Anda di halaman 1dari 129

MENYIKAPI OMNIBUS LAW

PRO DAN KONTRA RUU CIPTA LAPANGAN KERJA

Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H. Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono,S.H., M.CL.,MPA
Guru Besar Perundang-Undangan FHUI Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI Guru Besar Hukum Agraria FH UGM

Satya Bhakti Parikesit, S.H., M.M., LL.M. Drs. H. Adang Daradjatun


Moderator Anggota Badan Legislasi DPR RI
Deputi Bidang Perekonomian,
Sekretariat Kabinet Dr. Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

KAMIS, 06 FEBRUARI 2020


08.00-13.00
BALAI SIDANG UI
KAMPUS UI DEPOK

drc.law.ui.ac.id
drc.law.ui.ac.id Drc Fhui drcfhui 021-7884-9083
INVESTASI DAN PROYEK PEMERINTAH
KAWASAN EKONOMI
MENYIKAPI OMNIBUS LAW
PRO KONTRA RUU CIPTA LAPANGAN KERJA

Drs. H. Adang Daradjatun


(Anggota Badan Legislasi DPR RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera)
MENGENAL KONSEP OMNIBUS LAW
 Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan
yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi
pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan besar. Ketika
peraturan itu diundangkan berkonsekuensi mencabut beberapa
aturan yang telah berlaku sebelumnya, baik untuk sebagian maupun
secara keseluruhan.
 Penerapan omnibus law ini lazimnya dikenal di negara yang
menganut sistem commond law seperti Amerika Serikat, Filiphina,
Australia, dan Inggris serta beberapa negara lain.
MENGENAL KONSEP OMNIBUS LAW

 Dalam konsep omnibus law memungkinkan terbentuknya


rancangan undang-undang terpadu (omnibus bill) yang
berisi perubahan bahkan penggabungan beberapa
undang-undang sekaligus.
 Usulan omnibus biasanya di sampaikan oleh pemerintah
kepada parlemen untuk mendapatkan persetujuan dalam
pengambilan keputusan.
OMNIBUS LAW DALAM PROLEGNAS PRIORITAS 2020

 Dari 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk


dalam prolegnas (Proglam Legislasi Nasional) ada 4 (empat)
omnibus law yakni;
 RUU Tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk
Penguatan Prekonomian,
 RUU Tentang Cipta Lapangan Kerja,

 RUU Tentang Ibu Kota Negara, dan

 RUU Tentang Keafarmasian.


LALU BAGAIMANAKAH PERAN DPR DALAM MENYIKAPI
OMNIBUS LAW ?
DPR dalam menyikapi suatu Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
(Pemerintah) seperti usulan omnibuslaw harus senantiasa memperhatikan beberapa
hal antara lain;
 Pertama, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Pancasila sebagai
landasan Filosofis (staatfundamentalnorm)
 Kedua, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Konstitusi Negara
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
landasan konstitusional yuridis.
 Ketiga, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Peraturan Perundang-
Undangan yang terkait dengan kaedah serta norma pembentukan peraturan
perundang-undangan.
BAGAIMANA PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
(LAW-MAKING PROCESS)

 Inisiatif Pengajuan Rancangan Undang-Undang Omnibuslaw


diusulkan Oleh Presiden (Pemerintah) atau DPR.
 Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan bersama-
sama antara Presiden dan DPR.
 Persetujuan Rancangan Undang-Undang dilakukan di tingkat
II Paripurna untuk disahkan.
 Pengesahan Rancangan Undang-Undang Menjadi Undang-
Undang
 Pengundangan Dalam Lembaran Negara
KELEBIHAN OMNIBUS LAW CIPTA LAPANGAN KERJA
 Pembahasannya bersifat multisektoral dan menggabungkan banyak undang-undang
sehingga waktu pembahasan yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan mengubah
undang-undang tesebut satu persatu.
 Omnibus law cocok diterapkan di negara yang regulasinya saling tumpang tindih, hyper
regulasi, & disharmoni. Tujuan penerapan Omnibus Law adalah untuk menjawab dua hal
sekaligus yaitu efisiensi hukum dan harmonisasi hukum.
 Karena menggabungkan banyak undang-undang untuk dibahas dari satu RUU, maka
Efesiensi Anggaran Negara Dalam Proses Penyusunan Undang-Undang dapat tercapai.
 Omnibus law Cipta Lapangan Kerja harus menciptakan instrumen kemudahan berusaha
tidak hanya menguntungkan investor, baik asing maupun dalam negeri, namun juga para
wirausaha yang baru tumbuh, yang sesuai dengan arus perkembangan generasi baru yang
lebih memilih menjadi wiraswasta mandiri (startup)
KEKURANGAN OMNIBUS LAW CIPTA LAPANGAN KERJA
 Bila diterapkan di indonesia dikhawatirkan tidak sejalan dengan sistem hukum indonesia yang
menganut civil law system, mengingat konsep omnibus law lebih dikenal penerapannya di negara yang
menganut common law system.

 Dengan sifat pembahasan yang cepat dan merambah banyak sector Omnibus Law dikhawatirkan akan
mengenyampingkan pedoman tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang
demokratis yaitu memungkinkan mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik dalam
pembentukan undang-undang.

 Waktu pembuatan Undang-undang yang singkat rentan mengalami uji materi (judicial review) karena
sifatnya yang cendrung tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam proses pembentukan.
KESIMPULAN
 Dengan adanya tumpang tindih peraturan, hyperegulasi, dan disharmonisasi regulasi selama ini

membuktikan bahwa indonesia sesungguhnya memang membutuhkan trobosan baru dalam

penyederhanaan dan pengharmonisasian yang efektif melalui konsepsi Omnibus law.

 Penerapan konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia

harus dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan memperhatikan prinsip sebagai berikut; (1)

sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi; (2) sesuai dengan peraturan

perundangan yang mengatur tentang penyusunan regulasi; (3) tetap menghormati kewenangan

masing-masing lembaga yang terlibat dalam penyusunan regulasi.


