Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN

EKSISTENSIALISME

DISUSUN OLEH:
NAMA : IBRAHIM YUSUP NASUTION
NIM : 4193311002
KELAS : MATEMATIKA DIK D 2019
MATA KULIAH : FILSAFAT PENDIDIKAN
DOSEN PENGAMPU : SANI SUSANTI, S.Pd., M.Pd.

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa sehingga makalah yang berjudul
“Eksistensialisme” dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini memuat tentang pengertian
filsafat pendidikan tentang eksistensialisme yang mendasari filsafat terutama dalam dunia
pendidikan.
Penulis menyadari banyak kesulitan yang dihadapi dalam membuat makalah ini. Dengan
bantuan banyak orang maka makalah ini dapat selesai dengan baik. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada pihak yang telah membantu, diantaranya :
1. Kepada Guru Pembimbing Filsafat Pendidikan, Ibu Sani Susanti, S.Pd., M.Pd yang telah
membimbing, mengajar, serta memberi ilmu sehingga makalah ini dapat membuahkan
hasil yang memuaskan.
2. Kepada orangtua yang telah memberi dukungan dan semangat.
3. Teman-teman yang telah memberi dukungan dan semangat.
4. Kepada semua orang yang membantu.

Akhirnya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat untuk kesempurnaan
makalah ini. Penulis juga berharap agar makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Semoga
rahmat Tuhan Yang Maha Esa selalu memberkati kita.

Medan, 28 Oktober 2019

Penulis

Ibrahim Yusup

i
DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.....................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................1
1.3 Tujuan penulisan ................................................................................1
1.4 Manfaat penulisan...............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................3
2.1 Sejarah lahirnya Eksistensialisme.......................................................3
2.2 Pengertian Eksistensialisme................................................................3
2.3 Ciri – ciri Eksistensialisme.................................................................4
2.4 Tokoh – tokoh dalam Eksistensialisme..............................................4
2.5 Implikasi Eksistensialisme dalam pendidikan....................................6
BAB III PENUTUP........................................................................................9
3.1 Kesimpulan.........................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia sebagai makhluk hidup berpikir dan selalu berusaha untuk
mengetahui segala sesuatu, tidak mau menerima begitu saja apa adanya sesuatu itu, selalu ingin
tahu apa yang ada dibalik yang dilihat dan diamati. Segala sesuatu yang dilihatnya,
dialaminya, dan gejala yang terjadi di lingkungannya selalu dipertanyakan dan dianalisis atau
dikaji. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu keheranan, kesangsian, dan
kesadaran atas keterbatasan. Berfilsafat kerap kali didorong untuk mengetahui apa yang telah
diketahui dan apa yang belum diketahui.

Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi peserta didik baik potensi fisik
potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat berfungsi dalam
perjalanan hidupnya. Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan.
dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.

Dalam mengkaji pendidikan terutama dengan menggunakan kajian filsafat, terdapat tiga cabang
yang mendasari filsafat itu sendiri. Ketiga caban tersebut juga diterapkan dalam dunia
pendidikan yakni filsafat pendidikan untuk mengulas persoalan-persoalan yang dihadapi dalam
pendidikan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan filsafat pendidikan tentang eksistensialisme?

2. Bagaimana ketiga cabang filsafat pendidikan dalam mengulas persoalan pendidikan?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mengetahui makna tentang filsafat pendidikan tentang eksistensialisme
2. Mengetahui bagaimana sistem filsafat pendidikan mengulas persoalan pendidikan

1
1.4 Manfaat Penulisan

Semoga makalah ini berguna bagi masyarakat khususnya mahasiswa dalam memahami
artinya filsafat pendidikan tentang eksistensialisme. Dengan adanya makalah ini semakin
menambah ilmu pengetahuan bagi penulis mengenai filsafat pendidikan tentang eksistensialisme.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah lahirnya Eksistensialisme

