Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESAREA (SC)

DI RUANG MARGAPATI PADA TANGGAL 23-29 JULI 2018

RSUD MANGUSADA BADUNG

Ni Luh Diani Utari

16.321.2502

A10-B

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

2018
A. Konsep Dasar Teori
1. Definisi
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perit dan dinding Rahim. ( Mansjoer, 2008)
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus. (Sarwanto, 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada
dinding uterus melalui dinding depan abdomen.

2. Etiologi
Indikasi SC
Indikasi klasik yang dapat dikemukakan sebagai dasar SC adalah:
a. Prolog labour sampai neglected labour
b. Ruptura uteri imminen
c. Fetal distress
d. Janin besar melebihi 4000gr
e. Pendarahan antepartum. (Nanuaba, 1 B. 2001)
Sedangkan indikasi yang menambah tingginya angka persalinan dengan SC adalah:
Malpersentasi janin
a. Letak lintang
Bila terjadi kesempitan panggul, maka SC adalah jalan atau cara yang terbaik
dalam melahirkan janin dengan segala letak lintang janinnya hidup dan besarnya
biasa. Semua primigravida dengan letak lintang harus ditolong dengan section
caesarea walaupun tidak ada perkiraan panggul sempit. Multipara dengan letak
lintang dapat lebih dahulu ditolong dengan cara lain.
b. Latar belakang
Section caesarea dirasakan atau dianjurkan pada letak belakang bila panggul
sempit, primigravida, janin besar dan berharga.
a) Plasenta previa sentralis dan lateralis
b) Presentasi lengkap bila reposisi tidak berhasil
c) Gemeli menurut Eastman, section caesarea dianjurkan bila janin pertama
letak lintang atau presentasi bahu, bila terjadi interior (looking of the
twins), distasia karena tumor, gawat janin dan sebagainya.
d) Partus lama
e) Partus tidak maju
f) Pre-eklamsia dan hipertensi
g) Distasia serviks

3. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan atau hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal atau spontan, misalnya plasenta previa sentralis
dan lateralis, panggul sempit, disproporai cephala pelvic, rupture uteri mengancam,
partus lama, partus tidak maju, pre-eklamsi, distosia serviks, dan malpresentasi janin.
Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu section
caesarea (SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anastesia yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi
aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara atau kelemahan fisik akan menyebabkan
pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri secara mandiri sehingga
timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan dan perawatan
post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam
proses pembedahan juga dapat dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen
sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan pembuluh darah dan saraf
– saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluara histamine dan
prostaglandin yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses
pembedahan berakhir, daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post operasi,
yang bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.
Kelaianan atau hambatan selama proses hamil dan proses
PATHWAY
persalinan misalnya: plasenta previa,sentralis dan lateralis,
panggul sempit, disproporsi cephalopervis, rupture uteri
mengancam, partus lama/ tidak maju, pre eklamsia, distonia
serviks, ,malpersentasi janin

Kurang informasi terhadap


Section caesarea
pemberian ASI ekslusif, imunisasi,
(SC)
perawatan diri, perawatan bayi
Defisiensi
pengetahuan

Ansietas

Luka post op Insisi dinding Tindakan


SC abdomen anastesi

Imobilisasi
Resiko infeksi Terputusnya
inkonuitas
jaringan,
pembuluh darah,
dan saraf – saraf Defisit Penurunan
di sekitar daerah perawatan tonus usus
Reaksi hormone diri
insisi
karatin (-)

Perubahan pola
Merangsang eliminasi BAB
Reaksi ASI (-)
pengeluaran
histamine dan
prostaglandin
Ketidakefektifan
pemberian ASI
Nyeri akut
4. Klasifikasi
1) Abdomen (Sc abdominalis)
a) Sectio caesarea transperitonealis
- Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang pada
corpus uteri
- Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada segmen bawah uterus
b) Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan Sectio caesarea tanpa membuka peritoneum perietalis
dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis
2) Vagina (Sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, Sectio caesarea dapat dilakukan apabila
- Sayatan memanjang (longitudinal)
- Sayatan melintang (tranversal)
- Sayatan huruf T (T insisian)
3) Sectio caesarea klasik (korponal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira – kira
10 cm.
Kelebihan:
- Mengeluarkan janin lebih memanjang
- Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
- Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal.

