Anda di halaman 1dari 19

KONSEP BANTUAN HUKUM DAN PROSES KEPENGACARAAN

DALAM HUKUM ISLAM


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bantuan Hukum
Dosen : Dr. Layyin Mahfiana, SH., M. Hum.

Disusun Oleh:
1. Arofah Ni’matul M. (172121041)
2. Zulfikar Fadi Adil ` (172121062)
3. Pratiwi Uly R. (172121074)
4. Dwi Susanti (172121080)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN AJARAN 2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Persamaan dihadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai
akan memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan (access
to justice) bagi semua orang tanpa membedakan latar belakangnya. Keadilan
harus dibagikan oleh negara kepada semua orang, dan hukum yang
mempunyai tugas menjaganya agar keadilan sampai kepada semua orang
tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir miskin, mereka sama untuk
memperoleh akses kepada keadilan.
Melalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya
demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat
pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam
menyadari hak-hak fundamnental mereka di depan hukum.
Bahkan dalam Islam juga ada bantuan hukum Islam dari zaman nabi
Muhammad Saw sampai Zaman Khulafatul Rasyidin. Bantuan hukum sudah
dikenal dan dilaksanakan, bantuan hukum terjadi pada awal masa Islam yang
meliputi dua bidang yaitu bantuan hukum dalam kasus pidana dan kasus
perdata, dimana orang yang berselisih dengan istrinya (kasus syiqaq)
dibutukan bantuan hukum yang melaksanakan yuridisnya sebebut dengan
hakam. Dalam tradisi Islam, penyeleseian dan persengketaan dengan mediasi
dikenal sebagai tahkim, dengan hakam sebagai juru damai atau mediator,
pranata tahkim itu memiliki landasan yang sangat kuat di dalam al-Qur’an
surat Annisa ayat 35, yang artinya: “dan jika kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam
itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Pranata tahkim itu ditransformasikan ke dalam ketentuan pasal 76 undang-
undang Nomor 7 tahun 1989, yang mengatur gugatan percereian yang

1
didasarkan atas alasan pertengkaran (syiqaq). Muculnya penasehat perkawinan
dan mengembangnya organisasi dibidang itu, misalnya Badan Penasehat
Perkawinan, Perselisihan dan Percereian (BP4),” dapat dipandang sebagai
perwujudan Pranata tahkim dalam bentuk organisasi, yang melibatkan tokoh
masyarakat sebagai juru damai dalam kegiatan penasehat perkawinan,
perselisiahan, dan perceraian bagi pasangan suami istri yang beragama Islam.
Tahkim (menjadikan sebagai hakim) yaitu pelindung dua pihak yang
bersengketa kepada orang yang mereka sepakati dan setujui, serta rela
menerima keputusan untuk penyeleseian sengketa mereka. Dapat juga
dikatakan bahwa tahkim yaitu pelindung dua pihak yang bersengketa kepada
orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan
penyeleseian perselisihan yang terjadi diantara mereka. Kedua definisi
tersebut menunjukkan bahwa pemelihan pengangkatan juru damai (hakam)
dilakukan secara sukarela oleh kedua belah pihak yang terlibat persengketaan.
Begitu juga dalam Konstitusi kita sudah menjamin hak yang sama di mata
hukum akan tetapi fakta yang terjadi masih banyak sekali ketimpangan
hukum, mulai dari hukum yang tumpang tindih, penegakannya yang berat
sebelah, budaya suap menyuap yang masih tinggi dan masih banyak kasus
terdakwa tanpa didampingi penasehat hukum.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, maka bisa diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana konsep bantuan hukum dalam Islam?
2. Bagaimana kedudukan Advokat dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana konsep bantuan Hukum di Indonesia?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Bantuan Hukum dalam Islam


Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) telah lama dikenal
dalam Islam. Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia ini merupakan salah
salah bentuk dari upaya penegakan keadilan. Jika ditelaah lebih dalam, banyak
ayat Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menjadi dasar bagi teori persamaan
hak. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar tersebut diantaranya Q.S. Al-
An’am: 151 yang menjadi dasar adanya hak untuk hidup, Q.S Al-Hujurat: 13
yang menjadi dasar adanya hak persamaan derajat, Q.S. Al-Ma’idah: 2 dan 8
yang menjadi dasar adanya hak memperoleh keadilan, Q.S. Al-Baqarah: 188
yang menjadi dasar hak perlindungan harta dan milik, Q.S. Al-Baqarah: 256
dan Yunus: 99 yang menjadi dasar hak kebebasan beragama, serta masih
banyak lagi ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan pemenuhan hak-hak
manusia menurut fitrahnya.
Subhi Mahmasami dikenal sebagai salah seorang pemikir Islam dari Mesir
yang banyak menjelaskan HAM dalam bukunya Huquq Al-Insan Fi AlIslam.
Menurutnya, konsep HAM dalam Islam didasarkan pada kesetaraan hak dan
kewajiban antara sesama manusia. Konsep ini berpijak secara normatif pada
prinsip persamaan (al-musawat) dan kebebasan (al-hurriyat) dalam norma-
norma syari’ah bahwa asas paling fundamental tentang harkat dan martabat
kemanusiaan lebih didasarkan pada pemenuhan hak dan kewajiban yang
melekat pada setiap manusia tanpa diskriminasi ras, suku, warna kulit, bahasa,
jenis kelamin, keyakinan dan agama, sikap politik, status sosial, dan lain-lain.
Persamaan hak ini menjadi dasar bagi perumusan konsep bantuan hukum
dalam hukum Islam.
Bantuan hukum merupakan bagian dari hukum acara peradilan Islam.
Hukum acara peradilan Islam (fiqh murafa’at) adalah ketentuan-ketentuan
yang ditunjukkan kepada masyarakat dalam usahanya mencari kebenaran dan
keadilan bila terjadi ‚perkosaan‛ atas suatu ketentuan hukum materiil, hukum

3
acara meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara bagaimana orang harus
menyeleseikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hukum, apabila
kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya, bagaimana
cara mempertahankan apabila dituntut oleh orang lain. Peradilan Islam
memiliki 6 unsur peradilan, yakni hakim (qadhi), hukum, mahkum bihi,
mahkum ‘alaihi (si terhukum), mahkum lahu (si pemenang perkara), dan
sumber hukum (putusan). Tersangka atau terdakwa dalam hal ini masuk dalam
kategori mahkum ‘alaihi (si terhukum). Dalam hukum acara peradilan Islam
terdapat tahap pembuktian. Yakni baik pembuktian yang dilakukan oleh
pelaku maupun korban. Sesuai asas praduga tidak bersalah dan persamaan di
hadapan hukum, dalam proses pembuktian, terdakwa atau pelaku
mendapatkan hak untuk mengajukan pembuktian, seperti; pengakuan, saksi,
dan alat-alat bukti lain yang berhubungan dengan tindak pidana yang
dilakukannya. Setelah tahap ini dilalui, hukuman pidana dan hukuman perdata
dapat dijatuhkan setelah nyata didapati bukti-bukti yang menyakinkan.
Bantuan hukum dalam Islam dikenal dengan istilah kuasa hukum. Dimana
kuasa hukum dalam bahasa Arabnya disebut al-wakalaah fi alkhusumah.
Menurut Sayyid Sabiq, Al Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat diwakilkan. Alwakalah
masih bersifat umum, mencakup semua akrifitas perwakilan di bidang
muamalah, seperti wakil dagang, wakil rakyat, wakil penguasa, dan
sebagainya. Adapun al-wakalah fi al-khusumah (kuasa hukum) secara khusus
ditemukan dalam berperkara atau sengketa di pengadilan.1
Adapun dalam hukum Islam, kerangka filosofis bantuan hukum berkaitan
dengan teori penegakan hukum dan teori HAM. Teori bantuan hukum dalam
HAM berakar dari tiga konsep. Pertama, konsep tentang manusia (mafhum al-
insan), kedua, konsep tentang hak dan kewajiban (mafhum al-huquq wa al-
wajibat), dan ketiga, konsep tentang penegakan hukum hak asasi manusia
(mafhum al-hukm fi huquq al-insan). Ketiga konsep tersebut diduga sangat

1
Beni Ahmad Saebani, Bantuan Hukum Dalam Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2012), hlm. 28.

4
memengaruhi perbedaan konsep bantuan hukum dalam hukum Islam dan
hukum barat. Teori HAM yang berkaitan dengan bantuan hukum yaitu
mengenai teori persamaan hak hukum manusia. Dalam hukum Islam, teori
persamaan hak hukum manusia didasarkan pada teori kehormatan manusia (al-
fitrah). Secara alami dan hakiki (fitrah), setiap orang memiliki hak untuk
bebas dalam harkat dan martabat. Teori ini dikemukakan oleh Al-Maududi
dalam Human Right in Islam bahwa ‚secara fitrah setiap orang terlahir dalam
keadaan bebas dan sama dalam harkat dan martabat‛ (all human beings are
born and equal in dignity and right).
Konsep yang terdapat dalam hukum Islam, manusia kedudukannya sama
di hadapan hukum dan berhak mendapatkan jaminan keadilan. Dari konsep
itu, pemenuhan hak dan kewajiban hukum menjadi tesis bagi terciptanya
tujuan keadilan hukum itu sendiri. Akan tetapi, yang perlu digarisbawahi
adalah otoritas pembuat hukum mutlak di tangan Allah, sedangkan penguasa
dan rakyat hanya diberi amanat untuk menyeleseikan urusan-urusan publik
bersumber pada wahyu dan selebihnya ditentukan oleh manusia sendiri
melalui ijtihad berdasarkan prinsip musyawarah. Implikasinya segala proses
penegakan hukum dan tujuan diberlakukannya hukum hendaknya ditujukan
untuk keadilan dan kemaslahatan manusia tanpa harus mengabaikan wahyu.
Konsep paling populer tentang penegakan hukum Islam adalah teori tujuan
hukum syara’ (maqhasid al-syari’ah) yang dikemukakan oleh Imam Asy-
Syatibi.2
Dalam persoalan paling mendasar adalah bantuan hukum dalam proses
penegakan dalam hukum Islam diperadilan agama islam di Indonesia.
Sekurang kurangnya ada empat hal yang menyebabkan belum efektifnya
bantuan hukum dalam proses penegakan hukum islam diperadilan agama
diIndonesia. Pertama, meskipun telah ada UU Advokat, hingga saat ini masih
belum terumuskan konsep bantuan hukum dalam hukum islam di Pengadilan
Agama. Kedua, masih lemahnya kemampuan para sarjana syari’ah dalam
2
Beni Ahmad Saebani, Bantuan Hukum Dalam Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2012), hlm. 32..