Istilah eksistensialisme dikemukakan oleh ahli filsafat Jerman Martin Heidegger (1889-
1976). Eksistensialisme adalah ilmu filsafat dan cara yang digunakan untuk menemukannya
berasal dari metode fenomologi yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938). Munculnya
eksistensialisme berawal dari ahli filsafat Kieggard dan Nietzche. Filsuf Jerman,
Kiergaard (1813-1855) filsafatnya didasari untuk menjawab pertanyaan “Bagaimanakah aku
menjadi seorang individu?” pertanyaan ini muncul karena pada saat itu terjadi krisis
eksistensial (manusia melupakan individualitasnya). Kiergaard menemukan jawaban untuk
pertanyaan tersebut “manusia (aku) bisa menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah,
keterlibatan, dan komitmen pribadi dalam kehidupan.” Nitzsche (1844-1900) filsuf jerman tujuan
filsafatnya adalah untuk menjawab pertanyaan “bagaimana caranya menjadi manusia unggul”.
Jawabannya manusia bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri
secara jujur dan berani.

Di kalangan filsuf Barat muncul sikap kritis untuk membangun konsep berfikir yang bebas
dan terbuka, menggunakan kemampuan akal seluas-luasnya agar mampu menghadapi
perkembangan zaman.

2.2 Pengertian Eksistensialisme

Dari sudut etimologi, Eksistensi berasal dari kata Eks yang berarti keluar, dan sistensi atau
sisto berarti berdiri, menempatkan. Secara umum berarti, manusia dalam keberadaannya itu sadar
bahwa dirinya ada dan segala sesuatu keberadaannya ditentukan oleh dirinya sendiri.
Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang memandang berbagai hal dengan berdasar pada
keberadaannya (eksistensinya). Artinya bagaimana manusia berada (bereksistensi) dalam dunia.

Pendapat lain, menyatakan “eksistensialisme” merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat
yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa
memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukan

3
tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karena hal tersebut, masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk
yang harus bereksistensi (berbuat), meneliti cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi
dapat dikatakan inti dari aliran filsafat eksistensialisme adalah manusia konkret.

2.3 Ciri – ciri Eksistensialisme


1. Selalu melihat cara manusia berdiri sendiri, sehingga dapat diartikan ada unsur
“berbuat” dan “menjadi”.
2. Manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang masih dapat berkembang, serta
didasari dari pengalaman yang konkret atau empiris yang ada di sekitar.
3. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan
masyarakat modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
4. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep,
filsafat akademis yang jauh dari kehidupan konkrit.
5. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal
(tanpa kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa.

2.4 Tokoh – tokoh dalam aliran filsafat Eksistensialisme


I. Friedrich Nietzsche

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Saxony, Prusia pada tahun 1844 dan meninggal di


Weimar 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun. Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf
Jerman dan seorang ahli ilmu Filologi yang meneliti teks-teks kuno, Dia menulis beberapa teks
kritis terhadap agama, moralitas, budaya kontemporer, filsafat dan ilmu pengetahuan,
menampilkan kesukaan untuk metafora, ironi, dan pepatah. Ia merupakan salah seorang tokoh
pertama dari Eksistensialisme Modern yang ateistis

Menurut Friedrich Nietzsche manusia yang bereksistensi adalah manusia yang


mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus
menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak.

4
Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang
akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.

II. Soren Aabye Kiekegaard

Soren Aabye Kiekegaard lahir pada tanggal 5 Mei 1813, dan meninggal pada tanggal 11
November 1855. Soren Aabye Kiekegaard adalah seorang filsuf dan teolog abad ke 19 yang
berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan
seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme.
Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian
menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya
dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan
sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya


hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen,
dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial.
Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme
Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan
menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-
karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk
membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang
dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.Ludwig
Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam
dari abad ke-19"

Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari
cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia
untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

III. Jean Paul Sartre

Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980
pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap

5
mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding
esensi.

Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil
kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya,
satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia.

Pada tahun 1964, Ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia
meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara
pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang. Pasangannya adalah seorang filsuf wanita
bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul
Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.

Inti pemikirannya adalah menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan
mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang
bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

2.5 Implikasi Eksistensialisme dalam pendidikan

Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri


secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia
bertanggung jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, sikun pribadi
(1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan pendidikan,
karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainya pada masalah-masalah yang sama,
yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan
(kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah ‘keberadaan’ manusia, sedangkan
pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
Edward J. Power menjelaskan, bahwa pendidikan menurut eksistensialisme mempunyai dua
tugas utama, yaitu pemenuhan tujuan-tujuan personal dan mengembangkan rasa kebebasan dan
rasa tanggung jawab.
Konsep pendidikan menurut eksistensialisme adalah pengembangan daya kreatif dalam diri
anak-anak, bukan saja sebagai pribadi atau individu, tetapi anak adalah suatu realitas. Pendidikan
merespon terhadap berbagai bentuk metafisika. Karena itu merespon juga terhadap

6
eksistensialisme sebagai aliran filsafat yang lahir dari situasi kehidupan yang mengandung krisis.
:

a. Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu


mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan
dirinya, sehingga dalam menetukan kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.

b. Kurikulum

Kaum eksistensialis menilai kurikulim berdasar pada apakah hal itu berkontribusi pada
pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang
disebut Greene “kebahagiaan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberi para
siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, melakanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-
kesimpulan mereka sendiri..

c. Proses belajar mengajar

Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan


dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi
dengan pribadi, di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan
suatu percakapan antara “aku” dan Engkau” (Tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah
“paksaan”, dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek.

Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa


menyersh kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru
menjadi penguasanya.

Selanjuthya Buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan


dengan seorang indtruktur, jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan
merupakan perantara yang sederhana anatara materi pelajaran dnga siswa. Seandainya guru
dianggap sebagai seorang instruktur, ia akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap
sebagai alat untuk mentransfer tersebut. Pengetahuan dan siswa akan menjadi hasil dari tensfer

7
tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk
dari pengetahuan tersebut.

Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan.


Untuk menjadikan hubungan anatara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan
yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pegalaman pribadi guru itu sendiri,
sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan anatara pribadi dengan pribadi.
Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siwa yang
tidak dikuasainya, melainka merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

d. Peranan Guru

Menurut pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam


semesta berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya, meskipun
demikian dengan kebebasan yang kita milliki, masing-masing dari kita harus berkomitmen
sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine
Greene (Parkay, 1998), seorang filsuf pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan pada
eksistensialisme: “Kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika
kita memahami dunia dari sudut pendirin bersama.” Urusan manusia yang mungkin paling
bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif.
Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan degan keyakinan banyak orang, tidak berarti
bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka sukai: logika menunjukan bahwa
kebebasan memiliki aturan dan rasa hormat akan kebebasan orang lain itu penting.

Guru sebaiknya memberi semangat pada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu
dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa dan mengajukan ide-ide lain
kemudian membimbing siswa untuk memilih alternatif-alternatif, sehingga siswa akan melihat,
bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia, melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu,
siswa harus menadi actor dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras
seperti gurunya. Guru mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga
siswa mampu berpikir relative melalui pertanyaan-pertanyaan.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Eksistensialisme adalah suatu aliran dari ilmu filsafat yang lebih berpusat pada manusia
sebagai individu yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri dengan pengalaman-
pengalamannya yang dapat membuat manusia tersebut lebih berkembang. Sehingga paham
tersebut hanya berpusat pada diri sendiri, tanpa harus memikirkan hal yang ada disekitar yang
dapat mempengaruhi kehidupan individu tersebut. Dalam konteks nilai, manusia memiliki
kebebasan untuk memilih, tetapi dalam pilihan tersebut manusia harus siap menerima akibat
dari pilihan tersebut, dan kebebasan memilih tersebut tidak akan pernah berhenti karena setiap
akibat yang diterima akan menimbulkan kebutuhan untuk memilih pilihan selanjutnya.
Eksistensialisme bukan seperti teori atheis yang sangat berusaha untuk membuktikan
ketiadaan Tuhan, namun apa yang manusia butuhkan adalah menemukan kembali dirinya
sendiri, bahkan tidak ada bukti valid tentang keberadaan Tuhan. Dalam pengertian ini,
eksistensialisme adalah sebuah doktrin tindakan nyata.

9
DAFTAR PUSTAKA

Asmoro Achmadi. 2011. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali pers.


Nasution. 2003. Asas-asas Kurikulum. Jakarta : Bumi Aksara..
Samosir, Rina. 2018. Pengertian Filsafat Pendidikan Menurut Para Ahli,
https://id.scribd.com/doc/72356261/Pengertian-Filsafat-Pendidikan- Menurut-Para-
Ahli, diakses pada 27 Oktober 2019

10

Anda mungkin juga menyukai