Anda di halaman 1dari 11

Impetigo

Etiologi
Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau group A Beta Hemolitic
Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan pathogen primer pada
impetigo bulosa dan ecthyma. Staphylococcus merupakn bakteri sel gram positif yang
memiliki bentuk dan ukuran 1μm, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur,
kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan. Pada orang
dewasa, impetigo biasanya disebabkan dari cedera pada kulit. Anak-anak umumnya terinfeksi
melalui luka atau gigitan serangga, tetapi mereka juga bisa mengalami impetigo tanpa
memiliki cedera kulit

Epidemiologi
Impetigo lebih sering terjadi di iklim tropis dan di dataran rendah. Kondisi hangat dan
lembab dikombinasikan dengan sering terkena gangguan kulit melalui gigitan serangga
mendukung perkembangannya sepanjang tahun di iklim tropis. Kondisi padat atau kebersihan
yang buruk juga menyebabkan impetigo.
Di amerika, angka kejadian impetigo terjadi sekitar 10% dari seluruh data penyakit
kulit di klinik pediatric. impetigo dapat mengenai semua ras. Secara keseluruhan, insiden
pada laki-laki dan perempuan sama, namun pada orang dewasa impetigo lebih sering terjadi
pada laki-laki.

Patofisiologi
Infeksi akibat Staphylococcus aureus dimana sebelumnya diketahui bakteri-bakteri
tersebut dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannaya mengadakan pembelahan dan
menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler.
Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase,hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin,
toksin eksofoliatif, toksik sindrom,syok toksik, dan enterotoksik. Toksik yang dihasilkan
bakteri ini dapat menyebabkan impetigo menyebar ke seluruh daerah lainnya. Toksin ini
menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit, sehingga membuat protein ini
rusak dan semakin memudahkan bakteri menyebar dengan cepat. Dan enzim yang
dikeluarkan oleh bakteri Staphylococcus ini akan membuat struktur kulit rusak dan akan
timbul rasa gatal yang dapat menyebabkan lesi pada kulit.
Pada awalnya, rasa gatal dengan lesi berbentuk berupa macula eritematosa yang
berukuran 1-2 mm, kemudian berubah menjadi vesikel. Pada impetigo contagiosa awalnya
berupa warna kemerahan pada kulit (macula) atau papul (penonjolan padat dengan diameter
<0,5 cm) yang berukuran 2-5 mm. lesi papul segera menjadi vesikel atau pustule yang mudah
pecah dan menjadi papul dengan koreng berwarna kuning madu dan lengket yang berukuran
<2 cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan di sekelilingnya.

Gejala Klinis

Penyakit ini biasanya asimetris yang ditandai dengan lesi awal berbentuk makula
eritem pada wajah, telinga maupun tangan yang berubah dengan cepat menjadi vesikel berisi
cairan bening atau pustul dengan cepat dan dikelilingi oleh suatu areola inflamasi, bila
mengering akan mengeras menyerupai batu kerikil yang melekat di kulit. Jika diangkat maka
daerah tempat melekatnya tadi nampak basah dan berwarna kemerahan.
Tahap ini jarang terlihat karena kulit vesikel sangat tipis dan mudah rupture. Pada
dasar vesikel terdapat eksudasi, jika mengering akan menjadi krusta warna kuning. Lesi
awalnya kecil (ukuran kira-kira 3-10 mm), tapi kemudian dapat membesar. Bila lesi sembuh
tidak akan meninggalkan bekas. Lesi bias annular, circinata atau bundar menyerupai Tinea
circinata. Lesi satelit dapat terbentuk di sekitar lesi utama yang disebabkan oleh adanya
autoinoculation.
Tanda khas dari impetigo krustosa ini adalah warna kemerahan seperti madu atau kuning
keemasan ’honey-colored’. Pada daerah tropis umumnya terjadi pada anak-anak yang kurang
gizi, erupsinya bias luas dan bereaksi lambat terhadap terapi. Umumnya terjadi pada daerah-
daerah tubuh yang terbuka seperti wajah, mulut, telapak tangan atau leher.
Tidak disertai gejala umum. Tempat predileksi di muka, yakni di sekitar lubang
hidung dan mulut karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Kelainan kulit berupa
eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga jika penderita datang berobat, yang
terlihat ialah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi di
bawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh di bagian tengah.
Streptokkus yang menginfeksi anak-anak dan yang lebih tua tidak berbeda dengan
yang terkena/menyebar pada populasi yang lain, walaupun perlu dipertimbangkan bahwa
tingkat infeksi yang lebih serius bias berbeda dari kedua kelompok umur tersebut. Keluhan
utama adalah rasa gatal. Lesi awal berupa macula eritematosa berukuran 1 – 2 mm, segera
berubah menjadi vesikel atau bula. Karena dinding vesikel tipis, mudah pecah dan
mengeluarkan secret seropurulen kuning kecoklatan. Selanjutnya mengering membentuk
krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif
yang mengeluarkan secret sehingga krusta kembali menebal.

Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan penunjang untuk menetapkan diagnosis dilakukan biakan


bakteriologis eksudat lesi, biakan secret dalam media agar darah, dilanjutkan dengan tes
resistens. Selain itu kultur dilakukan untuk mengetahui kuman penyebabnya. Baik
staphylococcus maupun streptococcus mudah berkembang pada media aerob, contohnya
blood agar.
Pemeriksaan histopatologi kulit pada infeksi yang sangat superficial yaitu diatas
lapisan epidermis. Pemeriksaan gram dilakukan pada stratum korneum dan lapisan diatas
granuler. Hal tersebut berhubungan dengan akantolisis jaringan sub corneal epidermis. Hanya
sedikit infitrat yang tampak.
Pada pemeriksaan lokalisasi dan efloresensi dari penyakit ini diperoleh bahwa lesi
penyakit ini biasanya terdapat pada daerah yang terpajan, terutama wajah, tangan, leher dan
ekstremitas. Sementara efloresensi / sifat-sifatnya berupa macula eritematosa miliar sampai
lentikular, krusta kuning kecoklatan, berlapis-lapis, mudah diangkat.

Patogenesis

Pada impetigo krustosa (non bullous), infeksi ditemukan pada bagian minor dari
trauma (misalnya : gigitan serangga, abrasi, cacar ayam, pembakaran). Trauma membuka
protein-protein di kulit sehingga bakteri mudah melekat, menyerang dan membentuk infeksi
di kulit. Pada epidermis muncul neutrophilic vesicopustules. Pada bagian atas kulit terdapat
sebuah infiltrate yang hebat yakni netrofil dan limfosit. Bakteri gram-positif juga ada dalam
lesi ini.
Eksotoksin Streptococcus pyrogenic diyakini menyebabkan ruam pada daerah
berbintik merah, dan diduga berperan pada saat kritis dari Streptococcal toxic shock
syndrome. Kira-kira 30% dari populasi bakteri ini berkoloni di daerah nares anterior. Bakteri
dapat menyebar dari hidung ke kulit yang normal di dalam 7-14 hari, dengan lesi impetigo
yang muncul 7-14 hari kemudian.

Penatalaksanaan
Perawatan Umum :
1.      Memperbaiki higien dengan membiasakan membersihkan tubuh dengan sabun, memotong
kuku dan senantiasa mengganti pakaian.
2.      Perawatan luka
3.      Titak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan pribadi (handuk, pakaian, dan alat
cukur)

Sistemik
Pengobatan sistemik di indikasikan jika terdapat factor yang memperberat impetigo
seperti eczema. Untuk mencegah infeksi sampai ke ginjal maka di anjurkan untuk melakukan
pemeriksaan urine. Bakteri pun di uji untuk mengetahui ada tidaknya resistensi antibiotic.
Pada impetigo superficial yang disebabkan streptococcus kelompok A, penisilin adalah drug
of choice. Penisilin oral yang digunakan adalah potassium Phemmoxymethylpenicilin. Bila
resisten bias digunakan oxacilin dengan dosis 2,5 gr/ hari dan dosis untuk anak-anak
disesuaikan dengan umur. Dapat juga digunakan eritromisin dosis 1,5 – 2,0 g yang diberikan
4 kali sehari.
Penisilin V oral (250mg per oral) efektif untuk streptokokkus atau staphylokokkus
aureus non-penisilin. Penisilin semi sentetis, methicin, atau oxacilin (500mg setiap 4-6 jam)
diberikan untuk staphylokokkus yang resisten terhadap penisilin eritromisin (250mg 4 kali
sehari) lebih efektif dan aman, di gunakan pada pasien yang sensitive terhadap penisilin.
Antibiotic oral diberikan bila :