5
bidang hukum kepengacaraan, sehingga mereka tidak banyak berprofesi
memberikan bantuan hukum dalam penegakan hukum islam di Peradilan
Agama. Ketiga belum ada regulasi yang secara khusus memberi keleluasaan
terhadap para sarjana syari’ah untuk berprofesi dalam bidang bantuan hukum
dalam proses penegakan hukum islam diperadilan agama. Keempat,
masyarakat belum banyak mengenal bantuan hukum dalam proses penegakan
hukum islam diperadilan agama.
Pada dasarnya konsep bantuan hukum sangat erat dengan ketentuian
hukum islam yang mengajarkan kepada para pemeluknya agar memelihara
hak hak hukum setiap individu, bahwa setiap orang sama kedudukannya
didepan hukum, dan adanya suatu kewajiban menegakkan hukum dan adanya
keadilan bagi setiap individu. Ketentuan hukum islam tersebut menjadi dasar
yang paling fundamental bagi adanya bantuan hukum dalam proses penegakan
hukum islam.Adapun dalam hukum islam, kerangka filosofis konsep bantuan
hukun berkaitan dengan teori penegakan hukum dan teori HAM.
Teori bantuan hukum hukum dan penegakan hukum dalam HAM berakar
dari tiga konsep. Pertama, konsep tentang manusia (mafhum al-insan), kedua,
konsep tentang hak dan kewajiban (mafhum al-hukm wa al-wajibat), dan
ketiga, konsep tentang penegakan hukum hak asasi manusia. Dalam konsep
hukum islam, manusia kedudukannya sama didepan hukum dan berhak
mendapatkan jaminan keadian. Dari konsep itu, pemenuhan hak dan
kewajiban hukum menjadi tesis bagi tercapainya tujuan keadilan hukum itu
sendiri. Dalam perumusan konsep bantuan hukum islam di Peradilan Agama;
faktor faktor yang mendukung dan menghambat eksistensi bantuan dalam
proses penegakan hukum Islam di Peradilan Agama, baik yang bersifat teoritis
maupun praktis; dan menemukan solusi bantuan hukum dalam proses
penegakan hukum di Peradilan Agama, sehingga terwujudnya keadilan bagi
seluruh lapisan masyarakat pada umumnya (acces to justice for all) dan
khususnya bagi mereka yang bersengketa diPeradilan Agama.

6
Dalam praktik pengacaraan dilembaga pengadilan, istilah bantuan hukum
terkait dengan profesi advokat. Advokat dalam bahasa inggris merupakan kata
benda (noun), berarti “orang yang berprofesi memberi jasa konsultasi hukum
dan atau bantuan hukum baik didalam maupun diluar pengadilan”, kini
populer dengan sebutan pengacara (lawyer). Adapun dalam hukum islam,
terma advokat berasal dari bahasa arab yaitu al-mahamy, yang maknannya
setara dengan pengacara (lawyer). Selain itu, dalam bahasa Inggris, terma
advokat juga terkait dengan kata kerja (verb), advocacy yang berarti “suatu
pekerjaan dalam bidang konsultasi hukum dan bantuan hukum untuk
membantu mereka yang membutuhkan penyelesaian hukum, baik didalam
maupun diluar”. Dalam kontek bahasa arab, pekerjaan advkat disebut juga al
mahammah yang maknannya setara dengan kata advocacy.
Aplikasi bantuan hukum (acces to justice) dalam proses penegakan hukum
dalam LBH didalam dan diluar lembaga peradilan, termasuk juga penegakan
hukum islam diperadilan agama, diprioritaskan untuk masyarakat yang masuk
kategori sebagai berikut: (a) orang miskin; (b) WNI yang melakukan tindak
pidana diluar negara Indonesia; (c) terdakwa hukuman mati atau pelaku
pidana lebih dari 5 tahun; (d) Pembela HAM (Human Rights Defenders); (e)
ksus tindak pidana HAM; (f) mereka yang membutuhkan rasa keadiolan atau
bertempat tinggal di Indonesia.
Kerangka metodologi perumusan konsep bantuan hukum dalam
penehgakan hukum islam bisa dilakukan dengan cara ijtihad. Dalam kajian
hukum iuslamk, tentang perumusan kerangka teoritis konsep bantuan hukum
dalam penegakan hukum islam diperadilan agama, penulis mengutip
metodologi ijtihad (istinbath al-ahkam) yang digunakan para fuqoha pada
umumnya. Rachmad Syfe’i mengutip metodologi perumusan hukum
(intinbath al ahkam) Ibnu Hazm yang menjelaskan tiga tahap perumusan
hukum.3

