Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH AGAMA ISLAM

MASYARAKAT MADANI

Disusun oleh kelompok 3:


KHATIMATUSSAADAH (4117010020)
LIANA MEGA RISTYANI B. (4117010003)
M. HIDAYATULLAH S. (4117010006)

Jurusan Teknik Sipil

POLITEKNIK NEGERI JAKARTA

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………4

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………….…6

BAB III KESIMPULAN…………………………………………………………13

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………14

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul
‘Masyarakat Madani’ ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas
presentasi mata kuliah Agama Islam.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, karena
masih memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal ini maupun sistematika dan
teknik penulisannya. Oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi penulis dan
bagi pembaca. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Depok, 14 Mei 2018

Penyusun

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bangsa Indonesia pada era reformasi ini diarahkan untuk menuju
masyarakat madani, masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya,
adat istiadat, dan agama. Untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mengalami
perubahan tentu akan berbeda dengan kehidupan masyarakat pada era orde baru.

Masyarakat madani merupakan konsep yang mengalami proses yang


sangat panjang. Masyarakat madani muncul bersamaan dengan adanya proses
modernisasi, terutama pada saat transformasi menuju masyarakat modern. Dalam
mendefinisikan masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosial dan
budaya suatu bangsa. Dalam Islam, masyarakat yang ideal adalah masyarakat
yang taat pada aturan Allah SWT, hidup dengan damai dan tenteram, dan yang
tercukupi kebutuhan hidupnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
menyepelekan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan
dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka
bersikap seimbang dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap
yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam saat ini,
maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

1.2 Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :
1. Apakah pengertian masyarakat madani?
2. Bagaimana karakteristik masyarakat madani?
3. Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat
madani?

4
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
 Untuk memahami pengertian konsep masyarakat madani.
 Untuk memahami karakteristik masyarakat madani.
 Untuk memahami peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat
madani.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Masyarakat Madani

Masyarakat madani memiliki banyak pengertian yang telah dikemukakan


oleh beberapa pakar diberbagai negara yang mengaji dan mempelajari tentang
fenomena masyarakat madani, antaranya:
Masyarakat madani diistilahkan pertama kali oleh mantan Wakil Perdana
Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim. Menurut Ibrahim, masyarakat madani
merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan taraf kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat
madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba‟ ayat 15:

َ ٌ‫ق َربِّ ُك ْم َوا ْش ُكرُوا لَهُ ۚ بَ ْل َدة‬


ٌّ‫طيِّبَةٌ َو َرب‬ ِ ‫ال ۖ ُكلُوا ِم ْن ِر ْز‬
ٍ ‫لَقَ ْد َكانَ لِ َسبَإ ٍ فِي َم ْس َكنِ ِه ْم آيَةٌ ۖ َجنَّتَا ِن ع َْن يَ ِمي ٍن َو ِش َم‬
‫َغفُو ٌر‬

“Sesungguhnya bagi kaum Saba´ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat


kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri.
(kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan)
Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang
baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".

2.2 Karakteristik Masyarakat Madani

Masyarakat madani membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi


prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut

6
merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter khas
masyarakat madani.

1. Wilayah Publik yang Bebas


Adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan
pendapat masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua warga negara memiliki
posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan politik tanpa rasa
takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil society. Mengacu pada
Arendt dan Habermas, ruang public juga dapat diartikan sebagai wilayah bebas di
mana semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat
publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya,
ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu negara dapat menjadi suasana tidak
bebas di mana negara mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan
sosial politiknya.

2. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society
yang murni (genuine). Tanpa demokrasi, masyarakat sipil tidak mungkin
terwujud. Secara umum, demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang
bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga Negara.

3. Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan
pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi,
mengacu pandangan Nurcholis Madjid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan
yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu
harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yanng benar.
Dalam perspektif ini, toleransi bukan sekedar tuntutan sosial masyarakat majemuk
belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajaran moral agama.

7
Senada dengan Madjid, Azra menyatakan bahwa dalam kerangka
menciptakan kehidupan yang berkualitas dan berkeadaban (tamaddun/ civility),
masyarakat madani menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-
individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan
warga bangsa.

4. Pluralisme
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society.
Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
kenyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus
untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat
Tuhan yang bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya dengan sikap
penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam
masyarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Madjid, kemajemukan sosial
merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.

5. Keadilan
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang
proporsional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh
aspek kehidupan. Dengan pengertian lain, keadilan sosial adalah hilangnya
monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh
kelompok atau golongan tertentu.
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam
masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi
dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara
dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena
keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-
masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.