Kekurangan ‘

- Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada


reperitonial yang baik
- Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan. Rupture uteri karena luka bekas SC klasik sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Rupture uteri karena luka
bekas SC klasik sudah dapat terjadi akhir kehamilan, sedangkan
pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi dalam
persalinan.
- Untuk mengurangi kemungkinan rupture uteri, dianjurkan supaya
ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi,
sekurang – kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya
adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk
tujuan ini akan dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
4) Sectio caesarea (ismika profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah
rahim kira – kira 10 cm.
Kelebihan
- Penjahitan luka lebih mudah
- Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
- Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
- Perdarahan kurang
- Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan rupture uteri
spontan lebih kecil.
Kekurangan
- Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan
perdarahan yang banyak
- Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

5. Manifestasi klinis
a. Plasenta previa sentralis dan lateralis (posterior)
b. Panggul sempit
c. Disporsi sefalopelvik, yaitu ketidakseimbangan antara ukuran kepala dan ukuran
panggul
d. Rupture uteri mengancam
e. Partus lama (prolonged labor)
f. Partus tak maju (obstructed labor)
g. Distosia serviks
h. Pre-eklampsia dan hipertensi
i. Malpresentasi janin
- Letak lintang
- Letak bokong
- Presentasi dahi dan muka (letak defleksi)
- Presentasi rangkap jika reposisi tidak berhasil
j. Nyeri pada luka operasi
k. Tidak bisa flatus
l. Peningkatan suhu tubuh tapi tidak melebihi dari 38oC
m. Perubahan tinggi fundus uteri
n. Adanya lochea

6. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan tanda – tanda vital
b. Kepala dan leher
- Memeriksa apakah terjadi edema pada wajah
- Memeriksa apakah mata:
 pucat pada konjungtiva
 sclera icterus
c. Memeriksa dan meraba leher untuk mengetahui apakah:
- Kelenjar tiroid tidak membesar
- Pembuluh limfe
- Apakah ada pelebaran vena jugularis
d. Payudara
- Bentuk, ukuran dan payudara simetris
- Puting payudara menonjol atau masuk ke dalam
- Tidak adanya kolostrom atau cairan lain
- Tidak ada peneganan pada payudara
- Tidak ada massa, kelenjar limfe yang membesar
- Tidak ada retraksi atau dimpling
e. Abdomen
- Pemeriksaan bising usus di keempat kuadran (5 – 35x/menit)
- Pemeriksaan diastasis rektus abdominis
- Pemeriksaan fundus uteri meliputi konsistensi, kekuatan kontraksi, posisi,
tinggi fundus
- Pemeriksaan insisi SC: keadaan jahitan/insisi, tidak adanya tanda – tanda
infeksi (kalor, rubor, tumor, dolor, fungsio laesa)
- Pemeriksaan kandung kemih: tidak ada distensi dan nyeri tekan
- Linea alba
- Striae
f. Ekstremitas (tangan dan kaki)
- Memeriksa apakah tangan dan kaki: edema, pucat pada kuku jari, hangat,
adanya nyeri dan kemerahan
- Memeriksa dan meraba kaki untuk mengetahui adanya varises
- Memeriksa refleks patella untuk melihat apakah terjadi gerakan hypo atau
hyper
- Pemeriksaan hormans sign (nyeri saat kaki dorsofleksi pasif)
g. Perineum
- Pemeriksaan perineum
REEDA
 Red: kemerahan
 Edema: pembengkakan
 Echymosis: kebiruan
 Discharge: pengeluaran cairan bernanah
 Loss of approximation: pergeseran jahitan
- Pemeriksaan lochea: tipe, jumlah dan bau
 Lochea rubra (cruenta)
Lochea rubra terdiri dari darah segar dan sisa – sisa selaput
ketuban, sel – sel desidua, verniks kaeosa, lanugo, dan mekoneum
selama 2 hari pasca persalinan.
 Lochea sanguinolenta
Lochea berwarna merah kuning berisi darah dan lendir, hari ke 3 –
7 pasca persalinan
 Lochea serosa
Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi, pada hari ke 7 – 14
pasca persalinan
 Lochea alba
Lochea berwarna putih, setelah 2 minggu
 Lochea purulenta
Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk
 Locheastasis
Pengeluaran lochea tidak lancar
h. Anus
Pemeriksaan adanya haemorroid

7. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah lengkap
2) Pemeriksaan hemoglobin (Hb), hematocrit (Ht) untuk mengetahui perubahan
dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan. Leukosit (WBC) untuk mengidentifikasi adanya infeksi, test
golongan darah serta lama perdarahan dan waktu pembekuan darah.
3) Urinalis kultur
4) Ultrasonografi: melokalisasi plasenta, menentukan pertumbuhan, kedudukan
dan presentasi janin
5) Pemantauan elektrolit konting: memastikan status dehidrasi dan aktivitas
uterus

8. Komplikasi
a. Infeksi puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam
masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis, sepsis dan lain –
lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala –
gejala infeksi intrapartum atau ada faktor – faktor yang merupakan prediposisi
terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan
vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian
antibiotik, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam
hal ini lebih berbahaya daripada SC transperitonealis profunda.
b. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang arteria
uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri.
c. Komplikasi – komplikasi lain seperti:
- Luka kandung kemih
- Embolisme paru – paru
d. Suatu komplikasi yang kemudian tampak ialah kurang kuat perut pada dinding
uterus
9. Prognosis
Dengan kemajuan teknik pembedahan adanya antibiotika dengan persediaan darah
yang cukup, pelaksanaan Sectio caesarea sekarang jauh lebih aman dari pada dahulu.
- Angka kematian di rumah sakit dengan fasilitas baik dan tenaga yang
kompeten < 2/1000. Faktor – faktor yang mempengaruhi morbilitas
pembedahan adalah kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi
pembedahan dan lamanya persalinan berlangsung.
- Anak yang dilahirkan dengan Sectio caesarea nasibnya tergantung dari
keadaan yang menjadi alasan untuk melakukan Sectio caesarea. Menurut
statistik, di negara – negara dengan pengawasan antenatal dan intranatal
yang baik, angka kematian perinatal sekitar 4 – 7 %.

10. Penatalaksanaan medis dan post SC


1) Pre Operasi
a. Inform consent
b. Puasa
c. Pencukuran area operasi dan rambut pubis
d. Pemasangan cairan intravena dan dower catheter
e. Pemeriksaan tanda – tanda vital
f. Tes laboratiorium sesuai indikasi
2) Post SC
a. Pemberian cairan
Karena dalam 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perintravena harus cukup banyak dn mengandung
elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada
organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa diberikan DS 10%, garam fisiologi
dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila
kadar Hb rendah diberikan tranfusi darah sesuai kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan infus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberisn minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh
dilakukan pada 6 – 10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air the.
c. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
- Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 – 10 jam setelah
operasi
- Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
terlentang sendini mungkin setelah sadar
- Hari kedua post operasi, penderita dapat di dudukkan selama 5
menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya
- Kemudian posisi tidur terlentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semi fowler)
- Selanjutnya selama berturut – turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan dan
kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca
operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada
penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan,
kateter biasanya terpasang 24 – 48 jam atau lebih lama lagi tergantung
jenis operasi dan keadaan penderita.
e. Pemberian obat – obatan
- Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda – beda
setiap institusi
- Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
 Supostoria: ketopropen sup 2x/24jam
 Oral: tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
 Injeksi: ranitidine 90 – 75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
- Obat – obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobicn I vit. C
f. Perawatan luka
- Observasi luka operasi dan adanya perdarahan pada luka post
operasi
- Kasa perut harus dilihat pada 1 hari pasca bedah, bila basah dan
berdarah harus dibuka dan diganti
- Jahitan dibuka pada hari ke 7 – 9
g. Lochea
- Observasi pengeluaran lochea apakah sudah sesuai dengan
kemajuan
- Observasi tinggi fundus uteri dan kontraksi uterus
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan dengan Pasien Post Section Caesarea
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas klien dan penanggung
b. Alasan dirawat (alasan MRS dan keluhan saat dikaji)
c. Riwayat masuk rumah (keluhan utama & riwayat persalinan sekarang)
BB
Lingkar kepala
Lingkar dada
Lingkar perut
d. Rriwayat obstertri dan ginekologi
- Riwayat menstruasi
- Riwayat pernikahan
- Riwayat kelahiran, persalinan, nifas yang lalu
- Riwayat keluarga berencana
e. Pola fungsional kesehatan Gordon
- Pola manajemen – kesehatan – persepsi kesehatan
- Pola metabolic – nutrisi
- Poola eliminasi
- Pola aktivitas – latihan
- Pola istirahat – tidur
- Pola persepsi kognitif
- Pola konsep diri – persepsi diri
- Pola hubungan – peran
- Pola reproduktif – seksualitas
- Pola toleransi terhadap stress – koping
- Pola keyakinan – nilai
f. Pemeriksaan fisik
Abdomen
- Pemeriksaan bising usus di keempat kuadran (5 – 35x/menit)
- Pemeriksaan diastasis rektus abdominis
- Pemeriksaan fundus uteri meliputi konsistensi, kekuatan kontraksi, posisi,
tinggi fundus
- Pemeriksaan insisi SC: keadaan jahitan/insisi, tidak adanya tanda – tanda
infeksi (kalor, rubor, tumor, dolor, fungsio laesa)
- Pemeriksaan kandung kemih: tidak ada distensi dan nyeri tekan
- Linea alba
- Striae
g. Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan radiologi