3
Beni Ahmad Saebani, Bantuan Hukum Dalam Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia,
2012), hlm. 35.

7
Pertama, tanaqih al-manat yaitu mengungkapkan atau menyeleksi sifat
sifat yang berpengaruh pada hukum (at-ta’yin wa al-hadfu fi sifat al-hukm).
Fungsi mujtahid disini adalah menentukan dan membuang sifat sifat yang
berpengaruh pada hukum, bahwa setiap mukhalaf wajib berijtihad pada
tingkat tanaqih disebabkan keberadaan nash bersifat universal dan abstrak.
Untuk itu, perlu dicarikan makna operasionalnya agar nash tersebut dapat
dijabarkan secara lebih concreate dan applicable.
Kedua, Takhrij al manat, yaitu menggali hukum hukum syara’ secara
langsung dari sumbernya (Al-Qur’an dan Al-Hadist), baik yang bersifat pasti
(qath’i) maupun dugaan (dzanni), atau lafat hukum yang bersifat implisit dan
explisit. Tahapan kedua ini disebut ijjtihad qiyasi, yaitu memiundahkan
hukum atau menggabungkan furu’ yang tidak ada nashnya karena ada
kesamaan illat hukum. Pada tahapan ini, metode qiyas sangat dominan dalam
proses penetapan hukum syara’.
Ketiga, tahqiq al-manat, yaitu merumuskan pernyataan pernyataan yang
berupa keputusan keputusan hukum yang bersifat pasti (Qath’i) ataupun
dugaan (Dzanni) atau kasus kasus hukum yang sedang dikaji, berikut
implementasinya dalam berbagai lapangan hukum. Pada tahapan ini, setiap
produk hukum hasil ijtihad hendaknya dapat diimplementasikan sesuai
kemauan nash dan tuntutan realitas dalam kehidupan masyarakat.
Secara filosofis perumusan kerangka teori konsep bantuan hukum dalam
proses penegakan Islam di Peradilan Agama, seperti telah dijelaskan
sebelumnya berpijak pada tiga teori. Pertama, konsep tentang hak hukum
dalam HAM (the concept of legal rights); Kedua, konsep tentang persamaan
didepan hukum (the concept of equality before the law) ; ketiga, konsep
tentang oenegakan hukum yang bertujuan jaminan keadiolan bagi setiap
individu (the concept oft law enforcement and acces to justice for all). Ketiga
konsep tersebut diasumsikan menjadi kerangka teoretis bantuan hukum dalam
penegakan hukum islam diperadilan agama.

8
B. Kedudukan Advokat dalam Hukum Islam
Advokat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam undang-undang
advokat nomor 18 tahun 2003 yaitu pemberi bantun hukum baik didalam
maupun diluar pengadilan yang memenuhi syarat berdasarkan ketentuan
undang-undang yang berlaku. Advokat merupakan pemberi jasa bantuan
hukum yang independen diluar pemerintah berupa konsultasi, advokasi, kuasa
dan sebagainya yang dilakukan terhadap klienya, baik didalam maupun diluar
pengadilan. Jadi bisa dikatakan advokat adalah segala aktifitas pemberi
bantuan hukum yang dilakukan terhadap orang yang sedang mengadapi
masalah hukum dengan aturan dan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Setelah adanya undang-undang advokat nomor 18 tahun 2003 pasal 5
kedudukan advokat juga semakin kuat sebagaimana bunyi pasal berikut:
“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan”
Dalam pasal 5 undang-undang advokat diatas telah dijelaskan bahwa
kedudukan advokat itu sejajar dengan penegak hukum lainya seperti hakim,
jaksa dan polisi. Pasal ini menegaskan bahwa kedudukan advokat sejajar
dengan penegak hukum lain seperti Hakim, Jaksa dan kepolisian yang
keberadaanya sudah tidak bisa dipandang sebelah mata lagi oleh penegak
hukum lainya. Ruang gerak advokad juga semakin luas sejak disahkanya
undang-undang tersebut karena advokat bisa beracara dimana saja tidak
terbatas dalam suatu wilayah tertentu.4
Berpicara advokat dalam hukum Islam seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, bahwa dalam islam advokat dikenal sebagai lembaga pemberi
bantuan hukum. secara fungsinya maka ahli hukum menyamakan posisi
advokat di dalam Islam dengan lembaga pemberi jasa bantuan hukum seperti
hakam, mufti, mushalih-alaih. Ketiga pemberi bantuan hukum tersebut secara
fungsi hampir sama dengan fungsi advokat yaitu lembaga penegak hukum
diluar pemerintah yang bertugas memberi jasa hukum kepada masyarakat.