8
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim
totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu
mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan
berbagai ragam perspektif.
8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama,
yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan
yang mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun
secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat
mengurangi kebebasannya.
11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan
oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas
pihak lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan
terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk
umat manusia.
14. Berakhlak mulia.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani
adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan
hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa
secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup
menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).

Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani
sbb:

9
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam
masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital)
yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas
kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain
terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga
swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama
dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap
saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga
ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan
kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar
mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada
jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang
sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan
sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-
rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat
DuBois dan Milley, 1992).

Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat


menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti


prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang
terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan
mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi
dan keadilan sosial.
2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara
berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas
terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan
kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk
mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara
integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata
Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan,
pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”

10
Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi
satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi
legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya
lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan:
individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras
terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan


terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.
Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian
dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau
sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam
masyarakat.
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan
untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural.
Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang
sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik
dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan
seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai
saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh
beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara
historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil,
agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat
bangsa.

2.3 PERAN UMAT ISLAM DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT


MADANI

Sifat kemodernan dalam kaitannya dengan masyarakat madani muncul


dengan mengatasi dimensi waktu. Sebagai gantinya, kemodernan sebuah politik
yang sitandai oleh, antara lain, adanya struktur masyarakat madani lebih merujuk
pada sifat-sifat yang dikembangkan oleh bangunan politik tersebut. Hal ini tidak
aneh, karena dari sudut konsepsi, bangunan masyarakat madani ini memang

11
awalnya dikembangkan oleh para pemikir dan filsuf lama: Plato, Aristotheles,
Hobbes, Locke, Rosseau, Bentham, Hume, dan sebagainya.

Antara lain dari sudut ini pulalah, kita dapat mengaitkan antara islam
dengan masyarakat madani. Ungkapan apresiatif atau yang bersifat menghargai
ini berasal dari kalangan ilmuan nonmuslim atau barat, yang mengatakan bahwa
ada kesesuaian antara islam dan konsep masyarakat madani, bahkan kenyataan itu
pernah ada dalam kehidupan nyata masyarakat islam, barang kali orang akan
menilai bahwa ini merupakan suatu penilaian yang objektif. Sosiolog terkemuka
dar Amerika Serikat, Robert N. Bellah misalnya mengatakan, bahwa
sesungguhnya bangunan politik yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Ketika berada di Madinah, adalah bersifat sangat modern. Memang bukan
organisasi atau lembaga di luar negara yang berkembang pada waktu itu, tetapi
dimensi-dimensi lain yang ada dalam bangunan konsep masyarakat madani. Hal
itu tercermin dengan jelas dalam mitsaq Al-madinah (perjanjian madinah), yang
oleh para ilmuwan politik, dianggap sebagai konstitusi pertama sebagai negara.
Dalam hal ini, sejumlah persyaratan pokok tumbuhnya kehidupan masyarakat
madani yang dikembangkan oleh Nabi Muhammad adalah prinsip kesamaan,
keadilan, dan partisipasi. Dalam konstitusi itu disebutkan, bahwa pluralitas suku
yang diikatkan dalam suatu kesepakatan, bersama, dan dianggap sebagai umat.
Tentu, umat disini bukan dalam arti agama tetapi warga negara. Karenanya,
dengan enak bani aus yahudi itu juga disebut dengan umat Madinah. Adanya
aturan-aturan yang tegas ini, yang dituangkan secara tertulis dalam perjanjian
madinah, yang mengakui diterapkannya prinsip-prinsip keadilan, persamaan, dan
musyawarah merupakan ciri-ciri awal terbentuknya kehidupan politik modern,
yang antara lain ditandai dengan munculnya semangat masyarakat madani. Disitu,
yang ingin dikembangankan adalah nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara
yang sebanding dengan kehidupan politik demokratis meskipun masih dalam
bentuk dan strukturnya yang sederhana.

Dalam kerangka ini pernyataan yang muncul kemudian adalah dari mana
sumber transformasi atau perubahan itu berasal. Tak ada satu jawaban yang lebih

12
pasti bagi kita untuk mengatakan bahwa faktor pendorong itu adalah islam.
Karena sejak muncul dan berlembangnya islam disana meskipun dalam tahap
awal transformasi atau perubahan masayarakat secara besar-besaran terjadi disana,
baik dilihat dari sudut pandang keagamaan (lebih rasional) maupun kehidupan
sosial budaya, ekonomi, dan politik (lebih berperadaban). Dalam bahasa agama
proses perubahan dari situasi jahiliyah ke berperadaban ditegaskan oleh al-Qur’an,
bahwa salah satu fungsi islam adalah membawa atau mengeluarkan masayarakat
dari alam kegelapan menuju alam terang. Dalam kehadiran islam adalah
mengeluarkan umat manusia dari kegelapan ke terang benderang. Sebanding
dengan itu, yang lebih popular adalah kehadiran islam adalah rahmat bagi alam
semesta.

Dalam sejarah Islam, realisasi keunggulan normatif atau potensial umat


Islam terjadi pada masa Abbassiyah. Pada masa itu umat Islam menunjukkan
kemajuan di bidang kehidupan seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, militer,
ekonomi, politik dan kemajuan bidang-bidang lainnya. Umat Islam menjadi
kelompok umat terdepan dan terunggul. Nama-nama ilmuwan besar dunia lahir
pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ubnu Rusyd, Imam al-Ghazali, al-Farabi, dan
yang lain.
Kualitas SDM Umat Islam Dalam Q.S. Ali Imran ayat 110 :

ِ ‫اس تَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬


ِ ‫ُوف َوتَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُ ْؤ ِمنُونَ بِاهَّلل ِ ۗ َولَوْ آ َمنَ أَ ْه ُل ْال ِكتَا‬
‫ب‬ ِ َّ‫ت لِلن‬ ْ ‫ُك ْنتُ ْم خَ ْي َر أُ َّم ٍة أُ ْخ ِر َج‬
ِ َ‫لَ َكانَ َخ ْيرًا لَهُ ْم ۚ ِم ْنهُ ُم ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َوأَ ْكثَ ُرهُ ُم ْالف‬
َ‫اسقُون‬

Artinya “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma´ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka,
di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik.”

Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Allah menyatakan bahwa umat
Islam adalah umat yang terbaik dari semua kelompok manusia yang Allah
ciptakan. Di antara aspek kebaikan umat Islam itu adalah keunggulan kualitas

13
SDMnya dibanding umat non Islam. Keunggulan kualitas umat Islam yang
dimaksud dalam Al-Qur’an itu sifatnya normatif, potensial, bukan riil.

Posisi Umat Islam SDM umat Islam saat ini belum mampu menunjukkan
kualitas yang unggul. Karena itu dalam percaturan global, baik dalam bidang
politik, ekonomi, militer, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, belum mampu
menunjukkan perannya yang signifikan. Di Indonesia, jumlah umat Islam lebih
dari 85%, tetapi karena kualitas SDM nya masih rendah, juga belum mampu
memberikan peran yang proporsional. Hukum positif yang berlaku di negeri ini
bukan hukum Islam. Sistem sosial politik dan ekonomi juga belum dijiwai oleh
nilai-nilai Islam, bahkan tokoh-tokoh Islam belum mencerminkan akhlak Islam.

14
BAB III

KESIMPULAN

Untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat


maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang
signifikan. Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang
sedang terjadi di masyarakat sekarang ini. Agar di dalam kehidupan
bermasyarakat kita tidak ketinggalan berita. Adapun beberapa kesimpulan yang
dapat saya ambil dari pembahasan materi yang ada di bab II ialah bahwa di dalam
mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diamanatkan oleh Rasullullah kepada kita sebagai
umat akhir zaman. Sebelumnya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud
dengan masyarakat madani itu dan bagaimana cara menciptakan suasana pada
masyarakat madani tersebut, serta ciri-ciri apa saja yang terdapat pada masyarakat
madani sebelum kita yakni pada zaman Rasullullah.

Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat
pada potensi manusia yang ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi
yang ada di dalam diri manusia sangat mendukung kita untuk mewujudkan
masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang dimiliki oleh seseorang
dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya. Begitu
pula sebaliknya, apabila seseorang memiliki potensi yang kurang di dalam
membangun agamanya maka hasilnya pun tidak akan memuaskan. Oleh karena
itu, marilah kita berlomba-lomba dalam meningkatkan potensi diri melalui
latihan-latihan spiritual dan praktek-praktek di masyarakat.

15
DAFTAR PUSTAKA

https://fixguy.wordpress.com/makalah-masyarakat-madani/

buku pendidikan agama islam untuk perguruan tinggi karya Wahyuddin, Achmad,
M. Ilyas, M. Saifulloh, Z. Muhibbin.Penerbit Grasindo.
(https://books.google.co.id/books?id=2K-
vp4lYPpAC&printsec=frontcover&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepa
ge&q&f=false)

https://blog.ub.ac.id/fitria37/2013/01/12/makalah-pendidikan-agama-islam-
masyarakat-madani/

16

Anda mungkin juga menyukai