Anda di halaman 1dari 17

TEORI DAN KAJIAN ANTROPOLOGI HUKUM

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik

Mata Kuliah: Antropologi Hukum

Dosen Pengampu: Seno Aris Sasmito, S.H.I., M.H.

Disusun oleh:

1. Bhirela Aurani (182121144)


2. Najmi Fadhila MD (182121146)
3. Annajatul Hayati (182121183)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan (logos) tentang
(antropos) yang bersangkutan dengan hukum. Manusia yang dimaksud
adalah manusia yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu
dengan yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya
(primitif) maupun yang sudah modern (maju) budayanya. Budaya yang
dimaksud adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya
manusia yang mempengaruhi atau yang berkaitan dengan masalah hukum.
Masalah hukum yang dimaksud adalah bukan saja hukum dalam arti
dan bentuk perilaku sebagai kebisaan yang berulang-ulang terjadi,
sebagaimana dalam hukum adat atau huku dalam arti dan bentuk kaidah
peraturan dan bentuk kaidah peraturan perundangan, jika demikian hukum
dengan pendekatan yang normatif. Tetapi juga masalah hukum yang
dilihat dari segi-segi intelektual , filsafat, ilmu jiwa dan lainnya yang
melatarbelakangi hukum itu serta cara-cara menyelesaikan sesuatu
perselisihan yang timbul dalam masyarakat.1
Sasaran pokok dalam antropologi adalah manusia, baru kemdian
perilaku budayanya, tidaklah sebaliknya sebagaimana dalam ilmunya yang
lain. Dikarenakan perbedaan tempat dan lingkungan, perbedaan sejarah
dan asal usulnya, perbedaan semangat dan jiwanya, perbedaan akal dan
cara berpikirnya, perbedaan budaya dan agama yang mempengaruhinya,
maka perilaku budaya manusia itu berbeda-beda antara yang satu dengan
yang lain. Jadi tidak ada suatu sitem pola perilaku manusia yang seragam,

1
Hilman Hadikusumah, Pengantar Antropologi Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bhakti, 2004), hlm. 4

2
dan oleh karenanya tidak ada pula sistem pola kepribadian manusia itu
yang sama.
Dari uraian diatas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah antara
lain: (1) Apa saja yang menjadi teori antropologi hukum?; (2) Bagaimana
kajian antropologi hukum?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Antropologi Hukum


Awal kelahiran antropologi hukum biasanya berkaitan dengan karya
klasik Sir Henry Maine yang bertajuk “The Ancient Law” yang secara
ringkas menyatakan hukum berkembang seiring dan sejalan denagn
perkembangan masyarakat, dari masyarakat yangsederhana (primitive),
tradisional, kesukuan (tribal) ke masyarakat yang kompleks dan modern
dan hukum yang inheren dengan masyarakat semula menekankan pada
status kemudian wujudnya berkembang ke wujud kontrak2.
Manusia sebagai pelaku-pelaku hukum dan objek hukum tidak lagi
memiliki identitas alami yang lama, melainkan berubah menjadi hasil
konstruksi. Hasil konstruksi tersebut adalah seperti subjek hukum, hak
hukum, asas hukum, proses hukum, hubungan hukum dan akibat hukum.
Kendati demikian, masyarakat tempat hukum itu ada dan bekerja tidak
sepenuhnya ikut direkonstruksi bahkan untuk sebagain besar tetap
menjalani kehidupannya yang biasa, yaitu yang alami3.
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang
integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum
dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh
aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi,
religi, struktur sosial dan lain-lain atau hukum dipelajari sebagai proses
sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud
peraturan perundang-undangan yang diciptkan oleh negara (state law),
tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang
2
http://huma.or.id/document/I.03.Analisa Hukum/Perkembangan Pemikiran Konsep
Pluralisme Hukum 1 Nyoman Nurjaya.pdf, diakses pada 2 Februari 2020.
3
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagad Ketertiban, (Jakarta: Uki Press, 2006), hlm.
142