SARAN
 Dalam menyusun Omnibuslaw yang di dalamnya mencakup banyak undang-
undang, diharapkan baik pemerintah maupun DPR memberikan jangka
waktu pembahasan yang rasional untuk semua pihak dapat turut serta
menelaah, mengkaji, dan berkontribusi dalam penyusunannya.
 Dalam melakukan penyusunan dan pembahasan RUU Omnibuslaw ini,
harus dilibatkan unsur masyarakat sipil dan seluruh pemangku kepentingan
sebagai bentuk pemenuhan hak masyarakat dalam menyusun kebijakan
publik.
 RUU Omnibus law cipta lapangan kerja ini diharapkan dapat mempertegas
peran pemerintah dalam penguasaan sumber daya ekonomi nasional bagi
kepentingan hajat hidup masyarakat indonesia.
1

Menyikapi Omnibus Law Dalam Perspektif Legislasi

Drs. H. Adang Daradjatun


(Anggota Badan Legislasi DPR RI, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera)

Mengenal Konsep Omnibus Law

• Omnibus law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang


menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi
satu peraturan besar. Ketika peraturan itu diundangkan berkonsekuensi mencabut
beberapa aturan yang telah berlaku sebelumnya, baik untuk sebagian maupun secara
keseluruhan.

• Penerapan omnibus law ini lazimnya dikenal di negara yang menganut sistem
commond law seperti Amerika Serikat, Filiphina, Australia, dan Inggris serta beberapa
negara lain.

• Dalam konsep omnibus law memungkinkan terbentuknya rancangan undang-undang


terpadu (omnibus bill) yang berisi perubahan bahkan penggabungan beberapa
undang-undang sekaligus.

• Usulan omnibus biasanya di sampaikan oleh pemerintah kepada parlemen untuk


mendapatkan persetujuan dalam pengambilan keputusan.

Omnibus Law Dalam Prolegnas Prioritas 2020

Dari 50 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang masuk dalam prolegnas (Proglam Legislasi
Nasional) ada 4 (empat) omnibus law yakni;

 RUU Tentang Ibu Kota Negara,


 RUU Tentang Keafarmasian,
 RUU Tentang Cipta Lapangan Kerja, dan
 RUU Tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Prekonomian.

Bahan Diskusi Menyikapi Omnibus Law, Universitas Indonesia. 06 Februari 2020


2

DPR dalam menyikapi suatu Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden
(Pemerintah) seperti usulan omnibuslaw harus senantiasa memperhatikan beberapa hal
antara lain;

• Pertama, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Pancasila sebagai
landasan Filosofis (staatfundamentalnorm)

• Kedua, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Konstitusi Negara yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan
konstitusional yuridis.

• Ketiga, RUU Omnibus Law tersebut harus berpedoman pada Peraturan Perundang-
Undangan yang terkait dengan kaedah serta norma pembentukan peraturan
perundang-undangan.

Bagaimana Proses Pembentukan Undang-Undang (Law-Making Process)

• Inisiatif Pengajuan Rancangan Undang-Undang Omnibuslaw diusulkan Oleh Presiden


(Pemerintah) atau DPR.

• Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan bersama-sama antara Presiden


dan DPR.

• Persetujuan Rancangan Undang-Undang dilakukan di tingkat II Paripurna untuk


disahkan.

• Pengesahan Rancangan Undang-Undang Menjadi Undang-Undang

• Pengundangan Dalam Lembaran Negara

Bahan Diskusi Menyikapi Omnibus Law, Universitas Indonesia. 06 Februari 2020


3

Kelebihan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

• Pembahasannya bersifat multisektoral dan menggabungkan banyak undang-undang


sehingga waktu pembahasan yang diperlukan lebih cepat dibandingkan dengan
mengubah undang-undang tesebut satu persatu.

• Omnibus law cocok diterapkan di negara yang regulasinya saling tumpang tindih,
hyper regulasi, & disharmoni. Tujuan penerapan Omnibus Law adalah untuk
menjawab dua hal sekaligus yaitu efisiensi hukum dan harmonisasi hukum.

• Karena menggabungkan banyak undang-undang untuk dibahas dari satu RUU, maka
Efesiensi Anggaran Negara Dalam Proses Penyusunan Undang-Undang dapat tercapai.

• Omnibus law Cipta Lapangan Kerja harus menciptakan instrumen kemudahan


berusaha tidak hanya menguntungkan investor, baik asing maupun dalam negeri,
namun juga para wirausaha yang baru tumbuh, yang sesuai dengan arus
perkembangan generasi baru yang lebih memilih menjadi wiraswasta mandiri
(startup)

Kekurangan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

• Bila diterapkan di indonesia dikhawatirkan tidak sejalan dengan sistem hukum


indonesia yang menganut civil law system, mengingat konsep omnibus law lebih
dikenal penerapannya di negara yang menganut common law system.

• Dengan sifat pembahasan yang cepat dan merambah banyak sector Omnibus Law
dikhawatirkan akan mengenyampingkan pedoman tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan yang demokratis yaitu memungkinkan mempersempit
keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang.

• Memungkinkan dipangkasnya kewenangan DPR sebagai pembentuk UU yang


demokratis serta hasil dari pembahasan tersebut rentan mengalami uji materi (judicial
review) karena sifatnya yang cendrung tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam proses pembentukan dan sangat singkat.

Bahan Diskusi Menyikapi Omnibus Law, Universitas Indonesia. 06 Februari 2020


4

Kesimpulan :

• Dengan adanya tumpang tindih peraturan, hyperegulasi, dan disharmonisasi regulasi


selama ini membuktikan bahwa indonesia sesungguhnya memang membutuhkan
trobosan baru dalam penyederhanaan dan pengharmonisasian yang efektif melalui
konsepsi Omnibus law.

• Penerapan konsep omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan


Indonesia harus dilakukan secara cermat dan hati-hati dengan memperhatikan prinsip
sebagai berikut; (1) sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi; (2)
sesuai dengan peraturan perundangan yang mengatur tentang penyusunan regulasi;
(3) tetap menghormati kewenangan masing-masing lembaga yang terlibat dalam
penyusunan regulasi.

Saran :

• Dalam menyusun Omnibuslaw yang di dalamnya mencakup banyak undang-undang,


diharapkan baik pemerintah maupun DPR memberikan jangka waktu pembahasan
yang rasional untuk semua pihak dapat turut serta menelaah, mengkaji, dan
berkontribusi dalam penyusunannya.

• Dalam melakukan penyusunan dan pembahasan RUU Omnibuslaw ini, harus


dilibatkan unsur masyarakat sipil dan seluruh pemangku kepentingan sebagai bentuk
pemenuhan hak masyarakat dalam menyusun kebijakan publik.

• RUU Omnibus law cipta lapangan kerja ini diharapkan dapat mempertegas peran
pemerintah dalam penguasaan sumber daya ekonomi nasional bagi kepentingan hajat
hidup masyarakat indonesia.

