens

Universitas Sumatera Utara


sehingga SMK sering dialami (Nichols et al., 2003). Selain itu, Tutt (2000)
menunjukkan adanya penurunan kualitas bayangan retina pada pengguna lensa
kontak dengan alat aberometer.
4. Merokok
Pekerja yang merokok lebih banyak mengalami gangguan oftalmikus
dibandingkan yang tidak merokok (Jaakkola et al., 2000; Reijula et al., 2004).
Asap rokok menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein-protein permukaan
okular (Grus et al., 2002) sehingga BUT akan menurun (Rohit et al., 2002). Moss
et al. (2000) menunjukkan bahwa mata kering 1,22 kali lebih sering terjadi pada
perokok.
5. Ruangan ber-AC
SMK lebih banyak dialami oleh penduduk yang tinggal di tempat yang
tinggi karena suhu yang rendah, kelembaban yang rendah, dan angin yang
kencang (Wolkoff et al., 2005). Oleh karena itu, SMK dapat dipicu pada ruangan
yang ber-AC (Schaumberg et al., 2003).

2.6. Hubungan Penggunaan Komputer dengan Sindroma Mata Kering


Sindroma mata kering akibat penggunaan komputer memang bukan suatu
masalah yang serius karena mata dapat beradaptasi yang kembali normal
sebagaimana mestinya. Akan tetapi, dialaminya SMK yang sering dan repetitif
dapat berdampak buruk pada ketajaman penglihatan dan kesehatan permukaan
okuler (Kaido et al., 2007 dan Koh et al., 2008).
Penelitian Filipina menunjukkan korelasi 0,256 antara lama penggunaan
komputer dengan timbulnya keluhan SMK (p=0,003). Fenga et al. (2008)
menunjukkan angka korelasi 0,358.
Berikut ini disajikan bagan patofisiologi timbulnya mata kering akibat
penggunaan komputer:

Universitas Sumatera Utara


Penggunaan Komputer

Mata dipaksa fokus Mata lelah

Frekuensi berkedip ↓ Kelopak mata lelah berkedip

Hipofungsi lakrimal Evaporasi air mata ↑

Sementara Akuous ↓, Musin ↓, Lipid ↓

Akous ↓ PTF tidak stabil

Hiperosmolaritas Break up time ↑


Pemecahan TF
MAP, NFKb distribusi
irregular
IL-1, TNF-α, MMP-9 Ruptur PTF ↑

Kompensasi berkedip Ruptur semakin luas

Friksi permukaan okular ↑ Evaporasi semakin ↑

Kompensasi gagal
Frekuensi berkedip ↓↓
Dialami berulang-ulang
Permukaan okular rusak

Gambar 2.5. Patofisiologi Sindroma Mata Kering pada Pengguna


Komputer

Berbagai literatur berhipotesis bahwa ada pengurangan frekuensi berkedip


saat menggunakan komputer (Ziemssen et al., 2005; Anshel, 2007; Himebaugh et
al., 2009). Secara kuantitatif, frekuensi berkedip, interval antara dua kedipan, luas
permukaan okular terpapar, lebar palpebra terparar, dan besar penguapan sesuai
kegiatan akan disajikan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Frekuensi Berkedip, Interval Antara Dua Kedipan, Luas Permukaan Okular, Lebar Palpebra, dan Besar Penguapan
Air Mata pada Saat Istirahat, Berbicara, Membaca, dan Menggunakan Komputer
Besar penguapan air
Frekuensi berkedip Interval antara dua Luas permukaan
Kegiatan Lebar palpebra (mm) mata (x 10-7 g/s per
(kali/menit) kedipan (detik) okular (cm2)
cm2)
22 ± 9
(Tsubota et al., 1993) 2,2 ± 0,4 4,1 ± 1,4
Istirahat
16 ± 4 (Tsubota et al., 1993) (Goto et al., 2003)
(AOA, 2007)
16,8
(Schlote et al., 2004)
21,5 ± 10 4,9 ± 1.49
Berbicara
(Doughty, 2001) (Schaefer et al., 2009)
11,62
(Schaefer et al., 2009)
10 ± 6
1,2 ± 0,4
Membaca (Tsubota et al., 1993)
(Tsubota et al., 1993)
7,5 ± 6,1
7±7
(Tsubota et al., 1993)
Menggunakan 6,6 ± 4,8 10.42 ± 7,78 2,3 ± 0,5
komputer (Schlote et al., 2004) (Schaefer et al., 2009) (Tsubota et al., 1993)
5,75
(Schaefer et al., 2009)
1,2 ± 0,27 5,7 ± 0,98 5,6 ± 1,8
a. Bawah
(Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995)
2,2 ± 0,39 9,4 ± 0,14 7,8 ± 2,2
b. Sejajar
(Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995)
3,0 ± 0,33 12,1 ± 1,2 8,0 ± 1,7
c. Atas
(Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995)