4
Arifin Rada, Esensi Keberadaan Advokat Menurut Hukum Islam, Jurnal Ahkam Vol.
XIV No. 1 Januari 2014, hlm. 118.

9
Dalam pembahasan kali ini kita akan membahas tentang kedudukan
lembaga bantuan hukum didalam hukum Islam. Lembaga hakam seperti yang
telah dijelaskan dalam bab sebelumnya adalah pemberi bantuan hukum dalam
Islam yang berada diluar pengadilan, bertugas menyelesaikan perkara yang
terjadi di tengah masyarakat. Namun keputusanya tidak ada keharusan untuk
mengikutinya, karena pada dasarnya hanya keputusan hakim yang bisa
diterima dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Selain memberi putusan dan sebagai juru damai profesi hakam ini
mempunyai fungsi memberikan advokasi kepada klien yang sedang
menghadapi masalah hukum.
Para ahli fiqih berpendapat bahwa seorang hakam itu seharunya orang
yang memiliki syifat seperti hakim. Yaitu bisa dijadikan saksi baik itu laki-
laki ataupun perempuan dan mempunyai keahlian dibidang hukum sehingga
dalam praktiknya hakam bisa melakukan bantuan hukum dengan maksimal.
Seorang hakam lebih diutamakan dari keluarga sendiri, namun jika tidak
ditemukan bisa menunjuk orang yang pantas untuk menjadi hakam. Jadi pada
dasarnya kualifikasai dari kualitas diri seorang hakam dan hakim sama. Para
Imam Mazhab bersepakat bahwa syarat menjadi hakim maupun hakam adalah
Berakal, baligh, merdeka, muslim, mendengar, bisa melihat dan mampu
berbicara. Mereka berselisihkan hanya masalah adil, laki-laki dan perempuan,
berijtihad.
Mazhab Maliki, Syafi’I dan Hambali mensyaratkan bahwa seorang hakim
atau hakam harus adil, karena itu tidak boleh mengangkat seseorang yang
kesaksianya ditolak. Orang yang memiliki kriteria adil adalah meninggalkan
dosa- dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil, akidahnya
benar, menjaga kehormatan,dan tidak dicurigai mengedepankan kepentingan
pribadi, atau mencegah kemudharatan dirinya dengan cara yang tidak
dibenarkan agama. Mahzab Hanafi berpendapat boleh mengangkat hakam atau
hakim dari orang yang fasik jika dalam keadaan darurat. Tentang laki-laki dan
perempuan seluruh imam mazhab bersepakat kecuali Imam Hanafi bahwa
hakim harus laki-laki. Imam Hanafi berpendapat perempuan bisa menjadi

10
seorang hakim dalam perkara sengketa harta dan keuangan. Ibnu Jarir
berpendapat wanita bisa menjadi hakim secara mutlak. Tentang kemampuan
berijtihad hakim mazhab Syafi’I, Maliki, Hambali dan sebagian ulama dari
madzhab Hanafi mensyaratkan hakim harus mampu berijtihad. Madzhab
Maliki mensyaratkan bahwa hakim harus seorang mijtahid namun mereka
menerima hakim yang muqallid asalkan ada mujtahid.
Yang menjadi perbedaan mendasar antara hakam dan hakim adalah bahwa
keputusan hakim semua ulama sepakat bahwa apa yang telah diputuskan oleh
hakim harus diikuti oleh pihak-pihak yang berperkara. Sedangkan keputusan
hakam beberapa ulama berselisih pendapat tentang hal ini. Menurut Hanafiah
dan Hanabilah dalam at-Tahkim, kedua belah pihak harus mematuhi apa yang
apa yang telah diberikan oleh hakam. Menurut ulama hanafiah, masing-
masing boleh mencabutnya selama hakam belum mengambil keputusanya.
Menurut ulama Malikiyah tidak disyaratkan keduabelah pihak untuk
menerimanya hingga ada keputusan hukum atau telah diputuskan oleh seorang
hakim.5
Dari penjelasan dan pendapat para Imam madzhab diatas penulis bahwa
seorang hakim ataupun hakam sebagai pemberi bantuan harus seorang yang
adil yaitu secara moral hakim atau hakam sebagai penegak hukum harus baik
dan bisa dipercaya. Tentang penafsiran bias jender masalah memposisikan
hakim ataupun
Hakam wanita, penulis sepakat dengan pendapat yang menyatakan bahwa
wanita bisa juga menjadi seorang hakim atau hakam dengan syarat dia mampu
dan mempunyai kompetensi dan keahlian sesuai yang telah ditetapkan sebagai
penegak hukum.
Dalam islam juga mengenal pemberi jasa konsultasi hukum yaitu seorang
mufti. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy pada hakikatnya mufti adalah
menyampaikan hukum Allah kepada umat manusia. Jadi tugas mufti adalam
memberikan konsultasi atas hukum-hukum Allah kepada masyarakat yang
5
Arifin Rada, Esensi Keberadaan Advokat Menurut Hukum Islam, Jurnal Ahkam Vol.
XIV No. 1 Januari 2014, hlm. 120.