Bahan Diskusi Menyikapi Omnibus Law, Universitas Indonesia. 06 Februari 2020


Omnibus Law,
Produk Hukum Kolonial dan
Sistem Hukum Nasional:
Beberapa Catatan

Satya Arinanto
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Permasalahan utama pembangunan
hukum nasional antara lain:
 Memperbaharui atau mengganti
peraturan hukum dari masa kolonial
yang masih berlaku melalui Aturan
Peralihan UUD 1945.
 Menciptakan hukum baru yang secara
utuh bersumber pada Pancasila dan
UUD 1945 (termasuk Perubahan-
perubahannya), sesuai dengan tuntutan
dan perkembangan masyarakat pada
tingkat lokal, nasional, regional, dan
internasional dalam era globalisasi.
Sejarah gagasan
pembaharuan hukum
 Masalah pembaharuan hukum bukan merupakan sesuatu yang baru di
negeri kita. Pada tahun 1947, dalam Pidato Dies di UGM, Prof. Supomo
telah mengemukakan tentang kebutuhan suatu tata hukum yang
kualitasnya sejajar dengan tata hukum dari negara-negara maju,
suatu kesatuan hukum sipil untuk semua golongan warga negara, dan
suatu sistem hukum yang mencakup segala aliran pikiran modern di
dunia. Ia menyatakan pula bahwa suatu susunan ekonomi baru, cita-
cita industrialisasi, dan hubungan-hubungan dengan luar negeri akan
menuntut pembentukan hukum sipil yang sesuai dengan negara-
negara maju.
 Disamping itu ada pula pendapat dari Mr. Suwandi dalam ceramahnya
pada tahun 1955, yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mengelak
dari kewajiban untuk menciptakan sendiri hukum nasional. Sebagai
bangsa yang memegang kehormatan diri, kita tidak dapat hanya
meneruskan tata hukum warisan dari masa lampau saja yang dasar-
dasarnya sudah sama sekali berubah dari zaman hidup kita sekarang.
Hal-hal penting dalam
pembaharuan hukum
 Menurut Teuku Mohammad Radhie, yang semasa hayatnya
menjabat sebagai Kepala BPHN, dalam melakukan upaya
pembaharuan hukum paling tidak terdapat tiga hal penting
yang perlu mendapatkan perhatian: (1) hukumnya sendiri, (2)
aparatur penegak hukum, dan (3) kesadaran hukum dari
masyarakat secara keseluruhannya.
 Ketiga aspek tersebut saling berkaitan, sehingga jika salah
satu di antara ketiga hal tersebut tidak berfungsi dengan baik,
maka kehidupan hukum dalam masyarakat akan tidak
berfungsi dengan baik pula.
 Dari ketiga unsur tersebut unsur hukum merupakan unsur
yang terpenting, karena dalam hukum diatur mengenai hak
dan kewajiban, hubungan-hubungan, tugas dan wewenang,
perilaku yang diperbolehkan dan dilarang, dan aspek-aspek
hukum lainnya dari suatu masyarakat.
Arah pembaharuan
hukum nasional (1)
 Pembahasan tentang arah pembaharuan hukum nasional
harus bertolak dari situasi dan kondisi tata hukum di
Indonesia dewasa ini. Penilaian mengenai keadaan tata
hukum yang sedang berlaku dan perkembangan kebutuhan
hukum dalam proses pembangunan harus dijadikan ukuran
bagi penentuan arah pembaharuan hukum di negeri kita.
 Suatu tata hukum – khususnya tentang perangkat-perangkat
hukum – dapat dibagi menjadi dua, yakni perangkat–
perangkat hukum pokok (basic laws) dan perangkat-
perangkat hukum sektoral (sectoral laws).
 Perangkat-perangkat hukum pokok menetapkan dan
mengatur tentang hak dan kewajiban, perilaku-perilaku, dan
hubungan-hubungan serta hal-hal lain dalam bidang
kehidupan perdata, dagang, perdata internasional, pidana, dan
acara.
Arah pembaharuan
hukum nasional (2)
 Perangkat-perangkat hukum pokok merupakan
komponen-komponen utama dari suatu tata hukum di
suatu negara, karena ia menetapkan dan mengatur
prinsip-prinsip perilaku kehidupan dalam masyarakat.
Dengan perkataan lain, ia menetapkan dan mengatur
bagaimana kita hidup dalam suatu negara.
 Perangkat-perangkat hukum sektoral mengatur secara
khusus hal-ikhwal kehidupan sektoral, seperti ekonomi,
sosial, pendidikan, industri, pertanian, dan sebagainya.
Perangkat-perangkat hukum inilah yang senantiasa
mengikuti prinsip-prinsip atau asas-asas yang
terkandung dalam perangkat-perangkat hukum pokok
yang bersangkutan. Hal ini penting untuk dapat
menjamin pembinaan sistem tata hukum nasional yang
konsisten dan utuh.
Elemen-elemen Sistem Hukum
Menurut Lawrence Meir Friedman
 Dalam bukunya yang berjudul American Law: An
Introduction, Lawrence Meir Friedman mengemukakan
bahwa sistem hukum Amerika Serikat (AS) meliputi elemen-
elemen sebagai berikut:
1. Structure (tatanan kelembagaan)
2. Substance (materi hukum)
3. Legal culture (budaya hukum)
 Dalam realitanya, elemen-elemen sistem hukum
sebagaimana dikemukakan Friedman ini juga mempengaruhi
para pemikir Indonesia dalam menyusun elemen-elemen
atau unsur-unsur sistem hukum Indonesia, sebagaimana
terlihat dalam unsur-unsur sistem hukum menurut
pandangan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang
akan diuraikan pada bagian berikutnya.
Unsur-unsur sistem hukum menurut
Badan Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN)
1. Materi hukum (tatanan hukum), termasuk di dalamnya ialah: (a)
perencanaan hukum, (b) pembentukan hukum, (c) penelitian
hukum, dan (d) pengembangan hukum. Untuk membentuk materi
hukum harus diperhatikan politik hukum yang telah ditetapkan,
yang dapat berbeda dari waktu ke waktu karena adanya
kepentingan dan kebutuhan.
2. Aparatur hukum, yakni mereka yang mempunyai tugas dan fungsi:
(a) penyuluhan hukum, (b) penerapan hukum, (c) penegakan
hukum, dan (d) pelayanan hukum. Adanya aparatur hukum tertentu
tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan politik hukum yang dianut.
3. Sarana dan prasarana hukum, yang meliputi hal-hal yang bersifat
fisik.
4. Budaya hukum yang dianut oleh warga masyarakat, termasuk para
pejabatnya.
5. Pendidikan hukum.
 Kelima unsur tersebut merupakan satu kesatuan. Sistem hukum
bukan hukum positif, tetapi hukum positif termasuk dalam sistem
hukum.
Sistem hukum Indonesia dan
sistem hukum nasional
 Sistem hukum Indonesia: suatu sistem dalam
bidang hukum yang berlaku pada saat ini di
Indonesia. Dari segi materi hukum banyak
peraturan yang merupakan produk jaman
Belanda yang sampai saat ini masih berlaku.
Dari segi aparatur hukum adalah sebagaimana
yang terlihat pada saat ini.
 Sistem hukum nasional: sistem hukum yang
dicita-citakan. Kalau nanti berlaku baru akan
menjadi sistem hukum Indonesia.
Omnibus Law:
Black’s Law Dictionary
(10th Edition)
 Dalam perspektif leksikal, antara lain sebagaimana tercantum
dalam Oxford Dictionary of English, kata “omnibus” antara lain
diartikan sebagai “a volume containing several books previously
published separately”. Secara harfiah, kata “omnibus” berasal
dari Bahasa Latin “omnis” yang bermakna “every” atau “all”, atau
lebih tepatnya “all, every, the whole, of every kind”. Dalam Black’s
Law Dictionary 10th Edition (yang merupakan edisi paling
mutakhir), istilah “omnibus bill” antara lain dimaknai sebagai
berikut: (1) A single bill containing various distinct matters, usu.
drafted in this way to force the executive either to accept all the
unrelated minor provisions or veto the major provision; dan (2) A
bill that deals with all proposals relating to a particular subject,
such as an “omnibus judgeship bill” covering all proposals for new
judgeships or an “omnibus crime bill” dealing with different
subject such as new crimes and grants to states for crime control.
Omnibus Law sebagai
Suatu Metode dalam
Proses Penyusunan PPUU