4
bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/ folk law),
termasuk pula didalamnya mekanisme-mekanisme pengaturan dalam
masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana
pengendalian sosial (legal order).
Menurut pandangan antropologi tempat hukum di dalam budaya
masyarakat adalah sangat luas. Hukum mencakupi suatu pandangan
masyarakat tentang kebutuhannya untuk survival, hukum juga merupakan
aturan yang mengatur produksi dan distribusi kekayaan dan metode untuk
melindungi masyarakat terhadap kekacauan internal dan musuh dari luar.
Oleh karena itu, para antropolog mempunyai pengertian tersendiri
tentang apa yang mereka pandang sebagai hukum, antara lain:
1. Any rule of conduct likely to be enforced by the courts (Schapera)
2. The whole reservoir of ruler on which judges draw for their decisions
(Gluckman)
3. That bodies of binding obligation, which has been reinstitutionalised
wit, the legal institution (Bohannan)
Dewasa ini kecenderungan luas untuk membatasi ruang lingkup
antropologi hukum pada masalah sengketa yang terjadi di dalam suatu
masyarakat, baik itu mengenai pola-pola sengketa, bagaimana reaksinya
dalam masyarakat dan bagaimana cara mengatasi sengketa-sengketa
tersebut, yang pada mulanya hanya bersifat menguraikan laporan tentang
norma-norma hukum dalam masyarakat sederhana yang dikumpulkan dari
para penulis pegawai pemerintahan kolonial dan para misionaris. Seperti
pernyataan Laura Nader dalam bukunya The Anthropologhical Study of
Law, antara lain dikemukakan masalah pokok yang merupakan ruang
lingkup antropologi hukum sebagai berikut:
1. Apakah dalam seliap masyarakat terdapat hukum, dan bagaimana
karakteristik hukum yang universal.
2. Bagaimana hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan
organisasi sosial.

5
3. Mungkinkah mengadakan tipologi hukum tenentu, sedangkan variasi
kamkteris\ik hukum terbatas.
4. Apakah tipologi hukum itu berguna untuk menelaah hubungan antara
hukum dan aspek kebudayaan dan organisasi sosial. Mengapa pula
hukum itu berubah.
5. Bagaimana cam mendeskripsi sistem-sistem hukum, apakah akibat
jika sistem Imkum dan subsistem hukum amara masyarakat dan
kebudayaan yang saling berhubungan, dan bagaimana kemungkinan
untuk membandingkan sistem hukum yang satu dengan yang lain4.
Oleh karena itu masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian erat
hubungannya dengan lembaga pengendalian sosial di dalam masyarakat-
masyarakat tertentu. Pendapat Leopold Pospisil mengenai ciri-ciri hukum
yang diutarakan dalam bukunya “Anthropology of Law: A Comparative
Theory", sebagaimana yang diutarakan pada halaman sebelumnya, oleh
karena pada seat ini ciri-ciri yang dikemukakan olehnya dianggap sudah
cukup lengkap untuk dapat menggambarkan hukum dan membedakannya
dari gejala-gejala sosial budaya lainnya di dalam masyarakat5.
Studi-studi antropologis mengenai hukum diawali dengan
munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar apakah hukum itu? Dan
apakah hukum itu terdapat dalam seliap bentuk masyarakat? Untuk
menjawab pertanyaan di atas diungkapkan oleh dua ahli antropologi
ternama, yaitu Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski.
Hukum menurut Radcliffe-Brown: "Suatu sistem pengendalian
sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada
dalam suatu bangunan negara, karena hanya dalam sualu organisasi
sosial seperti negara terdapat peanata-pranata hukum seperti polisi,
pengadilan. Penjara dan lain-lain. Sedangkan dalam masyarakat-
masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai

4
Hilman Hadikusumo, hlm. 7
5
Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1984), hlm. 160

6
suatu negara tidak mempunyai hukum. Wulaupun tidak mempunyai
hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dan dijaga
oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis
spontan6.
Pendapat dua ahli antropologi di alas dapat dikatakan bahwa apabila
hukum diberi pengertian yang sempit, hanya sebagai sistem pengendalian
sosial yang diciptakan oleh lembaga legislatif dan diterapkan oleh aparat
penegakan hukum sepert polisi, pengadilan, jaksa, atau penjara dalam
kehidupan organisasi negara, maka hukum diartikan bahwa masyarakat-
masyarakat yang sederhana yang tidak terorganisasi sebagai suatu negara
tidak memiliki hukum, tetapi bila hukum diberi pengertian yang luas,
yaitu sebagai proses-proses pengendalian sosial yang didasarkan pada
prinsip resiprositas dan publisitas yang secara empiris berlangsung dalam
kehidupan masyarakat, maka semua bentuk masyarakat berapapun
sederhananya memiliki hukum dalam bentuk mekanisme-mekanisme
yang diciptakan untuk menjaga keteraturan sosial atau sebagai sarana
pengendalian sosial.
Antropologi hukum merupakan spesialisasi dari antroplogi budaya,
yang secara khusus mengamati perilaku manusia dalam kaitannya dengan
aturan hukum. Aturan hukum yang dimaksud tidak hanya terbatas pada
hukum normatif, tetapi juga meliputi hukum adat dan juga perilaku
manusianya. Meskipun merupakan pengembangan dari antropologi
budaya, antropologi hukum tidak bersifat etnosentris, artinyatidak
membatasi pada kebudayaan tertentu. Objek penelitiannya adalah melihat
hubungan antara hukum dengan aspek kebudayaan dan organisasi sosial7.
Dalam perspektif antropologi, hukum adalah bagian integral dari
kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai
produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek
kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, dan lain-

6
Ibid.
7
Ibid., hlm. 8

7
lain. Di sisi yang lain hukum juga dipelajari sebagai proses sosial yang
berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Ini berarti secara empiris
dapat dijelaskan bahwa yang berlaku dalam masyarakat selain terwujud
dalam bentuk perundang-undangan (hukum positif), juga terwujud
sebagai hukum agama dan hukum adat.. tetapi secara antropologis bentuk
mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri dalam komunitas-komunitas
masyarakat adalah juga merupakan yang secara lokal berfungsi sebagai
sarana untuk menjaga keteraturan sosial. Dengan demikian penelitian
terhadap unsur lokal dan pengaruhnya terhadap pemberlakuan sebuah
hukum perlu dilakukan.
Pendekatan antropologi hukum bertujuan untuk mendapatkan
deskripsi yang jelas dalam proses penetapan sebuah hukum. Dalam
penelitian hukum Islam, pendekatan ini dapat mengarah pada dua hal.
Pertama, menganalisis bagaimana proses penerapan hukum dalam al-
Qur‘an. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan kajian antropologi
hukum Islam yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur‘an. Kedua,
menjelaskan bagaimana terbentuknya hukum dalam sebuah masyarakat.
Tujuannya adalah untuk meneliti fenomena hukum Islam dalam realitas
empiris. Hukum Islam yang dipraktekkan dalam kehidupan masyatakat
merupakan hasil hubungan timbal balik antara norma hukum Islam
dengan realitas empiris dalam kehidupan masyarakat Tradisi hukum
lokal (fiqh lokal) yang banyak berkembang di Indonesia dapat diteliti
dengan menggunakan pendekatan antropologi hukum. Karena hukum
Islam di Indonesia banyak mengalami akulturasi dengan kebudayaan
setempat.
Kerangka teoritik dari pendekatan antropologi hukum dalam
penelitian hukum Islam memerlukan seperangkat alat analisis baik dari
teori ulumul Qur‘an maupun dari teori ilmu sosial dan humaniora.
Khusunya dari sisi historis-antropologisnya. Teori-teori dalam kajian Al-
Qur‘an yang dapat digunakan antara lain: teori makkiyah-madhaniyah,
asbab an-nuzul dan niasikh-mansukh Sedangkan teori dari ilmu sosial