11
membutuhkan. Fungsi mufti sebagai penasehat hukum ini seperti fungsi
advokat sebagai penasehat hukum yaitu memberikan konsultasi atas sebuah
perkara hukum yang dialami oleh klienya.
Untuk menjadi seorang mufti dalam islam dia harus seseorang yang
terkenal benar, tingkah lakunya baik dan adil baik dalam perkataan maupun
perbuatanya karena dia membawa dan menyampaikan hukum dari Allah
SWT. Menurut Hasan Al-Bisri dan segolongan dari ulama usul berpendapat
bahwa orang yang memberi fatwa harus orang mujtahid, namun pendapat
yang paling kuat adalah boleh orang yang bukan mujtahid memberi fatwa asal
dia bisa meneliti dali-dalil yang dipegang oleh imamnya.10 Syarat menjadi
mufti harus bisa berijtihad ini sama dengan syarat menjadi seorang hakim
yang mayoritas ulama mahzab terutama Mahzab Hanafi yang menjadikan
syarat utama seorang hakim harus mampu berijtihad.
Untuk menjaga agar seorang yang meberikan fatwa adalah benar benar
orang yang faham atas aturan hukum Allah maka dalam Islam juga
mengaruskan adanya pengawasan terhadap kinerja para mufti yang dilakukan
oleh Penguasa. Pengawasan ini untuk menjaga dan memastikan bahwa orang
yang ingin mendapatkan fatwa benar benar bisa mendapat fatwa yang sesuai
dengan aturan hukum Islam. Bahkan jika diketahui seorang yang tidak layak
memberi fatwa namun dia memberikan fatwa maka orang tersebut harus
dijatuhi hukuman.
Dari keterangan tersebut sudah jelas seorang mufti harus benar-benar
orang yang kefahaman yang mendalam terhadap aturan hukum yang berlaku
sebagaimana seorang advokat saat meberikan konsultasi hukum harus benar-
benar faham atas aturan hukum yang berlaku. Selain itu seorang dalm meberi
bantuan hukum harus diawasi agar meminimalisir terjadinya penipuan ataupun
kegiatan yang lain yang dapat merugikan klienya dalam upaya mencari
keadilan.
Lembaga berikutnya pemberi bantuan hukum dalam Islam adalah
Mushalih- alaih sebgaimana yang dijelaskan sebelumya mushali-alaih adalah
pembantu pembut perjanjian agar kedua belah pihak bisa berdamai. Lembaga