 Menurut pengamatan saya, penggunaan


Omnibus Law sebagai suatu metode dalam
penyusunan berbagai PPUU di Indonesia
bukanlah hal yang baru.
 Dalam artikel saya yang berjudul “Reviving
omnibus law: Legal option for better
coherence” di The Jakarta Post (27 November
2019); saya telah menyebutkan contoh
beberapa peraturan perundang-undangan
(PPUU) yang proses penyusunannya
mempergunakan metode omnibus law.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (1)

 Berdasarkan data dari Badan Pembinaan


Hukum Nasional (BPHN), diperkirakan bahwa
peraturan-peraturan yang pernah dikeluarkan
oleh Pemerintah Hindia Belanda sampai
dengan tahun 1949 berjumlah sekitar 7.000
peraturan.
 Jika dikaitkan dengan jumlah peraturan yang
dikeluarkan per tahun sejak tahun 1819 –
1949 di dalam Buku Kumpulan Peraturan
Perundang-undangan Hindia Belanda yang
disusun oleh Mr. E.M.L. Engelbrecht (terbitan
tahun 1960), maka jumlah tersebut dapat
dikatakan mendekati kebenaran.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (2)

 Sampai dengan akhir pemerintahan Orde Lama


(tahun 1965), oleh Pemerintah RI telah
dikeluarkan 83 peraturan perundang-
undangan nasional yang mencabut 199
peraturan perundang-undangan produk
pemerintah Hindia Belanda.
 Pada masa Pelita V (sampai dengan tahun
1992) telah dilaksanakan penelitian dan
evaluasi terhadap peraturan perundang-
undangan Hindia Belanda, untuk mengetahui
peraturan perundang-undangan yang sampai
sekarang masih berlaku.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (3)
 Yang dipergunakan sebagai acuan penelitian tersebut
adalah:
a. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang
terdapat di dalam buku Engelbrecht (terbitan tahun
1960), Bidang Kehakiman.
b. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang
terdapat di dalam Buku Engelbrecht yang sudah
diterjemahkan (terbitan tahun 1986).
c. Peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang
terdapat di dalam Regerings Almanak voor
Nederlandsch Indie 1942, Bidang Kehakiman.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (4)

d. Peraturan perundang-undangan Hindia


Belanda yang terdapat di dalam Daftar
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang
disusun oleh BPHN tahun 1990.
 Dari hasil penelitian tersebut dapat dicatat
bahwa sampai dengan tahun 1992 masih ada
sejumlah peraturan perundang-undangan
Hindia Belanda (lebih kurang 400 peraturan)
yang masih berlaku atau belum dicabut dan
diganti dengan peraturan perundang-
undangan nasional.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (5)

 Dalam rangka penggantian peraturan


perundang-undangan Hindia Belanda dengan
peraturan perundang-undangan nasional,
dalam Pelita VI, sejak tahun 1993-1994
sampai dengan tahun 1997-1998, telah
dilaksanakan pemrosesan sebagai berikut:
a. Tahun 1993-1994: 70 peraturan
menghasilkan 35 Naskah Akademik.
b. Tahun 1994-1995: 75 peraturan
menghasilkan 15 Naskah Akademik.
c. Tahun 1995-1996: 73 peraturan
menghasilkan 13 Naskah Akademik.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (6)

d. Tahun 1997-1998: 50 peraturan


menghasilkan 8 Naskah Akademik.
 Dengan demikian, sampai dengan tahun
1997 – 1998 telah diproses 338 peraturan
dan menghasilkan 82 Naskah Akademik.
 Dari awal pemerintahan Orde Baru (tahun
1966) sampai dengan tahun 1997 telah
dikeluarkan 38 peraturan perundang-
undangan nasional yang mencabut 140
peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (7)

 Pada tahun 1998-1999 dilakukan kegiatan


peninjauan kembali terhadap Regerings
Almanak voor Nederlandsch Indie 1942.
Kegiatan ini antara lain dimaksudkan untuk
mendapatkan data mengenai:
a. Eksistensi dan keadaan peraturan
perundang-undangan kolonial tersebut
ditinjau dari substansinya, dengan acuan
Pancasila dan UUD 1945, dan hukum yang
berlaku.
Peraturan Perundang-undangan
Hindia Belanda/Kolonial Sampai
Dengan Akhir Pelita VI (8)

b. Kaitannya dengan peraturan perundang-undangan


nasional: apakah sudah pernah dicabut, diperbarui,
atau masih tetap berlaku meskipun sudah tidak efektif
lagi.
c. Penentuan peraturan perundang-undangan kolonial
yang harus dicabut, diperbarui, atau diganti.
d. Peraturan perundang-undangan kolonial yang
terdapat di dalam Regerings Almanak voor
Nederlandsch Indie 1942 yang ditinjau kembali
meliputi: (1) Bidang Economische Zaken; (2) Bidang
Financien; (3) Bidang Verkeer en Waterstaat; (4)
Bidang Binnenlandsche Bestuur; dan (5) Bidang
Onderwijs en Eeredienst.
Asas-asas hukum nasional dalam
dimensi masa lalu
(pra Proklamasi Kemerdekaan)