Universitas Sumatera Utara


Kumpulan data di atas menunjukkan pengurangan frekuensi berkedip dan
memanjangnya interval antara dua kedipan saat menggunakan komputer. Hal ini
menyebabkan luasnya permukaan okular yang terpapar sehingga memperpanjang
waktu paparan permukaan okular terhadap evaporasi (Doughty, 2001; Goto et al.,
2003; Abelson et al., 2005; Himebaugh et al., 2009; Schaefer et al., 2009). Selain
itu, saat menatap komputer, terutama sejajar ataupun dengan tatapan ke atas,
permukaan okular yang terbuka menjadi lebih lebar sehingga terjadi penguapan
terjadi 2-3 kali lebih besar saat melihat komputer sejajar dan ke atas dibandingkan
saat melihat ke bawah dan pada keadaan istirahat (Schaefer et al., 2009).
Walaupun pada data hanya dijumpai sedikit peningkatan evaporasi pada penderita
mata kering, hal ini sudah dapat menggangu kestabilan dinamika air mata dan
gangguan pada permukaan okular (Nakaishi et al., 1999; Goto et al., 2003).
Fokus bekerja pada sesuatu ditemukan berkaitan dengan frekuensi
berkedip. Bahkan, banyak penelitian yang menjadikan frekuensi berkedip sebagai
indikator terhadap kelelahan dan keberatan mental terhadap pekerjaan (Scerbo et
al., 2001). Pengurangan frekuensi berkedip ini belum jelas mekanismenya. Para
peneliti berpendapat bahwa hal ini ada kaitannya dengan pacemaker sistem saraf
pusat yang diaktifkan karena pemusatan perhatian dan pandangan (Acosta et al.,
1999; Doughty, 2001).
Akan tetapi, kaitan ini menjadi sangat unik sebab indikator peningkatan
dan penurunan frekuensi berkedip tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan
(Affandi, 2005). Misal, frekuensi berkedip terus meningkat seiring pemfokusan
yang lebih berat saat menyetir (Andreassi, 2006). Akan tetapi, kebanyakan
frekuensi berkedip menurun seiring dengan memberatnya beban mental (Hankins
et al., 1998; Lipp, et al., 2000; Orden et al., 2001; Wilson et al., 2002; Ebite et al.,
2009). Seperti halnya saat penjahat sebenarnya mengisi kuesioner mengenai
kejahatan yang ia lakukan, akan lebih berat beban pikiran dan terjadi pengurangan
kedipan mata (Leal et al., 2010).
Saat menggunakan komputer, mata dipaksa untuk memfokuskan kerja
pada komputer, stuck at that point, sehingga frekuensi berkedip berkurang
(Goldsborough, 2007). Kelelahan mata yang berlebihan akibat terus menatap