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea).
b. Perubahan pola eliminasi BAB (Konstipasi) berhubungan dengan kurangnya
mobilisasi diet yang tidak seimbang dan efek anastesi
c. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik akibat tindakan
anastesi dan pembedahan
d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur
pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi
e. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma trauma jaringan atau luka kering
bekas operasi
f. Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan diskontinuitas
pemberian ASI ditandai dengan produksi ASI kurang
g. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan, tidak familier
dengan sumber informasi ditandai dengan pengungkapan masalah

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang dibuat

5. Evaluasi
a. Diagnosa I
- Klien melaporkan nyeri berkurang/terkontrol
- Wajah tidak tampak meringis
- Klien tampak rileks, dapat beristirahat, dan beraktivitas sesuai
kemampuan
b. Diagnosa II
- Pola eliminasi teratur
- Feses lunak dan warna khas feses
- Bau khas feses
- Tidak ada kesulitan BAB
- Tidak ada feses bercampur darah dan lendir, konstipasi tidak ada
c. Diagnosa III
- Pasien dapat melakukan perawatan diri
- Kebutuhan ADL terpenuhi
d. Diagnosa IV
- Klien terlihat lebih tenang dan tidak gelisah
- Klien mengungkapkan bahwa ansietasnya berkurang
e. Diagnosa V
- Tidak terjadi tanda – tanda infeksi (kalor, rubor, tumor, dolor, fungsio
laesa)
- Suhu dan nadi dalam batas normal (Suhu: 36,5 – 37,5 oC, Nadi 60 –
100x/menit)
- WBC dalam batas normal (4,10 – 10,9 10^3/uL)
f. Diagnosa VI
- Klien mengungkapkan puas dengan kebutuhan untuk menyusui
- Klien mampu melakukan perawatan payudara
g. Diagnose VII
- Klien dapat melakukan perawatan diri
- Klien dapat melakukan perawatan bayi (imunisasi, menyusui ASI
eksklusif, dll).
DAFTAR PUSTAKA

Herman, T.H. 2012.NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi


2014 – 2016. Jakarta: EGC
Mansjoer, Arif dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media
Aesculapius

Mitayani. 2009. Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Salemba Medika

Morgan, Geri. 2009. Obsteri dan Ginekologi Panduan Praktik. Jakarta: EGC

Nurarif, A.H & Hardi K. 2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
& Nanda NIC – NOC. Yogyakarta: Medication

Prawirohajo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka

Sujiyati. 2008. Asuhan Patologi Kebidanan. Jakarta: Numed

Anda mungkin juga menyukai