12
ini tugasnya adalah memberikan bantuan hukum berupa pembuatan perjanjian
damai. Sesungguhnya bisa dibilang lebaga ini mengusahakan adanya
perdamaian atara pemnggugat dan tergugat tanpa harus berada di meja
pengadilan. Orang yang melakukan perdamaian adalah orang yang tindakanya
dinyatakan sah secara hukum (cakap hukum) dan juga mengerti dan faham
dengan hukum perjanjian yang akan dilakukan.
Sederhanya dari lembaga Musalih-alaih ini adalah pihak yang diberikuasa
oleh orang yang berpekara untuk melakukan perjanjian damai atas sebuah
perselisihan. Jika di kaitkan dengan fungsi advokat sebagai kuasa hukum,
maka fungsi dari lembaga ini hampir sama dengan peran advokat sebagai
kuasa hukum atas klienya untuk membantu membuat akta perjanjian.
Dari penjelasan lembaga –lembaga pemberi bantuan hukum tersebut dapat
kita ketahui bawasanya keempat ulama madzahab sepakat bahwa pemberi jasa
bantuan hukum itu sejajar dengan penegak hukum lainya meskipun berada
diluar lembaga peradilan. Meskipun mempunyai wilayah tugas masing-masing
dan tidak sama dengan tugas hakim sebagai penegak hukum, namun keempat
ulama mahzab berpendapat bahwa kwalifikasi seorang penegak hukum itu
harus sama dengan hakim sebagai penegak hukum utama dalam Islam.
Sebagaimana dalam pembahasan diatas, para ulama madzhab lebin
menitik beratkan dalam persyaratan untuk menjadi seorang penegak hukum.
Dalam Islam persyaratan untuk menjadi sorang peneak hukum sangatlah berat.
Diantaranya yang paling utama adalah bahwa seorang penegak hukum itu
harus seseorang yang adil. Pengertian adil menurut para ulama madzhab
adalah yaitu orang tersebut tidak melakukan dosa besar dan juga senantiasa
menghindari dosa kecil, menjaga kehormatan, bisa dipercaya dan tidak
melakukan penyelewengan peraturan apa lagi untuk kepentingan pribadi.
Bahkan jiga seseorang itu yang dicurigai telah melakukan suatu perbuatan
dzalim dan belum terbukti maka tidak pantas orang tersebut menjadi penegak
hukum. Selain kualitas intelektual dan kualitas moral penegak hukum, dalam
Islam juga melakukan pengawasan terhadap kinerja para penegak hukum.

13
Jika kita melihat fakta yang terjadi di Indonesia banyak sekali berita
miring, bahkan kasus pidana yang menjerat para penegak hukum kita.
Beberapa waktu lalu seorang hakim mahkamah konstitusi tertangkap dan
menjadi tersangka atas kasus penyuapan. Fakta yang terjadi dinegara ini
adalah bukti bahwa dalam penyaringan dan pengangkatan seseorang menjadi
penegak hukum belum maksimal.
Sebenarnya dalam aturan undang-undang advokat nomor 18 tahun 2003
itu sudah tepat karena memposisikan seorang advokat sebagai penegak hukum
itu sudah sangat tepat, karena advokat akan bisa membantu proses penegakkan
hukum dan menjamin hak-hak masyarakat. Dengan adanya advokat sebagai
penegak hukum akan mampu memberikan advokasi masyarakat atas
kedzaliman pemerintah dalam hal penegakkan hukum. Namun kesejajaran ini
harus di barengi dengan penjagaan kualitas advokat sebagai penegak hukum.
Jika kita tidak memperhatikan dalam proses rekruitmen penegak hukum maka
imbasnya malah akan menciptakan mafia-mafia hukum dalam masyarakat.
Selain memperketat penjagaan kualitas advokat sebagai penegak hukum,
yang perlu dilakukan adalah sistem pengawasan terhadap praktik advokat. Hal
ini juga dilakukan untuk meminimalisir terjadinya penyelewengan yang
dilakukan oleh penegak hukum. Kalau perlu malah diberikan sangsi yang
berat terhadap para penegak hukum yang menyalahgunakan wewenangnya.

C. Konsep Bantuan Hukum Di Indonesia


Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin di Indonesia
pada bulan Maret 2009 adalah sebesar 37,17 juta (16,58%). Data statistik fakir
miskin tersebut di atas membuktikan bahwa kehadiran organisasi bantuan
hukum sebagai institusi yang secara khusus memberikan jasa bantuan hukum
bagi fakir miskin sangat penting, agar fakir miskin memperoleh akses yang
tepat untuk memperoleh keadilan. Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan
tidak puas karena tidak memperoleh pembelaan dari organisasi bantuan

14
hukum akan mudah terperangkap dalam suatu gejolak sosial antara lain
melakukan kekerasan, huru-hara, dan pelanggaran hukum.6
Keadaan ini tentunya tidak nyaman bagi semua orang karena masih
melihat fakir miskin di sekitarnya yang masih frustrasi. Melihat kepada
kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan hukum
secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah
diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan
hukum sebagai suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih
lanjut apa yang dimaksud dengan bantuan hukum dan bagaimana
memperolehnya.
Selama ini, adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam
bentuk ada kantorkantor advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan
hukum tetapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut fee, yang
menyimpang dari konsep pro bono publico yang sebenarnya merupakan
kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai organisasi
bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik komersial
dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan
diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.
Kesemrawutan pemberian bantuan hukum yang terjadi selama ini adalah
karena belum adanya konsep bantuan hukum yang jelas. Untuk mengatasi
kesemrawutan tersebut maka perlu dibentuk suatu undang-undang bantuan
hukum yang mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai apa fungsi
bantuan hukum, organisasi bantuan hukum, tata cara untuk memperoleh
bantuan hukum, siapa yang memberikan, siapa yang berhak memperoleh
bantuan hukum, dan kewajiban negara untuk menyediakan dana bantuan
hukum sebagai tanggung jawab konstitusional. Keberadaan undang-undang
bantuan hukum digunakan untuk merekayasa masyarakat sehingga fakir
miskin agar mengetahui hak-haknya dan mengetahui cara memperoleh
bantuan hukum.