Universitas Sumatera Utara


komputer akan menyebabkan kedipan inkomplit (Kaneko et al., 2001; Caffier et
al., 2003). Jadi, selain penurunan kedipan mata, kedipan mata juga tidak
sempurna. Berkedip inkomplit juga berkontribusi terhadap semakin cepat waktu
ruptur TF (Tomlinson et al., 2002).
Di sisi lain, terdapat teori yang menyatakan, di mana saat fokus bekerja
terhadap sesuatu, sistem saraf simpatis akan diaktifkan dan terjadi induksi sekresi
dopamin. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan kedipan mata
berkurang. Dopamin adalah neurotransmitter yang berhubungan dengan induksi
fisiologi mengedip spontan (Taylor, 2002). Selain itu, terdapat cahaya terang akan
mensupresi produksi hormon melatonin. Melatonin seharusnya berfungsi sebagai
inhibitor sekresi dopamin pada sistem limbik (Sandyk et al., 1990; Nakayama et
al., 1998). Walaupun demikian, sampai sekarang tetap dibuktikan penurunan
berkedip seiring meningkatnya intensitas dan beban mental saat menggunakan
komputer.
Frekuensi mengedip yang berkurang menyebabkan berkurangnya juga
input sensori ke kelenjar lakrimal sehingga terjadi gangguan pada kelenjar
lakrimal akibat lama tidak digunakan. Keadaan ini disebut disuse athropy
(Nakamura et al., 2005). Tong et al. (2010) menunjukkan disfungsi kelenjar
meibom pada pengguna komputer pada tahap lanjut.
Nakamura et al. (2010) melakukan percobaan dengan menggunakan
hewan coba mencit. Manipulasi efek monitor komputer dilakukan dengan cara
terus-menerus memberi kipasan angin pada mencit yang digantungkan pada
ayunan. Penelitian ini menunjukkan adanya hipofungsi dari kelenjar lakrimal pada
SMK akibat penggunaan komputer. Gambaran histopatologi kelenjar lakrimal
dengan mikroskop elektron menunjukkan pengurangan jumlah sel asinar,
pembesaran sel asinar akibat vesikel sekretori pada sitoplasma, dan berkurangnya
jumlah retikulum endoplasma. Pengurangan sel asinar menyebabkan
berkurangnya fungsinya untuk eksositosis vesikel sekretori air mata (Wu et al.,
2006). Selain itu, pembesaran vesikel sekretori dan berkurangnya jumlah
retikulum endoplasma menyebabkan hilangnya struktur kelenjar asinar yang

Universitas Sumatera Utara


normal (Nguyen et al., 2004). Pada manusia yang menderita SMK, Obata et al.
(1995) juga menemukan gambaran histopatologi yang sama.
Kesemua hal di atas menyebabkan gangguan pada TF. Reduksi dari salah
satu lapisan saja dapat memperburuk dan menggangu stabilitas lapisan lain
(Gayton, 2009). Hipofungsi lakrimal menyebabkan berkurangnya sekresi akuos
penyusun TF. Hal ini menyebabkan peningkatan osmoralitas air mata akibat
berkurangnya air yang menjadi 90% penyusunnya. Peningkatan osmoralitas air
mata menyebabkan aktivasi jalur inflamasi MAP kinase dan NFkB. Kemudian
kedua mediator ini akan merangsang dilepaskannya sitokin inflamasi IL-1, TNF-
α, dan MMP-9 (Li et al., 2004; Luo et al., 2005, Paiva et al., 2006). Sitokin
inflamasi tersebut ditemukan juga dalam air mata dan kelenjar lakrimal (Jones et
al., 1994; Nakamura et al., 2006). Sitokin-sitokin inflamasi ini akan menyebabkan
apoptosis dari sel epitel, termasuk sel goblet (Argueso et al., 2002; Brignole et al.,
2002). Berkurangnya sel goblet akan menyebakan defek pengeluaran musin
sehingga TF akan terganggu. Sebagai kompensasi, sitokin-sitokin inflamasi ini
juga akan menstimulasi nervus trigeminus untuk merangsang refleks pengeluaran
air mata dan refleks berkedip (Qian et al., 2004). Begley et al. (2003)
menyebutkan bahwa osmoralitas yang meningkat akan merangsang kemoreseptor
untuk meneruskan sinyal refleks berkedip melalui nervus trigeminus. Namun,
musin sudah berkurang dan TF telah tidak stabil, sehingga refleks berkedip justru
akan menambah friksi gesekan antara kelopak mata dan permukaan okular dan
akan memperparah inflamasi dan kerusakan. Penipisan ketiga lapisan TF juga
akan semakin cepat (Patel et al., 2003). Bila mata kering ini berlangsung terus-
menerus dan menjadi kronik, kornea akan menjadi insensitif sehingga tidak ada
lagi refleks kompensasi (Abelson et al., 2002). Tanpa dan dengan kompensasi,
kerusakan morfologi akan terus berlanjut (Benitez et al., 2007).
Di sisi lain, pengurangan frekuensi berkedip dan pemanjangan interval
antara dua kedipan akan meningkat akan menyebabkan permukaan okular
terpapar dengan udara luar meluas (Tsubota et al., 1993, 1995; Ziemssen et al.,
2005; Abelson et al., 2002, Schaefer, 2009). Evaporasi akan meningkat sehingga
kecepatan penipisan lapisan TF meningkat. Interval kedipan mata juga