8
humaniora mcnggunakan teori-teori dalam ilmu sejarah, sosiologi,
antropologi, dan ilmu hukum.
Aspek historis dalam proses penurunan ayat-ayat al-Qur'an dianalisis
menggunakan teori pewahyuan al-Qur‘an. Teori ini terdiri dari teori
makkiyah-madhaniyah, asbab an-nuzul dan nasikh-mansukh. Periodesasi
makkiyah madhaniyah dapat menggunakan konsep yang dipakai Abu al-
Qasim an-Naisabury. Scbagaimana dikutip oleh Subhi as-Salih.
penjabaran periode Mekkah dan Madinah ini masing-masing terbagi
dalam tiga fase. yaitu: fase permulaan, penengahan, dan penghabisan.
Artinya. setiap periode dibagi lagi ke dalam tiga fase berdasarkan
dimensi temporal pewahyuannya. Pembagian ini menunjukkan urgensi
kajian historis dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an.
Penetapan periodesasi makkiyah madhaniyah dapat menggunakan
cara qiyasi maupun sima’i. Cara qiyasi yaitu pengelompokan berdasarkan
sifat-sifat atau ciri-ciri umum dari surat dalam hal waktu turun, sasaran
dan tempat. Sedangkan model sima’i yaitu penentuan berdasarkan
riwayat yang didcngar. Periodesasi ini digunakan untuk melacak secara
historis turunnya ayat-ayat al-Qu'an. Pcenelusuran ini penting untuk
mendapatkan gambaran yang jelas tentang situasi yang sedang terjadi dan
kondisi masyarakat saat ayat tersebut diwahyukan. Dengan demkian
analisis historis berguna untuk membaca dan menjelaskan semangat
reformasi al-Quran menurut konteks sejarahnya. Di samping itu, teori ini
juga digunakan untuk menganalisis tahapan atau proses penetapan aturan
hukum serta resistensi atau hubungan timbal balik antara hukum dengan
masyarakat selama proses ini berlangsung.
Teori asbab an-nuzul digunakan untuk memahami teks dan
menghasilkan maknanya, karena pengetahuan sebab akan menghasilkan
pengetahuan mengenai akibat (musabbab). Turunnya teks (ayat al-Quran)
dimaknai sebagai respon atau realitas, baik dengan cara menguatkan atau
menolak dan menegaskan hubungan dialogis dan dialektik antara teks

9
dengan realitas8. Situasi yang melatar belakangi turunnya al-Quran tidak
hanya dilihat dalam Iingkup mikro saja dalam artian yang sebab spesifik
terkait dengm turunnya ayat. Kajiannya juga diperluas dalam situasi
masyarakat yaitu yang berhubungan dengan situasi masyarakat, agama,
adat istiadat, lembaga-lembaga atau pranata. dan kehidupan secara
menyeluruh di Arab saat pewahyuan Al-Quran.
Teori ini dipergunakan untuk menganalisis dua hal: Pertama,
mengapa sebuah aturan hukum diterapkan dan apa kaitannya dengan
realitas. Apakah realitas ikut mempengaruhi sebuah ketentuan wahyu dan
sejauhmana pengaruh tersebut terlihat dalam pengaturan hukumnya.
Sebab-sebab yang terkait dengan realitas bersifat partikular, sehingga
harus dipahami maqhasid Syariah (tujuan penetapan hukum)nya. Hal ini
sesuai dengan kaidah al-’ibrah bi al-khusus as-sabab la bi ‘umum al-
lafzi. Kedua, menjelaskan bagaimana tujuan umum dari ajaran al-Quran
yang berhubungan dengan situasi-situasi spesifik. Setiap hukum dan
tujuan yang dirumuskan dikoherensikan dengan yang lainnya. Al-Quran
dipandang sebagai satu kesatuan yang memiliki tujuan-tujuan moral-
sosial yang dapat disaring dari ayat-ayat khusus dalam sinaran asbab an-
nuzul.