a.       Erupsi memberat dan semakin meluas


b.      Anak lain yang terpapar infeksi
c.       Bila bentuk nephritogenik telah berlebihan
d.      Bila pengobatan topical meragukan
e.       Pada kasus yang disertai folliculitis
Topikal
Pengobatan topikal dilakukan apabila krusta dan sisa impetigo telah dibersihkan
dengan cara mencucinya menggunakan sabun antiseptic dan air bersih. Untuk krusta yang
lebih luas dan berpotensi menjadi lesi sebaiknya menggunakan larutan antiseptic atau pun
bubuk kanji. Dapat menggunakan asam salisil 3-6% untuk menghilankan krusta. Bila krusta
hilang maka penyebaranya akan terhenti. Pustule dan bula didrainase. Bila dasar lesi sudah
terlihat, sebaiknya diberikan preparat antibiotic pada lesi tersebut dengan hati-hati sebanyak 4
kali sehari. Preparat antibiotic juga dapat digunakan untuk daerah yang erosive. Misalnya
menggunakan krim neomycin yang mengandung clioquinol 0,5%-1% atau asam salisil 3%-
5%.
Komplikasi
1. Ektima 
Impetigo yang tidak diobati dapat meluas lebih dalam dan penetrasi ke epidermis
menjadi ektima. Ektima merupakan pioderma pada jaringan kutan yang ditandai
dengan adanya ulkus dan krusta tebal.
2. Selulitis dan Erisepelas 
Impetigo krustosa dapat menjadi infeksi invasif menyebabkan terjadinya selulitis dan
erisepelas, meskipun jarang terjadi. Selulitis
merupakan  peradangan akut kulit yang mengenai jaringan subkutan (jaringan ikat lon
ggar) yang ditandai dengan eritema setempat, ketegangan kulit disertai malaise,
menggigil dan demam. Sedangkan erisepelas
merupakan  peradangan kulit yang melibatkan pembuluh limfe superfisial ditandai de
ngan eritema dan tepi meninggi, panas, bengkak, dan biasanya disertai gejala
prodromal.
3. Glomerulonefritis Post Streptococcal 
Komplikasi utama dan serius dari impetigo krustosa yang umumnya disebabkan
oleh Streptococcus group A beta-hemolitikus ini yaitu glomerulonefritis akut (2%-
5%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak usia kurang dari 6 tahun. Tidak
ada bukti yang menyatakan glomerulonefritis terjadi pada impetigo yang disebabkan
oleh Staphylococcus. Insiden glomerulonefritis (GNA) berbeda pada setiap individu,
tergantung dari strain potensial yang menginfeksi nefritogenik. Faktor yang berperan
penting atas terjadinya GNAPS yaitu serotipe Streptococcusstrain 49, 55, 57,dan 60
serta strain M-tipe 2. Periode laten  berkembangnya nefritis setelah pioderma
streptococcal sekitar 18-21 hari. Kriteria diagnosis GNAPS ini terdiri dari hematuria
makroskopik atau mikroskopik, edema yang diawali dari regio wajah, dan hipertensi.
4. Rheumatic Fever. 
Sebuah kelainan inflamasi yang dapat terjadi karena komplikasi infeksi streptokokus
yang tidak diobati strep throat atau scarlet fever. Kondisi tersebut dapat
mempengaruhi otak, kulit, jantung,dan sendi tulang.
5. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit ynag banyak ditemui setiap tahun. Penyakit ini biasa
terjadi pada perokok dan seseorang yang menggunakan obat yang menekan sistem
imunitas.
6. Infeksi Methicilin- resistant staphylococcus aureus(MRSA). 
MRSA adalah sebuah strain bakteri stafilokokus yang resisten terhadap sejumlah
antibiotik. MRSA dapat menyebabkan infeksi serius pada kulit yang sangat sulit
diobati. Infeksi kulit dapat dimulai dengan sebuah
eritem,  papul, atau abses yang mengeluarkan pus. MRSA juga dapat menyebabkan
pneumonia dan bakterimia.
7. Osteomielitis 
Sebuah inflamasi pada tulang disebabkan bakteri. Inflamasi
biasanya  berasal dari bagian tubuh yang lain yang berpindah ke tulang melalui darah.
8. Meningitis 
Sebuah inflamasi pada membran dan cairan serebrospinal yang melingkupi otak dan
medula spinalis. Meningitis merupakan sebuah penyakit serius yang dapat
mempengaruhi kehidupan dan menghasilkan komplikasi  permanen seperti koma,
syok, dan kematian.
Roseola
Etiologi
HHV-6 adalah agen etiologi pada sekurang-kurangnya 80-92% kasus exanthema subitum.
HHV-6 merupakan salah satu dari tujuh virus herpes manusia. Diameter virus ini besar
(185-200 nm), berselubung, merupakan virus DNA helai ganda sekitar 170 kilobasa. Pada
mulanya diisolasi dari sel darah perifer manusia, bereplikasi pada sel T manusia baik sel
CD4 maupun CD8, monosit, megakariosit, sel pembunuh alamiah, sel glia, dan sel epitel
serta sel salivarius. HHV-6 ini mempunyai 2 varian, yaitu human herpesvirus varian A yang
tidak menyebabkan suatu penyakit, dan human herpes virus varian B yang paling banyak
menyebabkan infeksi HHV-6 primer. Virus ini menyebar melalui air ludah (droplet) dan
sekret genital.