Universitas Sumatera Utara


memanjang melebihi BUT dan terjadi sebelum periode berkedip setelahnya
(Schaefer et al., 2009). Dengan evaporasi meningkat dan waktu pembentukan TF
yang tidak dapat mengimbangi cepatnya ruptur TF, TF akan pecah dan SMK
mulai dialami (Wolkoff et al., 2005; Kimball et al., 2009). Evaporasi yang
berlebihan dapat berkontribusi terhadap peningkatan osmoralitas mata kering
(Craig et al., 2000). Suhu dan kelembaban yang terlalu rendah akibat evaporasi
juga dapat mencetuskan ruptur TF (Wolkoff et al., 2005).
Pemecahan TF pada orang normal biasanya dimulai dari daerah inferior,
sedangkan pada penderita mata kering biasanya pada bagian sentral dan superior
akibat efek langsung dari evaporasi berlebihan (Himebaugh et al., 2009).
Pemecahan TF juga terjadi secara irregular meninggalkan tepi TF tanpa dukungan
TF bagian tengah. Ruptur PTF akan terjadi dalam waktu yang singkat dan
menginduksi ruptur yang semakin luas lagi. Kerusakan pada permukaan okular
juga akan timbul (Naranayan et al., 2006).
Musin yang berkurang akibat evaporasi berlebihan menyebabkan
terbentuknya dry spot yang dapat menginduksi refleks pengeluaran air mata
sebagai kompensasi (Gipson et al., 2004). Selain itu, penurunan suhu di
permukaan kornea akibat evaporasi juga merangsang saraf termosensitif dan
menginduksi kompensasi refleks berkedip (Hirata et al., 2010). Kompensasi
refleks berkedip disertai pengeluaran air mata akan mengatasi keadaan mata
kering. Akan tetapi, bila hal ini dialami terus-menerus setiap hari, air mata tidak
lagi seadekuat kompensasi awal. Refleks berkedip bahkan akan menyebabkan
peningkatan kerusakan mekanik akibat gesekan berlebihan kelopak mata pada
permukaan okuler (Yokoi et al., 2008; Ward et al., 2010) sebab adanya evaporasi
berlebihan dan hipofungsi lakrimal. Jadi, refleks berkedip malah akan melengkapi
lingkaran setan dari serangkaian perjalanan SMK.