B. Kajian Antropologi Hukum


Di dalam perkembangan antropologi, masalah hukum sebenarnya
juga sudah pernah ditelaah, walaupun di dalam suatu kerangka
kebudayaan yang serba luas. Sarjana-sarjana antropologi seperti Barton,
Radcliffe-Brown, Malinowski dan lainnya, pernah memusatkan perhatian
pada hukum sebagai suatu gejala sosial-budaya. Sesudah embrio dari
antropologi hukum timbul, maka pandangan para sarjana seperti Schapera,

8
Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Quran,
terj.Khoirun Nahdiyyah, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm. 115

10
Gluckman, Hoebel, Bohannan, Pospisil, Nader dan lainnya mempunyai
peranan besar di dalam perkembangan Antropologi Hukum.9
Menurut Ihromi, relevansi menelaah hukum dari segi antropologi,
antara lain adalah:
1. Berkenaan dengan masalah yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang (tentunya termasuk Indonesia) yang secara budaya
bersifat pluralistis dalam cita-citanya mewujudkan unifikasi hukum
atau modernisasi hokum;
2. Berkenaan dengan kemungkinan munculnya masalah bila warga
masyarakat dari lingkungan suku bangsa tertentu masih mempunyai
norma-norma tradisional yang kuat dan menuntut ketaatan mengenai
hal-hal tertentu, sedangkan dalam norma hukum yang sudah tertulis
dan berlaku secara nasional, hal-hal yang harus ditaati itu justru
dirumuskan sebagai hal yang terlarang.
Secara faktual, masalah-masalah yang dirumuskan ke dalam dua
point utama itu sudah terjadi, baik berkenaan dengan munculnya konflik
horizontal di berbagai wilayah, pertikaian antara negara dengan
masyarakat, maupun antar kelompok masyarakat sendiri.
Pendekatan antropologi (hukum) sengaja menggeser pusat perhatian
dari aturan-aturan kepada individu atau manusia sebagai aktor yang dalam
mengambil keputusan mengenai perilakunya dihadapkan kepada tuntutan-
tuntutan dari tatanan hukum yang dihadapinya. Dengan demikian, hukum
dalam lingkup kajian Antropologi Hukum ditanggapi sebagai gejala
empirik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Hukum dalam konteks
ini tidak ditanggapi seperti halnya para yuris mengkaji hukum (secara
dogmatik).
Selain metode di atas, dapat ditambahkan pendekatan historis yang
mempelajari perilaku manusia dan budaya hukumnya dengan sudut proses
sejarah Yang dijabarkan, dianalisis, dan diulas beberapa pendekatan yang

9
Sartono Sahlan, The Other Laws di Era Otonomi Daerah (Studi Antropologi Hukum),
(Semarang: UNNES, 2010), Pandecta, Volume 5. Nomor 2. Juli 2010, hlm. 150

11
digunakan dalam sejarah perkembangan sub disiplin antropologi hukum
dalam mengkaji hubungan hukum dengan masyarakat dan kulturnya. Dan
pendekatan berikutnya populer, dan beberapa bagiannya hingga kini masih
diterapkan oleh banyak pengkaji antropologi hukum adalah pendekatan
terhadap penyelesaian sengketa (trouble cases). Pendekatan itu, umumnya,
menelusuri sebab-sebab sengketa, pihak-pihak yang terlibat dan
bagaimana penyelesainnya (termasuk siapa yang menyelesaikan, dan
bagaimana sanksi yang diterapkannya). Sengketa itu hal yang melekat
pada hubungan sosial, sehingga:
1. Bila hubungannya erat, maka penyelesaiannya cenderung damai (win-
win solution).
2. Bila hubungannya renggang, maka penyelesaiannya cenderung
adjudication (semacam win - loose solution).
Dalam konteks ini, juga ditelaah mengenai lembaga hukum yakni,
lembaga yang digunakan oleh warga untuk menyelesaikan sengketa yang
timbul di antara para warga dan merupakan alat untuk tindakan balasan
(counteract) setiap penyalahgunaan yang menyolok dan berat dari aturan
yang ada pada lembaga lain dalam masyarakat. Tujuan menelusuri proses
sengketa adalah untuk Menemukan “intisari” hukum. Berbagai kajian
penyelesaian sengketa dari pelbagai masyarakat dan kebudayaan kemudian
diungkapkan dan ditelusuri. Karena penggunaan metode komparasi untuk
berbagai penyelesaian sengketa semakin sering dan mendalam, akibatnya
unsur-unsur kemajemukan pun semakin terpupuk. Adapun konflik
(conflict), menganalisis tiga tahapan dari pertikaian (dispute):
1. Keluhan atau tahapan pra-konflik, dimana orang merasa diperlakukan
tidak adil,
2. Tahapan konflik (conflict), dimana pihak yang dirugikan bertikai
dengan pihak lain,
3. Tahap sengketa (dispute), dimana konflik meningkat ke arah
konfrontasi publik karena melibatkan pihak ketiga. Mode-mode