Epidemiologi

Infeksi HHV-6 paling banyak ditemukan pada 2 tahun (puncak 9-12 bulan) pertama
kehidupan. Kebanyakan (70-95%) bayi baru lahir adalah seropositif untuk HHV-6. Frekuensi
seropositif turun antara umur 4-6 bulan. Pada umur 1-2 tahun lebih dari 90% bayi adalah
seropositif. Morbiditas penyakit ini rendah pada bayi dengan imunokompenten karena
menyebabkan gejala yang ringan, akan tetapi mortalitas tinggi pada orang dewasa yang
menderita imunodefisiensi karena dapat menimbulkan beberapa gejala seperti depresi saluran
pernapasan, kejang dan gangguan multiorgan sehingga dapat menyebabkan kematian.
Insidens Roseola infantum tidak dipengaruhi oleh ras dan jenis kelamin. Infeksi terjadi secara
sama pada kedua jenis kelamin dan terjadi di semua musim. Wabah kecil roseola
terdokumentasi pada populasi yang rapat, seperti panti asuhan.

Patofisiologi

HHV-6 sering terdeteksi dalam saliva manusia dan kadang pada sekret genital. Infeksi primer
dapat disertai dengan gejala-gejala atau dapat tidak bergejala. Viremia dapat dideteksi pada
4-5 hari pertama Roseola klinis dengan rata-rata sel terinfeksi 10 3 per 106 sel mononuklear.
Jumlah virus dalam darah dihubungkan secara langsung dengan keparahan penyakit.
Terdapat respon imun kompleks yang tersusun dari induksi berbagai sitokin (interferon
alfa dan gamma, interleukin beta, faktor nekrosis tumor alfa), respon antibodi, dan reaktivitas
sel-T.

Hilangnya viremia primer, demam, dan munculnya ruam biasanya dihubungkan dengan
munculnya antibodi anti-HHV-6 neutralisasi serum dan mungkin menaikkan aktivitas sel
pembunuh alami. Antibodi transplasenta melindungi bayi muda dari infeksi. Infeksi sel
sumsum tulang in vitro menekan diferensiasi sel pendahulu dari semua deretan sel. Infeksi
HHV-6 in vitro menghambat respon limfoproliferatif sel mononuklear darah perifer
manusia.

Kadar antibodi yang tinggi pada orang dewasa, seiring dengan pelepasan virus dalam ludah,
dan deteksi asam nukleat virus dalam kelenjar ludah dan sel mononuklear darah perifer pada
anak yang seropositif dan orang dewasa mendukung keadaan latensi HHV-6 yang hidup
lama. Sifat reaktivasi penyakit dapat terjadi pada anak yang lebih tua dan orang dewasa,
terutama pada mereka yang mempunyai defek pada imunitas seluler, seperti pada penderita
transplan atau AIDS.