2.7. Lama Penggunaan Komputer dan Sindroma Mata Kering


Peningkatan jumlah keluhan oftalmikus dan lamanya waktu bekerja
ditemukan berkaitan erat (Nakazawa et al., 2002; Sen et al., 2007). Banyak
penelitian yang menunjukkan adanya hubungan erat antara lama penggunaan

Universitas Sumatera Utara


komputer terhadap perburukan gejala mata kering (DEWS, 2007; Uchino et al.,
2008). Namun, hasil yang dilaporkan cukup bervariasi. Selain itu, belum jelas
dibedakan antara lama penggunaan komputer secara terus-menerus, per hari, atau
riwayat lama penggunaan komputer.
Penelitian University of South Carolina mengategorikan penggunaan
komputer ringan < 2 jam, sedang 2-4 jam, dan berat > 4 jam per hari. Penelitian
Taylor (2007) di 16 negara di dunia menunjukkan rata-rata lama penggunaan
komputer per harinya adalah sekitar 5 jam. Penelitian Sen et al. (2007)
menunjukkan hampir setengah dari pengguna komputer menggunakan komputer
secara terus-menerus tanpa istirahat lebih dari 2 jam per harinya. Penelitian
Hoesin et al. (2007) di 16 kota di Indonesia menunjukkan rata-rata penggunaan
komputer di Indonesia kurang dari 5 jam per hari. Di Bantul, 7% pengguna
komputer menggunakan komputer dalam intensitas yang rendah, 3% dengan
intensitas sedang, dan 83% dengan intensitas tinggi. (Indriawati et al., 2008).
Penelitian Dewi et al. (2009) di kantor samsat Palembang menunjukkan 75%
pekerja menggunakan komputer menggunakan komputer lebih dari 4 jam.
Sen et al. (2007) menunjukkan ada hubungan signifikan antara lama
penggunaan komputer terus-menerus dengan sindroma mata kering. Akan tetapi,
kaitan dengan lama penggunaan komputer rata-rata per hari tidak begitu
bermakna. Dengan menggunakan kuesioner berskala 1-10 ditunjukkan bahwa
gejala yang paling sering dialami adalah kelelahan pada mata dengan skor 4,5;
terbakar pada mata 3,3; gangguan pemfokusan mata 2,7. Angka tertinggi 7
didapatkan pada gejala terbakar pada mata pada pengguna komputer lebih dari 6
jam per hari. Nakamura et al. (2010) juga menunjukkan adanya hubungan antara
riwayat lama penggunaan komputer dengan p= 0,012.
Penelitian Shima et al. (1993) menunjukkan peningkatan gangguan mata
pada pekerja pengguna komputer lebih dari 1 jam per hari. Broumand et al.
(2008) menunjukkan perburukan gejala pada pengguna komputer lebih dari 2 jam
per hari. Penelitian Kanitkar et al. (2005) dan Amalia et al. (2010) menunjukkan
SMK dialami pengguna komputer lebih dari 3 jam per hari. Penelitian Fenga et al.
(2007) menunjukkan mata kering mayoritas dialami pengguna komputer lebih