12
penanganan sengketa sangat bervariasi tetapi dapat diklasifikasikan ke
dalam suatu prosuder yang bersifat umum.
Mode-mode penanganan sengketa sangat bervariasi tetapi dapat
diklasifikasikan ke dalam suatu prosuder yang bersifat umum. Beberapa
berupa penanganan dyadic (dua arah), seperti negosiasi yang mencakup
dua pihak saja, yang mengembangkan aturan-aturannya sendiri dan
mencapai kesepakatan melalui kompromi. Namun banyak bentuk dari
penyelesai sengketa adalah triadic dan melibatkan pihak-pihak ketiga.
Peran dan kekuasaan dari pihak ketiga itu tergantung pada struktur dari
proses resolusinya. Mediasi, merupakan proses yang bersifat
mendamaikan (conciliatory), pihak ketiga membantu dua pihak yang
bersengketa mencapai suatu penyelesaian tetapi tidak memiliki otoritas
untuk memaksa salah satu pihak. Dalam arbitrasi, pihak-pihak yang
bersengketa sepakat pada tingkat yang lebih tinggi, untuk menerima
keputusan pihak ketiga sebagai hal yang mengikat. Dalam ajudikasi,
negara memberi kuasa (kepada) hakim untuk membuat keputusan yang
mengikat tanpa harus mempertimbangkan persetujuan para pihak yang
bersengketa
Selain pendekatan di atas, terdapat pula pendekatan trouble-less
cases. Pendekatan ini, ringkasnya menyatakan bahwa dalam proses
hukum sehari-hari yang lebih banyak terjadi bukanlah kasus sengketa,
namun justru proses hukum non-sengketa (misalnya: proses perkawinan,
jual-beli dan lainnya). Proses seperti ini, walaupun tidak harus melalui
proses sengketa, tetap saja merupakan proses hukum penting karena di
dalamnya tercermin aturan-aturan (normatif) maupun prakteknya sehari-
hari. Gambaran semacam ini ikut “membulatkan” gambaran sistem
hukum pada masyarakat yang diteliti. Interaksi (hukum) non sengketa
juga bisa terjadi pada pihak-pihak yang berbeda sistem hukumnya. Dan
seringkali mereka juga tidak bersengketa. Pendekatan selanjutnya adalah
yang populer dengan sebutan ‘Kemajemukan Hukum” (legal pluralism) .
Konsep menyatakan bahwa selain state law, terhadap sistem-sistem

13
hukum lain yang juga aktif berfungsi dalam pelbagai lapisan dan
kelompok masyarakat. Benturan antara implementasi state law dengan
sistem-sistem hukum lain itulah yang menjadi konsentrasi pendekatan
yang satu ini. Pendekatan ini mulai populer di tahun 1980an, danhingga
kini masih diminati oleh banyak pengkaji antropologi hukum. Pengertian
kemajemukan hukum, ringkasnya adalah:
1. Dalam dunia pragmatis setidaknya ada dua sistem aturan yang
terwujud;
2. Bagaimana hukum berperan dan menyesuaikan diri dalam kondisi
kemajemukan budaya.
Pendekatan yang satu ini, lazimnya dikaitkan dengan pemahaman
mengenai “plural society” (masyarakat majemuk) yang dijabarkan
sebagai masyarakat yang terdiri dari populasi multi etnik yang
didalamnya terjadi suatu kegiatan ekonomi yang tersebarkan dan aturan
politik yang tersentralisasi oleh salah satu kelompok tertentu .
Pada masa Orba, gambaran plural society memang lebih nampak.
Pola patron-client relationship dikembangkan sedemikian rupa untuk
lebih mencapai tujuan tertentu.10 Pola ini digunakan untuk melingkupi
hubungan antara berbagai pihak yang majemuk, sehingga kadangkala
memunculkan benturan. Kajian Kemajemukan Hukum dapat dikaitkan
dengan pendapatnya Lawrence Friedman yang menyatakan bahwa
hukum itu terdiri dari tiga komponen, yakni:
1. Legal Substance: norma-norma, aturan-aturan yang digunakan
secara institusional, dan pola perilaku para pelaku dalam sistem
hukum;
2. Legal structure: lembaga-lembaga hukum;
3. Legal culture: kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berpikir
yang dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan sosial.

10
Van Baal J, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade
1970), (Jakarta: PT. Gramedia, 1988), hlm. 90

14
Ketiga komponen itu dapat dikaji kemajemukannya semuanya.
Namun, bisa saja salah satu komponennya saja. Masing-masing
komponen itu, bila dikaji, kelak akan memunculkan dampak maupun
konteks yang berbeda-beda. Yang jelas, para ahli antropologi hukum
menekankan bahwa hukum buatan negara hanyalah salah satu dari
sistem pengaturan yang relevan untuk menjadi pedoman berperilaku
warga masyarakatnya. Dengan demikian, the other laws juga punya hak
untuk Di ketahui, dikemukakan dan diberi kesempatan untuk berkiprah
di tengah kemajemukan masyarakat dan budaya yang ada. Sistem
hukum-hukum lain jika ditelah, juga memiliki ke tiga komponen di atas
yang bisa saja berbeda atau memiliki kemiripan tertentu dengan state
law. Jadi, Pada dasar pengkajian Antropologi Hukum telah memberikan
celah akan hasil kreasi, distribusi dan transmisi hukum yang ada. Kajian
mengenai bagaimana kekuasaan hukum berproses dan memberi dampak
dalam masing-masing masyarakat. Selanjutnya akan menampilkan
bagaimana feed back dan pengaruh masyarakat-masyarakat terhadap
kekuasaan hukum tersebut.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas tersebut, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwasanya antropologi hukum merupakan spesialisasi dari
antropologi budaya, yang secara khusus mengamati perilaku manusia
dalam kaitannya dengan aturan hukum. Aturan hukum yang dimaksud
tidak hanya terbatas pada hukum normatif, tetapi juga meliputi hukum
adat dan juga budaya perilaku manusia nya. Manusia yang dimaksud
adalah manusia yang hidup bermasyarakat, bergaul antara yang satu dan
yang lain, baik masyarakat yang masih sederhana budayanya (primitif)
maupun yang sudah modern (maju) budayanya. Budaya yang dimaksud
adalah budaya hukum, yaitu segala bentuk perilaku budaya manusia yang
mempengaruhi akan berkaitan dengan masalah hukum. dasar hukum yang
dimaksud ialah hukum dalam arti dan bentuk perilaku sebagai kebiasaan
yang berulang-ulang terjadi, sebagaimana dalam hukum adat; atau hukum
dari arti dan bentuk kalimat peraturan dan tentukan ide peraturan
perundangan jika demikian hukum pendekatan yang normatif. Tetapi juga
masalah hukum yang dilihat dari segi-segi kecendikiawan (intelektual),
filsafat, ilmu jiwa dan lainnya yang melatarbelakangi hukum itu serta cara-
cara menyelesaikan suatu perselisihan yang timbul dalam masyarakat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zayd, N. H. (2001). Tekstualitas Al-Quran: Kritik terhadap Ulumul Quran,


terj.Khoirun Nahdiyyah. Yogyakarta: LKiS.
Baal. J, V. (1988). Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga
Dekade 1970). Jakarta: PT. Gramedia.
Hadikusumah, H. (2004). Pengantar Antropologi Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bhakti.
Hukum/Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum 1 Nyoman
Nurjaya.pdf. (2020, Februari 2). Retrieved from
http://huma.or.id/document/I.03.Analisa
Rahardjo, S. (2006). Hukum Dalam Jagad Ketertiban. Jakarta: Uki Press.
Sahlan, S. (2010). The Other Laws di Era Otonomi Daerah (Studi Antropologi
Hukum). Pandecta, 150.
Soekanto, S. (1984). Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu Hukum
Adat. Jakarta: CV. Rajawali.

17

Anda mungkin juga menyukai