Manifestasi Klinis

Infeksi HHV-6 mulai dengan gejala mendadak, demam setinggi 39,4-41,2 C, fontanella
anterior mencembung sehingga dapat timbul kejang. Kejang dapat terjadi pada stadium pra-
eruptif Roseola. Mukosa faring mungkin sedikit meradang dan sedikit koryza, biasanya anak
tampak relatif baik walaupun demam. Demam turun dengan cepat pada hari ke 3-4, ketika
suhu kembali normal, erupsi berbentuk makulopapular tampak diseluruh tubuh, mulai pada
badan, menyebar ke lengan dan leher, dan melibatkan muka dan kaki. Ruam menghilang
dalam 3 hari. Deskuamasi jarang dan tidak ada pigmentasi. Limfonodi dapat membesar
terutama di daerah servikal tetapi tidak meluas seperti pada ruam rubella.

Berikut uraian gejala klinis roseola terkait HHV-6 :


 Demam
o Tingkat maksimum : 39-40 oC
o Lamanya : 3-4 hari
 Ruam
o Hari kemunculan : 3-5 hari sesudah mulai demam
o Lamanya : 3-4 hari
o Tandanya : Makular, menyatu (seperti campak), 40%; Papular
(seperti rubella), 55%.
o Tempat : leher, perut, badan, punggung, tungkai
 Tanda dan gejala terkait
o Adenopati oksipital atau servikal : 30-35%
o Tanda atau gejala pernafasan : 50-55%
o Diare ringan : 55-70%
o Kejang : 5-35%
o Edema palpebra : 0-30%
o Pencembungan fontanella anterior : 26-30%
o Faringitis papuler : 65%

Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan darah rutin, selama hari pertama demam angka sel darah putih rata-
rata 8.000/mm dengan kenaikan neutrofil. Pada demam hari ke 3-4 angka sel darah turun
sampai 6.000/mm, terkadang dengan neutropenia absolut dan limfositisis yang dapat setinggi
90%. Cairan serebrospinal normal, walaupun DNA HHV-6 mungkin terdeteksi dengan reaksi
rantai polimerase (RRP).

Penatalaksanaan
Medikamentosa

Tidak ada metode untuk profilaksis yang diketahui. Pada bayi dan anak muda yang
cenderung konvulsi, pemberian sedatif ketika mulai muncul demam roseola mungkin efektif
sebagai profilaksis terhadap kejang. Antipiretik mungkin membantu dalam mengurangi
sebagian demam dan menenangkan kegelisahan. HHV-6 rentan pada gansiklovir dan jauh
kurang pada asiklovir. Namun tidak ada penelitian yang menggunakan agen ini pada terapi
untuk kasus infeksi HHV-6 berat.

Non Medikamentosa
Setelah demam turun, sebaiknya anak dikompres dengan menggunakan handuk atau lap yang
telah dibasahi dengan air hangat guna menjaga tidak terjadinya demam kembali. Tidak
menggunakan es batu, air dingin, alkohol maupun kipas angin.

Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya penyakit ini, dapat dilakukan dengan menjaga daya tahan tubuh
karena penyakit ini disebabkan oleh virus sehingga apabila daya tahan tubuh kita lemah maka
virus akan dengan mudah menyerang.

Selain itu hendaknya menghindari kontak dengan penderita karena penularan penyakit ini
melalui droplet dan dahak yang keluar saat mereka bicara, tertawa, bersin atau batuk
sehingga dapat terhirup oleh kita. Untuk mencegah penularan Roseola infantum pada
lingkungan, anak yang sakit diberi izin tidak masuk sekolah selama ± 10 hari.

Untuk pencegahan terjadinya dehidrasi akibat demam, anjurkan anak untuk minum banyak
air putih.
Komplikasi

Beberapa komplikasi dari roseola infantum :

 Kejang demam
o Suhu tubuh anak dapat dengan cepat meningkat sehingga
menyebabkan kejang.
 Ensephalitis
o Apabila infeksi sampai menuju otak dapat menyebabkan ensefalitis.
 Meningitis.
o Meningitis dapat terjadi pada 3 dari 8 anak dengan kejang demam dan 3 dari
anak dengan ensefalitis karena adanya HHV-6 pada cairan serebrospinal.