Universitas Sumatera Utara


dari 4 jam per hari. Penelitian Uchino et al. (2008) menunjukkan keluhan SMK
menunjukkan hasil yang signifikan pada pelajar pengguna komputer lebih dari 4
jam per hari dengan mayoritas pelajar wanita dan pengguna lensa kontak.
Penelitian Nakazawa et al. (2002) dan Honda (2007) menunjukkan peningkatan
bermakna keluhan mata kering pada pekerja pengguna komputer lebih dari 5
jam/hari. Penelitian Hanne et al. (1994) dan Shigenori et al. (2002) menunjukkan
baru timbul keluhan mata kering pada pengguna komputer lebih dari 6 jam.
Penelitian Sen et al. (2007) menunjukkan gejala mata kering umumnya
dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah
6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus.
Parwati (2004) menyatakan gejala oftalmikus timbul setelah 2 jam
penggunaan komputer secara terus-menerus. Akan tetapi, penelitian Sadri (2003)
dengan menggunakan tes Schirmer tidak menunjukkan adanya perbedaan sekresi
air mata sebelum dan setelah 2 jam penggunaan komputer terus-menerus.
Penelitian Hiroko (2007) menunjukkan variasi 1-4 jam penggunaan komputer atas
kejadian SMK. Sen et al. (2007) menyatakan bahwa gejala SMK umumnya
dikeluhkan setelah 3 jam penggunaan komputer secara terus-menerus atau setelah
6 jam penggunaan komputer tidak terus-menerus.
Berbagai penelitian di atas menunjukkan variasi antara pada pengguna
komputer intensitas yang bagaimanakah bisa memberikan hasil yang signifikan
terhadap kejadian SMK. Bahkan, penelitian objektif mata kering dengan uji
stabilitas air mata prekorneal, kondisi lapisan lemak air mata, tidak menunjukkan
adanya hubungan dengan lama bekerja menggunakan komputer. Tes Schirmer
baru menunjukkan hubungan yang bermakna pada penggunaan komputer > 8
jam/hari (Nakamura et al., 2010).
Gejala yang berhubungan dengan SMK yaitu mata terasa kering, mata
lelah, mata terasa terbakar, mata terasa perih, mata terasa gatal, mata merah, mata
berair, penglihatan kabur sesaat (kembali dengan berkedip), fotofobia (sensitif
terhadap cahaya), dan seperti ada benda asing (AOA, 2002; DEWS, 2007).
Berikut ini adalah proporsi setiap gejala SMK yang dialami pengguna komputer:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2. Gejala Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer
Gejala Keluhan (%) Sumber
Mata terasa kering 47 Jamalilah et al., 2002
56 Hiroko, 2007
66 Dehghani et al., 2008
85 Murtopo et al., 2005
Mata lelah 46,4 Bhanderi et al., 2008
51 Fenga et al., 2007
65 Dehghani et al., 2008
69,7 Hiroko, 2007
76,8 Amalia et al., 2010
90,4 Shofwati et al., 2010
97,8 Bali et al., 2007
Mata terasa terbakar 28,1 Edema et al., 2010
79 Dehghani et al., 2008
Mata terasa perih 31,51 Megwas et al., 200
Mata terasa gatal 5,48 Megwas et al., 2009
Mata merah 40,6 Edema et al., 2010
61,2 Bali et al., 2007
Mata berair 19,68 Megwas et al., 2009
56,8 Edema et al., 2010
66,4 Bali et al., 2007
Penglihatan kabur sesaat (kembali 5,1 Broumand et al., 2008
dengan berkedip) 10,3 Megwas et al., 2009
10,96 Mocci, 2001
50 Edema et al., 2010
52 Sirikul et al., 2009
Fotofobia (sensitif terhadap cahaya) 34,8 Bali et al., 2007
Seperti ada benda asing (berpasir) 0 Megwas et al., 2009

2.8. Jam Istirahat Bagi Pengguna Komputer


“Istirahat”, satu manuver yang paling tepat untuk mencegah SMK akibat
lama penggunaan komputer (Balci et al., 2003; Blehm et al., 2005). Akan tetapi,
masih sedikit penelitian mengenai jam istirahat yang ideal. Perlu diingat pula
bahwa interupsi yang terlalu sering akan membawa dampak yang kurang efektif
terhadap pekerjaan yang sedangan dikerjakan.
NIOSH (1981) dan OSHA (1997) menganjurkan setiap 2 jam, seorang
pengguna komputer harus beristirahat 10 menit. Waktu istirahat lain yang
dianjurkan cukup bervariasi yaitu 10 menit setiap 50 menit (Karwowski, 1994),
10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al., 1984), 30 menit setiap 3½ jam (Asfour,
1987), 5 menit setiap 1 jam (Kanitkard et al., 2005), dan 15 menit setiap 2 jam
(Andriana, 2010). Istirahat 5 menit setiap 30 menit atau 10 menit setiap jam