Ihdi Karim Makinara, Pengaruh Bantuan Hukum Terhadap Masyarakat Miskin, Jurnal
6

RECHTSVINDING Vol 2 No 1 April 2013, hlm. 7.

15
Sedangkan pengetahuan fakir miskin akan hak-haknya, khususnya hak
asasi manusianya, baru akan diperoleh kalau ada diseminasi dan penyuluhan
tentang hak-hak mereka secara masif yang merupakan gerakan nasional yang
didanai oleh negara dan masyarakat. Selain itu organisasi bantuan hukum
harus menyediakan upaya-upaya untuk memberdayakan masyarakat seperti
penyuluhan hukum, konsultasi hukum, pengendalian konflik dengan
pembelaan nyata dalam praktik di pengadilan, dan berpartisipasi dalam
pembangunan dan reformasi hukum serta pembentukan hukum yaitu salah
satunya dengan memancing yurisprudensi yang lebih tegas, tepat, dan jelas.
Pemberian bantuan hukum bagi fakir miskin tidak dapat diberikan secara
parsial dan sporadis tetapi harus diberikan secara masif dan mengajak negara
c.q. pemerintah serta semua unsur masyarakat untuk memperkenalkan dan
mendorong bantuan hukum kepada fakir miskin baik yang berada di kota-kota
maupun desa-desa. Bantuan hukum responsif memberikan bantuan hukum
kepada fakir miskin dalam semua bidang hukum dan semua jenis hak asasi
manusia secara cuma-cuma dengan mengajak peran serta masyarakat dan
pemerintah sebagai mitra kerja. Peran serta pemerintah ini dapat terwujud
dengan memasukkan program bantuan hukum ke dalam program pengentasan
kemiskinan melalui pembentukan undang-undang bantuan hukum, dan
penyediaan dana bantuan hukum dalam APBN yang diatur dalam undang-
undang bantuan hukum.
Program bantuan hukum yang dilaksanakan dengan melibatkan peran serta
pemerintah dan masyarakat, diharapkan dapat dijadikan suatu gerakan
nasional.7 Pemberdayaan fakir miskin ini yang dilakukan secara masif
diharapkan dapat mencapai sasarannya agar fakir miskin tahu akan hak-
haknya, dan diharapkan akan mengangkat harkat dan martabatnya serta
kedudukan sosial ekonominya. Oleh karena itu paradigma bantuan hukum
sekarang harus menyesuaikan diri atau banting setir agar sesuai dengan situasi.
BAB III
7
Fransiska Novita Eleanora, Bantuan Hukum Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Bagi Tersangka, (Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular, Jakarta), Lex Jurnalica Volume 9
Nomor 3, Desember 2012, hlm 148

16
PENUTUP

A. Kesimpulan
Agama manapun di dunia ini selalu mengajarkan umatnya untuk
membantu orang miskin. Bukan hanya terkait materi saja, tetapi juga soal
persoalan hidup. Untuk itu, bantuan hukum disini hadir untuk membantu
mereka yang membutuhkan. Selama ini, pemberian bantuan hukum kepada
masyarakat miskin lebih dilihat dari perspektif hukum positif saja, dan masih
jarang ditelusuri jika diliat dari perspektif Islam.
Di dalam hukum Islam, kerangka filosofis bantuan hukum berkaitan
dengan teori penegakan hukum dan teori HAM. Teori bantuan hukum dalam
HAM berakar dari tiga konsep. Pertama, konsep tentang manusia (mafhum al-
insan), kedua, konsep tentang hak dan kewajiban (mafhum al-huquq wa al-
wajibat), dan ketiga, konsep tentang penegakan hukum hak asasi manusia
(mafhum al-hukm fi huquq al-insan). Ketiga konsep tersebut diduga sangat
memengaruhi perbedaan konsep bantuan hukum dalam hukum Islam dan
hukum barat.

DAFTAR PUSTAKA

17
Eleanora, Fransiska Novita. 2012. Bantuan Hukum Dan Perlindungan
Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka. Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular,
Jakarta. Lex Jurnalica Volume 9 Nomor 3, Desember.
Makinara, Ihdi Karim. 2013. Pengaruh Bantuan Hukum Terhadap
Masyarakat Miskin, Jurnal RECHTSVINDING Vol 2 No 1 April.
Rada, Arifin. 2014. Esensi Keberadaan Advokat Menurut Hukum Islam,
Jurnal Ahkam Vol. XIV No. 1 Januari.
Saebani, Beni Ahmad. 2012. Bantuan Hukum Dalam Islam. Bandung: CV
Pustaka Setia.

18

Anda mungkin juga menyukai