 Asas perjuangan.
 Asas persatuan dan kesatuan.
 Asas kebangsaan.
 Asas kemitraan.
 Asas non-diskriminasi.
Asas-asas hukum nasional dalam
dimensi masa kini
(pasca Proklamasi Kemerdekaan)
 Asas konsistensi terhadap Pancasila dan UUD 1945.
 Asas konstitusionalisme.
 Asas pembangunan (hukum) yang berencana dan
terpadu.
 Asas keterbukaan.
 Asas liberalisasi.
 Asas deregulasi.
 Asas swastanisasi.
 Asas globalisasi.
 Asas kerjasama internasional.
 Asas ilmu pengetahuan dan teknologi.
 Asas perlindungan, pelestarian, dan pengembangan.
 Asas komunikasi nasional, regional, dan internasional.
Asas-asas hukum nasional
dalam dimensi masa depan

 5 (lima) asas dari dimensi masa


lalu.
 12 (dua belas) asas dari dimensi
masa kini.
 Ditambah dengan 1 (satu) asas
lagi, yakni asas kestabilan dalam
perubahan yang terus-menerus.
Mendorong Investasi Dalam Disharmoni Pengaturan
Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia *)
Oleh
Prof. Dr. Maria SW. Sumardjono, SH., MCL., MPA. **)

*) Presentasi pada Seminar “Menyikapi Omnibus Law : Pro Kontra RUU Cipta Lapangan Kerja”, diselenggarakan oleh Djokosoetono
Research Center dan Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia, Depok, 6 Februari 2020.

**) Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

MS_2020 1
Pengantar
- Visi Indonesia 2045: Menjadi 5 besar kekuatan ekonomi
dunia.

- Jika negara lain tumbuh sesuai trend saat ini, pada tahun
2040 Indonesia akan menjadi negara berpendapatan
tinggi.

- Untuk mencapai hal itu, investasi perlu didorong.

MS_2020 2
Prasyarat investasi

1. Stabilitas politik dan keamanan.

2. Efisiensi pasar (kebijakan, aspek legal, pajak, akses ke sumber


daya alam/SDA).

3. Besarnya pasar domestik.

4. Kondisi dan stabilitas makro ekonomi.

5. Infrastruktur, tenaga kerja, pasar keuangan.


MS_2020 3
• Khusus hambatan terkait regulasi: overregulated dan
tumpang tindih.
• Gagasan Pemerintah : membentuk UU/Omnibus Law
(OL) a.l RUU Cipta Lapangan Kerja dengan tujuan untuk
“simplifikasi dan harmonisasi regulasi dan perijinan”.
• OL adalah metode untuk mengganti dan/atau mencabut
ketentuan dalam UU, atau mengatur ulang beberapa
ketentutan dalam UU ke dalam suatu UU (Tematis)
MS_2020 4
A. Urgensi harmonisasi UU di bidang SDA (UU Sektoral)

• Investasi dalam berbagai bidang memerlukan ketersediaan tanah


dan SDA lainnya.
a. Pembangunan
b. Pariwisata
c. Tambang
d. Transportasi
e. Perkebunan
f. Produk

MS_2020 5
• UU Sektoral saling tumpang tindih, bahkan bertentangan satu
sama lain dengan berbagai dampak sebagaimana t elah
diamanatkan melalui TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA).
TAP IX/2001 dimaksudkan untuk menetapkan arah dan dasar
pembangunan nasional untuk menjawab persoalan kemiskinan,
ketimpangan dan ketidakadilan sosial ekonomi rakyat serta
kerusakan SDA.

• Hal-hal yang mendorong diterbitkannya TAP IX/2001

MS_2020 6
Permasalahan empiris terkait pengelolaan SDA telah berdampak
pada

a. penurunan kualitas dan kuantitas SDA


b. ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan SDA.
c. konflik agraria

MS_2020 7
Di samping itu pengaturan tentang SDA saling tumpang tindih dan
bertentangan.

• Bahwa secara normatif ada persoalan mendasar terkait dengan


pengaturan SDA, hal itu berawal dari degradasi UU No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dari
lex generalis menjadi (dianggap sebagai) lex specialis dengan
terbitnya peraturan perundangan sektoral pada awal tahun 1970-
an (pemahaman tekstual UUPA oleh pembentuk UU struktural!).

MS_2020 8
• Bahwa amanat MPR kepada Presiden dan DPR melalui TAP IX/2001
dan Keputusan MPR No. V/2003, belum dilaksanakan sepenuhnya
oleh Presiden maupun DPR. Isi amanat TAP adalah : kaji ulang UU
Sektoral, laksanakan Reforma Agraria, selesaikan konflik dan susun
UU Tentang Pembaruan Agraria berdasarkan pada prinsip-prinsip PA-
PSDA dalam Ps.5 TAP IX/2001.
• Kajian tentang disharmoni UU sektoral tahun 2011 (Maria Sumardjono,
dkk “Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara yang
Tersurat dan Tersirat”) dan tahun 2018 (Tim KPK, “Kajian Harmonisasi
Undang-Undang di Bidang SDA dan Lingkungan Hidup”)
menyimpulkan bahwa antara UU Sektoral itu tidak selaras satu sama
lain dengan segala dampaknya.
• Upaya penyusunan UU tentang SD Agraria/SD Alam sebagai lex
generalis pasca degradasi UUPA.
MS_2020 9
1. Inisiatif BPN RI tahun 2004 (diserahkan kepada Sekretariat
Negara, Oktober 2004, tetapi tidak berlanjut karena pergantian
rejim pemerintahan)
2. Inisiatif Kementerian Negara Lingkungan Hidup (tahun 2006)
sudah pernah dibahas Komisi VI DPR RI tetapi tidak berlanjut.

MS_2020 10
Pokok-pokok substansi yang diatur dalam RUU tentang SD Agraria
(2004)

1. Ketentuan umum (BAB I).


2. Tujuan dan Ruang Lingkup (BAB II).
3. Hubungan Negara, Masyarakat, dan Individu dengan SDA (BAB
III).
4. Prinsip-prinsip pengaturan, penggunaan, pemilikan, penggunaan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan SDA (BAB IV).
5. Hak Tanah dan Ijin Pemanfaatan SDA (BAB V).
6. Hak Utama untuk memperoleh SDA (BAB VI).
MS_2020 11
7. Pendaftaran Tanah dan Pencatatan Pemanfaatan SDA (BAB VII).
8. Pengambilalihan hak dan ijin serta pengalihfungsian SDA (BAB III).
9. Sistem Informasi SDA (BAB IX).
10. Penyediaan SDA untuk Keperluan Peribadatan dan Sosial serta
Konservasi (BAB X).
11. Penyelesaian Sengketa SDA (BAB XI).
12. Pemantauan dan pengendalian penggunaan, dan pemanfaatan
SDA (BAB XII).
13. Sanksi (BAB XIII).
14. Ketentuan Peralihan (BAB XIV).
15. Ketentuan Penutup (BAB XV)
MS_2020 12
Pokok-pokok substansi yang diatur dalam RUU tentang Pengelolaan
Sumber Daya Alam (2006)

1. Ketentuan umum (BAB I).


2. Prinsip dan Tujuan (BAB II).
3. Penguasaan SDA (BAB III).
4. Fungsi SDA (BAB IV).
5. Penyelenggaraan Pengelolaan SDA (BAB V).
6. Wewenang dan Kewajiban Pemerintah (BAB VI).
7. Hak dan Kewajiban (BAB VII).
MS_2020 13
8. Pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan Hak Masyarakat
(BAB VIII).
9. Pembiayaan (BAB IX).
10. Resolusi Konflik dan Penyelesaian Sengketa dalam
Pengelolaan SDA (BAB X).
11. Ganti Kerugian dan Biaya Pemulihan SDA ( BAB XI).
12. Sanksi (BAB XII).
13. Ketentuan Peralihan (BAB XIII).
14. Ketentuan Penutup (BAB XIV).

MS_2020 14
B. Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan RUU
tentang SD Agraria dan Pengelolaan SDA (bisa satu UU
atau dua UU yang terpisah tetapi saling berkaitan)
adalah penyusunan UU sebagai lex generalis yang
berisi prinsip-prinsip yang akan menjadi pedoman bagi
UU sektoral untuk merevisi UU-nya dan atau membentuk
UU baru (sebagai lex specialis).

MS_2020 15
Alasan penyusunan RUU tentang SD Agraria dan Pengelolaan SDA
sebagai lex generalis.
a. UU yang diharmonisasikan merupakan satu bidang (SDA).
b. Landasan filosofi UU bidang SDA sama, yaitu Ps. 33 ayat (3)
UUD 1945.
c. P r i n s i p y a n g d i g u n a k a n u n t u k m e n y u s u n R U U y a n g
berkedudukan sebagai lex generalis telah dirumuskan dalam
TAP IX MPR/2001
Di samping itu, jika memang ada niat untuk penyusunannya, NA dan
RUU yang pernah disusun dapat dijadikan landasan, dengan
menambahkan perkembangan yang terjadi (putusan MK terkait,
Nawacita, UU terkait lainnya, dll).
MS_2020 16
C. Catatan umum untuk RUU Cipta Lapangan Kerja.

Oleh karena UU yang diganti/dicabut, untuk diatur ulang ada sekitar


80an UU dalam berbagai bidang, dengan filosofi serta prinsip
dasar/asas-asas masing-masing berbeda sesuai dengan tujuan
masing-masing UU, pertanyaannya adalah sebagai berikut:

a) Apakah landasan filosofis RUU Cipta Lapangan Kerja?


b) Apakah prinsip-prinsip dasar/asas-asas yang mendasari penyusunan
RUU tersebut?
c) Apakah yang dimaksud dengan penyederhanaan (simplifikasi) dalam
RUU Cipta Lapangan Kerja?

MS_2020 17
d) Apakah dalam rangka penyederhanaan itu dapat dilakukan
“penyimpangan” terhadap filosofi, asas dan konsepsi suatu Undang-
Undang yang diganti/dicabut?
e) Apa dampak dari penyimpangan dalam RUU CLK terhadap
keberlakuan UU asalnya sebagai konsekwensi dicabutnya pasal-
pasal tertentu?
f) A p a k a h p e r t i m b a n g a n n y a u n t u k m e n e m p u h u p a y a - u p a y a
“menyimpangi” substansi UU asal, khususnya terkait dengan bidang
pertanahan?
g) Apakah sudah diperhitungkan dampak dari “penyimpangan” dalam
RUU CLK dalam implementasinya (kepastian hukum, diskriminasi,
potensi diajukan ke MK, dll).
MS_2020 18
h) Apakah metode Omnibus Law merupakan satu-satunya jalan untuk
menyederhanakan regulasi dan perijinan?
i) Apakah seandainya perijinan (dalam arti luas) sudah disederhanakan
(secara normatif) dapat dijamin bahwa investor merasa nyaman
berusaha di Indonesia, jika dalam implementasinya pelayanan publik
di bidang perijinan masih “business as usual” (tidak transparan dan
akuntabel).

MS_2020 19
Penutup

1. Mendorong investasi dengan menyederhanakan regulasi dan


perijinan jika tak ditempuh bersamaan dengan harmonisasi UU
sektoral sama saja dengan menambah potensi konflik dan
ketakadilan dalam akses terhadap penguasaan dan
pemanfaatan SDA bagi kelompok di luar korporasi, serta
berpotensi terhadap eksplorasi SDA yang berlebihan dan
memperparah kerusakan lingkungan.

MS_2020 20
2. Menyederhanakan regulasi dan perijinan itu satu hal. Terutama
jika terkait dengan SDA sebagai objek investasi; program-
program Reforma Agraria (RA) harus dijamin tetap dilaksanakan
secara bersungguh-sungguh dan RUU terkait dengan Hak
Masyarakat Hukum Adat (MHA) harus didorong penerbitannya.
Disamping itu konflik agraria yang sudah berlangsung sejak Orde
Baru dan tak pernah berhasil diselesaikan secara tuntas, perlu
diupayakan penyelesaiannya secara menyeluruh, tuntas dan
sekaligus melalui pembentukan lembaga independen
penyelesaian konflik agraria yang langsung bertanggung jawab
kepada Presiden.

MS_2020 21
3. Investasi yang perlu didukung adalah investasi yang adil,
demokratis, berkepastian hukum dan berkelanjutan.

4. RUU Cipta Lapangan Kerja menimbulkan masalah dari segi


teoritis dan potensi implementasinya. Khususnya terkait dengan
bidang pertanahan, subtansi yang diatur perlu dipikirkan kembali,
agar tidak menimbulkan kesan bahwa isu-isu yang ditolak dalam
RUU Pertanahan, “disalurkan” melalui RUU CLK.

MS_2020 22
Yogyakarta, 6 Februari 2020

Prof. Dr. Maria SW. Sumardjono, SH., MCL., MPA.

MS_2020 23
MENYIKAPI “OMNIBUS LAW“
SEBAGAI
“UNDANG-UNDANG SAPU JAGAD”

Oleh:
Maria Farida Indrati, S.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Jakarta - 2020
PIDATO PELANTIKAN
PRESIDEN DJOKO WIDODO
Periode 2019-2024
”Pemerintah akan mengajak DPR untuk
menerbitkan dua Undang-Undang besar.
Yang pertama, UU Cipta Lapangan Kerja.
Yang kedua, UU Pemberdayaan UMKM.
Masing-masing Undang-Undang tersebut
akan menjadi omnibus law, yaitu satu
Undang-Undang yang sekaligus merevisi
beberapa Undang-Undang.”
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN

Tradisi civil law (Eropa Konstinental).


Tradisi common law (Anglo Saxon).
PEMBENTUKAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
DI INDONESIA SELAMA INI
- Tradisi civil law (Eropa Konstinental).
- Keterikatan pada sumber hukum tertinggi yaitu:
Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945.
- Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945:
”Negara Indonesia adalah negara hukum”.
- Undang-Undang No. 12 Th. 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
APA ARTI
OMNIBUS LAW?
Omnibus (Latin) = untuk semua/untuk segalanya.
Omnibus Law = hukum untuk semua/segalanya.
Omnibus Law: Rancangan Undang-Undang yang
mengandung lebih dari satu materi atau beberapa
materi yang dijadikan satu Undang-Undang (*Audrey
Obrien – Lili Rasyidi et.).

Omnibus Law: Satu dokumen tunggal yang


mencakup bersama-sama suatu kombinasi subyek
yang beraneka ragam atas dasar beberapa kriteria.
(Gunter 2012 – Muladi/Kompas).
APAKAH UNDANG-UNDANG OMNIBUS
SAMA DENGAN
UNDANG-UNDANG LAINNYA
Berdasarkan:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966;
3. Ketetapan MPR No. III/MPRS/2000;
4. Undang-Undang No. 10 Th. 2004; dan
5. Undang-Undang No. 12 Th. 2011 beserta
Perubahannya,
hanya dikenal satu istilah Undang-Undang yaitu
peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan
persetujuan DPR (atau sebaliknya).
APAKAH UNDANG-UNDANG OMNIBUS
SAMA DENGAN
UNDANG-UNDANG “PAYUNG”?
Undang-Undang “Payung” (raamwet, basiswet,
moederwet) sering dimaknai dengan undang-
undang yang merupakan “induk” dari undang-
undang lainnya, sehingga kedudukannya lebih
tinggi dari undang-undang “anaknya” (dan lebih
dahulu ada).
Undang-Undang “Omnibus” (saat ini) dimaknai
sebagai satu undang-undang (baru) yang
mengandung atau mengatur berbagai macam
materi dan subyek untuk penyederhanaan dari
berbagai undang-undang yang masih berlaku
APAKAH OMNIBUS LAW
SAMA DENGAN KODIFIKASI?

Undang-Undang “Omnibus” (saat ini) dimaknai sebagai


satu undang-undang (baru) yang mengandung atau
mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk
penyederhanaan dari berbagai undang-undang yang
masih berlaku.

Kodifikasi: penyusunan dan penetapan peraturan-


peraturan hukum dalam kitab undang-undang secara
sistematis mengenai suatu bidang hukum yang lebih
luas, seperti bidang hukum perdata, bidang hukum
dagang, bidang hukum pidana.- (v. d. Vlies)
“Penerapan”
Undang-Undang Omnibus?
Beberapa Ahli mencontohkan penerapan Undang-Undang
Omnibus dengan Ketetapan MPR No. I/MPR/2000, yang
mengelompokkan 139 Tap MPRS/MPR sbb:
1. Pasal 1: Tap MPRS/MPR dicabut /tidak berlaku.(8)
2. Pasal 2: Tap MPRS/MPR dinyatakan tetap berlaku dengan
ketentuan….dst. (3)
3. Pasal 3: Tap MPR tetap berlaku sampai… Pemilu 2004. (8)
4. Pasal 4: Tap MPRS/MPR tetap berlaku sampai
terbentuknya Undang-Undang. (11)
5. Pasal 5: Tap MPR tetap berlaku sampai dibentuk Tatib
baru oleh MPR hasil Pemilu 2004. (5)
6. Pasal 6: Tap MPRS/MPR tidak perlu diambil tindakan
karena sudah dicabut atau bersifat beschikking.
(104)
7. Pasal 7: Tap ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
“Penerapan”
Undang-Undang Omnibus?
Ketetapan MPR No. I/MPR/ 2003 tentang Peninjauan
Kembali Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002. (139 Tap)
Alasan:
1. Perintah Aturan Tambahan Pasal I Perubahan UUD 1945.
2. Pengelompokan dalam setiap Pasal mengatur setiap Tap
MPRS/MPR secara utuh dan tidak ada perubahan.
3. Materi yang tertuang dalam Tap MPRS/MPR sangat
beraneka ragam.
4. Alamat yang diatur (adressat) dalam Tap-Tap MPRS/MPR
tersebut hanya MPR dan Presiden (+ DPR).
Penetapan Penpres/Perpres
sebagai Undang-Undang (1)
Undang-Undang No. 5 Th. 1969 tentang Pernyataan berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang, mengelompokkan 129 Penpres/Perpres sbb:
1. Golongan I : Penpres dan Perpres yang diubah menjadi
Undang-Undang penuh (2).
2. Golongan IIA: Penpres yang dinyatakan sebagai Undang-
Undang Kondisional (26).
Golongan IIB: Perpres yang dinyatakan sebagai Undang-
Undang Kondisional (10).
3. Golongan IIIA: Penpres yang diserahkan kepada Pemerin-
tah untuk ditinjau dan diatur kembali (72).
Golongan IIIB: Perpres yang diserahkan kepada Pemerin-
tah untuk ditinjau dan diatur kembali (19).
Penetapan Penpres/Perpres
sebagai Undang-Undang (2)
Undang-Undang No. 5 Th. 1969 tentang Pernyataan berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai
Undang-Undang. (129 Penpres/Perpres)
Alasan:
1. Perintah Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang
Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di luar
Produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD 1945.
2. Pengelompokan dalam setiap Golongan meliputi Penpres
dan Perpres secara utuh dan tidak ada perubahan.
3. Materi yang tertuang dalam Penpres dan Perpres sangat
beraneka ragam.
4. Alamat yang diatur (adressat) dalam Undang-Undang
tersebut hanya pembentuk Undang-Undang Presiden (+
DPR).
“Penerapan”
Undang-Undang Omnibus?
Beberapa Ahli mencontohkan penerapan Undang-Undang
Omnibus dalam Undang-Undang No. 23 Th. 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang di dalamnya menetapkan,
ketentuan sbb:

1. Mencabut Undang-Undang No. 5 Th. 1962 tentang


Perusahaan Daerah (dan mengubah secara keseluruhan,
di dalam pasal yang mana?)
2. Mencabut Ps. 157, Ps. 158 ayat (2) s/d ayat (9), dan Ps.
159 Undang-Undang No. 28 Th. 2009 tg. Pajak dan
Retribusi Daerah (dan diharmonisasikan dalam pasal
yang mana?).
3. Mencabut Ps. 1 angka 4, Ps. 314 s/d Ps. 412, Ps. 418 s/d
Ps. 421 Undang-Undang No. 17 Th. 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD.
Perubahan Pasal 1 angka 4
Undang-Undang No. 17 Th. 2014
dalam
Undang-Undang No. 23 Th. 2014
Pasal 1 angka 4 UU 17 Th. 2014 (asli):
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 angka 4 UU 23 Th. 2014 (perubahan):


Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat
DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang
berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan
Daerah.
Efektifkah Perubahan
Undang-Undang No. 23 Th. 2014?
Undang-Undang No. 23 Th. 2014, tentang Pemerintahan
Daerah, telah mengubah Ps. 1 angka 4 sbb:
Pasal 1 angka 4 UU No. 17 Th. 2014 (asli):
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya
disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 1 angka 4 UU No. 42 Th. 2014 (Perubahan atas UU
No. 17 Th. 2014), 15 Desember 2014.
Pasal 1 angka 4 UU No. 2 Th. 2018 (Perubahan kedua UU
No. 17 Th. 2014), 15 Maret 2018.
Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Th. 2019 (Perubahan ketiga UU
No. 17 Th. 2014), 30 September 2019.
“Efektifkah Perubahan
Undang-Undang No. 23 Th. 2014?”
Undang-Undang No. 23 Th. 2014, tentang Pemerintahan
Daerah, yang telah mengubah dan mencabut:
Pasal 1 angka 4, Pasal 314 s/d Pasal 412, Pasal 418 s/d
Pasal 421 Undang-Undang No. 17 Th. 2014 tentang
MPR, DPR, DPD, DPRD. (Apakah hal ini dlaksanakan?)

Dalam kenyataannya sampai dengan Perubahan ketiga


terhadap Undang-Undang No. 17 Th. 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD ( 30 September 2019) keseluruhan
Pasal-pasal tersebut tetap berlaku dan tidak diubah atau
dicabut.
UU 13/2003 KETENAGAKERJAAN
Omnibus Law = Sapu Jagad?
Mencabut:
1. Staatsblad 1887 No. 8, Ordonnantie......;
2. Staatsblad 1925 No. 647, Ordonnatie…;
3. Staatsblad 1926 No. 87, Ordonnantie…;
4. Staatsblad 1936 No. 208, Ordonnantie..;
5. Staatsblad 1939 No. 545, Ordonnantie..;
6. Staatsblad 1949 No. 8, Ordonnantie…...;
7. Undang-Undang No. 1 Th. 1951…..;
8. Undang-Undang No. 21 Th. 1954…;
9. Undang-Undang No. 3 Th. 1958..…;
10. Undang-Undang No. 8 Th. 1961..…;
11. Undang-Undang No. 7/PNPS/1963.;
12. Undang-Undang No. 14 Th. 1969....;
13. Undang-Undang No. 25 Th. 1997....;
14. Undang-Undang No. 11 Th. 1998....;
15. Undang-Undang No. 28 Th. 2000....;
BENTUK LUAR (KENVORM)
UNDANG-UNDANG
Lampiran II:
Undang-Undang No. 12 Th. 2011

1. Bentuk Undang-Undang pada umumnya;


2. Bentuk Undang-Undang penetapan PERPU
sebagai Undang-Undang;
3. Bentuk Undang-Undang Pengesahan Perjanjian
Internasional;
4. Bentuk Undang-Undang Perubahan;
5. Bentuk Undang-Undang Pencabutan Undang-
Undang.
Bagaimana Judul Perubahan UU 13/2003
KETENAGAKERJAAN
Setelah Undang-Undang No. 13/2003
tersebut diubah dengan Undang-Undang
Cipta Lapangan Kerja, bagaimana
penyebutan Undang-Undang
Ketenagakerjaan tersebut?
Apakah:
Undang-Undang No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan yang telah diubah dengan
Undang-Undang No…./2020 tentang Cipta
Lapangan Kerja.
DAPATKAH DALAM
TRADISI CIVIL LAW MENGIKUTI
TRADISI COMMON LAW?
BAGAIMANA MENYIKAPI
PEMBENTUKAN “OMNIBUS LAW“ ?
1. Adanya pemenuhan azas keterbukaan, kehati-
hatian, dan partisipasi masyarakat;
2. Diperlukan sosialisasi yang luas, terutama bagi
pejabat dan pihak yang terkait dalam substansi
RUU nya, kalangan profesi hukum, dan
akademisi;
3. Pembahasan di DPR yang transparan dengan
memperhatikan masukan dari pihak-pihak yang
mempunyai hubungan dengan RUU, dan tidak
tergesa-gesa pembahasannya;
4. Mempertimbangkan jangka waktu yang efektif
berlakunya UU tersebut;
5. Mempertimbangkan keberlakuan Undang-Undang
yang terdampak (existing) selanjutnya.
Sampai jumpa!

Anda mungkin juga menyukai