Universitas Sumatera Utara


menunjukkan peningkatan produktivitas yang sama dan agar tidak mengganggu
pekerjaan dipilih 10 menit setiap 1 jam (Kopardekar et al., 1994).
Istirahat juga dapat diikuti dengan relaksasi menurut rumus 20-20-20.
Waktu istirahat 20 detik setiap 20 menit dengan cara melihat ke arah lain yang
berjarak kira-kira 20 kaki dan bisa sambil mengedipkan mata 10 kali. Relaksasi
mata lain adalah dengan cara melihat ke tempat yang jauh 10-15 detik, kemudian
melihat ke tempat yang dekat 10-15 detik dan ulangi kembali selama 10 kali
(Mayoclinic, 2006).
Di Indonesia, waktu kerja maksimal adalah 8 jam, break setengah jam
setiap 4 jam, dan rest 8 jam (Menteri Tenaga Kerja RI, 1993). Belum ada regulasi
secara spesifik mengenai batas waktu penggunaan komputer bagi pekerja di
Indonesia. Di Belanda, pengguna komputer dibatasi menggunakan komputer
maksimal 6 jam per hari dan bahkan bagi pekerja bank yang menggunakan
komputer, jam kerja dibatasi 5 jam per hari (Taylor et al., 2007)

2.9. Diagnosis Sindrom Mata Kering pada Pengguna Komputer


Sering sekali hasil pemeriksaan SMK secara subjektif berbeda dengan
pemeriksaan objektif (Jamaliah et al., 2002; Nichols et al., 2004b; Savini et al.,
2008). Kebanyakan tes diagnostik tidak distandardisasi sehingga menimbulkan
hasil yang berbeda-beda dalam setiap penelitian. Tidak ada kesepakatan mengenai
gold standard dan cut-off value tiap-tiap pemeriksaan SMK (Foulks et al., 2003).
Selain itu, SMK yang ringan tidak akan memberikan hasil yang patologis pada tes
Schirmer, tes BUT, mapun tes objektif lain sebab penderita masih dapat
mengompensasi dengan refleks berair sehingga SMK timbul hilang (Palakuru, et
al., 2007). Walaupun demikian, pengelompokkan derajat keparahan SMK secara
umum menurut DEWS (2007) harus memenuhi kriteria tes subjektif dan tes
objektif. Kriteria tes subjektif berupa gejala SMK dan kriteria tes objektif berupa
tanda SMK.
Nichols (2004b) dan DEWS (2007) menyebutkan bahwa SMK dapat
didiagnosis dari kumpulan gejala yang biasanya dilakukan melalui instrumen
kuesioner. Schaumberg (2007) melakukan validasi pada kuesioner SMK yang

Universitas Sumatera Utara


tersebut dibuat dengan berlandaskan Visual Analogue Scale (VAS). Kuesioner
tersebut disebut Symptoms Assessment in Dry Eye (SANDE) Questionnaire.
Sebelumnya, Pearce et al. (2005) telah menyebutkan bahwa keluhan gejala
sindrom mata kering lebih sensitif dianalisis dengan VAS dibanding pertanyaan
kategori seperti langsung menyuruh responden mencontreng ringan, sedang, dan
berat tanpa parameter yang jelas. Visual Analogue Scale juga banyak digunakan
sebagai indikator keberhasilan terapi sindrom mata kering (Asbell et al., 2006).
Lima puluh dua penderita yang terdiagnosis SMK diberikan kuesioner
SANDE untuk evaluasi hasil pengobatan selama 2 dan 4 bulan. Hasil statistik
menunjukkan regresi yang menurun. Validasi dilakukan dengan uji statistik
Tukey, analisis Bland-Altman, dengan dengan hasil 50% titik-titik pada plot
berjarak tidak lebih dari 10 mm, 80% tidak lebih dari 20 mm, dan 95% berjarak
tidak lebih dari 30 mm. Reliabilitas menunjukkan nilai inter-class correlation
coefficient 0,53-0,76 dengan memberikan kuesioner beberapa hari setelah
pemberian kueseioner pertama sekali. Salamanca et al. (2010) juga menggunakan
kuesioner SANDE dalam menilai gejala SMK pada penelitiannya.
Menurut Pates et al. (2003), nilai VAS 0-<40 termasuk SMK ringan, nilai
VAS 40-<70 termasuk SMK sedang, nilai VAS termasuk 70-100 berat. Penelitian
Garcia et al. (2007) menunjukkan rata-rata penderita SMK menunjukkan nilai
VAS sebesar 43,04. Asbell et al. (2006) menyebutkan bahwa penderita mata
kering biasanya mengeluhkan ketidaknyamanan pada mata dalam rentang 70-100.
Visual Analogue Scale untuk menilai keparahan SMK biasanya dibuat
dalam bentuk garis lurus vertikal sepanjang 100 mm dengan nilai 0 di paling
bawah dan 100 di paling atas. Nilai 0 menunjukkan tidak ada keparahan
sedangkan nilai 100 menunjukkan sangat parah (Williams et al., 2010).
Responden dipersilahkan untuk memberikan tanda silang (X) pada garis tersebut
yang mengindikasikan seberapa parah gejala SMK ia alami. Nilai keparahan
diukur dengan penggaris dengan mengukur jarak antara nilai 0 dan tanda silang
(Schaumberg et al., 2007). Tidak ada perbedaan menggunakan skala 100 mm dan
150 mm (p< 0,01) (Chaput et al., 2010). Kuesioner lain yang terkenal seperti
McMonnies Dry Eye History Questionnaire, Dry Eye Questionnaire (DEQ),