Prognosis

Prognosis Roseola adalah baik kecuali pada penderita yang jarang menderita hiperpireksia
ekstrem, kejang-kejang menetap, ensefealitis berat atau hepatitis.
Miliaria
Etiologi

Biang keringat disebabkan karena adanya sumbatan pada pori-pori saluran keluarnya
keringat sehingga keringat merembes pada pori kulit terdekat dan mengakibatkan inflamasi
dan peradangan. Biang keringat berhubungan erat dengan cuaca yang sangat panas, lembab
atau dapat terjadi selama penyakit yang menyebabkan berkeringat. Biang keringat juga
diakibatkan dari ketidakmampuan kulit untuk bernafas, berinteraksi dengan udara-udara
karena pakaian yang terlalu ketat atau tebal seperti kulit dan polyester.
Sumbatan pada biang keringat ini dapat disebabkan oleh debu atau pun daki. Saat
tubuh banyak berkeringat, misalnya cuaca panas atau setelah demam, adanya sumbatan tadi
akan membuat keringat tertahan dibawah kulit, kemudian mebentuk tonjolan-tonjolan kecil
berwarna merah karena terjadi peradangan.

Patofisiologi

Ketidakmampuan sekresi keringat dan keluar keringat dari pori menyebabkan dilatasi
atau pelebaran dan rupture atau kerusakan pada lapisan epidermal pori keringat. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi akut pada lapisan dermis yang menimbulkan rasa perih, terbakar,
atau gatal. Terjadinya miliariasis, diawali dengan tersumbatnya pori-pori kelenjar keringat
sehingga kelenjar keringat tertahan. Tertahanya pengeluaran keringat ditandai dengan adanya
vesikel miliar di muara kelenjar keringat lalu disusul dengan timbulnya radang dan edema
akibat perspirasi yang tidak dapat keluar kemudian diabsorpsi oleh stratum korneum.
Miliariasis sering terjadi pada bayi premature karena proses diferensiasi sel epidermal dan
appendiksnya belum sempurna.

Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada biang keringat yakni menghilangkan penyebab biang keringat,
mengatasi dan meringankan gejala biang keringat.
Terapi non-farmakologis meliputi mengurangi keringat, berada di tempat sejuk,
menggunakan pakaian yang longgar, berwarna cerah, dan tipis untuk melancarkan sirkulasi
udara. Pada anak-anak sering mengganti popok dan menggunakan sabun antiseptic ringan
untuk mengurangi ketidaknyamanan biang keringat.

Pencegahan

Sebagian besar miliaria akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan.


Sebenarnya juga dapat mengurangi timbulnya biang keringat pada si kecil antara lain dengan
menjaga kenyamanan lingkungan sekitar si kecil, memakaikan baju yang terbuat dari jenis-
jenis bahan yang mudah menyerap keringat, lembut, dan tidak ketat.
Daftar Pustaka
1. Fennelly. Measles. (Online, http://www.emedicine.com/PED/topic1388.htm, diakses
tanggal 14 November 2015). Hal 33-8
2. Behrman RE, Kliegman, Arvin, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. Vol.2.
Terjemahan Oleh : Wahab AS. Jakarta: EGC; 2000.
3. Alan R. Pendekatan diagnostik penyakit eksantema akut dalam. Edisi I. Jakarta:Balai
Penerbit FKUI. 2007;h.113
4. Phillips C.S. Measles in behrman R.E vaughan VC (eds) nelson textbook of pediatrics.
12th edition. Igaku-Shoin/Saunders. 2005. p.743
5. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Pedoman diagnosis dan terapi. Surabaya:
Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo. 2006. H.119-22
6. Cherry J.D. 2004. Measles virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan (eds) Textbook of
Pediatrics Infectious Disease. 5th edition. Vol 3. Philadelphia. Saunders. p.2283 – 98
7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
kesehatan masyarakat. Edisi 2, Percetakan Infomedika, Jakarta, 2010. h.220-22
8. Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Farmakoterapi Aplikasi Buku Ajar Farmakologi. Edisi 1, Jakarta,2016.h.112
9. Price, A.S et all. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Vol. II. Edisi 6.
Jakarta: EGC; 2006

Anda mungkin juga menyukai