Universitas Sumatera Utara


Canada Dry Eye Epidemiology Study (CANDEES), Ocular Surface Disease Index
(OSDI), Women’s Health Study questionnaire, dalam hal ini tidak cocok untuk
menilai SMK pada pengguna komputer sebab SMK yang dinilai berkaitan dengan
aktivitas sehari-hari sedangkan SMK pada pengguna komputer biasanya hanya
bersifat temporer tetapi muncul dengan pola repetitif.

2.10. Komplikasi Sindroma Mata Kering


SMK dan perjalanan penyakitnya menyebabkan kerusakan pada
permukaan okular (DEWS, 2007). Baik SMK temporer maupun permanen akan
menurunkan produktivitas kerja, meningkatakan kesalahan dalam bekerja
sehingga pekerjaan yang dilakukan tidak memuaskan (AOA, 2003). Pada kasus
yang lanjut dapat timbul erosi permukaan okular seperti penipisan kornea, ulkus
kornea, dan perforasi. Kadang bisa juga terjadi infeksi bakteri sekunder yang
dapat berakibat parut dan neovaskularisasi pada kornea yang makin menurunkan
pengihatan bahkan kebutaan (AAO, 2003, Albietz et al., 2004; Diller et al., 2005).

2.11. Prognosis Sindroma Mata Kering


Penelitian telah menunjukkan SMK mempengaruhi fungsi penglihatan,
aktivitas rutin, fungsi sosial dan fisik, produktivitas kerja, pembiayaan penyakit,
dan kualitas hidup. Ukuran kualitas hidup ditemukan menurun secara signifikan
pada penderita mata kering (Pflugfelder et al., 2004; Miljanovic et al., 2007).
Pada penelitian Schiffman et al. (2003) dengan skala 0 sampai dengan 1
dengan 0 berarti kualitas hidup sangat buruk dan 1 menunjukkan kualitas hidup
sangat baik, menunjukkan bahwa mata kering ringan mempunyai skor 0,81; mata
kering sedang 0,78; mata kering berat 0,72; di mana nilai ini hampir sama dengan
kualitas hidup penderita angina sedang yang menunjukkan skor 0,75.
SMK yang berulang terus-menerus akan mengakibatkan penglihatan yang
berfluktuasi dan akan menggangu ketajaman penglihatan dan sensitivitas kornea
(Huang et al., 2002; AOA, 2003). Hal ini akan mengganggu kegiatan sehari-hari.
Jadi, perlu pencegahan primer untuk menghindari SMK dengan istirahat yang
adekuat setelah menatap layar monitor.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai